Saturday, November 23, 2019

Ahok Tidak Receh Lagi

Sudah lama saya tidak menulis tentang Ahok.

Sejak ia bercerai dengan Vero, setelah itu pacaran dengan Puput, saya tidak tertarik sama sekali mengikuti berita tentangnya. Ia pun seakan menghilang, walaupun terkadang masih sedikit-sedikit muncul beritanya di media.

Keputusannya untuk bercerai dengan Vero lalu kawin lagi dengan Puput bagi saya adalah urusan pribadinya. Saya malas komentar, walaupun di group-group WhatsApp berseliweran komentar orang; sebagian orang pro Ahok, sebagian pro Vero, sebagian lainnya tidak komentar apa-apa.

Ketika Ahok lagi ‘gandrung’ dengan Puput, rontang-runtung kesana-kemari sebagaimana anak muda cinta-cintaan seperti di sinetron, bagi saya berita soal itu cuma recehan, tak sedikitpun memberikan inspirasi untuk menulis. Apa yang mau ditulis? Wong Ahok itu cuma asyik ditulis kalau berkaitan dengan politik, terutama ketika ia masih sebagai Gubernur DKI Jakarta, ketika ia memecat staf yang malas, yang tidak melayani warga dengan baik, ketika ia berantem dengan anggota DPRD.

Lebih asyik lagi mengikuti berita ketika ia menguliti soal anggaran, soal angka-angka yang tidak masuk akal, soal daftar pembelian barang yang aneh-aneh, dan soal “Pemahaman nenek lu” yang jadi trademark Ahok sampai sekarang.

Itulah sebabnya ketika baru-baru ini ada kehebohan soal lem Aibon seharga 82 Milyar yang nongol di rencana anggaran DKI, banyak orang tertawa ngakak, lalu misuh-misuh. Lalu dalam sekejap bertebaranlah meme lem Aibon karya kreatif para netizen. Ketika itulah orang-orang mulai mencari Ahok di Youtube. Banyak orang memutar ulang rekaman soal bagaimana Ahok memimpin Jakarta, bagaimana ia punya rencana membangun kota, dan bagaimana etos kerjanya. Ia paham betul soal anggaran, soal bagaimana ia menyelamatkan duit negara dari bancakan tikus-tikus.

Ia memang seorang pemimpin yang bisa bekerja, beda dengan pejabat yang sekarang, yang bekerjanya adalah bicara.

Belakangan kabar-kabar receh tentangnya yang berseliweran itu mulai memudar, diganti kabar serius setelah ia dipanggil oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Sejak itu, santer sekali namanya akan masuk ke Pertamina.

Lalu ramai lagi jagad Indonesia.

“Apakah Ahok adalah orang yang berprestasi? Sehingga ia akan ditempatkan di salah satu BUMN?” tulis Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN di era SBY. “Bagaimana kalau ada penilaian bahwa ia hanya berprestasi dalam membuat kehebohan? Tapi kalau benar begitu, penempatannya di BUMN merupakan sebuah perjudian. Kalau penempatannya di BUMN besar, perjudiannya juga besar,” tulis Dahlan.

“Ahok tidak punya corporate experience, ia hanya kelas Glodok,” komentar Rizal Ramli.

“Apa orang yang lebih sopan tidak ada?” kata Slamet Maarif, Ketua Umum PA 212.

Tetapi Fahri Hamzah bernada lain. “Pasal 27 UUD 1945 menjamin setiap warga negara sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Kalau soal talenta, saya berpendapat BUMN itu memerlukan saudara Ahok. Taruh Ahok di tempat yang paling korup, dan kita lihat hasilnya,” kata Fahri.

Hari ini hiruk-pikuk soal Ahok akan jadi apa, terjawab sudah. Kemarin Menteri BUMN Erick Thohir mengkonfirmasi bahwa Ahok telah ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina, tinggal diformalkan melalui RUPSLB Pertamina hari Senin depan.

Penempatan Ahok di Pertamina pastinya bukan soal “asal ada posisi untuk Ahok”. Ahok bukan orang yang gila posisi. Ia adalah orang yang “gatal” melihat ketidak-beresan, dan selalu tertantang untuk membereskan, apalagi jika yang minta Negara. Ia adalah sosok yang apa adanya, dan berani ambil risiko atas keputusannya. “Saya hanya taat kepada Konstitusi, bukan Konstituen,” demikian yang acap kali dikatakannya.

Penempatan Ahok di Pertamina memang sebuah perjudian seperti kata Dahlan Iskan. Tetapi saya berbeda dengan Dahlan mengartikan perjudian. Menurut saya perjudian ini bukan dalam konteks spekulasi atau “coba-coba adu untung” - kalau menang senang kalau kalah pulang. Bukan. Perjudian oleh Jokowi dan Erick Thohir hanya untuk menang. Titik. Dan untuk mewujudkannya, mereka memasang Ahok sebagai Komisaris Utama untuk melakukan fungsi pengawasan kepada Direksi dan memberi arahan kepada Direksi dalam menjalankan bisnis perusahaan.

Ahok yang berpengalaman di DKI Jakarta dan selalu terbuka (transparan) sangat tepat duduk sebagai Komut Pertamina, karena fungsi pengawasan yang akan dikerjakannya meliputi kebijakan pengelolaan perusahaan, pelaksanaan rencana jangka panjang, rencana kerja dan anggaran, dan memonitor praktik Good Corporate Governance (GCG) yang dijalankan oleh Direksi.

Ketika ia dipenjara dan kemudian bercerai dengan Vero, banyak orang mengatakan bahwa Ahok sudah habis. Ia sendiri mengakui tidak mungkin untuk kembali ke panggung politik karena statusnya sebagai eks narapidana. “Bahkan di gereja pun orang memandang saya dengan sinis sebagai pendosa,” katanya suatu ketika. Tetapi entahlah, kala itu saya masih punya setitik keyakinan bahwa ia suatu saat akan kembali.

Kembalinya Ahok ke atas panggung – walaupun bukan panggung politik – haruslah dilihat sebagai ‘second chance’ bagi Ahok, dimana ia masih diberi kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Negara. Saya yakin akan banyak jerat yang akan dipasang orang untuk menjatuhkannya. Harapan saya, hati-hatilah Pak Ahok, karena mereka yang dulu menyangka Anda sudah habis di penjara dan keluar penjara sebagai bukan siapa-siapa, sekarang terperangah karena Anda dipercaya memegang posisi yang sangat strategis. Tak perlu soal-soal receh lagi deh, itu bukan kelas Anda.

Kita tidak tahu bagaimana nanti Ahok di posisi barunya itu. Tetapi saya menduga jagad Indonesia akan meriah lagi dengan masuknya Ahok ke Pertamina yang memiliki 21 anak perusahaan dengan asset Trilyunan Rupiah, yang semuanya sangat rawan jika salah kelola. Belum lagi bicara soal mafia di luar sana.

Akan sangat mungkin Ahok akan mengeluarkan trademark baru semacam “Pemahaman nenek lu” yang sudah ditunggu-tunggu oleh publik. Yang pasti, tak ada lagi berita-berita receh disana, karena job sebagai Komut Pertamina adalah job serius, soal serius.

***
Serpong, 23 Nov 2019
Titus J.

Sunday, November 10, 2019

Dietrich Bonhoeffer: One act of obedience is worth a hundred sermons


Pemikiran Dietrich Bonhoeffer

Tentang keberanian melawan kekejaman, ketaatan terhadap panggilan, dan harga murid Kristus


Dietrich Bonhoeffer adalah seorang Teolog Lutheran berdarah Jerman yang lahir Wroclaw, Polandia pada 4 Februari 1906. Semasa hidupnya, ia menghabiskan waktunya untuk mendalami teologi, mengajar, dan menulis buku. Dua bukunya yang terkenal adalah “The Cost of Discipleship” dan “Life Together” yang ia tulis pada usia 30-an tahun.

Pada kurun waktu menjelang pecah perang dunia ke-2 dan setelah Adolf Hitler memimpin Nazi Jerman, Bonhoeffer menyatakan penentangannya atas gerakan anti-semitism oleh Nazi. Ia mendirikan Confessing Church bersama dengan rekannya Martin Niemoller dan Karl Barth dan terus menyuarakan kritikannya kepada Nazi. 

Karena kritikan-kritikannya yang tajam itu, Bonhoeffer dilarang berbicara di depan publik bahkan dilarang mengajar di kampus. Beberapa waktu lamanya ia harus mengajar dan berbicara secara sembunyi-sembunyi (underground). Pada tahun 1939, ia memutuskan untuk meminta suaka ke Amerika Serikat (AS). Hanya bertahan selama satu bulan di AS, karena ia merasa tidak sepatutnya meninggalkan rekan-rekannya untuk berjuang sendirian di Jerman, ia memutuskan untuk pulang ke Jerman.

Ia mati muda pada usia 39 tahun di sebuah kamp konsentrasi Jerman di Flossenburg karena dituduh terlibat dalam sebuah rencana pembunuhan Hitler bersama dengan sebuah kelompok bernama Abwehr yang memiliki agenda mengakhiri kekejaman Hitler dalam gerakan genosida atas orang-orang Yahudi.

Untuk menggali pemikiran figur intelektual muda, teolog kritis dan pejuang anti Nazi ini, saya menyajikan wawancara secara imajiner dengan Dietrich Bonhoeffer, seorang tokoh yang menginspirasi dunia kekristenan karena perjuangannya mengedepankan prinsip kebenaran dan yang berani bersikap terhadap ketidakadilan dan kekejaman. Berikut ini petikannya:

Titus Jonathan (TJ): Apa yang mendorong Anda berani menentang Nazi bahkan Adolf Hitler ketika mereka sedang kuat-kuatnya berusaha menaklukkan dunia?
Dietrich Bonhoeffer (DB): Kekejaman yang didasari oleh kebencian harus dihentikan. Saya seorang yang menyelidiki kitab suci dan Alkitab jelas sekali menentang kekejaman, apalagi yang dilakukan terhadap suatu etnis.

TJ: Anda adalah seorang Teolog. Mengapa Anda tidak mengambil approach yang lebih halus, misalkan mendoakan situasi tersebut?
DB: Nah, kesalahan dalam merespon situasi semacam ini yang sering kita temukan pada orang Kristen. Penjelasannya begini. Katakanlah saya sedang duduk bersebelahan dengan seorang yang kalap dan marah yang sedang menyetir mobil dan ia bermaksud untuk menabrakkan mobil itu kepada kerumunan pejalan kaki. Sebagai seorang Kristen, saya tidak bisa sekadar menunggu malapetaka itu terjadi dengan dalih bahwa setelah kejadian itu saya akan datang dalam penguburan para korban dan menghibur keluarganya. Tidak. Saya harus merebut kemudi dari sopir yang kalap itu secepatnya bahkan sebelum ada korban. Hitler dan Nazi adalah orang-orang yang kalap dan kita berkewajiban menghentikannya.

TJ: Apakah Anda sadar akan risiko di tengah kekuatan penguasa Nazi saat itu?
DB: Sadar sepenuhnya. Selama saya adalah murid Kristus, keberanian bersikap selalu ada harganya.

TJ: Maksudnya?
DB: Saya sudah memperoleh keselamatan secara cuma-cuma oleh Kristus dan menjadi murid-Nya. Setelah menjadi murid Kristus, setiap tindakan dan keputusan saya memiliki harga segenap hidup saya. Salvation is free, but discipleship will cost you your life.

TJ: Apakah panggilan sebagai murid Kristus akan selalu dibayar nyawa?
DB: Memang begitulah substansi sebuah panggilan. Yesus sendiri berkata, “Barang siapa mengasihi nyawanya, ia tidak layak untuk Aku.” When Christ calls a man, he bids him come and die.

TJ: Itukah inti dari buku yang Anda tulis ‘The Cost of Discipleship?
DB: Benar, pengorbanan pribadi adalah hal yang paling esensial dari iman Kristen. Selain itu, sepertiga dari buku itu saya kupas tentang khotbah Yesus di atas bukit, agar setiap orang Kristen hidup dalam kehidupan spiritual bersama Kristus.

TJ: Anda terlihat sekali memiliki total penyerahan hidup kepada Tuhan..
DB: Terus terang, saya bukan hanya mengajarkan penyerahan total, tetapi menghidupinya dalam setiap aspek hidup saya.

TJ: Anda sudah meninggalkan Jerman dan hidup tenang di Amerika Serikat, mengajar, dan menulis. Mengapa Anda harus kembali ke Jerman pada situasi yang berbahaya?
DB: Setiap orang memiliki rencana, termasuk juga saya. Ketika saya meninggalkan Jerman karena gerakan saya terbatas dan diawasi oleh penguasa, saya berpikir lebih baik saya ke Amerika karena mungkin disana saya lebih bermanfaat dan dapat menggunakan ilmu yang saya pelajari. Tetapi ternyata Tuhan menginterupsi rencana saya, dan saya harus kembali ke Jerman. Siapapun harus rela rencananya diinterupsi oleh Tuhan.

TJ: Bagaimana Anda yakin hal itu, sedangkan dengan kembali ke Jerman Anda malah ditangkap?
DB: Kehendak Tuhan tidak bisa kita kaitkan dengan kesenangan atau kebahagiaan. Carilah Tuhan terlebih dahulu, bukan kebahagiaan sebagai hal utama. Ini adalah hal yang fundamental. Ia akan memberikan kebahagiaan sesudahnya, karena itu adalah janji-Nya.

TJ: Tampaknya Anda sedang menjelaskan tentang ketaatan. Apa yang Anda bisa kemukakan mengenai ketaatan?
DB: Satu kalimat: One act of obedience is worth a hundred sermons..

TJ: Maksud Anda?
DB: Setiap khotbah disampaikan agar orang yang tidak percaya dapat menjadi percaya kepada Kristus. Tetapi jauh lebih penting daripada khotbah adalah kehidupan sehari-hari kita sebagai orang Kristen. Sebuah tindakan ketaatan yang ditunjukkan oleh orang Kristen akan lebih berarti daripada seratus khotbah. Dengan memberi contoh nyata, kehidupan orang percaya akan membuat orang yang tidak percaya mempertanyakan lagi ketidakpercayaan mereka kepada Allah.

Bonhoeffer dilahirkan dari pasangan Karl dan Paula. Ia memiliki tujuh saudara kandung, salah satu saudaranya tewas dalam perang dunia pertama. Sejak kecil Boenhoeffer sudah terlihat bakatnya di musik, tetapi pada umur 12 tahun, 

Bonhoeffer mengatakan kepada orang-tuanya bahwa ia ingin sekolah teologi. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan suka menyelidiki kitab suci. Pada umur 21 tahun, ia meraih gelar doctor pertamanya dengan disertasi berjudul ‘Sanctorum Communio’. Tiga tahun berselang, ia meraih gelar doctor keduanya dengan disertasi berjudul ‘Act & Being’.

Pada tahun 1930-1931, Bonhoeffer melanjutkan studinya ke Union Theological Seminary di New York City. Disanalah ia melihat dan belajar doktrin liberalisme tetapi akhirnya ia tak menyukainya. “Tidak ada teologi disini,” katanya, dan iapun kembali ke Jerman dan mengajar di University of Berlin untuk bidang Christology. Di tahun 1933, Adolf Hitler memegang kendali dan memimpin Jerman masuk ke dalam perang dunia ke-2.

Selama enam tahun antara 1933 hingga 1939, Bonhoeffer aktif mengkritisi pemerintah Nazi hingga ia dilarang berbicara di depan publik bahkan nyawanya terancam. Ia meminta suaka ke Amerika Serikat tetapi hanya bertahan satu bulan saja. Di tahun 1939 sekembalinya Bonhoeffer dari Amerika Serikat ia kembali mengkritik Nazi. Namanya dikaitkan dengan sebuah konspirasi untuk membunuh Hitler.

Bonhoeffer tidak pernah menikah. Ia sempat bertunangan tetapi tak lama kemudian ia dijebloskan ke dalam penjara Nazi di 5 April 1943 di kota Tegel. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Prinz-Albrecht-Strasse. Pada 7 Februari 1945, ia dipindahkan lagi ke penjara Buchenwald, dipindahkan lagi ke Regenburg, dan dipindahkan lagi ke Flossenburg. 

Walaupun di dalam penjara, api dalam dadanya terus berkobar untuk berkhotbah. Tak peduli dimanapun, bahkan di atas truk militer yang mengangkut para terpidana, ia berkhotbah. Di dalam barak yang penuh sesak pun ia berkhotbah. Yang mengherankan, semua terpidana itu selalu menantikan siraman rohaninya.

TJ: Apa yang membuat Anda terus berkhotbah bahkan ketika Anda berada dalam penjara?
DB: Tentara Nazi itu menyangka bisa membungkam saya lewat penjara. Tetapi saya sendiri tidak mampu menahan kobaran api di dalam dada saya. Ia terus meletup sehingga tak ada cara lain bagi saya untuk terus bersuara. Di barak atau di atas truk pun, selama masih ada telinga yang bisa mendengar, saya akan tetap bersuara.

TJ: Apa tema yang Anda khotbahkan di tempat-tempat tersebut?
DB: Dalam situasi ketika orang tinggal menunggu giliran dieksekusi, tema khotbah yang paling tepat adalah mengenai jalan keselamatan. Memilih jalan keselamatan ibarat memilih jalur kereta api. If you board the wrong train, it is no use running along the corridor in the other direction. Tak ada kesempatan untuk kembali jika waktu begitu kritis.

TJ: Apa tema penghiburan yang Anda sampaikan kepada mereka di dalam penjara?
DB: Bahwa Allah mengasihi orang berdosa, termasuk saya, termasuk mereka para tawanan. Saya tegaskan, say ‘no’ to sin and ‘yes’ to the sinner. Itulah alasan Yesus Kristus datang ke dalam dunia, semata-mata untuk orang berdosa.

TJ: Anda sadar akibatnya ketika melanggar larangan untuk berkhotbah?
DB: Tentara Nazi pasti akan mengeksekusi siapapun yang dianggap melawan. Tetapi jika saya mati, bagi mereka adalah akhir dari cerita, tetapi bagi saya itu adalah sebuah awal kehidupan.

TJ: Dalam keadaan Anda terpenjara dan menderita. Pernahkah Anda mempertanyakan ‘dimanakah Allah? Benarkah Allah itu ada dan siap menolong?’
DB: Saya tak pernah meragukan-Nya. Saya juga tidak pernah mempertanyakan eksistensi-Nya. Saya yakin Dia pun tak pernah menuntut kita untuk membuktikan eksistensi-Nya. A God who let us prove his existence would be an idol.

TJ: Anda sebelumnya juga membantu orang-orang Yahudi dan meloloskan mereka ke Swiss dari kejaran Nazi?
DB: Benar, karena gereja diam pada saat seharusnya gereja berteriak keras melihat darah orang yang tidak bersalah ditumpahkan dengan seenaknya oleh tentara Nazi. Darah itu sendiri sudah berteriak sampai ke surga, sehingga saya tak mungkin menutup mata.

TJ: Anda tidak takut terhadap kematian. Apa pendapat Anda tentang kematian itu sendiri?
DB: Kematian adalah anugerah, anugerah terbesar yang Allah berikan kepada siapapun yang percaya kepada-Nya. Kematian itu begitu lembut, begitu manis, sebagai ‘gateway’ menuju tanah air kita, our homeland, yaitu apa yang dinamakan sebagai ‘tabernacle of joy’ dan ‘everlasting kingdom of peace’.

TJ: Berbicara tentang anugerah. Apakah inisiator anugerah adalah hanya Allah semata-mata?
DB: Inisiator segala sesuatu adalah Allah. Demikian juga anugerah. Tetapi jangan lupa, anugerah memerlukan respon. Ingat kisah penjahat yang disalib di dekat Yesus? Yesus sendiri tidak pernah meng-convert penjahat itu. Yesus menunggu hingga salah satu dari penjahat itu berpaling kepada-Nya dan mengucapkan pengakuannya.

Pada tanggal 9 April 1945, Bonhoeffer dieksekusi mati di tiang gantungan oleh Nazi. Sebulan kemudian, Jerman menyerah kalah kepada tentara Sekutu.

Banyak orang menyayangkan jeda waktu yang hanya satu bulan itu. Seandainya eksekusi mati itu ditunda satu bulan saja, mungkin Bonhoeffer akan selamat, dibebaskan oleh tentara Sekutu dari penjara, kemudian ia bisa kembali mengajar di universitas-universitas, berkhotbah di gereja-gereja, dan menulis buku lebih banyak lagi. Mungkin kita pun bertanya kepada Tuhan, “Tidakkah Engkau mau memakai Bonhoeffer sebagai alat di tangan-Mu untuk pekerjaan-Mu yang lebih dahsyat lagi, Tuhan? Mengapa Kau biarkan ia yang penuh potensi dan dedikasi itu mati muda?” 

Tetapi itulah rahasia Tuhan. Kita tak pernah mengerti jalan pikiran-Nya, yang begitu tinggi dan begitu dalam.

***
Semua kalimat Bonhoeffer yang tertulis dalam wawancara imajiner di atas dikompilasi dari sumber berikut ini:

***
Serpong, Jun 2019
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...