Sunday, February 18, 2018

Dua gereja


For where God built a church, there the devil would also build a chapel. (Martin Luther)

Apa yang dikatakan oleh Luther di atas kembali mengingatkan kita bahwa iblis adalah peniru yang ahli. Ia menjiplak apapun yang dikerjakan oleh Tuhan untuk membuat “tandingan” yang mirip. Mirip berbeda dengan sama. Barang palsu pasti mirip dengan aslinya, tetapi pasti tidak sama. Jika tidak mirip, orang tidak akan tertipu sehingga salah memilih. Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang, kata Rasul Paulus (2 Korintus 11:14). Tetapi sebuah kepalsuan akan terbukti dengan sebuah ujian.

Di Eropa dan Amerika tampaknya iblis tidak terlalu bekerja keras membangun gereja imitasi, karena pembangunan gereja disana sudah lama berhenti, dan gereja-gereja yang berdiri dengan usia puluhan hingga ratusan tahun satu persatu telah dan akan ditutup. Alasan penutupan gereja-gereja disana kebanyakan karena tak ada pengunjung, tetapi memakan banyak biaya. Dalam bahasa dagang, gereja tidak laku, tetapi ongkos jalan terus. Pemerintah tak bersedia membuang-buang dana untuk sesuatu yang tak menguntungkan.

Maka gereja-gereja yang megah di Eropa akhirnya berubah menjadi tempat olah-raga sekolah, tempat latihan dansa, tempat memutar film, tempat hiburan malam, dan museum. Alih fungsi ini menghasilkan uang dan memberikan keuntungan. Di Amerika, gereja-gereja yang megah mengalami nasib yang kurang lebih sama.

Tiga tahun lalu, The Christian Post melaporkan, berdasarkan penelitian sebanyak 3500 orang meninggalkan gereja setiap hari. Di tahun yang sama, Huffington Post melaporkan antara 4000 hingga 7000 gereja di Amerika ditutup setiap tahun, tetapi hanya 1000 gereja baru yang dibuka. Dalam penelitian tersebut ditemukan, bahwa dari setiap orang yang mengaku Kristen, hanya duapuluh persen yang datang ke gereja di hari ibadah, sedangkan sisanya (delapanpuluh persen) mengaku mereka mempunyai “other things to do during the weekend”. Pergi beribadah ke gereja tidak mandatory lagi.

Di Indonesia berbeda. Seperti Luther katakan, iblis membangun gereja tiruan ketika Tuhan membangun gereja beneran. Strategi iblis ini lebih cerdas ketimbang strategi yang kuno dan konvensional, misalkan merusak dan menghancurkan bangunan gereja. Strategi cerdas iblis ini membiarkan gereja dibangun, tetapi ia kemudian ikut berjemaat di dalamnya. Ia menggerogoti dari dalam, dan seperti sel kanker ia menjalar dan melakukan pembusukan dari dalam tanpa disadari, hingga tiba-tiba gereja tersadar ketika penyakit sudah stadium empat.

Maka banyak gereja di Indonesia kelihatan tetap ramai, menyedot banyak pengunjung, tetapi para pengunjung itu tidak bertumbuh dalam iman melainkan cuma sekedar datang dan pergi seperti orang menonton film di cinema. Para pengkhotbah kelelahan karena banyaknya tugas berkhotbah. Khotbah-khotbah begitu kering, tak memberikan jawaban atas segudang pertanyaan kehidupan yang bertumpukan dan berjalinan seiring dengan kondisi zaman yang makin kompleks, yang pemecahannya semakin tak sederhana.

Gedung gereja yang dibangun dengan megah dan dilengkapi dengan teknologi digital yang canggih telah menjadikannya sebagai tempat entertainment yang memanjakan para pengunjungnya. Mereka duduk dengan relaks di atas kursi yang nyaman, menonton orang menyanyi di atas panggung, tetapi sebentar kemudian kelihatan mulai bosan, lalu sambil sesekali menguap tangannya terus men-scrolling layar smartphone.

Orang-orang berdoa memanggil Nama Tuhan. Lalu Tuhan pun datang. Anehnya, mereka yang memanggil-manggil Nama Tuhan tidak tahu bahwa Tuhan sudah datang sejak sebelum kebaktian dimulai dan duduk di antara deretan jemaat.

Mata Tuhan menyapu sekeliling, dilihat-Nya semua orang menunduk sementara Pendeta berkhotbah. Tuhan mengira mereka khusuk berdoa, tetapi rupanya layar smartphone yang mereka perhatikan. Beberapa anak muda menonton sepak bola di Youtube dan men-scrolling layar Instagram-nya. Tuhan ingin mengajak bicara, tetapi sayangnya Dia tidak memiliki smartphone, sedangkan para jemaat sibuk mengetik pesan di WhatsApp atau Line entah kepada siapa. Tuhan merasa begitu asing di antara deretan jemaat. Mungkin salah Tuhan sendiri, mengapa Ia begitu gaptek?

Akhirnya Tuhan hanya menunggu. Ia menunggu mereka selesai dengan gadget mereka. Tetapi setelah dua jam lebih hingga jemaat bubar dan pintu gereja ditutup, tak seorangpun mengenali-Nya dan menyapa-Nya.
Jika hal itu berlangsung selama berulang-ulang setiap jam ibadah, apakah Tuhan masih akan datang ke gereja lagi?

Jangan-jangan Tuhan malah lebih suka nongkrong di warung tegal sambil mengobrol  dengan sopir angkot yang baru mengantar anak-anaknya pergi ke sekolah minggu di sebuah gereja kecil di kampung. Mungkin Tuhan lebih memilih duduk di tepi ranjang rumah sakit yang sedang merawat seorang ibu yang nafasnya sesak dan dibantu selang oksigen. Mungkin Tuhan datang menyambangi seorang tua yang kesepian yang tak pernah ditengok oleh anaknya yang sudah sukses sebagai pengusaha. Atau mungkin Tuhan lebih suka menghabiskan waktu bersama dengan para terpidana di sebuah penjara yang sedang mengadakan kebaktian dengan iringan gitar akustik tetapi menyanyi dengan gegap-gempita. Atau mungkin Tuhan lebih memilih berdialog dengan seorang yang sedang bermain ski yang sedang frustrasi dan putus asa di sebuah pegunungan es yang dingin membeku?

Fridtjof Nansen mungkin pernah melihat sebuah peristiwa atau mungkin mengalami sendiri secara pribadi bagaimana relasinya dengan Tuhan ketika ia mengatakan, “It is better to go skiing and think of God, than go to church and think of sports.”

Kenyataannya, jika kita mau jujur, bahkan ibadah kepada Tuhan yang hanya meminta kita waktu kurang dari dua jam pun masih tidak kita berikan seluruhnya, sebab ketika kita duduk di dalam gereja pun pikiran kita masih dibayangi oleh score sepak bola atau rencana kuliner kita setelah jam ibadah usai. Kita memperlakukan gereja sebagai tempat mampir sebelum menuju tempat yang menjadi tujuan utama kita di hari Minggu.

Harga waktu kita benar-benar sangat mahal sehingga sepertinya Tuhan pun tak mampu membelinya walau cuma untuk dua jam saja. Kita merasa berhak menggunakan seluruh waktu kita tanpa sisa untuk urusan kita, walau kita sedang berada di dalam gereja.

Benarlah kata Luther, ketika Tuhan membangun gereja, iblis membangun gereja juga. Kedua bangunan itu tidak mudah untuk dibedakan, karena keduanya tampak megah, dan serupa. Bahkan setiap ornamen di setiap sudut pun sangat mirip, hingga letak grand piano dan mimbar pun diletakkan di posisi yang sama persis. Tetapi, jika kita melihat orang-orang yang beribadah di dalamnya, maka kita akan mengerti mana gereja yang dibangun oleh Tuhan, dan mana yang dibangun oleh iblis. Cover sebuah buku tidak lebih penting daripada isi buku itu sendiri.

Kemegahan bangunan gereja tidak serta-merta menunjukkan kemegahan iman mereka yang duduk mengisi bangku-bangku gereja. Justru karena hal inilah kita perlu selalu mawas diri dan berhati-hati, sebab ada nasihat mengatakan, “Dimana gereja terbuat dari emas, iman jemaatnya seperti jerami.

Suatu hari kelak, jika kita lewat di jalan itu, kita tak lagi menemukan gereja yang terbuat dari emas itu, karena telah berubah menjadi sebuah toko smartphone.

I believe there are too many practitioners in the church who are not believers
C.S. Lewis

***
Serpong, Jan 2018
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...