Friday, September 30, 2011

Suatu Sore Di Emperan Toko Optik Java

Hari Sabtu menjelang perayaan Lebaran tahun ini, saya, istri dan anak saya jalan-jalan ke Pasar Pagi Mangga Dua, ditemani oleh keponakan saya dan istrinya yang sudah biasa dan sering mondar-mandir kesana.


Sudah lebih dari 3 tahun saya tak mengunjungi Pasar Pagi Mangga Dua. Terakhir kali yang saya ingat adalah ketika membelikan sepeda untuk anak saya ketika usianya 1,5 atau menjelang 2 tahun-an. Sepeda itu sekarang sudah terlampau kecil untuk anak saya, dan saya belum juga membelikan sepeda baru yang ukurannya ‘memadai’ untuknya. Untung anak saya tidak pernah merengek-rengek dibelikan sepeda. Tetapi hari itu tujuan saya ke Mangga Dua bukan untuk membeli sepeda, saya ingin mengantar istri saya mencari beberapa keperluan, di samping itu saya punya tujuan lain, yaitu memang sengaja ingin memotret keriuhan, hiruk-pikuk dan denyut nadi menjelang Lebaran pasar yang disebut sebagai pusat grosir terbesar di Asia Tengggara itu. Siapa tahu di pasar itu saya bisa menemukan inspirasi untuk jadi pedagang? Hmmm…apakah saya punya potongan untuk jadi pedagang?

Pasar Pagi Mangga Dua tetap ceria dan semarak pada hari itu, meleset dugaan saya bahwa tempat itu bakal sepi karena Lebaran kurang 3 hari lagi dan orang-orang tentunya sudah pada ‘mudik’. Setelah berjalan kian kemari, tak terasa sudah hampir setengah lima sore. Kamipun menyudahi belanja di Pasar Pagi Mangga Dua. Semula kami berniat untuk langsung pulang ke rumah, tetapi keponakan saya mengajak mampir ke Pasar Baru. “Mau beli apa?” tanya saya. “Cuma mau mengudap saja,” jawabnya. “Mengudap apa di sana kok sepertinya spesial?” tanya saya penasaran. “Lihat aja nanti, asyik deh pokoknya, tapi jangan kaget,” jawabnya. Okay-lah, pikir saya. Habis jalan-jalan, perut lapar dan kaki capek, nikmat juga nongkrong sambil makan, lagipula saya memang penasaran ingin tahu makanan spesial apa sih yang dicari keponakan saya ini.

“Ayo buruan,” kata saya.
“Tenang aja, ‘warung’nya tak akan buka sebelum jam 5 sore,” kata keponakan saya.

Kami sampai di Pasar Baru jam 16.40. Setelah memarkir mobil kami berjalan masuk di keramaian. Sampailah kami tiba di sebuah toko bertuliskan “Optik Java”. Saya menoleh kesana kemari tapi tak ada ‘warung’ atau penjual makanan. “Di mana warungnya?” tanya saya. “Di sini,” jawab keponakan saya sambil menunjuk emperan toko Optik Java itu. Saya lihat Optik Java ramai dengan pembeli. Ketika saya masih bingung keponakan saya bilang, “Kalau nggak mau menunggu, muter-muter saja dulu. Jam 5 nanti yang jual datang,” kemudian ia pergi. Saya menunggu duduk di undakan emperan toko bersama anak saya.

Saya mengobrol dengan anak saya sambil mengamati orang-orang lalu-lalang. Tanpa terasa menit demi menit berlalu dan ketika saya melirik ke sebelah kanan, seorang ibu datang membawa satu tampah (nampan bundar besar dari anyaman bambu) diikuti seorang bapak (saya yakin adalah suaminya). Ibu itu kemudian duduk di undakan emperan toko itu, lalu tampah itu dipangkunya. Si bapak yang membawa beberapa kantong kresek hitam penuh dengan muatan itu kemudian membukanya dan menuangkan (lebih tepat istilahnya adalah “menggerojokkan”) ke atas tampah itu seluruh isi kantong kresek hitam yang ternyata adalah segala rupa dan bentuk makanan dari ayam yang telah digoreng, misalkan daging ayam bagian paha dan dada, sate ati, sate ampela, sate usus, sate ginjal, sate jantung, ceker, bahkan kepala ayamnyapun tak ketinggalan. Pokoknya seluruh struktur anatomi ayam komplit tumpah ruah di tampah itu. Saya melirik arloji saya: jam 5 tepat.

Setelah semua rupa-rupa ayam yang jumlahnya pasti berekor-ekor itu digerojokkan sampai ‘munjung’ (penuh seperti gundukan) ke atas tampah, si bapak membuka kantong kresek hitam lainnya dan menggerojokkan serundeng (kelapa tua yang diparut, dibumbui dan digoreng sampai kering sehingga bisa ‘dijumput’ pakai tangan tanpa lengket) ke atas daging ayam goreng dan “teman-temannya” di atas tampah itu.

Setelah itu si bapak membuka lagi satu kantong kresek hitam yang ternyata di dalamnya adalah sambal yang telah diwadahi dalam sebuah toples plastik besar. Ketika tutup toples itu dibuka, sreeng…bau sedap sambalnya menyeruak, membuat air liur mau menetes dan mata seolah berair pedih karena kepedasan. Terakhir, si bapak membuka lagi satu kantong kresek hitam yang berisi bungkusan-bungkusan sebesar kepalan tangan yang ternyata adalah nasi yang dibungkus daun pisang dengan bungkus luarnya adalah kertas koran bekas. Lengkap sudah menu makan sore menjelang petang di emperan toko Optik Java Pasar Baru itu, tambahan pula ternyata (entah dari mana datangnya – saya tidak melihat) tiba-tiba sudah tersedia kursi-kursi plastik berkaki pendek mirip dengan kursi-kursi yang dipakai oleh anak-anak sekolah minggu di kelas kecil.


Yang menarik, ketika mereka baru saja menempelkan pantatnya di undakan emperan toko itu, mendadak sontak orang-orang pada datang dan mengerumuninya seraya memesan makanan dengan suara yang hiruk-pikuk:
“Nasi pakai sate ati dan sate usus,” kata seorang wanita muda yang rupanya kelelahan sehabis belanja.
“Saya pakai ayam, yang paha ya? Serundengnya yang banyak,” kata seorang ibu kemudian langsung duduk di undakan emperan toko itu.
“Bu, dibungkus, ayam dada satu, paha satu, sate ati tiga, sate usus lima, sambelnya dipisah,” kata seorang ibu sambil membuka dompet dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.

Saya perhatikan beberapa orang langsung mengambil nasi bungkus sendiri, mengambil ayam dan “teman-temannya” itu sendiri, minta sambal kepada si bapak kemudian duduk dan terus makan. Melihat gayanya saya kira orang itu sudah biasa dan menjadi pelanggan tetap. Kalau makan sudah selesai, si bapak minta orang itu menghitung sendiri untuk membayar, karena pelanggan tetap itu sudah tahu berapa harga setiap itemnya. Sayapun langsung hafal harganya walaupun baru pertama kali makan di situ sore itu: daging ayam 9 ribu, sate ati 6 ribu, sate ampela 6 ribu, sate usus 2 ribu, sate ginjal 2 ribu, sate jantung 2 ribu, nasi 2 ribu per bungkus, sambal dan serundeng gratis karena hanya diperhitungkan sebagai “garnish”. Tetapi walaupun hanya berperan sebagai garnish, justru 2 komponen ini yang menjadi faktor terpenting untuk menggugah selera, dan saya yakin karena 2 komponen inilah warung emperan itu punya “daya magis” untuk menarik perhatian orang-orang yang lalu-lalang di situ untuk mendekat dan mencoba rasanya, atau paling sedikit akan menoleh ketika lewat.

Tak lama kemudian istri saya, keponakan saya dan istrinya datang. Kami duduk di kursi plastik kemudian memesan makanan. Tak ketinggalan anak saya, ia ternyata mau juga ketika disuruh memilih. Tak tahu apa yang ada di benaknya ketika ia melihat berbagai rupa makanan yang menggunung di atas tampah itu, lagipula tempat si ibu itu memangku tampahnya tepat di depan hidung anak saya yang duduk di kursi plastik pendek itu.


Sementara itu saya lihat si ibu dan si bapak itu tak henti-hentinya melayani pembeli. Si ibu menyiapkan pesanan, si bapak menghitung dan menerima uang. Saking sibuknya, banyak pembeli yang tak “kepegang”, dan kadang-kadang pembeli yang tak sabar akhirnya mengambil sendiri, makan dan bayar. Kalau si pembeli mau “nakal”, maka ia bisa saja membayar sekenanya, artinya kalau mengambil 2 atau 3 macam bisa saja mengaku cuma ambil 1 macam. Siapa yang tahu? Tapi saya yang sejak jam 5 tet duduk di situ tak melihat kecurangan seperti itu terjadi.

“Bapak ke sini tadi naik apa, Pak?” tanya saya kepada si bapak.
“Naik mobil,” jawabnya di tengah kesibukannya.
“Woi..hebat!” kata saya (dan saya mengira ia benar-benar memakai mobil pribadinya hasil dari jualannya yang laris manis itu). Tapi si bapak buru-buru meneruskan sambil tertawa: “Mobil umum…ya…mobil umum.”
“Ohh..tidak apa-apa,” kata saya. “Kalau tiap hari laris begini pasti nanti bisa beli mobil ya bu?” kata saya sambil melirik si ibu. “Mudah-mudahan..insya Allah..” jawab si ibu sambil tersenyum.
“Nama Bapak siapa?” tanya saya lagi. Tiba-tiba ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu nama sambil berkata: “Pranata, kalau perlu saya hubungi saya di sini.” Saya terima kartu nama itu, tertera di sebelah atas: “Sate ayam serundeng khas kota Cirebon”, dilengkapi dengan namanya dan text “Terima Pesanan” lengkap dengan nomor handphone-nya. Sambil berdecak kagum saya berpikir, “Uhuiii..ini baru pertama kali saya bertemu dengan pemilik warung emperan toko yang unik dan advanced seperti ini.”

Itulah ‘warung’ rakyat jelata yang santai dan bebas sekali, tak ada aturan, tak ada yang dinamakan ‘table manner’ layaknya sebuah restoran. Jangankan sebuah restoran, warung biasa saja punya aturan walaupun aturannya agak longgar. Tapi di situ bebas merdeka, semua orang duduk mengitari ‘mbok bakul’ (ibu penjual) ayam yang sejak datang tadi terus duduk memangku tampah sehingga kaki dan lututnya itu sekaligus berfungsi sebagai meja. Bahkan saya melirik anak saya yang setelah menghabiskan satu tusuk sate ati kemudian “icip-icip” serundeng yang tertabur di atas tampah yang tepat berada di depan hidungnya pakai tusuk sate bekas mulutnya itu, hahahaha...Tapi semua orang makan dengan nikmat, bahkan kalau boleh saya katakan agak bombastis bahwa mereka merasakan suatu kenikmatan tiada tara tanpa ada sekat-sekat aturan sebuah tempat makan, tanpa ada “jaim-jaiman” dan segala prosedur. (jaim = jaga image).

Maka melihat keunikan seperti itu saya lantas berpikir, apa bedanya nilai kenikmatan saat makan di sebuah warung emperan toko dibanding dengan saat makan di restoran mahal di hotel berbintang atau di mal-mal yang elit? Delia Smith, seorang chef terkemuka dan presenter televisi dari Inggris mengatakan: “Food is for eating, and good food is to be enjoyed... I think food is, actually, very beautiful in itself.”

Harusnya kita setuju dengan Delia Smith, bahwa makanan adalah untuk dimakan, dan makanan enak adalah untuk dinikmati, karena makanan punya keindahan sendiri di dalamnya tak peduli dimana ia ditempatkan dan siapa yang mengolahnya (memasaknya). Jadi jika ayam goreng dan “teman-temannya” itu plus serundeng dan sambalnya buatan Pak Pranata “dipindahkan” tempatnya dari emperan toko itu ke restoran Syailendra di Hotel JW Marriott, atau ke restoran Le Seminyak di Pacific Place atau ke restoran Bungarampai di Teuku Cik Ditiro – Menteng, apakah ia langsung naik kelas walaupun rasanya tetap sama?

Dan jika kita yang selama ini selalu memandang rendah warung emperan semacam itu dan hanya mengijinkan perut kita untuk diisi dengan makanan di restoran mahal (dengan anggapan makanan di sini lebih bergizi, menyehatkan dan bikin otak lebih pintar), jangan-jangan kita malah ketagihan ayam goreng Pak Pranata setelah ia dipindahkan ke restoran mahal favorit kita? (Tentu saja tanpa bilang-bilang dulu). Kita tidak pernah tahu makanan itu dimasak oleh siapa dan darimana asalnya, bukan?



Jadi apa arti “makanan tingkat tinggi”? Apakah ia dihasilkan oleh seorang chef yang hebat dan terkenal? Ataukah ia ditempatkan di atas meja sebuah restoran elit dengan penataan meja kelas dunia, menggunakan piring mahal, didekorasi sedemikian rupa sehingga ada kesan artistik pada makanan itu, dan ditemani oleh anggur Cheval Blanc 1947? Bagi kita yang masih menganut pandangan seperti ini, agaknya lebih baik jika kita menyimak pengakuan Anton Ego, seorang Food Critic (kritikus makanan) di film Ratatouille: “Dunia sering tidak adil terhadap bakat baru dan kreasi baru. Bakat baru butuh pendukung, dan aku baru mengalami hal baru, dimana kutemukan masakan luar biasa dari sumber tak terduga. Hal ini menantang pandangan awalku terhadap masakan tingkat tinggi, dan pengalamanku itu telah mengguncangkan prinsip dasarku perihal nilai sebuah makanan.”

Dalam pergaulan saya dengan banyak teman, saya sering menemukan mereka yang terlalu bangga dengan restoran berkelas, hingga sering saya jumpai mereka aktif sekali mengupdate status Facebook-nya ketika mereka tengah menikmati makan di restoran elit, tetapi mungkin enggan atau malu ketika mereka misalnya, pada suatu waktu merasa sangat lapar dan ternyata hanya menemukan warung pinggir jalan saja.

Bukankah lukisan yang indah lahir dari tangan pelukis hebat, dan lagu yang menjadi “masterpiece” lahir dari jiwa komposer hebat? Demikian pula makanan yang enak dihasilkan oleh racikan koki yang hebat. Maka di sini kita menemukan Pak Pranata dan istrinya yang sederhana, yang “nglesot” di emperan toko dengan “ayam-ayamnya” itu, sesungguhnya adalah koki yang hebat, karena mereka kenyataannya ditunggu-tunggu pelanggan sedangkan restoran-restoran elit lebih sering harus menunggu pelanggan.



Anton Ego akhirnya mengakui: “Di masa lalu, aku terang-terangan menghina motto Chef Gusteau yang terkenal bahwa ‘Anyone can cook’, tapi kini baru kusadari apa yang dimaksudkannya, bahwa ‘Not everyone can become great artist, but great artist can come from anywhere’”.
Seorang koki, siapapun dia dan darimanapun datangnya bisa menghasilkan makanan enak. Dengan kata lain, sekalipun makanan yang enak itu dimasak oleh seekor tikuspun, mengkonfirmasi apa yang dikatakan Delia Smith, makanan enak tetaplah makanan enak, yang punya keindahan sendiri.

Bagaimana? Akankah kita masukkan ‘warung’ emperan Pak Pranata ke daftar wisata kuliner kita? Ataukah kita pindahkan tampah, ayam goreng (plus “teman-temannya”), serundeng dan sambalnya itu ke Hotel Indonesia Kempinski terlebih dahulu?
***

But if you show servile regard (prejudice, favoritism) for people, you commit sin and are rebuked and convicted by the Law as violators and offenders.” (Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran) - Yakobus 2:9

Serpong, Sep 2011
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...