Sunday, June 22, 2014

Malala Yang Mendahului Kita

Ketika pada bulan Oktober 2012 saya membaca berita bahwa seorang gadis cilik (remaja) berumur 15 tahun ditembak oleh Taliban di Pakistan, saya menganggapnya kabar biasa saja.

Siapa yang kaget jika hal itu terjadi di Pakistan? Negara ini dikoyak teror dan pertikaian tak habis-habisnya. Bumi Pakistan sudah biasa berlumur darah, darah rakyatnya maupun pemimpinnya. Kelompok ekstrem bebas berkeliaran, memangsa dan membunuh mereka yang dianggap berbeda, termasuk pemimpin bangsanya sendiri: Liaquat Ali Khan, Zulfikar Ali Bhutto, Zia Ul-haq, Benazir Bhutto.

Yang saya baca pada waktu itu adalah gadis cilik tersebut ditembak karena nekad tetap sekolah. Taliban memang sangat keras menerapkan hukum Syariat Islam, terutama larangan-larangan terhadap kaum perempuan, salah satunya adalah larangan bersekolah bagi perempuan. Tetapi membunuh seorang gadis remaja karena nekad pergi sekolah sungguh mengerikan.
Kemudian berita tentang penembakan gadis remaja tersebut – yang kemudian diketahui bernama Malala Yousafzai - menggelinding dengan cepat dan mendapat perhatian seantero dunia. Dunia internasional mengutuk Taliban atas peristiwa itu. Media massa menyuguhkan cerita demi cerita tentang Malala setiap hari. Ternyata, Malala diserang dan hendak dibunuh bukan sekedar lantaran ia nekad ke sekolah (saja), melainkan karena ia begitu giat melakukan campaign ke seluruh negeri memperjuangkan anak-anak perempuan Pakistan untuk sekolah.

Maut memang belum waktunya datang menjemput. Malala ternyata tidak tewas walaupun peluru menembus kepalanya. Ia ditembak dari jarak yang sangat dekat. Sedetik sebelum ia terkapar bersimbah darah di dalam bus sekolah yang ia tumpangi bersama teman-temannya, ia mendengar pembunuh itu bertanya, “Who is Malala?” Lalu detik itu gelaplah semuanya baginya.
Teman-temannya yang mengerumuni tubuhnya dengan jerit dan tangis terhenyak ketika salah seorang gadis berteriak “She’s alive!” setelah ia merasakan leher Malala yang terciprat darah itu masih berdenyut. Di perjalanan menuju rumah sakit terdekat, ayahnya, Ziauddin, berbisik gemetar di telinganya: “My daughter, you are my brave daughter, my beautiful daughter.” Ibunya, Maryam, dengan terisak berkata, “God, I entrust her to You. You are my Protector. She was under Your care and You are bound to give her back.”

Setelah beberapa waktu dirawat di rumah sakit itu, akhirnya Malala harus diterbangkan ke Birmingham, Inggris, dimana detik-detik antara hidup dan mati harus dilewatinya selama operasi berlangsung untuk mengeluarkan puluhan peluru yang bersarang di kepalanya.
Kejadian yang sangat dramatis itu kemudian mengusik hati saya: Dengan berondongan peluru dari jarak yang sedekat itu dan ia masih hidup, pasti ada tangan yang tak kelihatan menolongnya, bukan? Siapa? Bukankah hanya Tuhan yang berkuasa atas nyawa manusia? Bukankah Tuhan mengontrol jalannya alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya termasuk Negara, Penguasa, seluruh umat manusia termasuk Malala sendiri?

Malala adalah gadis remaja Muslim. Apa yang ia doakan setiap hari sebelum ia ditembak? Apakah Tuhan mendengar doa Malala dan ibunya? Ketika saya bercerita kepada anak saya sewaktu perjalanan mengantarnya ke sekolah, ia bertanya: “It was God who saved Malala, right?
Akhirnya Malala sembuh dan pulih. Beberapa bulan kemudian, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-16, pada tanggal 12 Juli 2013 Malala diundang oleh PBB untuk menyampaikan pidato di markas PBB di New York. Ia masih belia sekali, 16 tahun, tetapi visi dan pemikirannya begitu besar, jauh ke depan dan mendunia (Ah, apa aktifitas saya ketika saya berumur 16 tahun?)

Kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulutnya menyihir pendengarnya di ruangan itu. “Negara yang kuat bukanlah Negara yang mempunyai senjata atau bom, melainkan Negara yang masyarakatnya terpelajar, bermoral, mampu menyelenggarakan pendidikan dan menjunjung tinggi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.”
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon mengatakan, “She is our hero.” Berkali-kali tepuk tangan terdengar bergemuruh menyambut kalimat-kalimatnya selama ia pidato. Seluruh audience memberikan standing ovation bahkan ketika pidatonya belum selesai.
Yang mengejutkan, ia mengatakan banyak kalimat yang mengingatkan orang tentang ajaran Yesus Kristus. “Saya tidak akan membenci Talib (Talib artinya murid) yang menembak saya. Walaupun ada senapan di tangan saya dan ia berdiri tepat di depan saya, saya takkan menembaknya,” katanya. Apakah Malala sedang berbicara tentang kasih? Darimanakah butir-butir mutiara kasih itu diperolehnya? “Saya ingin agar pendidikan juga dinikmati oleh anak-anak Taliban dan semua teroris dan ekstremis,” katanya tegas. Kalimat-kalimat senada sungguh amat langka diucapkan oleh seorang Muslim, bahkan oleh ulama besar sekalipun. Tetapi gadis remaja yang dilahirkan di sebuah negeri yang dikoyak konflik dan berlumuran darah ini begitu menghayati ajaran kasih. Apakah ia pernah berjumpa secara pribadi dengan Yesus Kristus?
Satu tahun setelah peristiwa penembakan itu, terbitlah buku otobiografi gadis remaja tersebut yang diberi judul “I am Malala” yang ditulis oleh Christina Lamb, seorang wartawan yang bertugas di Pakistan dan Afghanistan sejak tahun 1987. Saya membeli buku ini dan di buku inilah saya bisa mengenalnya lebih dekat. Saya baca dan tidak bisa berhenti untuk membalik halaman-halaman berikutnya.
Di buku itu saya melihat wajah Muslim yang diperankan oleh Malala sebagaimana ekspektasi setiap orang yang cinta damai. Begitulah seharusnya seorang Muslim yang beriman dan taat kepada Allahnya. Ia begitu yakin bahwa Allah mendengarkannya, bahkan ketika sehari-hari ia berada di ujung teror. Harusnya Pakistan bangga karena bumi mereka yang gersang akan kedamaian itu mendapat tetesan embun yang menyejukkan. Harusnya setiap Muslim yang membaca buku yang sarat dengan perjuangan demi memanusiakan manusia khususnya kaum perempuan itu berkomentar: “She is a true Muslim.”
Kehidupan seorang Malala membuka cadar betapa devotion kepada Tuhan dibuktikan dengan perjuangan mulia untuk peduli pada sesama, sesuatu yang lebih esensial daripada simbol-simbol agama. “I don't cover my face because I want to show my identity,” katanya. Ia begitu yakin kepada Siapa ia dedikasikan penyembahannya. Sebab itu ancaman bom dan Kalashnikov tak pernah membikinnya gentar. Ia sedih melihat begitu banyak rakyat Pakistan yang buta huruf. “Kaum perempuan di Negara kami tidak bisa mengecap pendidikan. Kami hidup dan tinggal di tempat dimana sekolah-sekolah dihancurkan. Tak ada hari tanpa pembunuhan, paling sedikit terhadap seorang manusia di Pakistan,” katanya.
Jika orang Kristen, Hindu dan Yahudi adalah musuh kita – seperti yang dikatakan banyak orang, mengapa kami yang Muslim juga saling berperang?” tanyanya. Bagi Malala, tak ada kerinduan yang lebih dalam daripada melihat negerinya damai dan anak-anak bisa ke sekolah.
Maka pada umur semuda itu ia telah dicalonkan sebagai kandidat penerima Nobel Perdamaian tahun 2013. Walaupun di 2013 ia tidak terpilih, ia dicalonkan kembali untuk merebut Nobel Perdamaian 2014.
Mungkinkah Tuhan Yesus mengabaikan orang macam ini?
Dari perspektif hubungan antar manusia, jika kita percaya bahwa Tuhan Yesus mengasihi Malala, kitapun sebagai orang Kristen seharusnya mengasihi orang-orang Muslim. Inilah yang ditekankan oleh Ev. Bedjo Lie pada seminar baru-baru ini bahwa kita wajib mengasihi Muslim. Menurut saya, tekad ini perlu diperkuat gaungnya agar menjadi sebuah dorongan di tengah-tengah pergaulan kita di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Hubungan antara kita orang Kristen dan orang-orang Muslim selama ini memang menjadi “kagok” karena tidak terbiasa. Stigma bahwa orang-orang Muslim memusuhi orang Kristen begitu melekat pada pikiran kita. Mungkin baik kita maupun mereka saling menunggu. Ketika kita diam, mereka diam, dan tak ada yang mau memulai, maka komunikasi jadi semakin berjarak dan menimbulkan rasa saling curiga. Kita perlu mengingat Muslim yang betul-betul Muslim, yang hatinya lebih terbuka, mengerjakan kebaikan pada sesama lebih daripada mereka yang hanya mengutamakan ritual agama. Malala tidak pernah memperalat agamanya. Ia justru meyakini perjuangan yang ia lakukan untuk mengentaskan kebodohan perempuan-perempuan yang terbelenggu lebih diperlukan ketimbang jihad dengan mengangkat senjata.
Memang kekerasan atas nama agama masih saja terjadi hingga saat ini, dan kita sadar bahwa gereja merupakan salah satu target – target untuk dibelenggu, dihambat bahkan dianiaya. Tetapi, apakah dengan demikian kita harus membatalkan perintah Yesus: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu? Ini perintah Yesus, tetapi justru Malala telah lebih dulu melakukannya terhadap Taliban, sedangkan kita masih menunggu.Apakah mengasihi Muslim adalah perintah Yesus Kristus kepada kita? Ketika Yesus ditanya oleh Ahli Taurat mengenai perintah yang terpenting, Ia menjawab tentang mengasihi sesama. Tetapi ketika orang itu berdalih dan mempertanyakan “Siapakah sesamaku itu?” Yesus tidak menjawab secara straight-forward, melainkan menyampaikan cerita tentang The Good Samaritan yang terkenal itu. Apakah Muslim adalah sesama kita? Kita boleh-boleh saja bangga meng-claim bahwa kita adalah umat pilihan Allah dan telah diselamatkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, tetapi sampai kita mau melakukan perintah Tuhan secara utuh, maka – seperti kata Albert Einstein - Before God we are all equally wise, and equally foolish.
***
It's clearly more important to treat one's fellow man well than to be always praying and fasting and touching one's head to a prayer mat. (Naguib Mahfouz)
Serpong, Jun 2014
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...