Dua tahun tak
lama, Vero.
Benar, dua
tahun hanya sekejap saja untuk menunggu orang tercinta. Ingatkah engkau satu cerita
tua yang terjadi ribuan tahun lalu ketika Yakub jatuh cinta kepada Rahel? Demi
mendapatkan Rahel, ia rela bekerja selama tujuh tahun. Tetapi yang tujuh tahun
itu dirasanya hanya beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel.
Cinta
meniadakan batas waktu. Cinta meniadakan batas tembok. Cinta memang kuat
seperti maut. Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak
dapat menghanyutkannya. Cinta inilah yang kau tanam dan tumbuh-kembangkan
selama bertahun-tahun ini dan menjadi penopangmu di saat letih.
Dalam airmatamu
itulah cintamu mengalir, turun ke pipimu bersama dengan irama dadamu yang sesak.
Simpanlah baik-baik airmatamu itu dalam wadah yang istimewa di kedalaman
hatimu, agar kelak jika ia yang kau cintai kembali, ia dapat melihat betapa di dalam
butiran airmata yang bening itu tersimpan banyak cerita; tentang perjuangan,
tentang idealisme, tentang cita-cita, tentang pengorbanan, tentang penderitaan,
dan tentang cinta yang engkau rawat dengan sekuat tenaga.
Jangan
pernah menganggap bahwa hidup ini kejam dan seringkali memperlakukan kita
dengan semena-mena, sebab di atas sana ada tangan yang selalu rajin menulis
setiap detik peristiwa yang terjadi di bawah matahari. Kata orang bijak, “Life is God’s novel. Let Him write it.”
Sabarlah,
mungkin saat ini Tuhan sedang tiba pada satu episode hidupmu yang gelap, biarkanlah
Dia melanjutkan tulisan-Nya. Jangan terburu-buru menarik kesimpulan cerita sampai
kita membalik lembar terakhirnya.
Dua tahun tak
lama, Vero. Dua tahun hanya sekelebat bayangan saja bagi orang yang imannya bercahaya.
Walaupun jalan Tuhan tak mudah dimengerti, tetapi orang yang untuknya engkau
menangis itu memang layak dan sepantasnya mendapat cintamu. Ia memiliki iman
seperti dirimu. Hanya oleh iman itulah, engkau dapat melihat tangan Tuhan yang
sedang merenda hidupmu, dan tangan Tuhan yang sedang menulis catatan sejarah
bangsamu, bangsaku, bangsa kita.
Oleh iman
itulah, ia yang kau cintai berani menghadapi badai, seperti seorang pelaut
sejati, yang menganggap ombak adalah teman bermain, dan ganasnya lautan sebagai
lapik tidur. Ia memang seorang petarung, yang berani berjalan sendirian di
lembah bayang-bayang maut, lalu menampakkan dirinya menunggu lawan.
Berbahagialah engkau karena ia bukan barisan para pengecut, yang hanya berani
jika bergerombol, tetapi gemetar oleh hentakan kaki kuda lalu terbirit dengan suara
mengembik.
Hari-hari ini
memang begitu kelam bagimu dan keluargamu. Hari-hari yang menjadi saksi betapa
beratnya menegakkan kebenaran. Jika sekarang kebenaran itu sedang terkurung
dalam angkara, bukan berarti kebenaran telah mati. Tidak, kebenaran akan selalu
hidup tak peduli orang-orang yang memperjuangkannya untuk sementara disekap
dalam penjara, sebab kebenaran akan mencari jalan keluarnya sendiri, dan pada
waktunya nanti akan terbit seperti fajar pagi.
Kami memahami
dengan simpati yang dalam keputusanmu dan ia yang kau cintai untuk menyudahi
perlawanan, bukan atas pertimbangan untung-rugi bagi hidupmu dan hidup keluargamu,
melainkan bagi negeri yang kau dan dia cintai bersama. Dari situlah kami melihat
betapa engkau dan dia lebih Indonesia daripada mereka yang mengebiri keadilan.
Dari balik
tembok penjara itu, ia yang kau cintai telah mengirimkan pesan bahwa ia akan ikhlas
menjalani. Ia tak pernah terteror oleh tembok penjara, karena ia mengenal Dia
yang memegang hidupnya. Para pembencinya menganggap ia kena tulah, dipukul dan
ditindas Allah. Tetapi sebenarnya, untuk kitalah ia rela tertindas, terkurung
bersama para pesakitan, dan memilih untuk ‘submit’
sepenuhnya kepada kehendak-Nya.
Bukankah
Gurumu dan Gurunya juga mengalami hal yang sama, ketika Dia harus tergantung di
kayu salib dan mati di antara para penjahat? Dia tidak berbicara apapun ketika
orang memukul-Nya. Seperti domba yang kelu di hadapan orang-orang yang
menggunting bulunya, Dia diam, Dia membiarkan orang-orang menghajar-Nya, lalu
memaku tangan dan kaki-Nya, lalu menggantung-Nya. Orang-orang mengira Dia kena
kutuk, tetapi sesungguhnya karena kita Dia rela tersalib, menanggung kutuk dosa
kita yang tak mampu kita bayar. Tetapi dalam kesendirian-Nya, Dia justru berdoa
untuk para pembenci-Nya: “Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang
mereka perbuat.”
Dalam surat
yang kau bacakan itu, yang ia tulis dengan tangannya sendiri, kita mengerti bahwa
ia sejatinya adalah sang pemenang, karena ia telah belajar dari teladan Gurunya
untuk mengampuni dan menerima semua. “The weak can never forgive. Forgiveness
is the attribute of the strong," kata Mahatma Gandhi. Raganya memang terkurung di dalam tembok, tetapi jiwanya lapang dan merdeka. Berbahagialah engkau yang di dalam kesesakan hatimu telah merdeka dari kebencian.
Ingatkah
engkau dengan Maria Magdalena, yang tekun dan setia mengiringi Gurunya memikul
kayu salib hingga tiba di bukit itu? Ia pun menangis kala itu, tak tahan
melihat orang-orang mendera, memaki, dan meludahi-Nya. Cinta memang sering
membuat orang yang memilikinya menangis, tetapi percayalah, cinta itu jugalah
yang akan kembali menyapamu dan menyembuhkan hatimu, seperti yang telah dialami
oleh Maria ketika Gurunya menyapanya pada waktu Dia bangkit dari kematian pada
hari ketiga.
Lihatlah,
Vero, betapa Dia menghargai airmata yang mengalir dengan kejujuran. Dialah yang
akan menyeka airmatamu dan membalut lukamu. Dialah yang akan mengganti kain
kabungmu dengan pakaian pesta, dan mengubah ratapanmu menjadi tari-tarian.
Dua tahun tak
lama, Vero. Biarlah ia menikmati keberduaan dengan Tuhan dalam kesunyian. Nanti
pada waktunya engkau akan kagum akan jawaban-jawaban doamu, dan engkau akan
menyaksikannya dengan mengatupkan bibir.
Gusti ora sare. Dia akan menyelesaikan perkaramu
tanpa nasihatmu, dan tanpa campur tanganmu.
I have found the paradox, that if you love
until it hurts, there can be no more hurt, only more love (Mother Teresa)
***
Serpong,
25 Mei 2017
Titus J.