Saya sungguh kagum kepada “The Good Samaritan” yang diceritakan Tuhan
Yesus ketika mengajar topik mengasihi sesama manusia.
Pasti bukan kebetulan ketika suatu hari saya melihat 2 pengendara sepeda
motor (berboncengan) sedang terguling di atas aspal tepat di depan mobil saya
yang sedang melaju. Rupanya sepeda motor mereka slip karena jalanan licin penuh
lumpur basah sehabis hujan. Untung saya sigap menginjak pedal rem, sebab kalau
tidak, pasti mereka tergilas.
Harusnya saya lewati saja karena saat itu saya harus pergi dengan anak
dan istri saya ke suatu tempat di Cibubur. Tetapi cerita tentang “The Good
Samaritan” itu tiba-tiba mampir di kepala saya seolah ingin mengingatkan saya.
“Masakan saya menjadi orang Lewi dan Imam yang lewat dari seberang jalan
padahal melihat jelas ada orang sekarat habis dirampok?” kata saya dalam hati.
Maka saya pinggirkan mobil, turun dan menghampiri 2 orang yang masih tertimpa
sepeda motor itu. Saat itu saya langsung tawarkan bantuan, dan atas saran
seorang satpam yang ada di situ, saya bawa 2 orang itu ke tukang pijat karena
tempurung lututnya sepertinya ‘meleset’ dari engselnya.
Mobil saya harus masuk ke gang-gang sempit menuju kampung tempat tinggal
tukang pijat itu. Di dalam mobil, dua orang yang habis terjatuh itu masih
meringis kesakitan. Di rumah tukang pijat itu saya menunggu si pasien diurut
kakinya. Dari teras rumah saya mendengar teriakan-teriakan mengaduh dan suara
merintih dari dalam bilik sementara si kakek tukang pijat itu dengan tenangnya
“mereparasi” tempurung lutut si pasien sambil cerita ngalor-ngidul. Setelah selesai, saya antarkan 2 orang itu
mendapatkan taksi untuk pulang karena kaki yang masih terpincang-pincang itu
tak mungkin bisa mengendarai sepeda motor.
Kurang-lebih 2 jam saya habiskan waktu. Untung istri dan anak saya penuh
pengertian. Berbuat baik ternyata butuh support
orang-orang terdekat, sebab andaikan istri saya mengomel, tentu batallah niat
untuk menjadi ‘The Good Samaritan’ itu.
Tapi itu soal kecil. Saya tak perlu bermegah. Tetapi rasa sejahtera
memang benar merasuk ke dalam hati setelah kejadian itu, walaupun saya dan 2
orang yang terjatuh itu tak saling kenal. Sekarangpun saya juga sudah lupa
wajah mereka.
Mengasihi orang yang tak kita kenal mungkin lebih mudah daripada
mengasihi yang membenci kita. Tetapi Tuhan Yesus mengajarkan soal ini ketika Ia
mengatakan: “Kasihilah musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang membenci kamu”.
Hari-hari berikutnya, seperti dugaan saya, orang itu tidak pernah
bersikap ramah kepada saya. Ia sering mempertanyakan apa yang saya kerjakan,
lebih tepatnya mempersulit dengan hal-hal yang tidak perlu. Saya belum mengerti
benar mengapa orang ini seolah-olah melihat saya sebagai musuh dan bukan
partner kerja. Ah, biasa. Soal seperti ini bukan yang pertama saya alami. Saya
beberapa kali harus menghadapi “orang-orang sulit”.
Saya menenangkan diri lalu mulai berpikir bagaimana saya bisa meng-handle orang ini. Lalu teringatlah saya
akan nasihat Abraham Lincoln: “The best way
to destroy an enemy is to make him a friend”. Haha, maka saya tancapkan benar-benar nasihat itu
di benak saya. Hari-hari berikutnya saya sering mendatangi orang itu di
mejanya, mengajak ngobrol, menanyakan soal rumah tempat tinggalnya, menanyakan
anak-anaknya yang fotonya terpajang di meja kerjanya, dan sebagainya. Memang ia
masih sinis, wajahnya menunjukkan tidak suka. Biarlah, saya toh tidak rugi
apa-apa. Saya menunggu dari hari ke minggu, dan dari minggu ke bulan, dengan
senantiasa menganggapnya sebagai teman. Waktu memang memproses karakter
seseorang.
Ajaib, orang itu sekarang bersikap baik sekali kepada saya, lalu sering
mengajak bergurau. Soal pekerjaanpun ia memberikan support.
“Orang-orang sulit” selalu ada dimana saja, bahkan di gerejapun kita
sering menjumpainya. Hmm…benar, di gereja juga ada orang-orang yang tergolong
sulit untuk diajak berdiskusi secara terbuka dengan cara dewasa. Banyak orang
ketika berdiskusi tentang sebuah persoalan memakai cara kanak-kanak, memasang
blokade dan bersikap defensive.
Mereka berangkat ke ruang rapat dengan mengibarkan bendera bertuliskan “I am
right, you are wrong”.
Betapa tidak mudahnya mengasihi. Namun justru inilah saripati kehidupan
orang Kristen, sebab Yesuspun menyarikan seluruh ajaran Kitab Suci ke dalam
hukum kasih, yaitu perintah mengasihi sesama.
Soal persembahan, siapa tahu? Tuhanpun kita anggap tidak tahu apa yang
kita persembahkan, karena mata Tuhan di atas sana terlalu jauh dari kantong
persembahan, apalagi jika cuaca sedang mendung tebal sehingga menghalangi pandangan-Nya
untuk melihat kantong persembahan yang disodorkan oleh petugas kolektan.
Agama Kristen begitu mudahnya, tak banyak syarat dan aturan yang harus
dilakukan, bahkan jangan-jangan tak ada tata-tertibnya sama sekali. Very loose…karena kita yakin akan
kehidupan kita yang ‘only by the grace’
ini. Tidak seperti agama-agama lain, yang harus bersusah-payah menjalankan
aturan agamanya karena takut berdosa dan tidak mendapat pahala dan masuk Surga.
Sebagai orang Kristen, kita terlalu bangga sebagai anak Raja, sehingga kita
tidak mau susah sedikitpun. Adakah anak raja yang susah? demikian pemikiran
kita. Jika kita berdosa, kita boleh minta ampun dengan mudahnya, karena seperti
seorang bapak, tentu Dia dengan murah hati akan mengampuni anak-Nya, bukan?
Selekas pengampunan yang kita dapatkan maka lekas pula kita lupa lalu berbuat
dosa lagi.
Benarkah semudah dan seenak itu pengalaman menjadi orang Kristen? Benarkah
perintah Tuhan begitu gampang untuk kita jalankan? Yesus sendiri mengatakan:
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya
kamu saling mengasihi; sama
seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang
akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (Yohanes
13:34-35)
Pernahkah kita renungkan benar-benar apa makna perintah Tuhan Yesus itu?
Apa yang dikatakan-Nya adalah perintah tersulit. Dengan kata lain, secara straight forward, apa yang dikatakan
oleh Yesus adalah, kalau kita tidak bisa saling mengasihi, tidak usah menjadi
murid-Nya, tidak usah menjadi orang Kristen. Mengapa? Sebab ini adalah remark, ini tanda atau cap yang harus
kita kenakan. Dengan apa lagi orang Kristen dikenali? Dengan banyak beramal?
Agama yang lain juga mengajarkan soal amal, bahkan lebih ‘royal’ memberikan
hartanya ketimbang orang Kristen yang (mungkin) lebih pelit. Dengan rela
berkorban sampai rela mati untuk membela Tuhan? Para pengebom bunuh diri sudah
melakukannya. Tuhan tidak butuh dibela. Ia hanya meminta kita hidup saling
mengasihi. Mengapa kita berpikir sedemikian jauh namun lupa bahwa kasih adalah
perintah utama-Nya? “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu
yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tapi jika aku tidak
mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku,” kata Rasul Paulus.
Mungkin sebagian dari kita bertanya, apa sulitnya mengasihi? Aku sudah
melakukannya. Kepada siapa? Apakah kepada orang yang berbuat baik kepada kita
saja? Atau kepada kaum dan golongan kita saja? Jika kasih yang kita wujudkan
masih seperti ini, maka kasih seperti ini masih bertaraf rendah. Apa bedanya dengan
orang yang tidak mengenal Tuhan?
Betapa sederhananya cerita tentang ‘The Good Samaritan’ itu. Yesus
memberikan contoh yang dekat dengan kehidupan kita. Dia tak pernah memberikan
cerita yang muluk-muluk, fantastis dan spektakuler yang membuat decak kagum
ketika kita mendengarnya. Bukankah banyak orang-orang di sekeliling kita yang
nasibnya persis seperti orang yang turun ke Yerikho dan kena rampok sampai
sekarat itu? Tetapi berapa banyak kita yang rela bersikap seperti ‘The Good
Samaritan’ itu?
Banyak orang berusaha melakukan perkara besar untuk menunjukkan
kepedulian mereka kepada dunia, namun tak pernah mau mengingat tetangga
rumahnya yang sedang membutuhkan uang untuk membayar sekolah anaknya. Banyak orang
bercita-cita jadi orang besar dan berbuat hal besar untuk menyelamatkan dunia,
tetapi mereka tak punya waktu untuk menengok temannya yang sedang tergolek di
rumah sakit. Dan banyak orang yang menunjukkan devotion-nya kepada Tuhan dengan dedikasi pelayanannya yang luar
biasa, tetapi tak pernah mengajak ngobrol orang-tuanya yang kesepian. “Jesus
said love one another. He didn't say love the whole world,” kata Mother Teresa.
Apakah kita merasa menjadi orang penting setelah kita bisa mendamaikan 2
negara yang tengah berperang? Apakah kita merasa menjadi orang yang beriman
setelah kita mendoakan ribuan orang sakit dan mereka semua sembuh? Apakah kita
merasa menjadi orang yang berhikmat setelah kita berhasil memotivasi orang yang
putus asa kemudian orang tersebut kembali mendapatkan semangatnya? Tentu tidaklah
keliru jika kita dapat melakukan semua itu, namun motivasi apapun selain kasih
hanya akan menambah rasa malu kita, karena Rasul Paulus mengatakan: “Sekalipun
aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan
memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna
untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama
sekali tidak berguna.” (1 Kor 13:2)
Betapa sulitnya mengasihi, namun justru kasih adalah grade tertinggi dalam kehidupan orang
Kristen. Inilah yang diperintahkan Tuhan Yesus: lakukanlah grade tertinggi dalam hidup, secara sederhana dan dekat dengan
kehidupan kita, tidak perlu yang fantastis.
***
“Demikianlah tinggal ketiga hal
ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya
ialah kasih” (1 Korintus 13:13)
Serpong, Mar 2013
Titus J.
Serpong, Mar 2013
Titus J.