Monday, August 15, 2016

Merawat Cinta Dengan Matematika Cinta

Cinta bukan matematika.

Benar, cinta bukan urusan tambah-kurang-kali-bagi seperti matematika, tetapi ada matematika cinta. Dalam matematika setiap angka adalah ajaib, karena dengan angka-angka itu orang dapat menciptakan apa saja. Namun keajaiban angka dalam matematika masih countable. Sebut saja berapapun angka yang bisa kita sebut, ia tetap countable. Tidak demikian dengan matematika cinta. Kata jurnalis Amerika Mignon McLaughlin (1913 – 1983), “In the arithmetic of love, one plus one equals everything, and two minus one equals nothing.”

Formula matematika cinta dari McLaughlin itu sepertinya derivatif (turunan) dari formula yang sangat tua ketika Tuhan menyatukan dua manusia pertama: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. (Markus 10:7-9)

Sejak dua orang yang berbeda itu menjadi satu dalam perkawinan, mereka melebur, bertransformasi menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Betapa dahsyatnya efek perkawinan dari dua orang yang saling mencintai. Kita melihat banyak kisah tentang kekuatan cinta. Kekuatan cinta memungkinkan mereka yang satu itu melakukan everything. Sebaliknya, ketika yang sudah melebur itu berpisah, bercerai, maka yang everything itu akan menjadi nothing. Betapa tak berartinya kesatuan yang sudah menjadi terbelah dan terkoyak.

Dalam suatu upacara pemberkatan perkawinan yang saya hadiri beberapa waktu yang lalu, Bapak Pendeta menyampaikan nasihat perkawinan yang baik dan bernas: “Istri atau suami kita jangan dituntut untuk sama seperti idola kita. Seorang idola akan selalu tampak indah karena kita hanya melihatnya saat tampil di panggung saja, sedangkan pasangan kita setiap hari tinggal serumah, dan kita tahu ‘kelakuannya’ mulai dari melek mata di pagi hari hingga memejamkan mata di malam hari.”

“Orang yang memutuskan menikah dengan pasangannya adalah orang yang berani menghadapi masalah,” lanjut Bapak Pendeta. Masalah? Benarkah perkawinan adalah keranjang berisi masalah? Dari satu perspektif tampaknya logika ini memang benar, sebab perjalanan yang kita lalui semasa berpacaran dengan pasangan kita akan sangat berbeda sekali dengan perjalanan saat kita sudah menikah. Ajaibnya, justru hal-hal yang tidak pernah menjadi masalah di masa berpacaran tiba-tiba menjadi masalah di saat sudah menjadi suami-istri. Tetapi orang yang tidak menikahpun juga punya masalah, bukan?

Tetapi dari perspektif yang lain, perkawinan merupakan ladang untuk menyemai benih cinta. Benih cinta itu perlu untuk disirami, dipupuk dan dirawat sehingga ladang kita menjadi ladang yang subur, tempat dimana cinta bertumbuh dan menghasilkan buah. Di situlah keindahan merawat perkawinan. Bahwa terkadang muncul ilalang dan onak duri, terkadang layu dan membosankan, selama ladang itu tidak dibongkar, maka sebuah perkawinan betapapun kritisnya masih bisa diselamatkan. Jangan pernah membongkar ladang perkawinan, sebab begitu ladang itu dibongkar, perkawinan hanya tinggal cerita. Demikianlah nasihat Bapak Pendeta.

Kenyataannya banyak pasangan yang sudah terlanjur membongkar ladangnya atau membuka ladang baru. Yang paling celaka, sebagian lainnya malah memasuki ladang orang lain.

Mereka mengeluhkan perbedaan, mengungkapkan kejelekan pasangannya, dan akhirnya bilang: “Kami tidak cocok lagi”. Ada juga yang mencoba bertahan, namun bertahannya itu sebenarnya hanya semata-mata persoalan mempertahankan status, bukan berusaha untuk memupuk kembali cinta yang layu dan terbengkalai itu. Mereka masih tinggal di bawah atap yang sama, tidur di ranjang yang sama, namun hatinya mengembara sendiri-sendiri ke tempat kesukaan mereka masing-masing.

Dalih “Kami tidak cocok lagi” itu sebenarnya alasan kuno dan paling gampang dijadikan alasan, karena masing-masing pihak ingin memaksakan pihak lain agar berubah sesuai keinginannya. Pertanyaannya, mengapa bukan kita yang berusaha menyesuaikan diri dengan pasangan kita? When you can’t change the direction of the wind, adjust your sails.

Jika kita mengharapkan kesempurnaan pasangan kita, bukankah hal itu cuma ada di negeri dongeng? Kita sama-sama orang berdosa, bagaimana yang berdosa menuntut kesempurnaan orang lain? “A great marriage is not when the perfect couple comes together. It is when imperfect couple learns to enjoy their differences,” kata Dave Meurer.

Kata kunci dari perkataan Meurer di atas adalah “learn”. Dalam perkawinan, Tuhan meminta kita saling belajar. Bukankah pasangan kita adalah partner belajar yang paling baik? Menikmati perbedaan dengan pasangan kita adalah anugerah Tuhan.

Saya bersyukur mempunyai istri yang tidak sempurna, banyak kekurangan dan banyak perbedaan dengan saya. Dari kekurangannya itulah saya belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Saya tidak perlu membandingkan istri saya dengan teman-teman saya waktu sekolah dulu maupun teman-teman saya sekarang, sebab pilihan itu sudah final. Apakah sang penggoda yang beredar itu tidak pernah mengunjungi saya? Pernah. Tak ada yang kebal terhadap godaan sang penggoda. Tetapi soal membuka pintu atau tidak, itu adalah pilihan.

Saya baru tahu kalau istri saya adalah seorang yang pelupa dan teledor setelah tahun kesekian pernikahan kami. Pelupa dan teledornya itu sudah ‘bawaan orok’, kata orang Betawi. Sudah beberapa kali istri saya kehilangan dompet, lupa mematikan api kompor sehingga menghanguskan panci, ketinggalan sesuatu ketika bepergian bersama, dan begitu sudah jauh dari rumah kemudian harus putar-balik. Sudah tak terhitung ia lupa menaruh barang, dan begitu dibutuhkan membuat orang serumah kalang-kabut, dan yang baru-baru ini terjadi adalah nasib tragis handphone-nya yang kecemplung closet (Betapa indahnya teledornya!).

Di sisi sebaliknya, saya selalu menaruh barang pada tempatnya, mempersiapkan keperluan sebelum pergi, memeriksa setiap pintu rumah sebelum tidur apakah sudah terkunci, dompet tidak pernah ketinggalan, handphone hanya pernah satu kali ketinggalan (seingat saya).

Tetapi saya menyadari begitu banyaknya kelemahan dan kekurangan saya di mata istri saya. Kesalahan dan kegagalan saya jauh lebih banyak. Tetapi, menikah bukan untuk menghitung kesalahan dan kekurangan pasangan kita, bukan? Jika kita sibuk menghitung kesalahan orang lain, kita tidak punya waktu lagi untuk melihat kebaikan-kebaikannya. Begitu panjang daftar sikap dan tindakan istri saya yang sangat bernilai, terutama di tahun-tahun awal pernikahan kami yang mengukir banyak pengalaman dramatis yang sudah kami jalani bersama.

Memang, pertengkaran kadang-kadang terjadi terutama soal-soal yang berkaitan dengan anak-anak. Soal waktu makan anak-anak saja kami berbeda. Bagi istri saya, anak-anak tidak boleh telat makan, sedangkan bagi saya, fleksibel sajalah. Jika sedang bepergian, ketika jam makan sudah tiba sedangkan kami masih berada di tengah jalan yang macet, nah, Anda bisa bayangkan suasana dalam mobil. Kalau bisa saya ingin loncat keluar mobil karena tidak tahan mendengar nyanyian merdunya karena anak-anak belum diberi makan.

Itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Tetapi saya tidak mempunyai rencana untuk meminta ia mengubah dirinya. Biarlah dia yang pelupa tetap pelupa, yang teledor tetap teledor, yang repot soal jam makan tetap repot saja. Toh saya bisa menjadi pengingatnya dan hanya butuh kesabaran yang lebih saja. Formula matematika cinta mengajarkan kebersamaan jauh lebih penting, terutama kebersamaan di saat-saat saya membutuhkan pundaknya untuk bersandar dan melepas lelah. Di saat-saat seperti itu, soal pelupa atau teledor tidak penting lagi.

Jika malam hari tiba dan istri saya sudah tertidur, saya terkadang menatapnya diam-diam. Dalam keremangan lampu kamar itulah saya melihat betapa umur tak bisa dilawan. Oleh sebab itu saya senang jika istri saya rajin merawat kulit dan wajahnya. Tetapi saya katakan, jauh lebih penting lagi untuk merawat cinta.

A successful marriage requires falling in love many times, always with the same person,kata McLaughlin.

Ya, kita boleh jatuh cinta berkali-kali, asalkan dengan orang yang sama. Saya tidak tahu rasanya jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama. Apakah saya bisa jatuh cinta kepadanya berkali-kali? Di usia perkawinan yang sudah 18 tahun ini, sulit mengukur rasanya jatuh-bangun karena cinta, sebab kadang-kadang dalam cinta terselip rasa benci, kecewa, jengkel, marah, ingin berjauhan, takut kehilangan, rindu, dan cinta kembali.

Apakah istri saya juga merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan? Entahlah. Besok saya akan menghampirinya, dan menatap matanya, untuk mencari kejujuran di hatinya.


***
Let the wife make the husband glad to come home, and let him make her sorry to see him leave. (Martin Luther)

Serpong, Ags 2016
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...