For where God built a
church, there the devil would also build a chapel. (Martin Luther)
Apa yang
dikatakan oleh Luther di atas kembali mengingatkan kita bahwa iblis adalah
peniru yang ahli. Ia menjiplak apapun yang dikerjakan oleh Tuhan untuk membuat
“tandingan” yang mirip. Mirip berbeda dengan sama. Barang palsu pasti mirip
dengan aslinya, tetapi pasti tidak sama. Jika tidak mirip, orang tidak akan
tertipu sehingga salah memilih. Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang, kata
Rasul Paulus (2 Korintus 11:14). Tetapi sebuah kepalsuan akan terbukti dengan
sebuah ujian.
Di Eropa dan
Amerika tampaknya iblis tidak terlalu bekerja keras membangun gereja imitasi,
karena pembangunan gereja disana sudah lama berhenti, dan gereja-gereja yang
berdiri dengan usia puluhan hingga ratusan tahun satu persatu telah dan akan ditutup.
Alasan penutupan gereja-gereja disana kebanyakan karena tak ada pengunjung,
tetapi memakan banyak biaya. Dalam bahasa dagang, gereja tidak laku, tetapi
ongkos jalan terus. Pemerintah tak bersedia membuang-buang dana untuk sesuatu
yang tak menguntungkan.
Maka gereja-gereja yang megah di Eropa akhirnya berubah menjadi tempat
olah-raga sekolah, tempat latihan dansa, tempat memutar film, tempat hiburan
malam, dan museum. Alih fungsi ini menghasilkan uang dan memberikan keuntungan.
Di Amerika, gereja-gereja yang megah mengalami nasib yang kurang lebih sama.
Tiga tahun
lalu, The Christian Post melaporkan,
berdasarkan penelitian sebanyak 3500 orang meninggalkan gereja setiap hari. Di
tahun yang sama, Huffington Post melaporkan antara 4000 hingga 7000 gereja di
Amerika ditutup setiap tahun, tetapi hanya 1000 gereja baru yang dibuka. Dalam
penelitian tersebut ditemukan, bahwa dari setiap orang yang mengaku Kristen,
hanya duapuluh persen yang datang ke gereja di hari ibadah, sedangkan sisanya (delapanpuluh persen) mengaku
mereka mempunyai “other things to do during the weekend”. Pergi beribadah ke
gereja tidak mandatory lagi.
Di Indonesia
berbeda. Seperti Luther katakan, iblis membangun gereja tiruan ketika Tuhan
membangun gereja beneran. Strategi
iblis ini lebih cerdas ketimbang strategi yang kuno dan konvensional, misalkan
merusak dan menghancurkan bangunan gereja. Strategi cerdas iblis ini membiarkan
gereja dibangun, tetapi ia kemudian ikut berjemaat di dalamnya. Ia menggerogoti
dari dalam, dan seperti sel kanker ia menjalar dan melakukan pembusukan dari
dalam tanpa disadari, hingga tiba-tiba gereja tersadar ketika penyakit sudah
stadium empat.
Maka banyak
gereja di Indonesia kelihatan tetap ramai, menyedot banyak pengunjung, tetapi
para pengunjung itu tidak bertumbuh dalam iman melainkan cuma sekedar datang
dan pergi seperti orang menonton film di cinema. Para pengkhotbah kelelahan
karena banyaknya tugas berkhotbah. Khotbah-khotbah begitu kering, tak
memberikan jawaban atas segudang pertanyaan kehidupan yang bertumpukan dan
berjalinan seiring dengan kondisi zaman yang makin kompleks, yang pemecahannya
semakin tak sederhana.
Gedung gereja
yang dibangun dengan megah dan dilengkapi dengan teknologi digital yang canggih
telah menjadikannya sebagai tempat entertainment yang memanjakan para
pengunjungnya. Mereka duduk dengan relaks di atas kursi yang nyaman, menonton orang
menyanyi di atas panggung, tetapi sebentar kemudian kelihatan mulai bosan, lalu
sambil sesekali menguap tangannya terus men-scrolling
layar smartphone.
Orang-orang
berdoa memanggil Nama Tuhan. Lalu Tuhan pun datang. Anehnya, mereka yang
memanggil-manggil Nama Tuhan tidak tahu bahwa Tuhan sudah datang sejak sebelum
kebaktian dimulai dan duduk di antara deretan jemaat.
Mata Tuhan
menyapu sekeliling, dilihat-Nya semua orang menunduk sementara Pendeta
berkhotbah. Tuhan mengira mereka khusuk berdoa, tetapi rupanya layar smartphone
yang mereka perhatikan. Beberapa anak muda menonton sepak bola di Youtube dan
men-scrolling layar Instagram-nya. Tuhan
ingin mengajak bicara, tetapi sayangnya Dia tidak memiliki smartphone,
sedangkan para jemaat sibuk mengetik pesan di WhatsApp atau Line entah kepada
siapa. Tuhan merasa begitu asing di antara deretan jemaat. Mungkin salah Tuhan
sendiri, mengapa Ia begitu gaptek?
Akhirnya Tuhan
hanya menunggu. Ia menunggu mereka selesai dengan gadget mereka. Tetapi setelah
dua jam lebih hingga jemaat bubar dan pintu gereja ditutup, tak seorangpun
mengenali-Nya dan menyapa-Nya.
Jika hal itu
berlangsung selama berulang-ulang setiap jam ibadah, apakah Tuhan masih akan datang
ke gereja lagi?
Jangan-jangan
Tuhan malah lebih suka nongkrong di warung tegal sambil mengobrol dengan sopir angkot yang baru mengantar
anak-anaknya pergi ke sekolah minggu di sebuah gereja kecil di kampung. Mungkin
Tuhan lebih memilih duduk di tepi ranjang rumah sakit yang sedang merawat
seorang ibu yang nafasnya sesak dan dibantu selang oksigen. Mungkin Tuhan datang
menyambangi seorang tua yang kesepian yang tak pernah ditengok oleh anaknya
yang sudah sukses sebagai pengusaha. Atau mungkin Tuhan lebih suka menghabiskan
waktu bersama dengan para terpidana di sebuah penjara yang sedang mengadakan
kebaktian dengan iringan gitar akustik tetapi menyanyi dengan gegap-gempita.
Atau mungkin Tuhan lebih memilih berdialog dengan seorang yang sedang bermain
ski yang sedang frustrasi dan putus asa di sebuah pegunungan es yang dingin
membeku?
Fridtjof
Nansen mungkin pernah melihat sebuah peristiwa atau mungkin mengalami sendiri secara
pribadi bagaimana relasinya dengan Tuhan ketika ia mengatakan, “It is better to go skiing and think of God, than go to
church and think of sports.”
Kenyataannya, jika kita mau jujur, bahkan
ibadah kepada Tuhan yang hanya meminta kita waktu kurang dari dua jam pun masih
tidak kita berikan seluruhnya, sebab ketika kita duduk di dalam gereja pun pikiran
kita masih dibayangi oleh score sepak bola atau rencana kuliner kita setelah
jam ibadah usai. Kita memperlakukan gereja sebagai tempat mampir sebelum menuju
tempat yang menjadi tujuan utama kita di hari Minggu.
Harga waktu kita benar-benar sangat mahal
sehingga sepertinya Tuhan pun tak mampu membelinya walau cuma untuk dua jam
saja. Kita merasa berhak menggunakan seluruh waktu kita tanpa sisa untuk urusan
kita, walau kita sedang berada di dalam gereja.
Benarlah kata Luther, ketika Tuhan membangun
gereja, iblis membangun gereja juga. Kedua bangunan itu tidak mudah untuk
dibedakan, karena keduanya tampak megah, dan serupa. Bahkan setiap ornamen di
setiap sudut pun sangat mirip, hingga letak grand piano dan mimbar pun
diletakkan di posisi yang sama persis. Tetapi, jika kita melihat orang-orang
yang beribadah di dalamnya, maka kita akan mengerti mana gereja yang dibangun
oleh Tuhan, dan mana yang dibangun oleh iblis. Cover sebuah buku tidak lebih penting
daripada isi buku itu sendiri.
Kemegahan bangunan gereja tidak serta-merta
menunjukkan kemegahan iman mereka yang duduk mengisi bangku-bangku gereja. Justru
karena hal inilah kita perlu selalu mawas diri dan berhati-hati, sebab ada nasihat
mengatakan, “Dimana gereja terbuat dari emas, iman jemaatnya seperti jerami.”
Suatu hari kelak, jika kita lewat di jalan
itu, kita tak lagi menemukan gereja yang terbuat dari emas itu, karena telah
berubah menjadi sebuah toko smartphone.
I believe there are
too many practitioners in the church who are not believers
— C.S. Lewis
— C.S. Lewis
***
Serpong, Jan 2018
Titus J.