Saturday, March 30, 2019

Cerita Jokowi


Menarik sekali memperhatikan model kampanye Jokowi. Ia keliling daerah untuk bertemu masyarakat, bukan untuk berpidato, tetapi mengajak ngobrol. Enak melihat kampanye model begini, tidak ada teriak-teriak dan marah-marah.

Dalam setiap kunjungannya itu selalu ada cerita. Cerita itu lalu ditulis (tim penulisnya cerdas), dan diposting di akun medsosnya beserta foto atau video. Semua yang ditulis itu sederhana dan tidak bombastis. Tetapi walaupun sederhana, tulisan-tulisan itu sarat dengan pesan, memberikan informasi tentang denyut nadi masyarakat yang ia kunjungi dan hasil kerjanya selama ini. Postingannya mendapat ratusan ribu 'view' dan 'like'. Memang tidak semua berkomentar positif, ada sebagian memaki. Lucu juga model follower begini, mereka mem-follow hanya untuk memaki.

Kampanye dengan model cerita seperti itu sangat produktif, konstruktif dan edukatif. Membaca cerita Jokowi, kita seperti dibawa keliling Indonesia dan melihat negeri ini dalam keadaan apa adanya. Ia bercerita sejujurnya agar kita dapat menilainya dengan sejujurnya juga.

Ia tidak hanya memposting cerita yang manis  saja. Ia menunjukkan semua, termasuk keadaan daerah yang masih nestapa. Tetapi dalam kenestapaan itu ia selalu menghembuskan optimisme bahwa keadaan seburuk apapun pasti bisa diatasi, karena ia telah memberikan hatinya. Ia adalah pemimpin yang melayani, bukan memerintah.

Cerita Jokowi tentang Indonesia seakan mengajak kita untuk melihat gambar masa depan kita. Gambar itu memang belum selesai sekarang, tetapi rekam-jejaknya selama ini menumbuhkan semangat kita untuk memiliki Indonesia yang bisa bikin kita bangga.

Tetapi sayang tidak semua senang dengan apa yang ia kerjakan. Ia dituduh berbohong. Jika ia mau berbohong, terlalu banyak yang harus ia tutupi, terlalu banyak yang harus ia ingat. "No man has a good enough memory to be a successful liar," kata Abraham Lincoln. Jokowi tak perlu berbohong karena jejaknya ada dan ia membiarkan jejak itu bercerita sendiri.

Jadi sebenarnya Jokowi tidak perlu kampanye. Pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukannya dan hasilnya itulah yang berkampanye untuknya.

***
Serpong, 30 Mar 2019
Titus J.

Thursday, March 28, 2019

Perempuan Dengan Enam Laki-Laki


Pra-Paskah 2019 - hari#20

Perempuan Samaria yang berbincang dengan Yesus dekat sumur itu pasti seorang yang cantik. Jika dibuat hiperbolik, ia adalah perempuan yang pandai merayu lelaki, seksi dan mempesona.

Betapa tidak. Ia sudah menaklukkan enam laki-laki dan kemungkinan akan menaklukkan lelaki ketujuh, kedelapan, kesepuluh, dan entah berapa lagi, hingga pada suatu siang yang terik Yesus menyapanya.

"Berilah Aku minum," pinta Yesus yang letih karena perjalanan. Perempuan itu kaget, karena baru kali itu ada orang Yahudi menyapanya dengan ramah. Perempuan itu masih heran hingga Yesus mendesaknya, "Sebagai gantinya, Aku akan memberi kamu air hidup."

"Air? Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam," kata perempuan itu. "Hmmm.. Jika kau minum air dari sumur ini, kau akan haus lagi, tetapi air dari-Ku akan memuaskanmu, kau tidak akan haus lagi selamanya," jawab Yesus.

"Oh, berikan aku air itu, Tuan, agar aku tak usah lagi datang kesini," pintanya seraya mengingat betapa tertekan jiwanya akibat menjadi pergunjingan. Ia memilih jam-jam yang sepi di siang bolong untuk menimba air. Baginya lebih baik kulitnya disengat terik matahari daripada disengat gosip para perempuan.

Yesus yang tahu kehidupan kelam perempuan itu lalu menanyakan suaminya. "Ah, aku tidak mempunyai suami," jawabnya menggoda. "Benar juga, lima orang suamimu yang terdahulu sudah tidak bersamamu, dan sekarang kau tinggal bersama laki-laki yang bukan suamimu..."

Jleb! Perempuan itu shocked. Bagaimana Orang di depannya ini bisa mengerti jiwanya yang tetap gersang walaupun sudah enam laki-laki hidup bersamanya? Di siang yang terik itu mukanya merah karena malu, tetapi ia tidak tersinggung walaupun Yesus menyentil ranah hidupnya yang paling privat.

Ia meninggalkan tempayan airnya lalu berlari pulang. Perjumpaannya dengan Yesus mengubah hidupnya hingga tanpa malu-malu ia bersaksi kepada orang sekampungnya atas apa yang ia alami.

Demikianlah Yesus membereskan dosa dengan cara-Nya yang sangat elegan. Perempuan itu mengecap air yang Yesus berikan, dan sesudah itu tak ada laki-laki ketujuh yang menghampirinya.

***
Serpong, 28 Mar 2019
Titus J.

Monday, March 25, 2019

Lubang Kehampaan


Pra-Paskah 2019 - hari#17

Sebagai seorang Farisi yang sangat ketat menjalankan Taurat, Nikodemus yakin bahwa amal-ibadah yang ia kerjakan seumur hidupnya sesuai tuntutan Taurat itu bakal menjadi bekalnya dalam kehidupan nanti sesudah mati. Ia merasa layak mendapatkan hidup kekal.


Tetapi sejak munculnya Yesus, yang pengajaran-Nya begitu cepat menyebar dan menjadi buah bibir di masyarakat, ia menjadi ragu-ragu. Benarkah Taurat menjamin keselamatannya? Ia merasa ada satu bagian kosong, sesuatu seperti sebuah lubang hampa yang menganga di hatinya yang sungguh menggelisahkannya.

Tergerak oleh sosok pribadi Yesus yang sangat berbeda dengan para ahli Taurat yang ia kenal, ia mendatangi Yesus di suatu malam yang sepi. Ia belum pernah bertatap muka dengan Yesus. Dan benar, ketika Yesus menyapanya, tatapan mata-Nya dan ketegasan suara-Nya sudah cukup menyatakan bahwa sosok yang sedang berbicara dengannya itu bukanlah Pribadi biasa.

"Guru, apa yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup kekal?" tanya Nikodemus. "Sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah," jawab Yesus. Nikodemus terperanjat. Bagaimana seseorang dilahirkan lagi jika ia sudah tua? Haruskah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya?

"Jika engkau tidak dilahirkan dengan air dan Roh, engkau binasa, sebab yang dilahirkan oleh daging, adalah daging, tetapi yang dilahirkan dari Roh, adalah roh," kata Yesus. Nikodemus yang menjalankan Taurat seumur hidupnya merasa layak untuk memperoleh Surga, tetapi Yesus tahu tak ada seorangpun yang sempurna hingga Dia sendiri yang harus datang menggenapkannya.

Dalam keremangan pelita di malam itu, Yesus menunjukkan jalan keselamatan. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya barang siapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."

Perbincangan malam itu rupanya telah merontokkan kebanggaan Nikodemus sebagai pelaku Taurat yang tak bercacat. Ia pulang dengan hati yang berdebar, tetapi ia rasakan lubang kehampaan di hatinya tak lagi menganga. 

***
Serpong, 25 Mar 2019
Titus J.

Thursday, March 21, 2019

Hati Yang Hitam


Pra-Paskah 2019 - hari#14

Petrus dan Yudas Iskariot adalah dua murid Yesus yang ikut menorehkan tinta merah pada jejak sengsara Yesus. Mereka sama-sama mengalami kegagalan. Tragis memang. Dari kisah tentang dua murid yang sama-sama gagal itu, sebenarnya ada perbedaan yang penting untuk kita renungkan.

Kegagalan Petrus terjadi begitu spontan. Ia adalah seorang yang polos, berani, outspoken. "Malam ini kamu semua akan tergoncang imanmu karena Aku," kata Yesus. "Tidak, Guru. Sekalipun mereka lari, aku tak akan meninggalkan-Mu," kata Petrus dengan spontan dan gagah berani. Tetapi ketika Yesus ditangkap dan dibawa ke hadapan imam besar, lalu ada orang menudingnya, "Engkau pasti murid-Nya!", maka iapun menjawab, "Ah, ngawur! Aku tak kenal Dia!" Itu adalah jawaban yang spontan karena takut. Sangat wajar, Petrus adalah manusia biasa.

Tapi Yudas berbeda. Ia merencanakan pengkhianatan. Itu premeditated betrayal, bukan spontan. Ia secara sadar mendatangi mahkamah agama, "Apa yang akan engkau berikan padaku jika aku menyerahkan Dia?" Dan ketika para imam itu menjanjikan imbalan 30 keping perak, Alkitab menulis: "Mulai saat itu ia mencari kesempatan untuk menyerahkan Yesus." Angka 30 keping perak adalah harga seorang budak (Keluaran 21:32). Betapa recehannya Yudas menimbang harga Gurunya untuk sebuah pengkhianatan.

People make mistakes, kata orang bijak. Tetapi ada orang yang dilahirkan dengan nature jahat dan tidak bisa berubah. Yesus sudah mengingatkan Yudas. "Sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku," kata-Nya. Dan Yudas pun berpura-pura bertanya, "Bukan aku ya Guru?" Ketika ia mengatakan ini, tidakkah hatinya bergetar saat menatap mata Gurunya? Dan adegan "serah-terima" yang ia lakukan di Taman Getsemani itu sungguh licik. Ia mengucapkan salam kepada Yesus, mencium-Nya, lalu menyerahkan-Nya.

Petrus menangis tersedu-sedu ketika mendengar ayam berkokok, Yudas melemparkan kepingan perak itu ketika tahu Yesus divonis mati. Di akhir kisah, Petrus dipulihkan, tetapi Yudas mengambil seutas tali dan mencari pohon.

Hati Yudas benar-benar hitam. 


***
Serpong, 21 Mar 2019
Titus J.

Saturday, March 16, 2019

Airmata Yang Jatuh di Kaki-Nya


Pra-Paskah 2019 - hari#10

Seorang Farisi bernama Simon mengundang Yesus untuk makan di rumahnya. Tumben Yesus mau menerima undangannya. Biasanya Yesus lebih suka bergaul dengan rakyat jelata, ketimbang dengan para elit.

Sebenarnya saya ingin tahu apa yang dibicarakan dalam acara makan itu, sebab acara makan yang dihadiri tokoh akan selalu ada topik penting untuk dibicarakan. Tidak mungkin tokoh-tokoh berkumpul dalam acara perjamuan makan tidak membicarakan sesuatu yang spesial. Masa mereka cuma ngomongin lezatnya ayam goreng, sup kambing, tongseng, dan sambel terasi yang terhidang di meja? Tidak mungkin.

Tetapi tidak ada catatan apapun di Alkitab tentang agenda pembicaraan yang dipersiapkan oleh orang Farisi itu, malahan yang ditulis adalah sebuah kejadian tentang seorang perempuan berdosa yang tiba-tiba datang ke acara itu, menangis di kaki-Nya, memecahkan buli-buli berisi minyak wangi yang mahal, lalu meminyaki kaki Yesus dan mengelapnya dengan rambutnya. Istilah perempuan berdosa di Alkitab merujuk kepada pelacur. Alkitab bahkan memberi penegasan bahwa di kota itu, perempuan itu "terkenal" sebagai perempuan berdosa (Lukas 7). Saking terkenalnya, orang Farisi itu langsung membatin, "Jika Ia ini Nabi, tentu Ia tahu bahwa perempuan ini adalah perempuan berdosa. Kok mau-maunya Ia dijamah oleh perempuan yang najis ini?"

Tetapi Yesus yang tahu apa yang ada dalam hati orang Farisi itu membela perempuan itu. Ia justru melihat jiwa yang berharga pada perempuan itu, yang memiliki ketulusan hati, yang mengakui bahwa dosanya membutuhkan pengampunan. Sedangkan orang Farisi itu walaupun membuka pintu rumahnya, ia tidak membuka hatinya untuk Yesus.

"Dosanya yang banyak itu telah diampuni," kata Yesus di sela sedu-sedan perempuan itu. Itulah sebabnya ia pecahkan buli-buli minyak wangi itu, ia pecahkan gengsinya, ia pecahkan masa lalunya yang berdosa, dan membawa persembahan kasihnya kepada Yesus.

"Sebab orang yang sedikit diampuni, sedikit pula berbuat kasih," kata Yesus di tengah perjamuan makan itu lalu berpamitan meninggalkan orang Farisi yang merasa suci itu. 

***
Serpong, 16 Mar 2019
Titus J.

Ia Tak Bisa Ditiru

Bersikap natural atau apa adanya ternyata tidak gampang. Tidak semua orang bisa, karena ia muncul dengan sendirinya dari dalam, tanpa settingan.

Jokowi itu natural. Ia apa adanya, mulai dari cara bicaranya sampai cara bertindaknya. Jika kita melihatnya tanpa kebencian, kita akan rela mengakui hal itu. Seorang Jokowi bukanlah sosok yang suka berpura-pura.

Dulu pada waktu ia masih walikota Solo, dalam satu talkshow di salah satu radio swasta, host-nya berkomentar, "Pak Jokowi, wajah Bapak sangat sederhana," lalu berderai-derailah tawa keduanya. Saya juga ngakak, sebab yang dimaksud host radio soal wajah Pak Jokowi yang sederhana itu sebenarnya adalah "sederhana".

Yang lebih mengesankan dari naturalnya Jokowi itu adalah gaya hidupnya. Setelah menjabat Presiden, ia tidak lantas berubah menjadi raja yang menuntut orang membungkuk-bungkuk menghormatinya. Ia tidak minta dilayani dengan khusus, tidak minta diistimewakan. Memang ia harus mengikuti protokoler kepresidenan yang acap kali membelenggunya. Tapi ia sudah banyak memutus rantai dan memperpendek pagar.

Mungkin bagi Jokowi, Presiden cuma jabatan yang sementara, sedangkan dirinya tetaplah manusia yang tidak perlu berubah karena sebuah jabatan. Orang bisa mencolek pundaknya ketika ia mengendarai 'moge' saat konvoi di Sukabumi. Ia juga makan soto di warung, ngopi di kedai pinggir jalan, jajan gorengan di pasar tradisional, naik KRL, ngobrol dengan anak-anak muda, ngevlog.

Jokowi tidak pernah jaim. Walaupun kelihatan 'klemar-klemer', tapi kerjanya "gila". Makanya kemana-mana ia suka pakai jeans dan sneakers, untuk menunjukkan bahwa ia memang orang lapangan, orang yang turun ke bawah, tidak hanya duduk di kantor dan menunggu laporan.

Itulah sebabnya kemanapun Jokowi berkunjung, orang merubungnya, memanggilnya, menyalaminya, mengajaknya selfie. Karena naturalnya itu, para pembencinya geram. Mereka geram karena cemburu. Mereka cemburu karena tidak bisa menjadi natural. Ini yang tidak bisa ditiru.

Enak sekali menjadi natural, apa adanya, sebab berpura-pura itu capek. Wajah yang "sederhana" juga anugerah Tuhan, tidak perlu bingung operasi plastik.

***
Serpong, 14 Mar 2019
Titus J.

Berjalan ke Yerusalem


Pra-Paskah 2019 - hari#5

Paskah tidak hanya mengingatkan kita tentang penderitaan tapi juga kemenangan, tidak hanya mengingatkan kita tentang kehinaan tapi juga kemuliaan, tidak hanya tentang kematian tapi juga kehidupan. Paskah adalah kisah paradoks.

Beberapa kali dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus sudah mengatakan tentang penderitaan, kehinaan dan kematian yang harus Ia hadapi itu. "Mari kita berangkat kesana, dan disanalah Aku akan menanggung hinaan, persekusi oleh para imam, tuntutan mati, dan disalibkan," kata-Nya kepada murid-muridNya.

Tidak ada tokoh yang begitu "firmed" dalam menyikapi penderitaan dan kematian yang ia tahu bakal dialaminya. Seseorang bisa sangat "firmed" untuk mengejar cita-cita dan meraih sukses, lalu berusaha dengan segenap daya dan upaya agar apa yang didambakannya tercapai. Bahkan seorang panglima perang pun akan selalu ingin pulang membawa kemenangan dengan tetap hidup. Tetapi untuk sebuah tujuan yang berakhir dengan kematian, Yesuslah yang mengerjakannya dengan niat yang maksimal.

Ia menuju Yerusalem untuk menyongsong kematian sebagai sebuah mandat. "Makanan-Ku adalah melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa kepada-Ku," kata-Nya ketika murid-muridNya bertanya soal makanan kepada-Nya. Ia harus mengecap kematian untuk memenangkan perang dan memberikan kehidupan. Betapa paradoks. Hal ini aneh, tidak masuk akal, dan menjadi bahan tertawaan oleh dunia.

Tetapi itulah kasih yang melampaui segala akal, yang tidak bisa dipahami kecuali dengan memandang kepada salib. Salib yang mengerikan itu Ia rasakan sebagai wujud keindahan kasih yang Ia lakukan dengan setulus hati dan segenap niat. Inilah paradoks yang Yesus tunjukkan, ketika Ia mengambil tempat mengerikan yang harusnya diperuntukkan untuk kita agar kita memperoleh tempat yang mulia milik-Nya. "I have found a paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love," kata Mother Teresa.

Kasih yang melampaui segala akal itu membuat niat-Nya begitu "firmed" untuk berangkat ke Yerusalem. Disanalah Ia merebut tempat kita di kayu salib, agar kita tidak terluka. 

***
Serpong, 11 Mar 2019
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...