Thursday, April 18, 2019

Satu Menit Terakhir


**Renungan Jumat Agung**

Sudah beberapa malam ini ia tak dapat memejamkan matanya dengan lelap. Tengah malam ia terjaga dan selalu mendengar suara lolongan anjing sayup-sayup di kejauhan. Suara itu terbawa angin malam menerobos jeruji besi tempat ia dan beberapa penjahat kelas kakap dikurung.

Ia melihat kakinya, terbelenggu oleh rantai besi karatan. Kedua kakinya yang dingin oleh rantai besi itu makin terasa dingin. Suara lolongan anjing itu membuat malam makin mencekam. Sebuah lampu minyak tergantung di dinding sebelah luar selnya dan menyinarkan cahaya kekuningan, lalu hinggap pada wajah-wajah di sebelahnya yang lelap tertidur.

Di luar selnya dua orang tentara Romawi berdiri tegap. Pergantian shift jaga baru selesai dilakukan. Ia mendengar dua penjaga itu bercakap-cakap. Di antara sunyinya malam, suara percakapan itu sangat jelas tertangkap oleh telinganya. Walaupun tak sepenuhnya mengerti percakapan dalam bahasa Latin itu, ia yakin kedua penjaga itu sedang membicarakan soal eksekusi mati.

Eksekusi mati. Kali ini giliran siapakah yang akan digantung di kayu salib? Demikian ia berpikir. Ia menghitung jumlah kepala yang sedang tertidur nyenyak di samping kiri-kanannya. Masih ada sepuluh kepala. Biasanya eksekusi akan dilakukan tiga demi tiga. Acak. Apakah kali ini ia termasuk salah satu dari tiga yang akan diambil oleh penjaga itu?

Ah, walau bagaimanapun ia harus menghadapinya, sekarang atau nanti. Sebagai penjahat kelas kakap, ia sudah menghitung semua risiko. Itulah sebabnya dari semula ia hanya mau menjadi penjahat kelas kakap, bukan kelas teri, bukan penjahat tanggung. Jika kelak ia tertangkap dan divonis mati, ia ingin dikenang sebagai penjahat besar, demikian ia berpikir. 

Sebelumnya sudah banyak rekan selnya yang telah terlebih dahulu diambil oleh tentara Romawi dan digiring menuju sebuah bukit. Disanalah kabarnya eksekusi mati itu dilakukan. Dari bisik-bisik rekan yang masih tersisa, ia hanya menangkap pesan kengerian, sebuah kengerian tiada tara dari tiang gantungan tempat memakukan tubuh para penjahat besar. Ya, memang salib hanya untuk mencabut nyawa para penjahat besar.

Tetapi baginya pesan kengerian itu ia terima sebagai bentuk konsekuensi. Ia tak kan pernah memohon belas kasihan kepada tentara Romawi sebab kekejaman mereka tidak pernah luntur oleh tangisan siapapun. Ia pun tak akan berpesan kepada siapapun untuk menguburkan mayatnya. Ia tak peduli, apakah jasadnya nanti akan menjadi santapan burung nazar ataukah membusuk sendiri di tiang gantungan. Ia tak peduli. 

Predikatnya yang akan dikenang oleh masyarakat sebagai penjahat besar adalah hal terpenting baginya. Bukankah selama hidup yang dijalaninya ia telah banyak menumpahkan darah? Ia merasa hidupnya baru berguna setelah berhasil melenyapkan nyawa orang. Jadi jika sekarang nyawanya harus melayang di tiang gantungan, ia akan berlaku sebagai seorang ksatria. Ia merasa dosanya yang berjibun itu takkan terampunkan. 

Tetapi aneh. Malam itu perasaannya berbeda setelah ia mendengar kedua penjaga itu menyebut nama seseorang dalam percakapannya. Ia mendengar kata 'Orang Nazaret" diucapkan beberapa kali. Entahlah, mendengar kata itu disebut membuat hatinya berdesir. Ia yakin yang dimaksud 'Orang Nazaret' itu adalah Yesus, seorang yang dipanggil Guru dan Nabi oleh orang banyak.

Walaupun ia sedang berada di dalam penjara, angin yang berhembus tetap mengabarkan berita tentang apa saja yang terjadi di luar tembok penjara. Mendengar orang membicarakan Yesus dan segala sesuatu yang dilakukan-Nya, ia tertawa puas dalam hatinya, terutama jika yang ia dengar adalah cerita tentang Yesus yang sedang mendamprat ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sudah lama ia merasa muak dengan sikap mereka yang berjualan agama demi keuntungan mereka sendiri, mengelabui rakyat dengan doa-doa yang panjang, dan menghakimi orang dengan ayat-ayat kitab suci.

Tetapi terkadang ia juga terharu, ketika ia mendengar kabar tentang orang-orang sakit yang disembuhkan oleh Yesus, bahkan seorang yang sudah empat hari dalam kubur dibangkitkan-Nya di sebuah kampung di Betania. Ia suka lekas-lekas mengusap matanya jika ia rasakan matanya berair, khawatir rekan-rekan seselnya melihatnya dan menganggapnya cengeng. Ia adalah penjahat besar, airmata adalah bentuk kelemahan. 

Dari percakapan dua penjaga itu ia mendengar, sepertinya Yesus Orang Nazaret itu sedang diincar oleh Imam Besar Kayafas, dan salah satu penjaga itu meyakinkan temannya bahwa sepasukan tentara akan menangkap Yesus malam ini atas permintaan dari Imam Besar Kayafas. Rekan-rekan mereka lengkap dengan senjata perangnya sudah berangkat menuju ke sebuah taman di pinggiran kota untuk sebuah penyergapan.

Hatinya seakan tak yakin bahwa Yesus akan ditangkap. Untuk tuduhan apa? Selama ini kabar yang ia terima dari balik jeruji besi tentang Yesus adalah bahwa Ia tidak pernah melanggar hukum Romawi. Ia hanya berjalan keliling dan mengajar, bahkan di tengah-tengah perjalanan-Nya Ia banyak menolong orang.
.
Apapun itu, baginya sosok Yesus adalah istimewa. Ia yakin Yesus bukan manusia biasa. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan banyak tanda dan mukjizat jika bukan datang dari Allah? Tetapi ia memang pernah mendengar bahwa imam-imam dan ahli-ahli Taurat itu membenci Yesus karena iri hati. Entah darimana asalnya tiba-tiba ia mulai bersimpati dengan Yesus.

Malam itu hatinya terus berdebar. Ia memang seorang penjahat kelas kakap, tetapi mendengar rencana penangkapan Yesus Orang Benar itu hatinya terasa terusik. Ia tak dapat memejamkan matanya semalam-malaman. 

Keesokan harinya menjelang siang, pintu selnya dibuka oleh dua penjaga Romawi. Salah satu dari penjaga itu menunjuk dirinya dan seorang rekannya. Mereka digelandang dengan kaki yang masih terikat rantai besi. Hatinya berbisik, mereka berdualah yang diambil secara acak untuk dieksekusi. Ia berjalan mengikuti dua tentara Romawi di depannya. "Tetapi mengapa hanya dua?" pikirnya. Dimana penjahat yang satu lagi?

Mereka sampai di sebuah tempat. Ketika tentara Romawi itu memaksa mereka untuk memikul salib, rekannya terus mengaduh dan tak berhenti mengumpat. 

Di sebuah bukit penuh kerumunan massa mereka berhenti. Sejarak sepelempar batu di depan mereka, ia melihat Seorang mulai ditelentangkan di atas palang kayu itu. Beberapa perempuan menangis memandangi dari jarak sepuluhan meter. Orang itu berlumuran darah di sekujur tubuh-Nya, dan pada kepala-Nya mengucur darah segar akibat belukar berduri yang tertancap di kepala-Nya. Saat itulah ia tahu, pasti Orang itu adalah Yesus.

Sejurus kemudian ia dan rekannya ditelentangkan di atas palang kayu yang tadi dipikulnya. Ketika paku itu menancap di tangan dan kaki mereka, mereka berteriak sekeras-kerasnya dalam kesakitan. Ia mendengar rekannya kembali mengumpat dan menyerapah.

Dalam sakitnya yang tak tertahankan, ia melirik ke arah Yesus. Rekannya berteriak, "Heh! Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari kayu salib itu. Selamatkan Diri-Mu dan kami!" Mendengar perkataan rekannya itu ia tergeragap. Tiba-tiba hatinya terbakar oleh kemarahan karena ucapan rekannya itu. Di antara nafasnya yang hampir putus, ia berkata sekuatnya, "Tak takutkah engkau kepada Allah? Kau dan aku memang layak digantung seperti ini karena kesalahan kita…ughhh…hhh…,” ia berhenti dengan nafas tersengal-sengal. “Tet..tetapi.. Dia ini.. hhh.. Ia tak melakukan kesalahan apapun, argghhh…” Ia menguatkan nafasnya yang nyaris putus, lalu berpaling menatap Yesus. “Yesus…, hhh.., ingatlahhh aku…ugh…hhh.. jika Engkau kelak datang… hhh.. sebagai… Raj…Raja, arghhhh…,” bisiknya dengan kekuatan terakhir.

Yesus menatapnya. Dengan memicingkan matanya karena bengkak dan penuh darah, Ia berkata, “Ughhh…hhh…hari ini juga engkau... hhh... akan bersama dengan Aku di Firdaus…hhhh…”

Penjahat kelas kakap itu tertunduk, nyawanya lepas menuju Firdaus.

Pada satu menit terakhir itu ia mengalami keagungan kasih-Nya, tanpa upaya dan perbuatan apa-apa, hanya oleh anugerah-Nya.

"Dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya." (Yesaya 53:9)

***
Serpong, 18 Apr 2019
Titus J.

Monday, April 15, 2019

Hilang Dalam Rumah


Pra-Paskah 2019 - hari#35
(The Prodigal Son - part2)

Anak bungsu itu seakan tak ingin melepaskan pelukan ayahnya. Saat itulah ia baru menyadari arti cinta yang sejati. Ia menyesali kebodohannya yang tak pernah mengerti bahwa ada bertimbun-timbun cinta dari ayahnya yang tak pernah habis.

"Ambilkan baju baru untuknya," perintah ayahnya kepada hamba-hambanya yang tertegun memandangi. Maka bergegaslah mereka melayani anak bungsu itu hingga ia selesai mandi dan berurap. Ayahnya lalu menyiapkan pesta. Sesaat sebelum rebana ditabuh, ayahnya mengambil cincin termahal lalu mengenakannya pada jari manis anak bungsunya itu.

Beberapa menit kemudian kakaknya tiba-tiba datang dari ladang. Dari luar ia mendengar bunyi rebana yang ditabuh dengan rancak, diselingi suara tawa berderai dari dalam rumah. "Ada apa ini?" tanyanya kepada hambanya. "Adikmu datang, badan kurus, mata cekung, gembel...," jawab hambanya. "Dan ayahmu menyembelih lembu tambun untuk menyambutnya," kata hambanya yang lain.

Anak sulung itu kaget. Ia membanting tongkat dan seluruh perkakasnya ke teras rumah. Ia lepaskan kasutnya dengan kasar. Setelah itu ia duduk. Giginya gemeletuk, dadanya naik turun menahan amarah. Ia berharap adiknya tak pernah pulang.

Beberapa saat kemudian ayahnya keluar menemuinya. Demi melihat ayahnya, diserbunya ayahnya dengan serentetan kemarahan. "Adilkah ini, Ayah? Adilkah?" Ayahnya menatapnya dengan tenang. "Hanya demi dia yang telah kurang ajar kepada Ayah? Demi dia yang menghamburkan uang dengan pelacur? Demi gembel itu maka Ayah campakkan perasaanku?" dengan mata merah anak sulung itu menyapu wajah ayahnya.

"Anakku, bukankah seharusnya kamu gembira karena adikmu yang hilang telah pulang? Bukankah kita patut rayakan karena adikmu yang mati telah hidup kembali?" jawab ayahnya dengan sabar.

“Harusnya pesta itu untukku. Harusnya lembu tambun itu untuk menjamu sahabat-sahabatku, Ayah!” demikian anak sulung itu menghujani ayahnya dengan kalimat yang pedas. Ayahnya tetap tenang. “Tunjukkan padaku, Ayah, tunjukkan kapan aku tidak menaati perintahmu, kapan aku melanggar aturanmu, kapan aku pernah berbuat nista dengan pelacur seperti dia!” kata si sulung itu menunjuk ke arah rumah dimana rebana dan seruling saling bersahutan. “Ia harusnya tak perlu pulang dan mengotori rumah ini dengan gembelnya!”

“Anakku, kamu berdua adalah anakku,” kata ayahnya lebih sabar. “Tidak, aku tidak seperti dia!” sahut si sulung itu.

Anak bungsu yang hilang itu pulang ke rumah, sedangkan anak sulung yang diam dalam rumah itu hilang. Serusak dan segembel apapun kita, selalu ada kasih yang memulihkan, sebab Allah datang untuk mencari yang hilang, yang berdosa, bukan yang merasa suci. Itulah substansi Paskah, sebuah substansi tentang anugerah.

***
Serpong, 15 Apr 2019
Titus J.

Saturday, April 13, 2019

Menunggu Pulang


Pra-Paskah 2019 - hari#33
(The Prodigal Son - Part 1)
Anak bungsu itu sudah lama menunggu ayahnya keluar dari kamarnya. Karena tak sabar ia pun mengetuk pintu.

"Aku minta warisanku sekarang, Ayah," kata anak bungsu itu. Betapa sebuah permintaan yang kurang ajar. Tersirat ia berharap ayahnya untuk lekas berpulang. Ayahnya hanya membatin dengan nelangsa, tetapi karena cintanya maka ia pun masuk ke kamar, membuka brankas, lalu menyerahkan setengah dari kekayaannya kepada anaknya yang menunggu di depan pintu kamarnya dengan mata terbelalak.

Tanpa bicara apa-apa anak itu merenggut sekarung uang itu, lalu pergi tanpa pamit. Ia menuju kota besar dan mengejar kenikmatan dengan banyak wanita, hingga suatu hari ketika ia merogoh karung uangnya, ia hanya menangkap angin. Ia membalik karung itu dan mengibaskannya, tetapi hanya debu yang tersisa.

Di kota yang ramai itu ia pun menggelandang. Usus perutnya yang terbiasa dengan makanan mewah mulai meremas-remas lambungnya. Ia mengemis kepada pemilik peternakan babi, tetapi bahkan ampas yang menjadi sisa makanan babi pun tak boleh ia cicipi untuk meredakan laparnya.

Maka teringatlah ia akan ayahnya. Teringatlah ia bagaimana mata ayahnya menatapnya dengan sendu ketika melepasnya pergi. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil. Batinnya bergolak antara pulang atau tidak. Tetapi tatapan mata ayahnya seakan memanggilnya.

Di teras rumahnya itu ayahnya setiap hari menunggu. "Ia tak kan kembali," kata para tetangganya. Tetapi ayahnya bergeming. Hingga suatu sore ia melihat seseorang berjalan terseok-seok, berpakaian gembel, tetapi dari jauh ayahnya sudah mengenalinya. Ayah yang sudah tua itu berlari menjemputnya untuk menumpahkan kerinduannya.

"Ampunilah aku, Ayah, aku sudah durhaka...," katanya tersedu-sedu. "Sudahlah, anakku," kata ayahnya sambil memeluknya, tak peduli bau gembel menyengat. "Aku tak layak menjadi anakmu, Ayah," katanya dengan tangis lebih keras. "Kau tetap anakku apapun keadaanmu," ayahnya menyapu air mata anaknya.

Pelukan yang mengalahkan kedurhakaan. Kasih yang menutupi dosa. Itulah substansi Paskah, sebuah substansi yang menggerakkan-Nya memikul salib menuju Golgota.

***
Serpong, 12 Apr 2019
Titus J.

Wednesday, April 10, 2019

Memetik Rejeki


Dalam setiap kesempatan saya naik transportasi online, baik ketika saya beredar di Jakarta maupun dari rumah menuju stasiun kereta dan sebaliknya, di dalam mobil saya sering mengajak ngobrol sopirnya.

Walaupun ngobrolnya "ngalor-ngidul", dua hal yang selalu saya tanyakan adalah dimana sopir itu tinggal, dan bagaimana order hari itu.

Soal tempat tinggal ini sering mengejutkan saya. Ada sopir yang berasal dari Purwakarta. Sopir ini cuma pulang ke Purwakarta seminggu sekali, dan selama beredar di Jakarta, malam hari ia tidur di dalam mobil. Kalau mandi ia mencari toilet umum. Dari sini saja kita mengerti betapa hebat perjuangannya untuk memetik rejekinya.

Pernah juga sopir saya adalah seorang wanita, berjilbab. Ia mulai meng-on-kan aplikasinya jam 7 pagi, setelah ia antarkan anaknya ke sekolah. "Saya cuma sampai jam 1 siang aja Pak," katanya. "Kok nggak sampai sore Bu?" tanya saya. Ibu ini lalu menjelaskan bahwa ia harus menjemput anaknya dari sekolah, setelah itu pulang, memasak, dan menemani anaknya belajar.

Suatu hari saya harus berangkat ke bandara jam 3 dini hari untuk mengejar penerbangan pertama. Saya tanya ke sopirnya kok pagi buta begini sudah on. "Saya sengaja 'ngalong' Pak, sebab nggak suka macet," jawabnya. Jadilah ia seperti kalong (kelelawar) yang melek malam hari dan tidur siang hari.

Masih banyak cerita soal sopir-sopir online itu. "Bagaimana order hari ini Pak? Ramai?" tanya saya. "Alhamdullillah Pak, ada aja," jawabnya. "Asal kita rajin, order nggak kurang Pak," jawab sopir yang lain. Saya ikut senang mendengar jawaban mereka.

Ada juga sopir yang mengeluh sepanjang perjalanan, tapi jumlahnya sedikit. Kira-kira dari sepuluh sopir, paling hanya dua. Saya lalu membandingkan dengan sopir Purwakarta itu, Ibu berjilbab itu, atau si kalong itu.

Hidup memang perjuangan, tetapi asyik. Tuhan selalu ingat kepada mereka yang mau berjuang, bukan yang suka mengeluh dan menyalahkan keadaan. Ia sudah menyediakan rejeki di sepanjang jalan kehidupan, tinggal apakah kita mau memetiknya dengan rajin, atau membiarkan rejeki dipatok ayam.

***
Serpong, 9 Apr 2019
Titus J.

Saturday, April 6, 2019

Hanya Satu Yang Kembali


Pra-Paskah 2019 - hari#28

Desa di perbatasan Samaria dan Galilea itu begitu terpencil. Di sanalah sepuluh orang kusta itu hidup dalam kesepian dan tak punya harapan. Mereka harus tetap disana, dilarang bergaul dengan manusia, terkucil, dan digerogoti kusta yang tak berhenti memakan tubuh mereka. Sampai suatu hari ada kabar sampai di telinga mereka, bahwa Yesus akan lewat. Tetapi kapan?

Akhirnya hari yang dinantikan itu tiba. Kesepuluh orang kusta itu nekat keluar ke jalanan. Ketika Yesus dan rombongannya lewat, dari jauh mereka berseru: "Yesus! Kasihanilah kami!"

Yesus memperlambat langkah-Nya, "Perlihatkanlah dirimu kepada imam!" Hanya itu perintah-Nya, sebuah perintah yang aneh. Harusnya mereka ada tanda-tanda sembuh (tahir) dulu, baru datang kepada imam untuk diperiksa, sebab hanya imamlah yang berwenang untuk "mengesahkan" kesembuhan seorang kusta.

Mereka pun saling berpandangan, yang satu berbisik kepada sebelahnya. "Mengapa Ia tak menjamah kita terlebih dulu?" Tapi mereka taat. Mereka pergi dalam keadaan masih najis. Tak ada ruginya pergi kepada imam. Paling-paling kena damprat seandainya kusta itu masih sangat jelas terlihat. Tak masalah, mereka sudah biasa diusir orang.

Ajaib. Sementara mereka berjalan, kusta yang menjijikkan itu lenyap, kulit mereka berubah selembut kulit bayi. Mereka saling berpelukan. Ada yang menangis haru, ada yang melompat girang.

Tetapi, di sela tangis bercampur tawa itu, salah seorang berkata kepada yang sembilan, "Kita harus mengejar Yesus ke arah Yerusalem." Tetapi mereka menggeleng, "Ngapain lagi? Kita sudah sembuh." Lalu mereka lari berpencaran menuju rumah masing-masing.

Tetapi yang satu itu berbalik. Ia mengejar Yesus lalu tersungkur di kaki-Nya. Dengan tangis haru ia mengucapkan terimakasih, lalu mencium kaki-Nya sehormat-hormatnya. Yesus memandangnya kagum. "Hanya satu orang inikah yang kembali? Dimana yang sembilan lainnya?" tanya-Nya heran. "Pulanglah, imanmu telah menyelamatkanmu," kata Yesus kepadanya.

Betapa cuma sedikit, satu dari sepuluh, yang mencari dan menemukan hal terpenting dalam kehidupan.

***
Serpong, 6 Apr 2019
Titus J.

Wednesday, April 3, 2019

Graceful Grace

Grace Natalie ini bukan perempuan biasa. Pertama, di usia yang semuda itu, ia - lahir 1982 - mampu mendirikan partai politik (PSI). Kedua, ia adalah seorang keturunan Tionghoa dan Kristen. Orang bilang ia punya status dobel minoritas. Banyak orang berbisik, status Grace ini bakal jadi batu sandungan baginya di dunia politik. Ini Indonesia, bro & sis!

Tapi justru itu point-nya. Ia berani membuktikan bahwa minoritas itu hanya soal mindset, tidak perlu merasa inferior. Bukankah minoritas yang berkontribusi lebih berguna daripada mereka yang tidak berbuat apa-apa?

PSI mengukir 'partainya anak muda' sebagai identitas. Ini terobosan cerdas. Selama ini anak-anak muda cenderung apatis bahkan anti berpolitik. Dalam pikiran mereka politik terlalu kotor, dan sudah banyak makan korban. Tetapi Grace berhasil mengubah stigma. PSI membawa wajah baru politik. Maka disana berkumpullah anak-anak muda cerdas, beragam dan penuh idealisme.

Mendengar Grace berpidato, wawancara, talk show, kita melihat anak muda dengan pikiran yang jernih dan otak yang cerdas. Politisi-politisi lain berani bicara dan berdebat tetapi kepalanya kosong.

Mungkin bagi partai-partai "tua" yang sudah mapan, PSI hanya dipandang sebelah mata, dianggap penggembira belaka. Terserah. Tapi kenyataannya hanya PSI yang berani teriak lantang untuk melawan intoleransi. Hanya PSI yang berani menolak poligami. Hanya PSI yang melakukan seleksi caleg dengan transparan, agar partainya diisi oleh caleg berkualitas dan berintegritas. Orang-orang seperti ini layak kita dukung, sebab mereka memberikan harapan. Kita ingin mereka mengisi kursi-kursi di Senayan.

"PSI punya 2 fokus perjuangan, yaitu melawan intoleransi dan korupsi," kata Grace. Jujur saya miris dengan keberanian Grace, sebab panggung politik di Indonesia begitu keras. Di luar sana banyak serigala buas. Tetapi ia telah memilih jalan, sebuah jalan yang sempit, yang tidak banyak orang berani menempuhnya.

"Never be afraid to stand with the minority when the minority is right, for the minority which is right will one day be the majority" - William Jennings Bryan

***
Serpong, 3 Apr 2019
Titus J.

Monday, April 1, 2019

Belum 100


Pra-Paskah 2019 - hari#23

Betapa salehnya anak muda yang datang berlari-lari itu kepada Yesus. Ia bukan hanya saleh, tetapi juga kaya-raya. Sudah saleh dan kaya-raya, ia pun berjiwa mulia. Kurang apa?


Karena kemuliaan jiwanya itu ia tahu tata-krama.  Ia memanggil Yesus dengan sebutan 'Guru', lalu bersujud di kaki-Nya sebagai tanda respeknya kepada Yesus.

Anak muda itu tentu berasal dari keluarga yang religius, yang setiap hari belajar kitab suci. Mungkin ia masih berumur 20-25an tahun. Tetapi sungguh istimewa, di usia semuda itu ia sudah menanyakan soal hidup kekal, sebuah topik yang tidak menarik bagi anak-anak muda karena merupakan masa yang masih jauh.

"Soal hidup kekal, hmm.. kau tentu tahu perintah Allah yang tertulis itu, bukan?" tanya Yesus. "Oh, semuanya itu telah aku lakukan, Guru," jawabnya dengan mata berbinar sambil memainkan jari-jarinya seperti menghitung: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzinah, hormatilah ayah-ibumu...

Yesus tersenyum dan menatap matanya dengan penuh kasih. Anak muda itu seperti murid yang berharap gurunya memberikan nilai 100, sempurna. "Great! Hanya satu kekuranganmu," kata Yesus. Anak muda itu terpana. "Juallah seluruh hartamu, bagikanlah kepada orang-orang miskin, lalu ikutlah Aku," kata Yesus lagi.

Dan tiba-tiba senyap. Orang-orang yang berkerumun sambil menguping itu terkesiap. Raut muka anak muda itu terlihat kecewa. "Tak cukupkah kesalehanku dan amalku? Oh, seandainya aku tak bertanya soal ini kepada-Nya," begitu mungkin yang dipikirkannya. Ia benar-benar tidak menyangka mendengar jawaban Yesus.

Betapa banyak orang yang bangga karena sudah menjalankan perintah agamanya, tetapi benarkah mereka mencintai Tuhan lebih daripada semua miliknya?

Anak muda itu pergi untuk mencari jawaban lain soal hidup kekal, kemanapun, kepada siapapun, ia akan terus mencari sampai menemukan jawaban sesuai dengan keinginannya, asal tak harus berpisah dengan hartanya.

Yesus memandang punggungnya dari jauh dengan rasa iba. Ia tak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti-Nya. Ia hanya pernah berpesan, "Dimana hartamu berada, disitulah hatimu berada."

***
Serpong, 1 Apr 2019
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...