Friday, January 4, 2019

Tawa Kemenangan Dari Mako Brimob


Pada waktunya nanti tanggal 24 Januari, Ahok akan menjadi orang merdeka yang bebas dari kurungan. Ia bukan bebas bersyarat, tetapi bebas murni, bebas seluruh jiwa raganya itu.

Sebenarnya jiwanya sudah merdeka sejak dulu-dulu, sejak ia masih menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, anggota DPR, bahkan sejak ia masih muda. Saya meyakini kemerdekaan jiwanya ini dari mengamati dan memperhatikan sepak terjangnya di dunia politik. Ia selalu menjadi dirinya sendiri, yang berani berbeda dari kebanyakan orang, yang berani menempuh risiko atas tindakan yang ia yakini benar.

Sejauh yang saya ketahui, ia cukup taat menjalankan imannya, tetapi di depan publik ia tidak mendemonstrasikannya seolah sengaja agar dibilang saleh. Ia lebih suka bicara soal rencana kerjanya untuk daerah yang ia pimpin, tentang membenahi birokrasi, tentang menolong rakyat. Baginya soal iman tetap menjadi ranah paling privat, yang hanya perlu ia persembahkan untuk Tuhannya. Karena sikapnya yang apa adanya itulah jiwanya begitu merdeka.

Ternyata penjara Mako Brimob hanya dapat mengurung badannya saja.

Tak banyak (atau mungkin langka) orang yang dipenjara masih mempunyai jiwa yang tetap merdeka. Kita terkadang masih dapat mengikuti denyut kehidupan Ahok di Mako Brimob dari media sosial yang diupload oleh timnya, atau dari rekan-rekan kita yang sempat menengoknya disana. Teman saya yang beberapa kali menengoknya di Mako Brimob membenarkan bahwa di penjara pun Ahok tetap seperti biasa sebagaimana yang dulu selalu kita saksikan di televisi atau di Youtube. Kita sungguh melihat betapa penjara tak berdaya menindas jiwanya itu.

Surat-surat dari masyarakat sudah tak terhitung menyambanginya untuk membesarkan hatinya, bahkan minta nasihatnya untuk hal-hal sederhana tentang kehidupan. Ada seorang anak muda bahkan minta tolong Ahok untuk menyurati kekasihnya agar mau dilamar menjadi istrinya. Maka mereka yang membenci Ahok sungguh geram sebab tembok penjara ternyata tak pernah bisa menghalanginya untuk tetap berbuat baik selagi ia mampu kerjakan dimanapun dan kapanpun. Jika di saat paling pahit saja ia tetap menjadi berkat bagi banyak orang, bagaimana ia nanti setelah bebas?

Saya termasuk salah satu yang berkeyakinan bahwa yang terbaik bagi Ahok saat hakim mengetokkan palu vonis di tanggal 9 Mei 2017 adalah menerimanya dan menjalani hukumannya di penjara. Semula Ahok menyatakan mau banding, tetapi saat itu saya berkata dalam hati – seolah ingin berbisik kepadanya, “Tidak perlu Hok, percuma, kau tetap akan kalah. Idealisme-mu untuk mencari kebenaran di ruang pengadilan memang patut dihargai, tetapi sayangnya kebenaran sedang membisu di tempat tersembunyi.”

Lalu, beberapa hari kemudian Ahok membatalkan niatnya untuk melawan.

Saya masih ingat begitu pahitnya keputusan itu dibuat, keputusan yang ditulis oleh Ahok sendiri dan dibacakan oleh Veronica Tan, istrinya (kala itu) dengan mencucurkan air mata.

Ada perasaan sedih bercampur bangga di dalam hati kita ketika ia mengakhiri perlawanan dengan caranya itu. Sedih karena untuk waktu dua tahun bakal puasa menyaksikan pemimpin berkelas yang kaya ide bekerja tak kenal lelah membangun peradaban, muak karena para tikus yang sudah masuk lubang bakal keluar lagi dan berpesta-pora. Tetapi di sisi lain kita harusnya bangga karena sikapnya yang ksatria untuk patuh kepada keputusan pengadilan walaupun hatinya ingin memberontak. Sejak pertama kali ia duduk di kursi terdakwa, ia tak pernah berteriak bahwa ia sedang dikriminalisasi, atau berupaya untuk menghindari hukum apalagi melarikan diri ke luar negeri.

Ahok sudah meneladani Gurunya untuk taat sepahit apapun manusia memperlakukannya. Baginya, sebuah ketaatan walaupun rugi jauh lebih bernilai daripada sikap pengecut. Ia benar-benar adalah The Valiant.

Di suratnya yang dibacakan oleh Vero tersebut, saya terkesan ketika ia menuliskan bahwa Tuhan berdaulat atas kehidupan setiap manusia termasuk dirinya. Apa lagi yang lebih tepat untuk menjadi bukti keimanan seseorang yang begitu mempercayakan seluruh jiwa-raganya kepada Sang Pencipta? Jika Yang Maha Berdaulat itu mengijinkannya untuk masuk penjara, bagaimana mungkin ia menolaknya? Sebaliknya seorang pengecut tidak pernah percaya akan kedaulatan Tuhan.

Hari ini sudah hampir dua tahun. Masih segar dalam ingatan ketika melihat Ahok yang mengenakan baju batik berwarna putih-biru dibawa dengan barracuda menuju rutan Cipinang sesaat setelah divonis. Dan sekarang ia sudah akan bebas setelah masa hukumannya dipotong beberapa kali remisi. Apakah dua tahun adalah seperti perjalanan seorang musafir di padang gurun? Ataukah hanya sepeminum teh saja?

Mungkin tidak begitu penting untuk menakar apakah dua tahun bagi orang yang terpenjara adalah waktu yang lama atau singkat. Bagi mereka yang dipenjara karena konsekuensi atas perjuangannya, waktu bukan menjadi soal. Nelson Mandela menjalani hukumannya di Afrika Selatan selama dua puluh tujuh tahun dan ia keluar penjara dengan tawa kemenangan. Ahok akan keluar dari penjara dengan kepala tegak. Ia tidak akan takut dengan tatapan mata rakyat, sebab ia bukan pencuri uang rakyat alias koruptor.

Di tanggal 24 Januari nanti – jika Yang Maha Berdaulat mengijinkan - Ahok akan melangkahkan kakinya menuju pintu keluar Mako Brimob. Ia mungkin akan disambut dengan gegap gempita oleh para pengagumnya, dielu-elukan dengan bunga-bunga sebagai tanda cinta. Tetapi mungkin juga tak ada siapa-siapa yang  menyambutnya, sepi, bahkan tak juga oleh orang yang dulunya paling dekat sekalipun.

Apapun itu nanti, gegap gempita atau sepi, ia telah menyelesaikan masa hukumannya dengan tuntas, dan akan keluar dengan tawa kemenangan, seperti Nelson Mandela.

Cowards die many times before their deaths; the valiant never taste of death but once --William Shakespeare--

***
Serpong, 4 Jan 2019
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...