Cinta bukan matematika.
Benar, cinta bukan urusan tambah-kurang-kali-bagi
seperti matematika, tetapi ada matematika cinta. Dalam matematika setiap angka
adalah ajaib, karena dengan angka-angka itu orang dapat menciptakan apa saja. Namun
keajaiban angka dalam matematika masih countable. Sebut saja berapapun
angka yang bisa kita sebut, ia tetap countable. Tidak demikian dengan matematika
cinta. Kata jurnalis Amerika Mignon McLaughlin (1913 – 1983), “In the
arithmetic of love, one plus one equals everything, and two minus one equals
nothing.”
Formula
matematika cinta dari McLaughlin itu sepertinya derivatif (turunan) dari
formula yang sangat tua ketika Tuhan menyatukan dua manusia pertama: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia.” (Markus 10:7-9)
Sejak dua orang yang berbeda
itu menjadi satu dalam perkawinan, mereka melebur, bertransformasi menjadi satu
kesatuan tak terpisahkan. Betapa dahsyatnya efek perkawinan dari dua orang yang
saling mencintai. Kita melihat banyak kisah tentang kekuatan cinta. Kekuatan
cinta memungkinkan mereka yang satu itu melakukan everything. Sebaliknya, ketika yang sudah melebur itu berpisah,
bercerai, maka yang everything itu
akan menjadi nothing. Betapa tak
berartinya kesatuan yang sudah menjadi terbelah dan terkoyak.
Dalam suatu upacara pemberkatan
perkawinan yang saya hadiri beberapa waktu yang lalu, Bapak Pendeta menyampaikan
nasihat perkawinan yang baik dan bernas: “Istri atau suami kita jangan dituntut
untuk sama seperti idola kita. Seorang idola akan selalu tampak indah karena
kita hanya melihatnya saat tampil di panggung saja, sedangkan pasangan kita
setiap hari tinggal serumah, dan kita tahu ‘kelakuannya’ mulai dari melek mata
di pagi hari hingga memejamkan mata di malam hari.”
“Orang yang memutuskan menikah
dengan pasangannya adalah orang yang berani menghadapi masalah,” lanjut Bapak
Pendeta. Masalah? Benarkah perkawinan adalah keranjang berisi masalah? Dari
satu perspektif tampaknya logika ini memang benar, sebab perjalanan yang kita
lalui semasa berpacaran dengan pasangan kita akan sangat berbeda sekali dengan
perjalanan saat kita sudah menikah. Ajaibnya, justru hal-hal yang tidak pernah
menjadi masalah di masa berpacaran tiba-tiba menjadi masalah di saat sudah
menjadi suami-istri. Tetapi orang yang tidak menikahpun juga punya masalah,
bukan?
Tetapi dari perspektif yang
lain, perkawinan merupakan ladang untuk menyemai benih cinta. Benih cinta itu
perlu untuk disirami, dipupuk dan dirawat sehingga ladang kita menjadi ladang
yang subur, tempat dimana cinta bertumbuh dan menghasilkan buah. Di situlah
keindahan merawat perkawinan. Bahwa terkadang muncul ilalang dan onak duri, terkadang
layu dan membosankan, selama ladang itu tidak dibongkar, maka sebuah perkawinan
betapapun kritisnya masih bisa diselamatkan. Jangan pernah membongkar ladang
perkawinan, sebab begitu ladang itu dibongkar, perkawinan hanya tinggal cerita.
Demikianlah nasihat Bapak Pendeta.
Kenyataannya banyak pasangan
yang sudah terlanjur membongkar ladangnya atau membuka ladang baru. Yang paling
celaka, sebagian lainnya malah memasuki ladang orang lain.
Mereka mengeluhkan perbedaan,
mengungkapkan kejelekan pasangannya, dan akhirnya bilang: “Kami tidak cocok
lagi”. Ada juga yang mencoba bertahan, namun bertahannya itu sebenarnya hanya
semata-mata persoalan mempertahankan status, bukan berusaha untuk memupuk
kembali cinta yang layu dan terbengkalai itu. Mereka masih tinggal di bawah
atap yang sama, tidur di ranjang yang sama, namun hatinya mengembara
sendiri-sendiri ke tempat kesukaan mereka masing-masing.
Dalih “Kami tidak cocok lagi”
itu sebenarnya alasan kuno dan paling gampang dijadikan alasan, karena
masing-masing pihak ingin memaksakan pihak lain agar berubah sesuai
keinginannya. Pertanyaannya, mengapa bukan kita yang berusaha menyesuaikan diri
dengan pasangan kita? When you can’t
change the direction of the wind, adjust your sails.
Jika kita mengharapkan
kesempurnaan pasangan kita, bukankah hal itu cuma ada di negeri dongeng? Kita
sama-sama orang berdosa, bagaimana yang berdosa menuntut kesempurnaan orang
lain? “A great marriage is not when the perfect couple comes together. It is
when imperfect couple learns to enjoy their differences,” kata Dave Meurer.
Kata kunci dari perkataan Meurer di atas
adalah “learn”. Dalam perkawinan, Tuhan meminta kita saling belajar. Bukankah pasangan
kita adalah partner belajar yang paling baik? Menikmati perbedaan dengan
pasangan kita adalah anugerah Tuhan.
Saya bersyukur mempunyai istri yang tidak
sempurna, banyak kekurangan dan banyak perbedaan dengan saya. Dari kekurangannya
itulah saya belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Saya tidak perlu
membandingkan istri saya dengan teman-teman saya waktu sekolah dulu maupun
teman-teman saya sekarang, sebab pilihan itu sudah final. Apakah sang penggoda
yang beredar itu tidak pernah mengunjungi saya? Pernah. Tak ada yang kebal
terhadap godaan sang penggoda. Tetapi soal membuka pintu atau tidak, itu adalah
pilihan.
Saya baru tahu kalau istri saya adalah
seorang yang pelupa dan teledor setelah tahun kesekian pernikahan kami. Pelupa
dan teledornya itu sudah ‘bawaan orok’, kata orang Betawi. Sudah beberapa kali
istri saya kehilangan dompet, lupa mematikan api kompor sehingga menghanguskan
panci, ketinggalan sesuatu ketika bepergian bersama, dan begitu sudah jauh dari
rumah kemudian harus putar-balik. Sudah tak terhitung ia lupa menaruh barang,
dan begitu dibutuhkan membuat orang serumah kalang-kabut, dan yang baru-baru
ini terjadi adalah nasib tragis handphone-nya
yang kecemplung closet (Betapa indahnya teledornya!).
Di sisi sebaliknya, saya selalu menaruh barang
pada tempatnya, mempersiapkan keperluan sebelum pergi, memeriksa setiap pintu
rumah sebelum tidur apakah sudah terkunci, dompet tidak pernah ketinggalan, handphone hanya pernah satu kali
ketinggalan (seingat saya).
Tetapi saya menyadari begitu banyaknya
kelemahan dan kekurangan saya di mata istri saya. Kesalahan dan kegagalan saya
jauh lebih banyak. Tetapi, menikah bukan untuk menghitung kesalahan dan
kekurangan pasangan kita, bukan? Jika kita sibuk menghitung kesalahan orang
lain, kita tidak punya waktu lagi untuk melihat kebaikan-kebaikannya. Begitu
panjang daftar sikap dan tindakan istri saya yang sangat bernilai, terutama di
tahun-tahun awal pernikahan kami yang mengukir banyak pengalaman dramatis yang sudah
kami jalani bersama.
Memang, pertengkaran kadang-kadang terjadi
terutama soal-soal yang berkaitan dengan anak-anak. Soal waktu makan anak-anak
saja kami berbeda. Bagi istri saya, anak-anak tidak boleh telat makan,
sedangkan bagi saya, fleksibel sajalah. Jika sedang bepergian, ketika jam makan
sudah tiba sedangkan kami masih berada di tengah jalan yang macet, nah, Anda
bisa bayangkan suasana dalam mobil. Kalau bisa saya ingin loncat keluar mobil
karena tidak tahan mendengar nyanyian merdunya karena anak-anak belum diberi
makan.
Itu sudah berlangsung
bertahun-tahun. Tetapi saya tidak mempunyai rencana untuk meminta ia mengubah dirinya.
Biarlah dia yang pelupa tetap pelupa, yang teledor tetap teledor, yang repot
soal jam makan tetap repot saja. Toh saya bisa menjadi pengingatnya dan hanya
butuh kesabaran yang lebih saja. Formula matematika cinta mengajarkan
kebersamaan jauh lebih penting, terutama kebersamaan di saat-saat saya membutuhkan
pundaknya untuk bersandar dan melepas lelah. Di saat-saat seperti itu, soal
pelupa atau teledor tidak penting lagi.
Jika malam hari tiba dan
istri saya sudah tertidur, saya terkadang menatapnya diam-diam. Dalam
keremangan lampu kamar itulah saya melihat betapa umur tak bisa dilawan. Oleh
sebab itu saya senang jika istri saya rajin merawat kulit dan wajahnya. Tetapi
saya katakan, jauh lebih penting lagi untuk merawat cinta.
“A successful marriage requires falling in love many times,
always with the same person,” kata McLaughlin.
Ya, kita boleh jatuh cinta
berkali-kali, asalkan dengan orang yang sama. Saya tidak tahu rasanya jatuh
cinta berkali-kali kepada orang yang sama. Apakah saya bisa jatuh cinta
kepadanya berkali-kali? Di usia perkawinan yang sudah 18 tahun ini, sulit
mengukur rasanya jatuh-bangun karena cinta, sebab kadang-kadang dalam cinta
terselip rasa benci, kecewa, jengkel, marah, ingin berjauhan, takut kehilangan,
rindu, dan cinta kembali.
Apakah istri saya juga
merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan? Entahlah. Besok saya
akan menghampirinya, dan menatap matanya, untuk mencari kejujuran di hatinya.
***
Let the wife make the husband glad to come home, and let him make her sorry to see him leave. (Martin Luther)
Let the wife make the husband glad to come home, and let him make her sorry to see him leave. (Martin Luther)
Serpong, Ags 2016
Titus J.