Wednesday, July 23, 2008

Parmin

(Dimuat di Harian Suara Pembaruan - 17 Januari 1999. Cerpen ini diilhami keadaan saat itu yang sedang marak dengan isu pembantaian dukun santet oleh orang-orang yang berpakaian ala ninja di Jawa Timur)


Punya anggota keluarga yang sakit jiwa rasanya memang menyedihkan dan memilukan. Itulah keluhan yang sering dilontarkan oleh Bu Paitun, tentang anak bungsunya, Parmin, yang kini berumur lima belas tahun, yang dikenal di desanya sebagai orang tidak waras. Mending Parmin hanya diam di rumah, mau bertingkah sampai jungkir balikpun tak terlalu dihiraukan oleh Bu Paitun dan Malik, kakak satu-satunya. Tapi Parmin suka keluyuran. Kegemarannya adalah jalan kaki. Kemanapun ia selalu jalan kaki, tak peduli jauh. Pagi-pagi bangun tidur ia sudah ngelayap. Bu Paitun selalu kebingungan dan tergopoh-gopoh menyuruh Malik agar mencari Parmin dan membawanya pulang.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menemukan Parmin. Paling-paling ia berdiri di perempatan jalan, menghitung satu-satu sepeda yang lewat sambil tertawa-tawa. Bila ia sudah menghitung, jangan harap ia mau berhenti. Ia tak bakal capek dan pergi dari situ sebelum Malik mengajaknya pulang. Bila Parmin tak ada di perempatan, Malik akan menuju ke lapangan, sebab Parmin suka sekali menonton orang-orang bermain bola. Orang-orang itu keenakan bila Parmin ada di sana, sebab mereka tidak usah capek-capek memungut bola yang terbang jauh. Tanpa disuruhpun Parmin begitu rajin memungut bola kemanapun bola itu jatuh, ke tempat sampah, naik pohon bila bolanya tersangkut, bahkan sampai terjun ke kali berlumpur hitam bau bacin di seberang lapangan. Ia akan tertawa-tawa bila orang-orang itu mengacungkan jempolnya setelah ia mengambil bola.

Biasanya orang-orang itu memberinya Rp. 100,- selepas bermain bola, lalu Parmin yang kegirangan akan menempelkan kepingan logam itu di dahinya sebentar sebelum akhirnya dia masukkan ke saku celananya. Ia tak bakal mau menerima uang selain kepingan putih itu, sekalipun kepingan kuning yang diameternya lebih kecil bernilai sama, seratus rupiah. Lebih-lebih uang kertas, akan ditolaknya mentah-mentah sambil melemparkannya. Entahlah, mungkin menurutnya itu tidak laku atau itu bukan uang.

Dengan kepingan itu ia akan membeli es dawet di pinggir lapangan. Orang-orang di situ sudah tahu bahwa hanya Parminlah yang bisa mendapatkan segelas es dawet dengan cuma membayar seratus rupiah, sementara yang lain harus menyerahkan tiga kepingan uang logam seperti itu. Tak ada protes, tak ada complain.

Hari itu seperti biasa Bu Paitun menyuruh Malik untuk mecari Parmin dan mengajaknya pulang, karena memang itulah tugas rutinnya sehabis ia pulang dari kantor kecamatan tempatnya bekerja. "Susul adikmu, Lik, nanti keburu gelap," demikian kata-kata yang selalu diucapkan Bu Paitun. Pertama kali Malik menuju perempatan, tapi ia tak ada di sana. "Pasti ia ada di lapangan," pikir Malik. Tetapi di lapanganpun Malik tak menemukan adiknya. Kepada setiap orang yang dijumpainya Malik bertanya-tanya: "Lihat Parmin?", tetapi tidak seorangpun mengetahuinya. Matahari sudah terbenam, Malik terus berjalan sambil terus bertanya bila berpapasan dengan orang, tetapi semuanya tidak tahu, hingga seseorang berkata: "Aku melihatnya ke arah Barat, setengah jam yang lalu." Bergegas-gegas Malik berjalan menuju Barat, ia sekarang malah khawatir ibunya telah menunggu terlalu lama. "Pasti ia ke sana," pikir Malik.

Dengan irama napas yang cepat sampailah Malik ke sebuah sekolahan, salah satu SD Inpres di desa itu, di situlah Parmin pernah sekolah. Dilihatnya Parmin sedang duduk bersila di tanah, diam membisu sambil tangannya meremas-remas tanah. Malik berhenti tak jauh dari tempat Parmin duduk, untuk ke sekian kalinya Parmin berlaku seperti itu, dan Malik tetap tak mengerti. Bila sudah duduk di situ Parmin betah berjam-jam tanpa merasa harus berganti posisi atau sekedar menyelonjorkan kakinya. Kadang-kadang ada anak-anak kecil yang iseng menimpuknya dengan kerikil, tetapi itupun tak membuatnya bereaksi apapun sampai anak-anak itu bosan dan pergi.
"Min..., sudah gelap, ayo kita pulang," Malik mendekatinya dan menepuk pundaknya. Parmin diam saja, tangannya terus meremas-remas tanah.
"Min..., pulang, Min..., ibu menunggumu dari tadi."

Bila sudah berada di sana, Parmin susah sekali diajak pulang. Bu Paitun dan Malik sudah tahu hal itu, maka mereka tidak suka bila Parmin pergi ke sekolah itu. Tapi bagaimana? Susah, susah sekali mencegahnya, karena mana mungkin mereka mengawasi Parmin terus-menerus? Bukankah Parmin bebas kemanapun agar ia bisa merasa senang karena tidak dikurung di rumah?

Lama sekali Malik membujuknya, seperti pesan ibunya bahwa ia harus sabar dan bersikap sehalus mungkin kepada adiknya yang memang menderita seperti itu. Bukankah adiknya tak pernah mengerti apa yang dilakukannya?
"Ayo Min..., pulang, kasihan ibu...," Malik berkata sambil memegang tangan Parmin dan sedikit menariknya, tapi Parmin tak juga mau mengangkat pantatnya. Setelah lama sekali membujuknya tidak berhasil, malah hari sudah makin malam, mulailah timbul kejengkelan Malik. Ditariknya tangan Parmin dan diseretnya sehingga Parmin meronta-ronta dalam cengkeraman tangannya. Sambil terus menjerit dan meronta Parmin berusaha melepaskan tangannya, namun tangan Malik lebih kuat. Suara itu terdengar di sepanjang perjalanan mereka pulang. Penduduk desa yang mendengar suara gaduh itu serta merta keluar rumah dan sebentar saja terjadilah kerumunan orang untuk melihat tontonan itu. Ketika telah dekat rumahnya, Bu Paitun keluar sambil berlari-lari menghampiri mereka.
"Woalah le..., sabar le...," terdengarlah suara Bu Paitun terbata-bata sambil memandang Malik.
"Sudah..., sudah..., meneng le 1)...," berjalanlah ia masuk sambil digandengnya tangan Parmin.

* * *

Malam makin jauh merambat, tubuh rembulan kelihatan hanya sedikit, angin berhembus pelan. Bu Paitun menutup jendela kamarnya. Dilihatnya Parmin telentang di tempat tidur. Biasa, bila habis menangis ia minta tidur di kamar ibunya. Bu Paitun melangkah mendekati Parmin, ditepuknya pahanya yang digigit nyamuk, tetapi gerak tangannya kalah cepat sehingga nyamuk itu terbang dan terus mendengung-dengung di atas. Parmin menggeliat dan memiringkan badannya menghadap ke dinding. Bu Paitun duduk di tepian tempat tidur, sambil menaikkan celana kolor Parmin yang melorot agar pantatnya tidak kelihatan.

Dipandanginya tubuh anaknya yang membelakanginya. Sebentar pikirannya terbang membawanya pada sebuah masa, lima tahun lalu, tatkala Parmin masih bocah, baru sepuluh tahun umurnya. Betapa Parmin adalah anak yang periang, sopan, cerdas. Begitu rajinnya ia ke sekolah, tak pernah harus dibangunkan pagi-pagi karena ia mengerti jam berapa harus berangkat ke sekolah dengan dibonceng sepeda oleh ayahnya. Di kelaspun selalu mendapat pujian dari guru-gurunya karena nilai rapornya yang selalu di atas teman-temannya. Bu Paitun teringat bila Parmin ditanya bila besar nanti mau jadi apa, selalu dijawabnya mau jadi tentara. Pantaslah, karena kegemarannya selalu menonton tentara-tentara berbaris dan berlari-lari menyusuri jalan-jalan desa dengan bunyi sepatu yang berderap-derap dengan gagahnya.

Tubuh Parmin bergerak sebentar, kemudian miring menghadap ibunya. Matanya terpejam begitu rapat, tampaknya pulas sekali ia tidur. Bu Paitun mengusap dahi Parmin yang sedikit berkeringat. Lamunannya membawanya kembali ke sebuah peristiwa di hari naas itu, hari yang tak pernah bisa begitu saja dilupakannya, ketika Parmin dijemput ayahnya dari sekolah. Sedang mereka bersepeda pulang, di tengah jalan sebuah truk pengangkut pasir menghantam mereka dengan kerasnya dan terjadilah, ayahnya tewas seketika dengan tubuh hancur, sementara Parmin yang terpental tidak sadarkan diri. Bu Paitun yang mendengar kabar itu melolong-lolong sambil berlarian kian kemari, sampai akhirnya tetangga-tetangganya menenangkannya.

Lebih dari sebulan ia harus menunggui Parmin di rumah sakit, dan terperanjatlah ia ketika dokter mengatakan bahwa penyembuhan Parmin tidak bisa sempurna, dan sebaiknya ia dibawa pulang saja. Apa yang dimaksudkan dokter dengan mengatakan: "Tidak bisa sempurna?" Dalam perjalanan pulang didekapnya Parmin yang sejak tadi hanya membisu saja.

Tibalah hari-hari panjang bagi Bu Paitun, yang sekarang harus menghabiskan hari-harinya tidak seperti dulu. Merawat, mengasuh, mengajari Parmin dengan cara-cara berbeda, berbeda dengan anak-anak lainnya yang sebaya, berbeda dengan siapapun yang bisa berpikir dan berlaku semestinya. Kini Parmin tak bersekolah lagi. Bila ditanya mau jadi apa kelak, ia hanya tertawa, tertawa dan tertawa. Musnah sudah impiannya untuk melihat Parmin menjadi tentara, berseragam loreng, memakai baret, menyandang bedil, berbaris dengan gagah bersama derap sepatunya. Setiap hari ia hanya keluyuran, menghitung sepeda yang lewat di perempatan, menonton orang bermain bola di lapangan, dan duduk termenung di sekolah pada waktu senja. Bu Paitun memang sengaja membiarkannya, agar ia bebas, bebas dan bebas.
"Ah, alangkah cepatnya lima tahun berlalu, waktu berputar bagai hembusan angin saja," Bu Paitun mengusap matanya yang basah.
"Jadi kita bawa dia besok, Bu?" suara Malik di pintu kamar mengagetkan Bu Paitun.
"Eh..hmm...jadi, hm... ya jadi."
"Ibu ikhlas...?"
"Ikhlas."

Pagi-pagi benar Parmin sudah berpakaian rapi, wajahnya berseri-seri karena kata ibunya, hari itu mereka akan piknik. Sebuah tas penuh pakaian sudah disiapkan, juga sebuah bedil-bedilan dari kayu, mainan kekasih 2) milik Parmin. Bu Paitun, Malik dan Parmin meninggalkan rumah disaksikan tetangga-tetangga mereka dengan pandangan mata yang bingung.

Di sebuah bangunan bertuliskan "Rumah Sakit Jiwa Pusat" Lawang, Malang, seorang dokter berkata kepada Bu Paitun:
"Anak ibu menderita gangguan jiwa yang diistilahkan dengan skizofrenia. Baiklah, bu, percayakan anak ibu kepada kami, bila kangen tengoklah ia ke sini, mudah-mudahan keadaannya cepat membaik, sehingga iapun memiliki masa depan yang baik seperti anak-anak lainnya."

* * *

Empat tahun telah berlalu. Malik sudah kawin dan beranak satu, bersama istri dan anaknya mereka tetap tinggal di rumah itu, karena memang Bu Paitun yang memintanya, sekalian menemani Bu Paitun yang mulai beruban. Sebulan sekali Bu Paitun menengok Parmin, tanpa kenal lelah. Sore itu, bersandar di kursi rotan, Bu Paitun membolak-balik sebuah album photo, dilihatnya Parmin yang baru bisa berjalan. Alangkah montok dan lucunya ia, menggemaskan siapapun yang melihatnya, sehingga orang-orang selalu ingin mencubit pipinya. Besok tanggal 2 Agustus, Parmin sudah sembilan belas tahun. Bila ia tetap sekolah, pastilah ia sudah lulus SMA, dan melanjutkan ke AKABRI, seperti cita-citanya dulu. Ingatkah ia akan hari ulang-tahunnya?
"Besok aku mau ke sana," Bu Paitun menggumam lirih, ditemani angin.

Pagi-pagi Bu Paitun berkemas, ini hari istimewa karena Parmin berulang-tahun. Sesampai di rumah sakit ia menyerahkan rantang berisi nasi, rendang, dan sebungkus emping kepada petugas rumah sakit agar diberikan kepada Parmin. Bu Paitun sengaja tak mau memanggil Parmin, karena dari jauh dilihatnya Parmin tengah asyik bergembira bersama teman-temannya. Matahari telah tinggi ketika Parmin meninggalkan teman-temannya dan berlari menghampiri ibunya. Diciumnya tangan ibunya, Bu Paitun balas mencium keningnya, memeluknya, sesaat kemudian berpamitan pulang.

Pada kunjungannya yang kesekian kalinya, Bu Paitun meminta dokter agar Parmin diijinkan pulang bersamanya, karena telah dilihatnya keadaannya jauh membaik, lagipula agar ia bisa berkumpul bersama keluarga di rumah, tetapi dokter mengatakan:
"Hidup penderita skizofrenia itu mirip residivis, mantan narapidana. Sekeluar dari perawatan di er es je, jika tidak didukung oleh kesediaan masyarakat menerima dirinya secara apa adanya, bisa kemudian kambuh lagi. Jika penderita justru dijauhi, atau setiap kali bicara ditertawakan, akan membuat jiwa penderita yang rapuh kambuh lagi." 3) Entah bagaimana, akhirnya Parmin diijinkan pulang. Tetapi tampaknya Parmin merasa berat untuk meninggalkan tempat itu. Ia pamit kepada teman-temannya dan perawatnya yang membalasnya dengan lambaian tangan.

Daun-daun bambu yang ditiup angin membuat suasana desa itu tambah sunyi. Bulan ditutup awan, malam semakin larut, suara jangkrik mengerik menyanyikan lagu tentang kesepian, tentang luka, tentang kesedihan dan tentang hati yang rindu. Parmin memandangi malam dari jendela kamarnya yang terbuka. Sudah seminggu sejak ia pulang, setiap malam ia berdiri seperti itu, entah apa yang dipikirkannya.
"Kenapa, Min?" demikian selalu ditanya ibunya kepadanya, namun Parmin selalu menggeleng.
"Apa kamu tidak suka bersama ibu, masmu, dan mbak Iffah serta si Gito di sini, Nak?"

* * *

Pada sebuah malam hampir pagi, rumah Bu Paitun diketuk oleh seseorang.
"Siapa?" terdengar suara Malik dari dalam rumah.
"Polisi, mohon keluar sebentar."
Tergopoh-gopoh Malik membangunkan ibunya lantas membukakan pintu, di luar dua orang polisi dan Pak RT di sebelahnya.
"Benarkah ini rumah Parmin?"
"Parmin? Eh, ya,ya...benar, hmm... tapi dia masih tidur."
"Kami menemukan mayat Parmin di pinggir jalan, sekitar lima kilometer dari Lawang, Malang."
Bu Paitun dan Malik membelalakkan matanya, keduanya berlari ke dalam, dan bagai disambar petir mereka terperanjat ketika melihat tempat tidur Parmin kosong. Iffah, istri Malik, keluar dari kamar, mengucek-ucek matanya dan berjalan keluar mengikuti mereka.
"Woalah Gusti..., Gusti..., kenapa Pak, apa yang terjadi?"
"Tenang bu, sabar..., tenang..., sebaiknya ibu segera ikut kami ke Rumah Sakit untuk memastikannya."

Di sebuah Rumah Sakit Umum di Malang, Bu Paitun dan Malik menangis tersedu-sedu melihat mayat Parmin berlumuran darah yang sudah mengering. Sekujur tubuhnya penuh luka bacokan, kepalanya nyaris terpisah dengan tubuhnya dan darah menutupi wajahnya hingga hampir-hampir Bu Paitun dan Malik tak bisa mengenalinya. Baju yang dipakai Parminlah yang pertama kali meyakinkan mereka bahwa itu memang Parmin. Ditubruknya tubuh Parmin yang telentang, diusap-usapnya wajahnya dengan tangannya yang gemetar dan terus gemetar. Suasana di kamar mayat hanya berisi sedu sedan mereka sementara petugas rumah sakit hanya bisa memandangi dan membiarkan adegan itu berlangsung.

Hari semakin siang, di sebuah ruang tunggu Bu Paitun dan Malik termenung, sedang menunggu mayat Parmin diotopsi sebelum dibawa pulang untuk dikuburkan. Seorang penyiar TV membacakan berita:
"Pembantaian orang-orang yang disangka ninja terus berlanjut. Semalam seorang bernama Parmin tewas dikeroyok massa di daerah Lawang, Malang, Jawa Timur. Diduga korban adalah orang gila yang berkeliaran, karena lokasi kejadian tidak jauh dari sebuah Rumah Sakit Jiwa. Seorang saksi mata menuturkan bahwa masyarakat yang pada hari-hari belakangan ini sangat giat menggalakkan pengamanan swakarsa menangkap korban yang sedang berjalan dan setelah diinterogasi oleh massa korban tak bisa menjawab apapun..."

Bu Paitun dan Malik membisu. Mata mereka yang masih sembab karena menangis menerawang jauh. Mungkin mereka tidak mendengar dan tidak mengerti tentang siapa penyiar TV tersebut membaca beritanya.

* * *

Catatan:
1) Meneng: diam (bahasa Jawa) ; Le (tole = panggilan untuk anak kecil – bahasa Jawa)
2) Dari cerpen "Seribu Kunang-kunang di Manhattan" karya Umar Kayam. Mainan kekasih adalah mainan yang begitu dikasihi sehingga kemanapun pergi selalu harus dibawa.
3) Dari berita Kompas, 9 November 1998 berjudul "Paguyuban Keluarga Penderita Skizofrenia"


Jakarta, 21 November 1998


Titus J.

Friday, July 11, 2008

Pearl Market, Dari Versace Sampai Giordano

Catatan perjalanan ke Beijing (bagian pertama)



Memang luar biasa negeri Cina sekarang.

Rasa penat yang saya rasakan duduk di pesawat semalaman dari Changi airport Singapore seketika hilang waktu pesawat Singapore Airlines yang saya tumpangi menurunkan badannya pelahan di atas kota Beijing. Kelopak mata yang berat tiba-tiba terbuka begitu suara pramugari menyatakan bahwa sesaat lagi kami akan mendarat.

Hari itu tanggal 2 September 2007, sekitar jam 6 pagi waktu setempat. Langit di sebelah saya yang tembus dari jendela pesawat kelihatan biru keabu-abuan. Kepala saya terus menoleh ke jendela melihat hamparan ruang yang luas tak terkira. Makin lama makin jelas terlihat bentuk-bentuk yang beraneka ragam di bawah sana persis seperti sebuah mainan anak-anak, hingga satu demi satu hamparan itu berubah menjadi susunan gedung, jalan-jalan yang mengular, dan rimbun hijau pepohonan yang sambung-menyambung.

Di International airport Beijing pesawat mendarat. Saya bersama teman saya, Sri, melangkah keluar. Tak jauh dari situ, 2 anak muda Cina (cowok & cewek) berdiri, yang satu memegang papan kertas bertuliskan nama-nama kami. Sudah pasti mereka yang ditugaskan untuk menjemput kami. Kami mendekat dan menyebutkan nama kami. Salah satu dari mereka kemudian mengatakan selamat datang dan berusaha untuk menjelaskan bahwa mereka bertugas untuk menjemput, tetapi bicara mereka dalam bahasa Inggris begitu terbata-bata. Satu atau dua orang dari rombongan kami mencoba untuk mengajak ngobrol sekedar berbasa-basi, tetapi kedua orang Cina itu hanya tersenyum dan tidak bisa menjawab. Wah, repot nih kalau begini, pikir saya. Lebih baik saya diam saja dan berusaha untuk tidak nanya macam-macam. Daripada nanti tidak nyambung.

Jadi kami satu rombongan berjalan beriringan. Kedua orang Cina itu berjalan di depan dan sesekali menengok ke belakang. Mereka berdua ngobrol dengan bahasa Cina. Kamipun ngobrol sendiri-sendiri sambil mengekor mereka.

Sampai di counter imigrasi, mereka menjelaskan kepada kami form-form yang harus diisi. Lagi-lagi dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, tetapi biarlah, form-formnya cukup jelas kok, lagipula ada bahasa Inggrisnya disamping aksara Cina. Jadi kami mengisinya dengan lancar.

Setelah melewati pemeriksaan, kami diantar ke depan, dimana sudah menunggu sebuah mini bus. Kedua orang Cina itu bicara dengan sopirnya, kemudian mempersilakan kami naik. Oh, ternyata mereka hanya menjemput di airport saja, tidak sampai mengantar ke hotel.

Kami dibawa bus menyusuri jalanan kota Beijing. Wow.. sungguh fantastis. Jalan-jalan raya sangat bersih, rapi dan teratur. Tidak kami temukan titik kemacetan satupun sepanjang jalan yang kami lewati. Jalan-jalan bebas hambatan sambung-menyambung, silang-menyilang, menyuguhkan pemandangan ciri khas kota besar. Mobil-mobil mewah berseliweran, kebanyakan mobil-mobil Jerman seperti Audi, VW, BMW dan Mercedes. Taksi-taksi yang lewat juga bagus-bagus, bentuknya besar-besar. Tidak ada taksi bobrok. Tidak ada mobil yang mengeluarkan asap hitam tebal. Tidak ada sepeda motor. Sepeda “onthel” malah ada, satu dua kali lewat.





Sampai di hotel, kami langsung disambut oleh penyelenggara acara yang kemudian membawa kami menuju receptionist untuk mengambil kunci. Nah, receptionist hotel ini bisa berbahasa Inggris dengan baik dan fasih. Sambil memberikan kunci mereka memberikan kartu nama hotel. Di kartu nama tersebut jelas terbaca nama hotelnya (The Kerry Centre Hotel – a Shangri-La Hotel), tetapi juga ada aksara Cina-nya. Teman saya dari penyelenggara acara itu menjelaskan, bahwa kartu nama itu wajib dibawa kemanapun kita pergi keluar hotel. “Kenapa?” tanya saya. Dia menjelaskan bahwa kalau kita sehabis pergi ke suatu tempat ingin balik lagi ke hotel, siapapun termasuk sopir taksi tidak bakal mengerti kita menyebut “Kerry Hotel”. Mereka pasti akan bingung kecuali kalau kita sodorkan kartu nama dimana si sopir akan membaca aksara Cina-nya, bukan huruf latinnya. Waduh, ruwet juga nih, pikir saya. Gimana ya kalau sampai kartu nama itu hilang di saat saya sedang berada di luar?

Ha..ha..ha.. dari penjelasan itu saya jadi mengerti, rupanya rakyat Cina di sekolah memang tidak diajari huruf latin. Tetapi dari ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang saya mendapat informasi bahwa sekarang berbeda. Sekolah-sekolah di Cina sudah maju dan mulai memasukkan pelajaran baca-tulis huruf latin dan bahasa Inggris. Tour guide kami sangat fasih berbahasa Inggris dengan pronunciation yang sempurna.

Jadi kemanapun saya pergi, kartu nama itu terus menempel di dompet saya. Kalau saya hendak pergi ke suatu tempat, misalkan ke Hard Rock Café, saya ke receptionist dulu, menyebutkan bahwa saya mau ke Hard Rock Café, lalu si receptionist akan mengambil secarik kertas kemudian menulis dalam aksara Cina (yang saya yakin bahwa yang ditulis itu pasti Hard Rock Café). Kalaupun dia menulis tempat tujuan lain saya tidak bakal tahu ha..ha..ha..Begitu masuk ke dalam taksi, tidak usah bicara apa-apa alias membisu saja. Tinggal sodorkan secarik kertas tadi, pasti si sopir dengan mantap akan meluncur ke sana. Pulangnya juga begitu, membisu saja, langsung sodorkan kartu nama hotel, maka pastilah saya selamat sampai tujuan. Di Beijing tidak ada sopir taksi yang nakal, yang berani menipu penumpang yang tidak mengerti, lalu berputar-putar agar argonya tinggi.

Di Beijing ada sebuah pasar yang sangat terkenal, yaitu “Pearl Market”. Saya dan Sri ke sana, jaraknya cuma 10 menit naik taksi dari Kerry Hotel. Pearl Market ini bangunannya tertutup, sangat luas dan terdiri atas beberapa lantai. Pasarnya bersih, kios-kios penjual berjajar dengan rapi. Produk-produknya bermacam-macam mulai dari garment, tas, ikat pinggang, sepatu, souvenir, kerajinan tangan dan lain-lain. Tetapi yang paling dicari orang asing kalau ke situ adalah pakaian dan tas, dan tentu saja souvenir untuk oleh-oleh.

Sebelum sampai, Sri bercerita bahwa pakaian yang dijual di situ adalah “tembakan” atau imitasi alias aspal (asli tapi palsu) dari merk-merk terkenal. Pakaian dengan merk seperti Versace, Escada, Armani, Giordano, tas kulit seperti Braun Buffel, Louis Vuitton, Gucci dan lain-lain bertebaran di kios-kios itu. Mereka meniru dengan sangat rapi hingga hampir-hampir tidak berbeda dengan aslinya. Mau tahu harganya?

Lucu sekali cara berdagang mereka. Kalau kita lagi melihat-lihat dan memegang-megang, mereka akan langsung nyamperin kita sambil membawa kalkulator. Kemudian mereka berkata dalam bahasa Inggris dengan aksen Mandarin: “Good… that’s good… you want that?” Jawab saja: “How much?” Lalu mereka akan mengeluarkan kalkulator dari dalam kantong, menyodorkan kalkulator di depan hidung kita, lalu berkata: “The original price is (misalkan) 1,000 (sambil menekan kalkulator), but I give you 800 (sambil menekan kalkulator). This is good discount for you…!!”

Sri yang sudah paham hal tersebut karena sudah pernah ke sana, akan berpura-pura dengan menggeleng: “Haa?? Too expensive…” Nah, si pedagang Cina itu pasti akan mendesak: “How much?... How much?” Lalu seenaknya saja Sri nyeplos: “one hundred!!” Ha..ha..ha.. bayangkanlah teman, harga 800 (Yuan) ditawar 100. Bisa nggak membayangkan kalau itu kita lakukan di pasar Tanah Abang? atau Pasar Baru?

Tapi itulah lucunya, pasti si pedagang Cina itu akan berpura-pura marah, merebut pakaian yang masih kita pegang dan melemparkannya sambil ngomel-ngomel tak karuan dengan suara keras: “Are you kidding? Come on…!! You’re serious or not?????” Sri dan saya tetap saja tenang, sementara si pedagang terus mendesak. Lalu penawaran bisa dinaikkan misalkan ke 120. Kalau tidak sepakat, kita bisa pergi. Kalau si pedagang memanggil-manggil kita sambil minta penawaran dinaikkan, hmm.. 95% pasti akan kena. Naikkan lagi kira-kira ke 130 atau 140, pasti goal..!!

Setiap kali melewati tawar-menawar yang alot seperti itu, jika sudah deal saya akan selalu mengajak mereka ngobrol. Bahasa Inggris mereka lumayan. Walaupun spelling kata dan kalimat tidak terlalu pas tetapi masih nyambung, masih bisa dimengerti. Saya tanya dimana mereka belajar bahasa Inggris, mereka bilang dari sekolah. Kebanyakan mereka lulusan setingkat SMA. Ketika saya tanya kenapa mereka tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, mereka terkendala biaya. Jadi mereka langsung berdagang. Terharu juga sih kalau mendengar mereka cerita. Satu hal yang saya salut, mereka begitu gigih, begitu ulet. Pelanggan akan mereka kejar sampai beli. Selesai membayar saya selalu minta berfoto bersama mereka.


Saking murahnya harga-harga di pasar Pearl Market itu, selain juga bagus-bagus barangnya, Sri memborong begitu banyak hingga harus beli tas (travel bag) baru yang besar. Maklum banyak juga titipan dari teman, katanya.

Selain pakaian, yang menarik lagi adalah lukisan. Pedagang-pedagang lukisan memajang lukisan-lukisan yang sangat bagus berderet-deret. Goresan kuas dan penanya sangat khas. Object lukisannya bermacam-macam, tetapi banyak lukisan seperti The Great Wall, burung, ikan, naga, harimau serta pemandangan indah. Orang Cina kalau melukis suka menyelipkan kalimat petuah/nasihat pada lukisannya dengan aksara Cina. Yang lucu, kalau saya tanya apa arti lukisan dan aksara Cina di dalamnya, mereka akan mengambil buku catatan, lalu menyodorkannya ke saya sambil menunjuk kalimat dalam bahasa Inggris yang mengartikan aksara Cina itu. Mereka sendiri tidak bisa membacanya.

Memang negeri Cina sudah sangat pesat majunya. Bayangan yang tercipta dari cerita-cerita orang tua saya yang mengatakan bahwa negeri Tiongkok sangat melarat sampai orang hanya bisa memasak bubur (agar beras segenggam bisa cukup memberi makan sekeluarga) langsung buyar. Kota modern, semarak, gemerlap, dan hidup adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan Beijing.

Sekian dulu catatan perjalanan tentang Beijing. Nanti saya sambung lagi dengan cerita yang lain.
***
Catatan:
- Populasi kota Beijing menurut kantor berita Xinhua adalah sekitar 17 juta (data tahun 2007)





Serpong, 11 Juli 2008
Titus J.

Wednesday, July 9, 2008

Politik Jeruk Makan Jeruk




Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR-RI, Yudhi Chrisnandi mungkin perlu belajar memilih kursi secara bijak, karena tidak semua kursi walaupun fungsinya sama yaitu untuk duduk, cocok bagi dirinya.

Mungkin pendiriannya untuk berbeda sendiri dengan fraksinya tentang penggunaan hak angket kenaikan harga BBM mendapat applause dari mahasiswa dan dari kalangan pemrotes kebijakan pemerintah yang tidak populer tersebut. Tapi tidak bagi Golkar. Setelah sikapnya itu Yudhi mendapat teguran tertulis dari fraksinya. Ketua Partai Golkar Jusuf Kalla mengatakan teguran itu adalah kartu kuning bagi Yudhi, artinya, kalau di sepak bola pemain yang mendapatkan kartu kuning sampai 2 kali akan otomatis kena kartu merah alias harus out.

Ditinjau dari sisi Partai Golkar, teguran terhadap Yudhi adalah hal yang wajar. Kenapa? Karena Yudhi jelas-jelas “melawan” kebijakan partainya. Mungkin anda complain, “Wah, kalau begitu Golkar tidak demokratis dong.” Ini bukan masalah demokratis atau tidak, tapi sebuah organisasi yang kuat memang harus tertib, teratur dan kompak. Dalam proses apapun selama itu masih dibicarakan di dalam (internal), tiap orang boleh saja berdebat, beradu argumentasi seseru-serunya, kalau perlu menggebrak meja bahkan sampai urat leher putus. Boleh saja, ini kan demokrasi? Setiap orang boleh bicara dan berpendapat. Tetapi setelah ada keputusan, semua anggota seharusnya tunduk. Apa jadinya kalau tiap orang mau “nyelonong” sendiri-sendiri? Bayangkan kalau anggota FPG yang 120 orang itu satu bilang A, yang lain bilang B dan yang lain lagi bilang C. Apa jadinya?

Boleh saja Yudhi bersikap “pro-rakyat” (tanda kutip ini untuk menandai bahwa mereka yang menolak kenaikan harga BBM tidaklah identik dengan apa yang dinamakan pro-rakyat). Boleh saja Yudhi mengikuti hati nuraninya yang tersentuh melihat penderitaan “orang-orang kecil” yang tidak sanggup lagi makan 3 kali sehari, menyekolahkan anak, berobat ke dokter, dan lain-lain karena harga-harga naik sebagai dampak kenaikan harga BBM. Salut buat Yudhi yang punya empati. Tetapi, kenapa dia berada di Partai Golkar?

Kalau kita mau berpikir dengan akal sehat, jelas dong Golkar tidak mau menggunakan hak angket. Kenapa? Lha Ketua Umumnya adalah wapres kok, dan wapres berarti pemerintah. Yang menaikkan harga BBM pemerintah. Justru lucu kalau Golkar melawan pemerintah, seperti jeruk makan jeruk dong? Makanya yang menolak hak angket cuma 2 fraksi, yaitu FPG dan Fraksi Partai Demokrat karena mereka notabene adalah pemerintah itu sendiri.

Lalu, Yudhi Chrisnandi harus bagaimana? Menurut saya dia mesti pilih kursi di PDI-Perjuangan (PDIP), sebab sejak semula sikap PDIP jelas sekali, yaitu mengambil posisi sebagai partai oposisi. Lebih baik bersikap jelas begini, jadi nggak tanggung, nggak banci. Saya kira PDIP enak sekali, mau mengeritik pemerintah nggak ada beban, karena sikapnya jelas. Yang lucu justru partai-partai yang terus-terusan mengeritik pemerintah, tapi terus juga mau duduk jadi menteri. Waktu anggota kabinet bidang ekonomi rapat tentang BBM, bukankah menteri-menteri itu ada dan ikut memberi pendapat serta mengambil keputusan? Setelah keputusan diambil dan dilaksanakan, kenapa partai-partai mereka malah melawan kebijakan, dimana teman-teman mereka yang jadi menteri itu ikut serta memutuskan? Lagi-lagi jeruk makan jeruk.

Kornelius Purba pada tulisannya di The Jakarta Post tanggal 26 Juni mengatakan “All those ministers are lucky enough, because the President still trust them to stay in the Cabinet. According to the basic logic, they should have quit from the Cabinet, or the President should tell them: Get out!” 1)

Dulu di jaman orde baru, sikap seperti itu pernah terjadi pada Sidang Umum MPR tahun 1988, pada tanggal 10 Maret 1988 saat berlangsungnya rapat paripurna MPR untuk mensahkan Suharto menjadi Presiden RI untuk kesekian kalinya. Waktu itu Suharto sebagai calon tunggal presiden, tetapi calon wapresnya ada 2 orang, yaitu Sudharmono dan H. Jaelani Naro (Ketua Umum PPP).

Ketika ketua MPR Kharis Suhud mau mengetokkan palu untuk mensahkan Suharto (setelah teriakan koor “setuju” dari seluruh anggota), tiba-tiba terdengarlah teriakan interupsi dari barisan tempat duduk FABRI. Dialah Brigjend. Ibrahim Saleh. Pria tinggi kurus ini lalu maju ke mimbar dan di depan microphone menyatakan ganjalannya tentang wapres. Sekitar 6 bulan setelah insiden yang menggegerkan itu Ibrahim Saleh di-recall dari keanggotaannya di DPR/MPR, kemudian ia surut dari pentas politik 2).

Ya memang berbeda sah-sah saja, tapi mengemukakan perbedaan harusnya tidak di sembarang tempat. Tidak harus asal beda. Layaknya sebuah instrumental jazz yang dimainkan di nada dasar G, yang mengalun dengan cantik penuh improvisasi, tapi tiba-tiba suara saxophone-nya nyelonong masuk dengan nada dasar F. Wah report...


***
Catatan:
1) Segment “Commentary” The Jakarta Post tanggal 26 Juni 2008 berjudul “Questioning cowardly ministers around President SBY” oleh Kornelius Purba, ditulis setelah DPR memutuskan untuk menggunakan hak angket terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM
2) Mengenai interupsi Ibrahim Saleh, dapat dibaca pada buku “Benny – Tragedi seorang loyalis” yang ditulis oleh Julius Pour.


Serpong, 9 Juli 2008
Titus J.

Monday, July 7, 2008

Berteman Dengan Mie Instant



Seorang teman memberitahu saya, harga-harga yang naik belakangan ini sungguh sangat terasa dampaknya terutama bagi masyarakat bawah (kurang mampu).
Teman saya ngobrol dengan koleganya yang bekerja di sebuah supermarket besar. Obrolan berawal dari keluh-kesah tentang kecenderungan sepinya penjualan sejak bulan Juni 2008. Apa penyebabnya? Apakah karena harga-harga naik (sejak pemerintah menaikkan harga BBM), atau karena bulan Juni-Juli adalah bulan liburan sehingga banyak yang keluar kota, atau karena orang-orang lagi pada berhemat menjelang tahun ajaran baru dimana biaya sekolah harus lebih diutamakan daripada belanja?

Menurut kolega teman saya yang dari supermarket itu, memang benar ada penurunan penjualan terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Beberapa item yang sangat menyolok adalah penjualan daging ayam turun sampai 30% dari bulan sebelumnya, daging sapi turun drastis sekitar 40%, bahkan penjualan telurpun begitu mengejutkan karena terjun bebas (prosentasenya saya lupa).

Tetapi yang lebih mengejutkan adalah, justru penjualan mie instant naik sangat significant. Mie instant? Ya betul, mie instant laku keras hari-hari ini!

Kalau penjualan daging sapi turun kita masih bisa maklum karena mungkin orang-orang sedang berhemat. Yang biasanya makan daging sapi oke-lah down-grade ke daging ayam. Tetapi bukankah penjualan daging ayam juga turun? Bagi yang biasanya makan daging ayam, dalam situasi sulit oke juga untuk down-grade ke telur agar tetap bisa dapat protein/gizi. Tetapi penjualan telur kali inipun turun drastis. Apa yang terjadi sebenarnya?

Teman saya mengatakan, memang di dalam dunia retail, grafik penjualan di bulan-bulan dalam setahun selalu mempunyai bentuk yang kurang lebih sama, dan kecenderungan penjualan yang turun di bulan Juni-Juli adalah wajar karena faktor liburan ataupun tahun ajaran baru. Nanti mulai Agustus trend penjualan akan naik lagi. Tetapi anjloknya penjualan di bulan Juni-Juli tidak pernah sefantastis kali ini, apalagi terhadap barang-barang kebutuhan pokok karena semua orang tetap perlu makan walaupun harus berlibur atau menyekolahkan anak.

Tetapi keanehan lain muncul karena di masa liburan ini tempat-tempat liburan ramai bukan main. Kidzania yang memasang tarif masuk cukup mahal berjubel dan harus antri. Minggu lalu teman saya mengantar tamu dari Jepang ke hotel Shangri-la untuk makan, tetapi harus batal karena meja-meja sudah fully-booked. Jangan-jangan keadaan sulit ini hanya dialami oleh teman-teman (maaf) kalangan bawah yang gajinya pas-pasan.

Melihat konsumsi mie instant hari-hari ini meloncat drastis, saya merasa miris. Sebegitu sulitkah keadaan sekarang sehingga orang-orang harus men-down-grade menu makannya sampai ke level mie instant? Atau dengan kata lain, mie instant menjadi cara pelarian mereka untuk tetap makan nasi dengan lauk, ketimbang makan nasi putih yang hambar?

Keadaan seperti itu mengingatkan saya waktu masih kecil, masih sekolah di SD/SMP di masa-masa sulit tahun 1980-an. Ibu saya sangat pandai mengatur uang untuk belanja, dan saya belajar mengamati bagaimana “cash-flow” di dompet ibu waktu itu. Kalau di meja makan ada telur, berarti cash-flow lancar. Kalau di meja makan ada ayam goreng, berarti cash-flow amat-sangat lancar. Tapi kalau di meja makan hanya ada sayur dan krupuk saja, wah, pasti cash-flow ibu lagi seret. Apalagi kalau ibu sudah mengambil pisau, kemudian dengan pisau itu digarisnya krupuk-krupuk itu menjadi 2 bagian, berarti masing-masing anak hanya dapat jatah krupuk separo (saya 7 bersaudara). Kami tidak mengerti arti gizi, yang penting kenyang. Waktu itu belum ada mie instant.

Sekarang tampaknya keadaan berulang. Semua harga (terutama kebutuhan pokok) naik. Teman saya cerita tetangga rumahnya yang buka warung kelontong terpaksa memasang harga telur Rp. 1000,- per butir untuk mereka (pembeli) yang tidak mampu beli telur secara kiloan. Juga mie instant, dijualnya secara eceran per bungkus untuk mereka yang hanya punya nasi putih. Tampaknya sekarang mie instant menjadi first option untuk menjadi pendamping nasi putih.

Ya, begitulah cara teman-teman kita menyiasati keadaan. Yang penting makan masih ada rasanya, kenyang dan halal. Sayapun sekali-sekali juga masih makan mie instant kok, tetapi mie instant yang lengkap dengan sayur (caisim) dan telur.

***

Serpong, 6 Juli 2008
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...