Saturday, July 31, 2021

Churchill, A Great Man WIth a Very Humanity Side

Winston Churchill was the saviour of his nation. He saved the nation during World War II from Hitler and his military machines.

Looking back to the history, few days just after becoming prime minister, Churchill was facing calls from some to make peace with Hitler, as the loss of so many men in World War I was still a recent memory. However, in front of House of Commons (UK Parliament) on 13 May 1940 he said, “I would say to the House, as I said to those who have joined this Government: ‘I have nothing to offer but blood, toil, tears and sweat.’"

His speech intended to make clear to everyone that the only option to face Hitler was to “wage war”, not make a peace.

Again, when German troops had taken-down Netherlands, Belgium, Luxembourg while 338,000 of British and French troops cornered at port of Dunkirk, in front of House of Commons on 4 June 1940, Churchill delivered his explosive speech. He roared, “We shall fight on the beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills; we shall never surrender!”

There is no doubt the speech will be remembered as one of the most powerful political oratories of all time. “A miracle of deliverance” was the popular jargon to mark the event when imminent military defeat turned into a victory.

In this biography book, the writer, Ashley Jackson –a professor of imperial and military history at King’s College London and a visiting fellow of Kellogg College, University of Oxford- told the story of Churchill from very beginning of Churchill’s birth at Blenheim Palace in 1874 until Churchill’s final journey in Oxfordshire where his body was buried in the small churchyard in 1965.

Churchill, besides his elite attributes as a soldier, politician and historian, he was also a journalist, painter and homemaker. He had rich characters of which people like to made Churchill caricature depicted him as bulldog, Pooh Bear or Mr. Toad, but, on the other hand dubbed him as the Last Lion.

Anyhow Churchill was praised as high reputable international leader, he was a human being with a very natural behaviour such as his popular “bathing habit” which often encounter him in a state of near or abject nakedness no matter who were around him in the spot.

His evident humanity, which could so frustrate and anger his peers -even his wife- only adds to his appeal as a biographical subject apart of his remarkable life and career.

Churchill was a genius, a great man, a statesman who dominated British politics in an age shaped by industrial war and totalitarianism which probably would never be reproduced in Britain today and tomorrow.

However, the unlikeliness of having a man like Churchill again is not only because of his achievements, talents and attributes, but also his very humanity, his failures as well as triumphs, his weaknesses as well as his strengths, that make him so fascinating and no way to be duplicated.

He already become a symbol of nation, and the British people is not wrong to make him so.

***

Serpong, July 2021

Titus J.

Tuesday, July 20, 2021

Sebuah Permintaan Nyawa

“Faith is deliberate confidence in the character of God whose ways you may not understand at the time.” -- Oswald Chambers

Pada suatu masa, terjadi kelaparan hebat melanda tanah Israel.

Hujan tak pernah turun selama lebih dari dua tahun. Tanah kering-kerontang tak menghasilkan apa-apa.

Kedahsyatan kekeringan itu meluluh-lantakkan kehidupan siapapun, merembet hingga keluar wilayah Israel, dan mengenai juga seorang janda yang tinggal di Sarfat, di wilayah Sidon (saat ini termasuk wilayah Lebanon).

Bagi janda itu, hidup dan mati hanya berbatasan setipis rambut.

Meja makannya kosong, periuk-belanganya telah lama kering. Wajannya sudah beberapa hari tengkurap, setelah penggorengan itu dipakainya terakhir kali beberapa hari yang lalu. Janda itu memang tidak tiap hari meremas tepung dan membikin roti. Ia mencoba bertahan dengan mengatur pola makannya bersama seorang anaknya. Tepung dan minyak yang dimilikinya tak bakal cukup jika harus tiap hari memasak, karena kemarau tak ada tanda-tanda berakhir.

Jadi perutnya hanya terisi kadang-kadang saja, on-off, atau istilah lainnya “Senin-Kemis”.

Hari itu kritis. Perutnya dan perut anaknya melilit perih. Tubuhnya gemetar dan lemas. Ia meninggalkan anaknya dan keluar rumah untuk mencari ranting-ranting kering untuk kayu api. Hari itu bakal menjadi hari terakhirnya.

Sementara ia keluar rumah, maut menunggu di ambang pintu rumahnya, mengintip melalui sebuah celah sempit. Maut tak sabar untuk masuk dan menyambar nyawa anaknya.

Ketika ia mengumpulkan ranting-ranting di tengah teriknya hari, tiba-tiba seseorang menyapanya. Seorang asing. Dari penampilannya, jelas bukan orang sebangsanya.

Laki-laki yang tampak lelah itu adalah Nabi Elia. Janda itu tak mengenalnya selain melihatnya sebagai seorang asing yang kelelahan.

“Berikan aku sedikit air dalam kendimu itu,” kata Elia.

Janda itu memang masih memiliki air dalam kendinya. Baru saja ia beranjak hendak menuang airnya, Elia berkata lagi, “Buatkan bagiku sepotong roti.”

Deg. Janda itu kaget. Ia yakin tak salah dengar. Walaupun perutnya sudah beberapa hari ini kosong, kesadarannya masih baik, telinganya masih normal. Entah bagaimana, ia tahu Elia datang dari suatu bangsa yang menyeru Allah.

“Maaf Tuan, demi Tuhan, Allahmu yang hidup, aku hanya punya segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli, yang hanya cukup untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak punya apa-apa lagi, selain kain kafan yang sudah kusiapkan untukku dan anakku,” jawab janda itu. Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan roti untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan anakmu.”

Telinganya sungguh terbukti masih normal. Orang asing itu jelas sekali meminta makan, tanpa tanya ini-itu, pun tak sepatah katapun menanyakan misalkan, “Bagaimana keadaanmu? Bagaimana anakmu? Adakah cukup roti di rumahmu?” Tidak ada pertanyaan ramah seperti ini. Orang itu langsung minta makan kepadanya.

Ia sangat ingin menolong orang asing yang membutuhkan. Tapi hatinya serasa tergilas roda besi kereta kuda.

"Duhai Tuan, Tuan sungguh tidak punya rasa," pikir janda itu. Mulutnya terkunci tapi bibirnya gemetar.

Wajar ia berpikir demikian, karena Elia meminta makan padanya di saat paceklik dan janda itu hanya punya nafas sehari lagi, dan itupun akan dimintanya pula? Itu bukan sekadar permintaan roti melainkan sebuah permintaan nyawa.

Janda itu ingat kepada anaknya yang tergolek memegangi perutnya. Ia tahu keperihan itu. Perutnya pun juga sama. Tetapi mata Elia seakan berbicara.

Lalu janda itu mengajak Elia ke rumahnya.

Sementara mereka sedang berjalan, Nabi Elia berkata, “Allah Israel berfirman kepadaku, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberikan hujan ke atas muka bumi.”

Apakah janda itu mengerti perkataan Elia atau tidak, entahlah. Ia terus berjalan. Perkataan Elia memojokkannya di sebuah sudut ketaatan.

Tibalah mereka di rumah. Ketika maut melihat janda itu membuka pintu untuk Nabi Elia, maut yang sudah menahan air liurnya sejak tadi bergeser agak menjauh. Ia untuk sementara membatalkan niatnya untuk masuk. Ia menunggu di bawah pohon yang daun dan rantingnya sudah kering.

Dengan hati nelangsa, janda itu mempersilakan Nabi Elia untuk duduk dan menunggu. Ia menuju ke belakang, meremas tepungnya dalam genggam terakhir, menuang minyak dalam tetes terakhir, lalu membolak-baliknya di atas wajan. Perutnya perih, tetapi hatinya terasa lebih perih lagi.

Hari itu ia harus merelakan bagiannya untuk diambil bagi orang lain. Biarlah. Ia ikhlas. Ia sendiri tak peduli ada dua perut kosong yang meronta menuntut makan.

“Jika makananku kuberikan kepadanya, aku mati hari ini, jika tak kuberikan, aku mati besok. Ah sudahlah, mati hari ini dan besok tak jauh beda,” pikirnya. Dan iapun pasrah. Mustahil untuk melihat matahari esok.

Tubuhnya limbung, tetapi tiba-tiba… tiba-tiba ia merasa sedang memegangi sesuatu. Sesuatu yang tak ia mengerti, tetapi yang tiba-tiba ia miliki, jauh di kedalaman hati. Entah darimana, tiba-tiba ia rasakan seperti ada yang memberi. Ia ingat saat berjalan tadi Elia menyebut Allah Israel.

“Allah Israel kah yang memberiku sesuatu untuk peganganku hari ini?” tanyanya dalam hati tak mengerti. “Bukankah aku orang Sidon? Mengapa Allah Israel mengutus orang ini untuk mengunjungi aku?” pikirannya berputar tetapi tetap tak mengerti. Ia hanya memegangi “sesuatu” - pemberian tadi, setitik kecil tapi cukup baginya untuk bersandar.

Ia belum pernah mengerti apa itu iman. Yang ia lakukan hanyalah suatu perbuatan kepada seseorang yang perkataannya berkuasa. Di balik itu, apalagi, ia tak mengerti bahwa ia lah yang diperintahkan oleh Allah untuk memberi makan kepada Nabi Elia. (“Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” – 1 Raja-raja 17:9)

Ia mematikan api. Keringatnya bercucuran, bukan hanya karena udara yang panas, tetapi juga karena perutnya yang bergejolak.

Dilihatnya Nabi Elia yang masih duduk tepekur di ruang depan.

"Ambillah Tuan, redakan rasa laparmu," katanya sambil menyajikan roti yang baru diangkat dari penggorengan. Semerbaklah harum roti yang cuma sekerat itu. Ia melihat anaknya berjuang menahan air liurnya yang hampir menetes. Ia memalingkan muka. Matanya basah.

Janda itu masih mendengar suara mulut Elia yang mengecap-ngecap roti ketika ia menghampiri anaknya yang tergolek lemah. Ia mendekapnya, menciumnya, lalu berjalan menuju ke belakang.

Ia melihat tempayan tempat tepung itu, dan buli-buli tempat minyak itu. Ia hendak menengkurapkan tempayan dan buli-buli itu dan menunggu ajal menjemput.

Tetapi hari itu ia dua kali lagi membuat roti bundar. Kali ini untuk anaknya dan untuknya sendiri.

Hari-hari setelahnya, tempayannya, buli-bulinya, dan wajannya tak pernah tengkurap lagi.

***

“Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34-35)

Serpong, Juli 2021

Titus J.

Sunday, July 11, 2021

Bethlehem, A Town Where Love Story Had Flourished

Bethlehem remains a little town until today, despite a great story occurred in the town about 2,000 years ago when the Christ was born.

As a biography, this book is telling about Bethlehem from the very ancient era, told by Nicholas Blincoe – an English author – who is living there after married with Leila Sansour who born to an old Palestinian Roman Catholic family.

Reading the history of Bethlehem in this book became interesting since Blincoe did not tell only by reference books of history but he walked through his experience in every corner of the town then wrote it.

The story begins with a Christmas pudding that Blincoe brought as a gift to his girl-friend’s parents in December 1994. From the pudding Blincoe told about ingredients inside it, the origin where the ingredients came from, how it was brought to the Bethlehem, who brought it until almost all of its became common plants that are growing in garden of every house in Bethlehem today.

The history of his pudding told the history of ancient Spice Route, the clash of cultures --farmers and nomads-- then Roman era and Islamic age, the Crusades and Ottoman rule, and so on.

Bethlehem is a town where a lot of stories created. From the stone age to the bronze age, then the iron age, the classical age when God chose the town for baby Jesus’ birth place and keep following through from an era to another era.

One of the important spots in Bethlehem is the Church of the Nativity, which is frequently be used as a place of important occasions. In a Christmas time in 1995, Blincoe attended a reception for Suha Arafat – a flamboyant Christian, the wife of Yasser Arafat --the then new president of the Palestinian Authority (PA). The next morning, Arafat gave a speech from the roof of the Church of the Nativity to announce his return from exile.

Bethlehem has population of two hundred and ten thousand people of which about 25 percent is Christians.

The life of tolerance in Bethlehem is actually quite well developed. Muslims and Christians live together. There is a tradition that reaffirmed by PA that mayor of Bethlehem must be a Christian (Anton Salman is the mayor of Bethlehem today).

Since thousand years the town has been making-up the history –culture, power and politics, war and peace, hate and love—all mixed until today, yet Bethlehem remains a little town, lay down in West Bank, Palestine.

Although Bethlehem located only 10 km distance from Jerusalem, the generation has grown up that has rarely –and even never—visited Jerusalem, a city which becomes a central of conflict for decades. Apparently, hostility remains alive between the two nations.

Perhaps the Israelis and Palestinians should remember the love story of Boaz and Ruth --An Israeli and a Moabite-- and need to carve it on their heart.

***

Serpong, 10 Jul 2021

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...