Saturday, June 24, 2017

Foto mantan terindah di Balai Kota

The real man smiles in trouble, gathers strength from distress, and grows brave by reflection. (Thomas Paine)

Sejak 21 Juni yang lalu, di salah satu ruangan di Balai Kota, terpajang lukisan foto Ahok, berdampingan dengan lukisan foto Jokowi, di bawah deretan lukisan foto para mantan Gubernur DKI Jakarta lainnya.

Ahok memilih sendiri foto tersebut. Tidak begitu jelas mengapa Ahok memilih foto itu untuk dilukis dan dipajang di Balai Kota. Ketika ditanya oleh Djarot – mantan wakilnya – foto mana yang akan dipajang, Ahok hanya menjawab, “Ya foto itu mas..”

Mungkin ia begitu bangga dengan seragam dinasnya itu, seragam yang menunjukkan semangatnya untuk bekerja keras dan melayani warganya. Seragam itu bukan untuk gaya-gayaan, tapi pakaian kerja yang praktis dan merupakan simbol apa adanya. Begitu seragamnya, begitu penampilannya, begitu pula isi hati yang mengenakannya. Sungguh biasa dan apa adanya. Seragam itu memberi banyak kesan dan arti bagi siapapun yang menghargainya selama ia memimpin Jakarta dalam waktu yang begitu sebentar.

Pada lukisan foto Ahok di Balai Kota itu, mata Ahok menatap lurus ke depan seolah sedang menatap siapapun yang sedang berdiri di depan lukisan foto tersebut. Dari sudut manapun kita berdiri, akan selalu berhadapan dengan tatapan matanya. Mungkin nanti para pejabat yang berkantor di Balai Kota itu akan merasa malu jika tidak bekerja dengan benar, apalagi jika korupsi, sebab tatapan mata Ahok pada lukisan foto itu seperti sedang mengawasi.

Jika dibandingkan dengan foto para mantan Gubernur lainnya yang sama-sama terpajang, foto Ahok dengan seragam dinasnya itu memang tampak paling bersahaja. Pada bagian bawah lukisan foto tersebut, tertulis ‘IR. BASUKI TJAHAJA PURNAMA, M.M.’, lalu di bawahnya tertulis ‘2014 – 2017’. Dalam foto itu, Ahok berkaca mata frameless. dan bibirnya, tersenyum.

Senyum itu sebenarnya senyum biasa-biasa saja, itu senyum khasnya seperti yang biasa kita lihat di TV atau di koran atau di media online. Tetapi, oleh karena senyumnya itu para netizen membanjirinya dengan komentar:

“I miss you Pak Ahok.”
“I love you Pak…”
“Kangen suaramu, kangen banyolanmu Pak.” (banyolan = candaan lucu – bahasa Jawa)
“Fotomu terpajang di tembok Balai Kota, tapi dikau terpajang di hatiku selalu..”
 “Gua kagak semangat ngikutin berita soal Jakarta lagi nih…Jakarta udah kagak ada menariknya karena kagak ada Pak Ahok..”
“Sedihhh liat fotonya…”
“Ohh.. mantan terindah..”

Dan masih ada ribuan komentar lainnya yang diposting oleh mereka yang merasa kehilangan. Komentar-komentar itu mengungkapkan kerinduan seolah seperti orang yang ditinggal pergi pacarnya saat hubungan sedang mesra-mesranya. Sang pacar tak pernah memberi kabar berita, telepon tak pernah, suratpun tak ada. Padahal, Ahok tidak pergi ke seberang lautan ke negeri yang jauh. Ia hanya “singgah” beberapa kilometer saja dari Jakarta, tetapi karena kabar tentangnya tak pernah lagi menghiasi koran dan media online, ia seperti lenyap ditelan bumi.  Ketiadaan kabar berita tentang seseorang yang kita cintai akan membuat hati selalu merindu. Ungkapan dengan bahasa yang ditulis oleh para netizen itu sebagian ada yang serius dan sebagian lainnya disampaikan dengan gaya humor dan kocak. Tetapi walaupun disampaikan dengan gaya yang kocak, tetap saja tersirat sebuah rasa kehilangan. Mereka semua benar-benar kangen kepada Ahok.

Jakarta hari-hari ini memang terasa sepi. Seminggu yang lalu saya membawa keluarga jalan-jalan ‘city tour’ Jakarta, kepengin naik bis gratis. Sehari sebelumnya saya sudah pamer kepada anak-anak saya tentang bis double-decker yang menawan itu. “Kita besok mau keliling Jakarta naik ‘bis tingkat’,” kata saya kepada anak-anak saya. Maka gemuruhlah suara anak-anak saya menyambut. Dan keesokan harinya, kami menuju Balai Kota dan menunggu di halte bis. Sekitar 45 menit kemudian, bis tingkat yang gagah itu tiba. Benar, bis itu begitu indah, bersih dan nyaman. Sekitar satu jam kemudian, kami tiba di RPTRA Kalijodo. “Inikah daerah lampu merah yang sangat fenomenal itu dulunya?” tanya saya di dalam hati.

Dulu orang-orang “suci” itu selalu berteriak anti kemaksiatan, tapi nyatanya menutup mata dan mendiamkan Kalijodo yang selama ini menjadi tempat pelacuran. Sudah ratusan tahun Kalijodo tertidur lelap, lalu datanglah Ahok membangunkan dan meramaikannya. Ini cuma satu contoh saja, ada banyak persoalan yang membuat Jakarta menarik untuk selalu diikuti karena ada Ahok. Maka tak heran, para netizen itu sekarang merasa Jakarta tidak menarik lagi karena tidak ada Ahok yang gerak-langkahnya selalu bikin berita.

Lukisan foto Ahok di Balai Kota dengan senyumnya itu, seperti mempunyai beribu arti. Bagi mereka yang mencintainya, senyum itu menjadi pengobat rindu tetapi juga sekaligus meremas hati, sebab untuk waktu dua tahun ini mereka tak bisa bertemu. Bagi para haters-nya, senyum Ahok itu mungkin untuk menyampaikan pesan bahwa ia tetap happy. Tubuhnya memang terkurung, tetapi jiwanya begitu bebas. Harapannya selalu hidup dan tersimpan bersama hari-harinya di dalam penjara. Inilah yang disaksikan oleh mereka yang pernah menjenguknya di penjara. Arti senyum itu akan terungkap bila waktunya tiba kelak.

Kita memang harus menunggu, karena waktu dua tahun ini adalah milik Tuhan untuk  membentuk kembali tanah liat di tangan-Nya. Cara Tuhan membentuk orang yang dikasihi-Nya memang sering tidak menggunakan cara-cara yang wajar. Dia seperti menaruh kaki-Nya di kepala Ahok, lalu menginjaknya, melumatkannya, kemudian membentuknya kembali. Untungnya Ahok tidak meronta, dan benar-benar menundukkan kepalanya.

Mungkin dalam dialog-Nya dengan Ahok sebelumnya, Tuhan mengatakan (dalam bahasa Jakarta), “Hok, Gua pengin elu diadili, divonis, dan dipenjara. Gua kagak mau elu lari jadi buronan. Elu kudu jalanin masuk bui. Elu nge-claim rajin baca kitab suci tiap hari, rajin berdoa dan pergi ibadah ke gereja. Seluruh rakyat udah tau rutinitas elu kayak gitu. Jadi jangan permaluin Nama Gua dengan kagak taat ama hukum apalagi jadi buronan. Ngerti kagak elu???

Maka terjadilah semua rentetan kisah Ahok hingga masuk penjara itu. Ia dan keluarganya mengerti bahwa hidup Ahok bukan miliknya sendiri. Mereka mempercayakan kepada Sang Pembentuk tanah liat itu. “You don’t give God authority over your life. He has it, totally,” kata John Piper. Pesan inilah yang dipegang teguh oleh Ahok dan keluarganya.

Andai ku bisa ingin aku memelukmu lagi
Di hati ini hanya engkau mantan terindah
Yang selalu kurindukan

Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau disana aku disini
Meski hatiku memilihmu

(Mantan Terindah – Raisa)

***
Serpong, 24 Jun 2017
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...