Siapa yang
kaget jika hal itu terjadi di Pakistan? Negara ini dikoyak teror dan pertikaian
tak habis-habisnya. Bumi Pakistan sudah biasa berlumur darah, darah rakyatnya
maupun pemimpinnya. Kelompok ekstrem bebas berkeliaran, memangsa dan membunuh mereka
yang dianggap berbeda, termasuk pemimpin bangsanya sendiri: Liaquat Ali Khan, Zulfikar
Ali Bhutto, Zia Ul-haq, Benazir Bhutto.
Yang saya
baca pada waktu itu adalah gadis cilik tersebut ditembak karena nekad tetap
sekolah. Taliban memang sangat keras menerapkan hukum Syariat Islam, terutama
larangan-larangan terhadap kaum perempuan, salah satunya adalah larangan
bersekolah bagi perempuan. Tetapi membunuh seorang gadis remaja karena nekad
pergi sekolah sungguh mengerikan.
Kemudian
berita tentang penembakan gadis remaja tersebut – yang kemudian diketahui
bernama Malala Yousafzai - menggelinding dengan cepat dan mendapat perhatian
seantero dunia. Dunia internasional mengutuk Taliban atas peristiwa itu. Media
massa menyuguhkan cerita demi cerita tentang Malala setiap hari. Ternyata, Malala
diserang dan hendak dibunuh bukan sekedar lantaran ia nekad ke sekolah (saja),
melainkan karena ia begitu giat melakukan campaign
ke seluruh negeri memperjuangkan anak-anak perempuan Pakistan untuk sekolah.
Maut memang
belum waktunya datang menjemput. Malala ternyata tidak tewas walaupun peluru
menembus kepalanya. Ia ditembak dari jarak yang sangat dekat. Sedetik sebelum
ia terkapar bersimbah darah di dalam bus sekolah yang ia tumpangi bersama
teman-temannya, ia mendengar pembunuh itu bertanya, “Who is Malala?” Lalu detik
itu gelaplah semuanya baginya.
Teman-temannya
yang mengerumuni tubuhnya dengan jerit dan tangis terhenyak ketika salah
seorang gadis berteriak “She’s alive!” setelah ia merasakan leher Malala yang
terciprat darah itu masih berdenyut. Di perjalanan menuju rumah sakit terdekat,
ayahnya, Ziauddin, berbisik gemetar di telinganya: “My daughter, you are my brave daughter, my beautiful daughter.”
Ibunya, Maryam, dengan terisak berkata, “God,
I entrust her to You. You are my
Protector. She was under Your care and You are bound to give her back.”
Setelah
beberapa waktu dirawat di rumah sakit itu, akhirnya Malala harus diterbangkan
ke Birmingham, Inggris, dimana detik-detik antara hidup dan mati harus
dilewatinya selama operasi berlangsung untuk mengeluarkan puluhan peluru yang
bersarang di kepalanya.
Kejadian yang
sangat dramatis itu kemudian mengusik hati saya: Dengan berondongan peluru dari
jarak yang sedekat itu dan ia masih hidup, pasti ada tangan yang tak kelihatan menolongnya,
bukan? Siapa? Bukankah hanya Tuhan yang berkuasa atas nyawa manusia? Bukankah
Tuhan mengontrol jalannya alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya termasuk
Negara, Penguasa, seluruh umat manusia termasuk Malala sendiri?
Malala adalah
gadis remaja Muslim. Apa yang ia doakan setiap hari sebelum ia ditembak? Apakah
Tuhan mendengar doa Malala dan ibunya? Ketika saya bercerita kepada anak saya
sewaktu perjalanan mengantarnya ke sekolah, ia bertanya: “It was God who saved Malala, right?”
Akhirnya Malala
sembuh dan pulih. Beberapa bulan kemudian, tepat di hari ulang tahunnya yang
ke-16, pada tanggal 12 Juli 2013 Malala diundang oleh PBB untuk menyampaikan
pidato di markas PBB di New York. Ia masih belia sekali, 16 tahun, tetapi visi
dan pemikirannya begitu besar, jauh ke depan dan mendunia (Ah, apa aktifitas
saya ketika saya berumur 16 tahun?)
Kalimat demi
kalimat yang meluncur dari mulutnya menyihir pendengarnya di ruangan itu. “Negara yang kuat bukanlah Negara yang
mempunyai senjata atau bom, melainkan Negara yang masyarakatnya terpelajar,
bermoral, mampu menyelenggarakan pendidikan dan menjunjung tinggi persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan.”
Sekretaris
Jenderal PBB Ban Ki Moon mengatakan, “She
is our hero.” Berkali-kali tepuk tangan terdengar bergemuruh menyambut
kalimat-kalimatnya selama ia pidato. Seluruh audience memberikan standing
ovation bahkan ketika pidatonya belum selesai.
Yang
mengejutkan, ia mengatakan banyak kalimat yang mengingatkan orang tentang
ajaran Yesus Kristus. “Saya tidak akan
membenci Talib (Talib artinya murid) yang menembak saya. Walaupun ada senapan
di tangan saya dan ia berdiri tepat di depan saya, saya takkan menembaknya,”
katanya. Apakah Malala sedang berbicara tentang kasih? Darimanakah butir-butir
mutiara kasih itu diperolehnya? “Saya
ingin agar pendidikan juga dinikmati oleh anak-anak Taliban dan semua teroris
dan ekstremis,” katanya tegas. Kalimat-kalimat senada sungguh amat langka
diucapkan oleh seorang Muslim, bahkan oleh ulama besar sekalipun. Tetapi gadis
remaja yang dilahirkan di sebuah negeri yang dikoyak konflik dan berlumuran
darah ini begitu menghayati ajaran kasih. Apakah ia pernah berjumpa secara
pribadi dengan Yesus Kristus?
Satu tahun
setelah peristiwa penembakan itu, terbitlah buku otobiografi gadis remaja
tersebut yang diberi judul “I am Malala” yang ditulis oleh Christina Lamb,
seorang wartawan yang bertugas di Pakistan dan Afghanistan sejak tahun 1987.
Saya membeli buku ini dan di buku inilah saya bisa mengenalnya lebih dekat. Saya
baca dan tidak bisa berhenti untuk membalik halaman-halaman berikutnya.
Di buku itu
saya melihat wajah Muslim yang diperankan oleh Malala sebagaimana ekspektasi
setiap orang yang cinta damai. Begitulah seharusnya seorang Muslim yang beriman
dan taat kepada Allahnya. Ia begitu yakin bahwa Allah mendengarkannya, bahkan
ketika sehari-hari ia berada di ujung teror. Harusnya Pakistan bangga karena
bumi mereka yang gersang akan kedamaian itu mendapat tetesan embun yang
menyejukkan. Harusnya setiap Muslim yang membaca buku yang sarat dengan perjuangan
demi memanusiakan manusia khususnya kaum perempuan itu berkomentar: “She is a true Muslim.”
Kehidupan
seorang Malala membuka cadar betapa devotion
kepada Tuhan dibuktikan dengan perjuangan mulia untuk peduli pada sesama,
sesuatu yang lebih esensial daripada simbol-simbol agama. “I don't cover my face
because I want to show my identity,” katanya. Ia begitu yakin kepada Siapa ia
dedikasikan penyembahannya. Sebab itu ancaman bom dan Kalashnikov tak pernah
membikinnya gentar. Ia sedih melihat begitu banyak rakyat Pakistan yang buta
huruf. “Kaum perempuan di Negara kami
tidak bisa mengecap pendidikan. Kami hidup dan tinggal di tempat dimana
sekolah-sekolah dihancurkan. Tak ada hari tanpa pembunuhan, paling sedikit
terhadap seorang manusia di Pakistan,” katanya.
“Jika orang Kristen, Hindu dan Yahudi adalah
musuh kita – seperti yang dikatakan banyak orang, mengapa kami yang Muslim juga
saling berperang?” tanyanya. Bagi Malala, tak ada kerinduan yang lebih
dalam daripada melihat negerinya damai dan anak-anak bisa ke sekolah.
Maka pada
umur semuda itu ia telah dicalonkan sebagai kandidat penerima Nobel Perdamaian
tahun 2013. Walaupun di 2013 ia tidak terpilih, ia dicalonkan kembali untuk
merebut Nobel Perdamaian 2014.
Mungkinkah
Tuhan Yesus mengabaikan orang macam ini?
Dari perspektif
hubungan antar manusia, jika kita percaya bahwa Tuhan Yesus mengasihi Malala, kitapun
sebagai orang Kristen seharusnya mengasihi orang-orang Muslim. Inilah yang
ditekankan oleh Ev. Bedjo Lie pada seminar baru-baru ini bahwa kita wajib
mengasihi Muslim. Menurut saya, tekad ini perlu diperkuat gaungnya agar menjadi
sebuah dorongan di tengah-tengah pergaulan kita di Negara Indonesia yang
mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Hubungan
antara kita orang Kristen dan orang-orang Muslim selama ini memang menjadi
“kagok” karena tidak terbiasa. Stigma bahwa orang-orang Muslim memusuhi orang
Kristen begitu melekat pada pikiran kita. Mungkin baik kita maupun mereka
saling menunggu. Ketika kita diam, mereka diam, dan tak ada yang mau memulai,
maka komunikasi jadi semakin berjarak dan menimbulkan rasa saling curiga. Kita
perlu mengingat Muslim yang betul-betul Muslim, yang hatinya lebih terbuka,
mengerjakan kebaikan pada sesama lebih daripada mereka yang hanya mengutamakan
ritual agama. Malala tidak pernah memperalat agamanya. Ia justru meyakini
perjuangan yang ia lakukan untuk mengentaskan kebodohan perempuan-perempuan
yang terbelenggu lebih diperlukan ketimbang jihad
dengan mengangkat senjata.
Memang kekerasan
atas nama agama masih saja terjadi hingga saat ini, dan kita sadar bahwa gereja
merupakan salah satu target – target untuk dibelenggu, dihambat bahkan dianiaya.
Tetapi, apakah dengan demikian kita harus membatalkan perintah Yesus: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka
yang menganiaya kamu”? Ini
perintah Yesus, tetapi justru Malala telah lebih dulu melakukannya terhadap
Taliban, sedangkan kita masih menunggu.Apakah mengasihi
Muslim adalah perintah Yesus Kristus kepada kita? Ketika Yesus ditanya oleh
Ahli Taurat mengenai perintah yang terpenting, Ia menjawab tentang mengasihi
sesama. Tetapi ketika orang itu berdalih dan mempertanyakan “Siapakah sesamaku
itu?” Yesus tidak menjawab secara straight-forward,
melainkan menyampaikan cerita tentang The
Good Samaritan yang terkenal itu. Apakah Muslim adalah sesama kita? Kita
boleh-boleh saja bangga meng-claim
bahwa kita adalah umat pilihan Allah dan telah diselamatkan oleh kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus, tetapi sampai kita mau melakukan perintah Tuhan
secara utuh, maka – seperti kata Albert Einstein - Before God we are all equally wise, and
equally foolish.
***
It's clearly more important to treat one's
fellow man well than to be always praying and fasting and touching one's head
to a prayer mat. (Naguib Mahfouz)
Serpong, Jun 2014
Titus J.