Tuesday, December 23, 2008

Impromptu Moment

Waktu saya masih kecil, menjelang hari Natal tiba, ibu saya membuatkan bagi saya satu stel pakaian, yang nantinya akan saya kenakan pada hari Natal. Pakaian itu dari tahun ke tahun modelnya sama, yaitu sepotong celana pendek yang berwarna polos, tetapi di bagian bawahnya diberi kombinasi kain dari bahan lain yang bercorak garis atau kembang atau motif lain – melingkar selebar 3 senti sepenuh pipa kakinya. Bajupun juga demikian, warnanya senada dengan celananya tetapi diberi kombinasi kain dari bahan lain pula di bagian bawah lengan (melingkar setebal 3 senti sepenuh pipa lengannya). Di bagian tempat kancing kain kombinasi yang sama memanjang dari kerah ke bawah, juga di bagian sakunya. Mudah-mudahan anda bisa membayangkan seperti apa sepasang pakaian itu jadinya.

Mengapa harus dimodel demikian? Karena kain-kain itu dikumpulkan ibu saya dari kain-kain sisa orang yang menjahitkan pakaiannya kepada ibu. Ya, ibu saya memang seorang penjahit, yang hanya punya 1 mesin jahit. Belakangan dari hasil menabung rupiah demi rupiah, ibu saya bisa membeli 1 mesin untuk mengobras. Jadi, karena tidak punya banyak kelebihan uang untuk membeli kain yang utuh dan cukup untuk beberapa stel pakaian (untuk saya dan saudara-saudara saya), maka ibu saya harus “mengakali” seperti itu untuk membuat pakaian.

Satu stel pakaian yang sudah jadi itu akan disimpan oleh ibu, dan hanya akan dikeluarkannya dari lemari pada hari-H, yaitu hari dimana saya akan merayakan Natal di sekolah minggu. Jadilah saya punya baju baru. Maka dengan bangga saya kenakan baju itu dan berangkat ke gereja untuk merayakan Natal. Itulah baju baru yang saya punya di tahun itu. Sehabis Natal, tidak ada lagi baju baru sampai tahun depan di Natal berikutnya.

Sekarang, setelah puluhan tahun berlalu, saya berpikir: “Sedihkah saya jika waktu itu, di masa kecil saya itu, tak ada sepotong baju baru untuk saya di hari Natal? Akankah saya merengek dan menangis seandainya waktu itu ibu saya bilang bahwa kali ini tidak ada baju baru karena ibu tak punya uang?”

Mungkin saya sedih. Mungkin saya menangis. Mungkin saya tak mau pergi ke gereja merayakan Natal di sekolah minggu. Mungkin saya akan kesepian di hari Natal itu karena mengurung diri di dalam rumah. Mengapa? karena tak ada baju baru. Bagi anak kecil seperti saya, Natal adalah baju baru. Untunglah hal itu tak pernah terjadi. Benar, hal itu sungguh tak pernah saya alami di saat-saat Natal. Saya selalu punya baju baru, walaupun terbuat dari kain-kain sisa. Saya selalu merayakan Natal dengan hati gembira bersama teman-teman di gereja. Mengapa? Karena ada orang yang mengerti, ada orang yang peduli, ada orang yang selalu ingin memberi sepotong kebahagiaan. Sepotong kebahagiaan yang begitu sederhana, tetapi sangat berarti bagi seorang anak kecil seperti saya waktu itu.

Oprah Winfrey, di masa kecilnya lebih pilu. Di tengah-tengah keluarganya yang begitu miskin, tak pernah ada sepotongpun hadiah menghampirinya di hari Natal. Setiap tahun, ketika teman-temannya bertanya: “Oprah, what did you get on this Christmas?”, selalu dijawabnya dengan tatapan kosong. Tetapi, di suatu malam Natal, ketika Oprah sedang terdiam memandangi teman-temannya menerima hadiah dari keluarganya masing-masing, datanglah seseorang menghampirinya sambil menyerahkan sebuah hadiah. Tahukah anda apa yang dikatakan Oprah bertahun-tahun kemudian ketika dia mengingat peristiwa itu? Dia katakan: “That was the most beautiful moment in my life when someone that I have never known giving me care.

Mengapa Oprah bisa berkata demikian? Karena ada yang mengerti, ada yang peduli untuk memberikan sepotong kebahagiaan kepadanya. Betapa secuil kepedulian akhirnya mampu mengukir memory yang takkan terlupakan. Betapa secuil kepedulian sanggup meluruhkan kepahitan dan kesedihan yang bertumpuk selama bertahun-tahun, menyingkirkan keputus-asaan dan rasa kesepian yang terus menderanya, dan membangkitkan sebuah gairah untuk menghadapi hidup dengan penuh optimisme. Apakah mustahil jika akhirnya kesuksesan Oprah saat ini adalah salah satunya karena secuil kepedulian dari ‘someone’ saat itu?

***

Suatu ketika di hari Natal, kurang lebih 15 tahun yang lalu, waktu saya pulang dari rumah teman, dengan mengendarai sepeda motor saya lewat di sebuah jalan yang dikenal sebagai kawasan “lampu merah” di Surabaya. Saya harus lewat jalan itu untuk memperpendek jarak. Sepi sekali waktu itu. Hari sudah larut malam. Udara begitu dingin habis hujan. Tiba-tiba kuping saya menangkap sebuah suara memecah kesunyian. Sebuah lagu yang saya kenal, mengalun begitu syahdu di malam yang sunyi itu. Itulah lagu Silent Night 1) yang sangat biasa dinyanyikan di hari Natal.

Suara itu datang dari seorang tukang becak yang sedang bersiul sambil bersandar di tempat duduk becaknya berselimutkan sarungnya. Saya tertegun, saya pelankan sepeda motor saya. Bagai seorang prajurit yang serta merta berhenti demi mendengar lagu kebangsaan negaranya berkumandang, maka saya makin memperlambat sepeda motor saya dan berhenti sejenak. Saya tak mau kehilangan moment itu, sebuah “impromptu moment”, yang tidak diatur, yang sangat alami, yang tidak di-skenario-kan oleh siapapun. Saya dengarkan dan nikmati siulan tukang becak itu sampai selesai. Siulannya menyayat, tak ada suara apa-apa selain suara itu, hening, senyap.

Siapakah tukang becak itu? Oh mungkin dia adalah seorang suami, atau seorang ayah dari sebuah keluarga nun jauh di kampung desa, yang karena tuntutan nafkah harus tercerabut dari desanya utk merantau ke kota demi menyambung hidupnya dan keluarganya. Mungkin dia adalah seorang berandal yang lari dari kejaran polisi dan bersembunyi di lokalisasi itu. Mungkin dia adalah seorang penjudi yang kalah judi dan bangkrut kemudian terpuruk di comberan sudut kota itu karena tidak punya apa-apa lagi.

Tapi tidak mengapa, siapapun dia tidaklah penting. Yang dia inginkan adalah menyalurkan kerinduannya untuk merayakan Natal, di antara kesepiannya, di antara kesenyapan hatinya. Bukankah Natal milik semua orang? Dia terus bersiul, pelahan, tanpa iringan musik, tanpa candle light, tanpa pohon Natal. Tukang becak yang berselimutkan sarung itu tak terlihat jelas, karena lampu jalanan memang hanya remang-remang. Tidak tahu, bagaimana dia menghayati suasana Natal yang dia ciptakan sendiri itu. Tidak tahu, apakah dia begitu terharu, apakah dia menitikkan air mata, tidak tahu, cahaya lampu jalanan hanya memberi sedikit silhouette darinya.



Apakah yang dia rasakan saat itu? Mungkin sebuah damai Natal. Natal yang menyejukkan hati seorang, siapapun dia, Natal yang mengingatkan bahwa ada sebuah KASIH yang datang ke dunia tapi tak mendapat tempat yang layak, melainkan hanya tersedia sejengkal kandang binatang bau, kotor dan gelap, persis ujung gang tempat tukang becak itu berada.

Sungguh saya berterimakasih kepada tukang becak yang tidak saya kenal itu. Itulah untuk pertama kalinya saya menyadari betapa indahnya lagu “Silent Night” itu. Sudah berabad-abad sejak lagu itu diciptakan. Sudah beratus-ratus kali lagu itu saya dengarkan. Tetapi tidak pernah sedikitpun saya mengerti mengapa di setiap Natal lagu itu selalu dinyanyikan. Dan Natal bagi saya waktu itu adalah berpesta, saling mengirim hadiah, saling mengirim salam, saling mengirim kartu. Tak pernah saya tahu ada banyak sekali oprah-oprah yang sedang sedih karena tidak ada hadiah Natal untuknya. Tak pernah saya tahu ada tukang becak yang sedang kesepian di malam yang dingin dan sepi itu, yang hatinya sangat pilu merindukan anak dan istrinya hingga tak bisa merayakan Natal bersama-sama.

Sejak saat itu di setiap Natal, tak pernah saya lewatkan untuk menikmati lagu yang sangat hebat itu. Lagu yang tak usang ditelan jaman. Lagu yang mengubahkan pemahaman saya tentang makna Natal, tentang kepedulian Allah kepada manusia, kepada saya, hingga Dia sendiri yang harus turun dalam kepapaan untuk saya seorang pendosa ini. Saya tersentuh waktu itu, hanya oleh seorang tukang becak, yang tanpa dia sadari, telah memberi saya secuil kepedulian dan kebahagiaan dengan menyiulkan “Silent Night” di saat saya lewat.

Benar, Natal memang milik semua, dari yang tinggal mewah di istana sampai yang papa di jalan sempit kumuh, dari seorang raja yang berpakaian kebesaran sampai tukang becak yang berselimutkan kain sarung itu.

Seperti ibu saya yang begitu mengerti arti kepeduliaan untuk membuatkan baju bagi saya dari kain-kain sisa, agar saya bisa bersukacita merayakan Natal di waktu kecil, dan seperti ‘someone’ yang memberi sebuah hadiah Natal kepada Oprah Winfrey yang bertahun-tahun tak pernah mendapatkannya, dan seperti tukang becak di ujung gang lokalisasi kumuh yang terpinggirkan tapi telah memberikan kepedulian kepada saya yang tak tahu apa makna Natal sebelumnya, demikianlah kelahiran Yesus ke dalam dunia: memberi kepedulian, mencari yang hilang dan berdosa, walaupun semua orang tidak mempedulikanNya. Itulah anugrah, itulah KASIH, yang tak bisa dipahami dengan akal budi manusia.

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40)

***

Serpong, 23 Desember 2008
Titus J


Catatan:
1. Lagu “Silent Night” (dalam bahasa Jerman: Stille Nacht), lyric aslinya ditulis oleh seorang pastor Austria bernama Josef Mohr, dan melody-nya diciptakan oleh komposer besar Austria Franz Xaver Gruber. Pada tahun 1863, John Freeman Young menerjemahkan dalam bahasa Inggris. Berikut ini lyric-nya:

Silent night, holy night
All is calm, all is bright
'Round yon virgin mother and Child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace



Silent night, holy night,
Shepherds quake at the sight
Glories stream from heaven a far,
Heav'nly hosts sing Alleluia
Christ the Saviour is born
Christ the Saviour is born



Silent night, holy night,
Son of God, love's pure light
Radiant beams from Thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus, Lord at Thy birth
Jesus, Lord at Thy birth

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...