Saturday, February 16, 2013

ME-RECALL CERITA “THE GOOD SAMARITAN”

Saya sungguh kagum kepada “The Good Samaritan” yang diceritakan Tuhan Yesus ketika mengajar topik mengasihi sesama manusia.
 
Pasti bukan kebetulan ketika suatu hari saya melihat 2 pengendara sepeda motor (berboncengan) sedang terguling di atas aspal tepat di depan mobil saya yang sedang melaju. Rupanya sepeda motor mereka slip karena jalanan licin penuh lumpur basah sehabis hujan. Untung saya sigap menginjak pedal rem, sebab kalau tidak, pasti mereka tergilas.

Harusnya saya lewati saja karena saat itu saya harus pergi dengan anak dan istri saya ke suatu tempat di Cibubur. Tetapi cerita tentang “The Good Samaritan” itu tiba-tiba mampir di kepala saya seolah ingin mengingatkan saya. “Masakan saya menjadi orang Lewi dan Imam yang lewat dari seberang jalan padahal melihat jelas ada orang sekarat habis dirampok?” kata saya dalam hati. Maka saya pinggirkan mobil, turun dan menghampiri 2 orang yang masih tertimpa sepeda motor itu. Saat itu saya langsung tawarkan bantuan, dan atas saran seorang satpam yang ada di situ, saya bawa 2 orang itu ke tukang pijat karena tempurung lututnya sepertinya ‘meleset’ dari engselnya.

Mobil saya harus masuk ke gang-gang sempit menuju kampung tempat tinggal tukang pijat itu. Di dalam mobil, dua orang yang habis terjatuh itu masih meringis kesakitan. Di rumah tukang pijat itu saya menunggu si pasien diurut kakinya. Dari teras rumah saya mendengar teriakan-teriakan mengaduh dan suara merintih dari dalam bilik sementara si kakek tukang pijat itu dengan tenangnya “mereparasi” tempurung lutut si pasien sambil cerita ngalor-ngidul. Setelah selesai, saya antarkan 2 orang itu mendapatkan taksi untuk pulang karena kaki yang masih terpincang-pincang itu tak mungkin bisa mengendarai sepeda motor.

Kurang-lebih 2 jam saya habiskan waktu. Untung istri dan anak saya penuh pengertian. Berbuat baik ternyata butuh support orang-orang terdekat, sebab andaikan istri saya mengomel, tentu batallah niat untuk menjadi ‘The Good Samaritan’ itu.

Tapi itu soal kecil. Saya tak perlu bermegah. Tetapi rasa sejahtera memang benar merasuk ke dalam hati setelah kejadian itu, walaupun saya dan 2 orang yang terjatuh itu tak saling kenal. Sekarangpun saya juga sudah lupa wajah mereka.

Mengasihi orang yang tak kita kenal mungkin lebih mudah daripada mengasihi yang membenci kita. Tetapi Tuhan Yesus mengajarkan soal ini ketika Ia mengatakan: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang membenci kamu”.

 
Pada suatu siang di kantor saya, kejadian itu muncul. Orang itu tiba-tiba menegur saya dengan sinis, lalu bicara menyatakan ketidak-senangannya ketika saya mengajak diskusi bawahannya soal suatu project yang sedang saya tangani. Dengan nada pelan dan datar saya berikan penjelasan kepadanya. Saya berniat menjadi orang yang sabar, walau terkadang gagal.

Hari-hari berikutnya, seperti dugaan saya, orang itu tidak pernah bersikap ramah kepada saya. Ia sering mempertanyakan apa yang saya kerjakan, lebih tepatnya mempersulit dengan hal-hal yang tidak perlu. Saya belum mengerti benar mengapa orang ini seolah-olah melihat saya sebagai musuh dan bukan partner kerja. Ah, biasa. Soal seperti ini bukan yang pertama saya alami. Saya beberapa kali harus menghadapi “orang-orang sulit”.

Saya menenangkan diri lalu mulai berpikir bagaimana saya bisa meng-handle orang ini. Lalu teringatlah saya akan nasihat Abraham Lincoln: “The best way to destroy an enemy is to make him a friend”. Haha, maka saya tancapkan benar-benar nasihat itu di benak saya. Hari-hari berikutnya saya sering mendatangi orang itu di mejanya, mengajak ngobrol, menanyakan soal rumah tempat tinggalnya, menanyakan anak-anaknya yang fotonya terpajang di meja kerjanya, dan sebagainya. Memang ia masih sinis, wajahnya menunjukkan tidak suka. Biarlah, saya toh tidak rugi apa-apa. Saya menunggu dari hari ke minggu, dan dari minggu ke bulan, dengan senantiasa menganggapnya sebagai teman. Waktu memang memproses karakter seseorang.

Ajaib, orang itu sekarang bersikap baik sekali kepada saya, lalu sering mengajak bergurau. Soal pekerjaanpun ia memberikan support.

“Orang-orang sulit” selalu ada dimana saja, bahkan di gerejapun kita sering menjumpainya. Hmm…benar, di gereja juga ada orang-orang yang tergolong sulit untuk diajak berdiskusi secara terbuka dengan cara dewasa. Banyak orang ketika berdiskusi tentang sebuah persoalan memakai cara kanak-kanak, memasang blokade dan bersikap defensive. Mereka berangkat ke ruang rapat dengan mengibarkan bendera bertuliskan “I am right, you are wrong”.

 
Haruskah kita mengasihi mereka?

Betapa tidak mudahnya mengasihi. Namun justru inilah saripati kehidupan orang Kristen, sebab Yesuspun menyarikan seluruh ajaran Kitab Suci ke dalam hukum kasih, yaitu perintah mengasihi sesama.
 
Hukum kasih yang luar biasa itu hanya ada di ajaran Kristen, dimana secara esensi sungguh tidak gampang untuk menjalaninya. Tetapi banyak orang menganggap agama Kristen adalah agama yang mudah. Bayangkan, soal ibadah misalnya: Kita cukup datang ke gereja, lalu duduk. Kadang-kadang kita (boleh) terlambat, atau sengaja terlambat agar tidak perlu berlama-lama di dalam gereja. Soal berdoa apa lagi, kita bisa berdoa dengan sikap seenaknya, sambil duduk bersandar, kadang-kadang berbaring jika tubuh lelah sekali, dan sambil berdoa kitapun boleh sekali-sekali menguap. Kita boleh berdoa ngomong apa saja, seperti anak yang ngomong dengan bapaknya, tanpa takut atau sungkan. Kita boleh menyampaikan isi hati kita sebebas-bebasnya, karena Dia adalah Bapa yang baik. Saking baiknya menurut anggapan kita, kita bisa ngobrol ngalor-ngidul seperti kalau kita sedang nongkrong di warung kopi dengan teman kita. Ada pendeta yang merasa amat yakin akan keintimannya dengan Tuhan, sehingga ketika berkhotbah sering menceritakan dialog-dialognya dengan Tuhan setiap pagi di teras rumahnya dengan ditemani sepotong pisang goreng dan secangkir kopi.

Soal persembahan, siapa tahu? Tuhanpun kita anggap tidak tahu apa yang kita persembahkan, karena mata Tuhan di atas sana terlalu jauh dari kantong persembahan, apalagi jika cuaca sedang mendung tebal sehingga menghalangi pandangan-Nya untuk melihat kantong persembahan yang disodorkan oleh petugas kolektan. 

Agama Kristen begitu mudahnya, tak banyak syarat dan aturan yang harus dilakukan, bahkan jangan-jangan tak ada tata-tertibnya sama sekali. Very loose…karena kita yakin akan kehidupan kita yang ‘only by the grace’ ini. Tidak seperti agama-agama lain, yang harus bersusah-payah menjalankan aturan agamanya karena takut berdosa dan tidak mendapat pahala dan masuk Surga. Sebagai orang Kristen, kita terlalu bangga sebagai anak Raja, sehingga kita tidak mau susah sedikitpun. Adakah anak raja yang susah? demikian pemikiran kita. Jika kita berdosa, kita boleh minta ampun dengan mudahnya, karena seperti seorang bapak, tentu Dia dengan murah hati akan mengampuni anak-Nya, bukan? Selekas pengampunan yang kita dapatkan maka lekas pula kita lupa lalu berbuat dosa lagi.

Benarkah semudah dan seenak itu pengalaman menjadi orang Kristen? Benarkah perintah Tuhan begitu gampang untuk kita jalankan? Yesus sendiri mengatakan:Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes 13:34-35) 

Pernahkah kita renungkan benar-benar apa makna perintah Tuhan Yesus itu? Apa yang dikatakan-Nya adalah perintah tersulit. Dengan kata lain, secara straight forward, apa yang dikatakan oleh Yesus adalah, kalau kita tidak bisa saling mengasihi, tidak usah menjadi murid-Nya, tidak usah menjadi orang Kristen. Mengapa? Sebab ini adalah remark, ini tanda atau cap yang harus kita kenakan. Dengan apa lagi orang Kristen dikenali? Dengan banyak beramal? Agama yang lain juga mengajarkan soal amal, bahkan lebih ‘royal’ memberikan hartanya ketimbang orang Kristen yang (mungkin) lebih pelit. Dengan rela berkorban sampai rela mati untuk membela Tuhan? Para pengebom bunuh diri sudah melakukannya. Tuhan tidak butuh dibela. Ia hanya meminta kita hidup saling mengasihi. Mengapa kita berpikir sedemikian jauh namun lupa bahwa kasih adalah perintah utama-Nya? “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku,” kata Rasul Paulus. 

Mungkin sebagian dari kita bertanya, apa sulitnya mengasihi? Aku sudah melakukannya. Kepada siapa? Apakah kepada orang yang berbuat baik kepada kita saja? Atau kepada kaum dan golongan kita saja? Jika kasih yang kita wujudkan masih seperti ini, maka kasih seperti ini masih bertaraf rendah. Apa bedanya dengan orang yang tidak mengenal Tuhan? 

Betapa sederhananya cerita tentang ‘The Good Samaritan’ itu. Yesus memberikan contoh yang dekat dengan kehidupan kita. Dia tak pernah memberikan cerita yang muluk-muluk, fantastis dan spektakuler yang membuat decak kagum ketika kita mendengarnya. Bukankah banyak orang-orang di sekeliling kita yang nasibnya persis seperti orang yang turun ke Yerikho dan kena rampok sampai sekarat itu? Tetapi berapa banyak kita yang rela bersikap seperti ‘The Good Samaritan’ itu? 

Banyak orang berusaha melakukan perkara besar untuk menunjukkan kepedulian mereka kepada dunia, namun tak pernah mau mengingat tetangga rumahnya yang sedang membutuhkan uang untuk membayar sekolah anaknya. Banyak orang bercita-cita jadi orang besar dan berbuat hal besar untuk menyelamatkan dunia, tetapi mereka tak punya waktu untuk menengok temannya yang sedang tergolek di rumah sakit. Dan banyak orang yang menunjukkan devotion-nya kepada Tuhan dengan dedikasi pelayanannya yang luar biasa, tetapi tak pernah mengajak ngobrol orang-tuanya yang kesepian. Jesus said love one another. He didn't say love the whole world,” kata Mother Teresa. 

Apakah kita merasa menjadi orang penting setelah kita bisa mendamaikan 2 negara yang tengah berperang? Apakah kita merasa menjadi orang yang beriman setelah kita mendoakan ribuan orang sakit dan mereka semua sembuh? Apakah kita merasa menjadi orang yang berhikmat setelah kita berhasil memotivasi orang yang putus asa kemudian orang tersebut kembali mendapatkan semangatnya? Tentu tidaklah keliru jika kita dapat melakukan semua itu, namun motivasi apapun selain kasih hanya akan menambah rasa malu kita, karena Rasul Paulus mengatakan: “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (1 Kor 13:2)  

Betapa sulitnya mengasihi, namun justru kasih adalah grade tertinggi dalam kehidupan orang Kristen. Inilah yang diperintahkan Tuhan Yesus: lakukanlah grade tertinggi dalam hidup, secara sederhana dan dekat dengan kehidupan kita, tidak perlu yang fantastis. 

***

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13:13)

Serpong, Mar 2013
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...