Sejak ia
bercerai dengan Vero, setelah itu pacaran dengan Puput, saya tidak tertarik
sama sekali mengikuti berita tentangnya. Ia pun seakan menghilang, walaupun
terkadang masih sedikit-sedikit muncul beritanya di media.
Keputusannya
untuk bercerai dengan Vero lalu kawin lagi dengan Puput bagi saya adalah urusan
pribadinya. Saya malas komentar, walaupun di group-group WhatsApp berseliweran
komentar orang; sebagian orang pro Ahok, sebagian pro Vero, sebagian lainnya
tidak komentar apa-apa.
Ketika Ahok
lagi ‘gandrung’ dengan Puput, rontang-runtung
kesana-kemari sebagaimana anak muda cinta-cintaan seperti di sinetron, bagi
saya berita soal itu cuma recehan, tak sedikitpun memberikan inspirasi untuk
menulis. Apa yang mau ditulis? Wong Ahok itu cuma asyik ditulis kalau berkaitan
dengan politik, terutama ketika ia masih sebagai Gubernur DKI Jakarta, ketika
ia memecat staf yang malas, yang tidak melayani warga dengan baik, ketika ia berantem dengan anggota DPRD.
Lebih asyik
lagi mengikuti berita ketika ia menguliti soal anggaran, soal angka-angka yang
tidak masuk akal, soal daftar pembelian barang yang aneh-aneh, dan soal “Pemahaman
nenek lu” yang jadi trademark Ahok sampai sekarang.
Itulah
sebabnya ketika baru-baru ini ada kehebohan soal lem Aibon seharga 82 Milyar yang
nongol di rencana anggaran DKI, banyak orang tertawa ngakak, lalu misuh-misuh.
Lalu dalam sekejap bertebaranlah meme lem Aibon karya kreatif para netizen. Ketika
itulah orang-orang mulai mencari Ahok di Youtube. Banyak orang memutar ulang
rekaman soal bagaimana Ahok memimpin Jakarta, bagaimana ia punya rencana
membangun kota, dan bagaimana etos kerjanya. Ia paham betul soal anggaran, soal
bagaimana ia menyelamatkan duit negara dari bancakan
tikus-tikus.
Ia memang
seorang pemimpin yang bisa bekerja, beda dengan pejabat yang sekarang, yang
bekerjanya adalah bicara.
Belakangan
kabar-kabar receh tentangnya yang berseliweran itu mulai memudar, diganti kabar
serius setelah ia dipanggil oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Sejak itu, santer
sekali namanya akan masuk ke Pertamina.
Lalu ramai lagi
jagad Indonesia.
“Apakah Ahok
adalah orang yang berprestasi? Sehingga ia akan ditempatkan di salah satu BUMN?”
tulis Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN di era SBY. “Bagaimana kalau ada penilaian
bahwa ia hanya berprestasi dalam membuat kehebohan? Tapi kalau benar begitu,
penempatannya di BUMN merupakan sebuah perjudian. Kalau penempatannya di BUMN
besar, perjudiannya juga besar,” tulis Dahlan.
“Ahok tidak
punya corporate experience, ia hanya
kelas Glodok,” komentar Rizal Ramli.
“Apa orang
yang lebih sopan tidak ada?” kata Slamet Maarif, Ketua Umum PA 212.
Tetapi Fahri
Hamzah bernada lain. “Pasal 27 UUD 1945 menjamin setiap warga negara sama di
hadapan hukum dan pemerintahan. Kalau soal talenta, saya berpendapat BUMN itu
memerlukan saudara Ahok. Taruh Ahok di tempat yang paling korup, dan kita lihat
hasilnya,” kata Fahri.
Hari ini hiruk-pikuk
soal Ahok akan jadi apa, terjawab sudah. Kemarin Menteri BUMN Erick Thohir
mengkonfirmasi bahwa Ahok telah ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina,
tinggal diformalkan melalui RUPSLB Pertamina hari Senin depan.
Penempatan
Ahok di Pertamina pastinya bukan soal “asal ada posisi untuk Ahok”. Ahok bukan
orang yang gila posisi. Ia adalah orang yang “gatal” melihat ketidak-beresan, dan
selalu tertantang untuk membereskan, apalagi jika yang minta Negara. Ia adalah
sosok yang apa adanya, dan berani ambil risiko atas keputusannya. “Saya hanya
taat kepada Konstitusi, bukan Konstituen,” demikian yang acap kali
dikatakannya.
Penempatan Ahok
di Pertamina memang sebuah perjudian seperti kata Dahlan Iskan. Tetapi saya berbeda
dengan Dahlan mengartikan perjudian. Menurut saya perjudian ini bukan dalam konteks
spekulasi atau “coba-coba adu untung” - kalau menang senang kalau kalah pulang.
Bukan. Perjudian oleh Jokowi dan Erick Thohir hanya untuk menang. Titik. Dan
untuk mewujudkannya, mereka memasang Ahok sebagai Komisaris Utama untuk melakukan
fungsi pengawasan kepada Direksi dan memberi arahan kepada Direksi dalam
menjalankan bisnis perusahaan.
Ahok yang
berpengalaman di DKI Jakarta dan selalu terbuka (transparan) sangat tepat duduk
sebagai Komut Pertamina, karena fungsi pengawasan yang akan dikerjakannya
meliputi kebijakan pengelolaan perusahaan, pelaksanaan rencana jangka panjang,
rencana kerja dan anggaran, dan memonitor praktik Good Corporate Governance (GCG)
yang dijalankan oleh Direksi.
Ketika ia
dipenjara dan kemudian bercerai dengan Vero, banyak orang mengatakan bahwa Ahok
sudah habis. Ia sendiri mengakui tidak mungkin untuk kembali ke panggung
politik karena statusnya sebagai eks narapidana. “Bahkan di gereja pun orang
memandang saya dengan sinis sebagai pendosa,” katanya suatu ketika. Tetapi
entahlah, kala itu saya masih punya setitik keyakinan bahwa ia suatu saat akan
kembali.
Kembalinya
Ahok ke atas panggung – walaupun bukan panggung politik – haruslah dilihat
sebagai ‘second chance’ bagi Ahok, dimana ia masih diberi kesempatan untuk
berbuat sesuatu bagi Negara. Saya yakin akan banyak jerat yang akan dipasang
orang untuk menjatuhkannya. Harapan saya, hati-hatilah Pak Ahok, karena mereka
yang dulu menyangka Anda sudah habis di penjara dan keluar penjara sebagai
bukan siapa-siapa, sekarang terperangah karena Anda dipercaya memegang posisi
yang sangat strategis. Tak perlu soal-soal receh lagi deh, itu bukan kelas
Anda.
Kita tidak
tahu bagaimana nanti Ahok di posisi barunya itu. Tetapi saya menduga jagad
Indonesia akan meriah lagi dengan masuknya Ahok ke Pertamina yang memiliki 21
anak perusahaan dengan asset Trilyunan Rupiah, yang semuanya sangat rawan jika
salah kelola. Belum lagi bicara soal mafia di luar sana.
Akan sangat
mungkin Ahok akan mengeluarkan trademark baru semacam “Pemahaman nenek lu” yang
sudah ditunggu-tunggu oleh publik. Yang pasti, tak ada lagi berita-berita receh
disana, karena job sebagai Komut Pertamina adalah job serius, soal serius.
***
Serpong,
23 Nov 2019
Titus J.