The real man smiles
in trouble, gathers strength from distress, and grows brave by reflection.
(Thomas
Paine)
Sejak 21 Juni
yang lalu, di salah satu ruangan di Balai Kota, terpajang lukisan foto Ahok,
berdampingan dengan lukisan foto Jokowi, di bawah deretan lukisan foto para
mantan Gubernur DKI Jakarta lainnya.
Ahok memilih sendiri
foto tersebut. Tidak begitu jelas mengapa Ahok memilih foto itu untuk dilukis
dan dipajang di Balai Kota. Ketika ditanya oleh Djarot – mantan wakilnya – foto
mana yang akan dipajang, Ahok hanya menjawab, “Ya foto itu mas..”
Mungkin ia
begitu bangga dengan seragam dinasnya itu, seragam yang menunjukkan semangatnya
untuk bekerja keras dan melayani warganya. Seragam itu bukan untuk gaya-gayaan,
tapi pakaian kerja yang praktis dan merupakan simbol apa adanya. Begitu
seragamnya, begitu penampilannya, begitu pula isi hati yang mengenakannya.
Sungguh biasa dan apa adanya. Seragam itu memberi banyak kesan dan arti bagi
siapapun yang menghargainya selama ia memimpin Jakarta dalam waktu yang begitu
sebentar.
Pada lukisan
foto Ahok di Balai Kota itu, mata Ahok menatap lurus ke depan seolah sedang
menatap siapapun yang sedang berdiri di depan lukisan foto tersebut. Dari sudut
manapun kita berdiri, akan selalu berhadapan dengan tatapan matanya. Mungkin
nanti para pejabat yang berkantor di Balai Kota itu akan merasa malu jika tidak
bekerja dengan benar, apalagi jika korupsi, sebab tatapan mata Ahok pada
lukisan foto itu seperti sedang mengawasi.
Jika
dibandingkan dengan foto para mantan Gubernur lainnya yang sama-sama terpajang,
foto Ahok dengan seragam dinasnya itu memang tampak paling bersahaja. Pada
bagian bawah lukisan foto tersebut, tertulis ‘IR. BASUKI TJAHAJA PURNAMA, M.M.’,
lalu di bawahnya tertulis ‘2014 – 2017’. Dalam foto itu, Ahok berkaca mata frameless. dan bibirnya, tersenyum.
Senyum itu
sebenarnya senyum biasa-biasa saja, itu senyum khasnya seperti yang biasa kita
lihat di TV atau di koran atau di media online. Tetapi, oleh karena senyumnya
itu para netizen membanjirinya dengan komentar:
“I miss
you Pak Ahok.”
“I love
you Pak…”
“Kangen
suaramu, kangen banyolanmu Pak.” (banyolan = candaan lucu – bahasa Jawa)
“Fotomu
terpajang di tembok Balai Kota, tapi dikau terpajang di hatiku selalu..”
“Gua kagak semangat ngikutin berita soal Jakarta
lagi nih…Jakarta udah kagak ada menariknya karena kagak ada Pak Ahok..”
“Sedihhh
liat fotonya…”
“Ohh..
mantan terindah..”
Dan masih ada
ribuan komentar lainnya yang diposting oleh mereka yang merasa kehilangan. Komentar-komentar
itu mengungkapkan kerinduan seolah seperti orang yang ditinggal pergi pacarnya
saat hubungan sedang mesra-mesranya. Sang pacar tak pernah memberi kabar
berita, telepon tak pernah, suratpun tak ada. Padahal, Ahok tidak pergi ke
seberang lautan ke negeri yang jauh. Ia hanya “singgah” beberapa kilometer saja
dari Jakarta, tetapi karena kabar tentangnya tak pernah lagi menghiasi koran
dan media online, ia seperti lenyap ditelan bumi. Ketiadaan kabar berita tentang seseorang yang
kita cintai akan membuat hati selalu merindu. Ungkapan dengan bahasa yang
ditulis oleh para netizen itu sebagian ada yang serius dan sebagian lainnya
disampaikan dengan gaya humor dan kocak. Tetapi walaupun disampaikan dengan
gaya yang kocak, tetap saja tersirat sebuah rasa kehilangan. Mereka semua
benar-benar kangen kepada Ahok.
Jakarta
hari-hari ini memang terasa sepi. Seminggu yang lalu saya membawa keluarga
jalan-jalan ‘city tour’ Jakarta, kepengin naik bis gratis. Sehari sebelumnya
saya sudah pamer kepada anak-anak saya tentang bis double-decker yang menawan itu. “Kita besok mau keliling Jakarta
naik ‘bis tingkat’,” kata saya kepada anak-anak saya. Maka gemuruhlah suara
anak-anak saya menyambut. Dan keesokan harinya, kami menuju Balai Kota dan
menunggu di halte bis. Sekitar 45 menit kemudian, bis tingkat yang gagah itu
tiba. Benar, bis itu begitu indah, bersih dan nyaman. Sekitar satu jam
kemudian, kami tiba di RPTRA Kalijodo. “Inikah daerah lampu merah yang sangat
fenomenal itu dulunya?” tanya saya di dalam hati.
Dulu
orang-orang “suci” itu selalu berteriak anti kemaksiatan, tapi nyatanya menutup
mata dan mendiamkan Kalijodo yang selama ini menjadi tempat pelacuran. Sudah
ratusan tahun Kalijodo tertidur lelap, lalu datanglah Ahok membangunkan dan meramaikannya.
Ini cuma satu contoh saja, ada banyak persoalan yang membuat Jakarta menarik
untuk selalu diikuti karena ada Ahok. Maka tak heran, para netizen itu sekarang
merasa Jakarta tidak menarik lagi karena tidak ada Ahok yang gerak-langkahnya
selalu bikin berita.
Lukisan foto
Ahok di Balai Kota dengan senyumnya itu, seperti mempunyai beribu arti. Bagi
mereka yang mencintainya, senyum itu menjadi pengobat rindu tetapi juga
sekaligus meremas hati, sebab untuk waktu dua tahun ini mereka tak bisa bertemu.
Bagi para haters-nya, senyum Ahok itu
mungkin untuk menyampaikan pesan bahwa ia tetap happy. Tubuhnya memang terkurung, tetapi jiwanya begitu bebas.
Harapannya selalu hidup dan tersimpan bersama hari-harinya di dalam penjara.
Inilah yang disaksikan oleh mereka yang pernah menjenguknya di penjara. Arti
senyum itu akan terungkap bila waktunya tiba kelak.
Kita memang
harus menunggu, karena waktu dua tahun ini adalah milik Tuhan untuk membentuk kembali tanah liat di tangan-Nya.
Cara Tuhan membentuk orang yang dikasihi-Nya memang sering tidak menggunakan
cara-cara yang wajar. Dia seperti menaruh kaki-Nya di kepala Ahok, lalu
menginjaknya, melumatkannya, kemudian membentuknya kembali. Untungnya Ahok
tidak meronta, dan benar-benar menundukkan kepalanya.
Mungkin dalam
dialog-Nya dengan Ahok sebelumnya, Tuhan mengatakan (dalam bahasa Jakarta), “Hok, Gua pengin elu diadili, divonis, dan
dipenjara. Gua kagak mau elu lari jadi buronan. Elu kudu jalanin masuk bui. Elu
nge-claim rajin baca kitab suci tiap hari, rajin berdoa dan pergi ibadah ke gereja.
Seluruh rakyat udah tau rutinitas elu kayak gitu. Jadi jangan permaluin Nama
Gua dengan kagak taat ama hukum apalagi jadi buronan. Ngerti kagak elu???”
Maka
terjadilah semua rentetan kisah Ahok hingga masuk penjara itu. Ia dan
keluarganya mengerti bahwa hidup Ahok bukan miliknya sendiri. Mereka
mempercayakan kepada Sang Pembentuk tanah liat itu. “You don’t give God authority over your life. He has it, totally,”
kata John Piper. Pesan inilah yang dipegang teguh oleh Ahok dan
keluarganya.
Andai ku bisa ingin aku memelukmu lagi
Di hati ini hanya engkau mantan terindah
Yang selalu kurindukan
Di hati ini hanya engkau mantan terindah
Yang selalu kurindukan
Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau disana aku disini
Meski hatiku memilihmu
Kita tak akan pernah satu
Engkau disana aku disini
Meski hatiku memilihmu
(Mantan Terindah – Raisa)
***
Serpong,
24 Jun 2017
Titus J.