Thursday, February 25, 2016

Emak Menelepon Tuhan

Saya iri dengan Emak.

Kami memanggilmya Emak. Panggilan ‘Emak’ atau ‘Mak’ bagi sebagian orang Jawa berarti Ibu. Tapi bagi sebagian orang Tionghoa di Indonesia yang disebut Cina peranakan, ‘Emak’ berarti panggilan untuk neneknya. Sebagian orang Tionghoa yang lain memanggil neneknya dengan sebutan ‘Ama’ atau ‘Popo’.

Emak sudah beberapa tahun ini tinggal di rumah saya. Ia bukan nenek saya atau nenek istri saya. Menurut cerita istri saya, Emak ‘diambil’ oleh mama (almh) di tahun 60-an, jauh sebelum istri saya lahir di sebuah desa di ujung Timur pulau Jawa, Banyuwangi. Waktu itu Emak masih muda. Tak begitu jelas tahun berapa Emak lahir. Emak hanya ingat dari cerita ibunya bahwa ia lahir waktu jaman Jepang. Jadi kalau dihitung, waktu ‘diambil’ oleh mama kala itu, ia masih berumur 20-an tahun.

Demikianlah Emak berada di tengah-tengah keluarga mama mertua, mengasuh istri saya dan adiknya di masa kecil mereka. “Waktu kecil, jika saya menangis, Emaklah yang menggendong dan membujuk sampai saya diam. Mama sibuk membantu papa bekerja,” cerita istri saya.

Ketika menginjak remaja, istri saya baru mengerti bahwa Emak adalah orang Tuban, Jawa Timur. Emak tidak pernah menikah. Sanak dan kerabatnya masih tinggal di desa terpencil di Tuban sampai hari ini. Jika Emak pulang ke desa, ia disambut dengan gegap-gempita oleh keponakan-keponakannya, dan Emak begitu bangga dikelilingi oleh orang sekampung. Di saat itulah biasanya Emak bagi-bagi ‘angpao’ dari hasil jerih lelahnya bekerja selama ikut keluarga kami.

Emak tidak bisa membaca. Orang desa seperti Emak mana mungkin bisa sekolah kala itu? Tetapi heran, ia tahu bahwa Alkitab adalah kitab suci yang berisi perkataan Tuhan, dan, karena ketelatenan mama memperkenalkan Yesus Kristus, Emak akhirnya menerima Kristus dan dibaptis di salah satu gereja di desa itu. Surat baptisnya tetap disimpannya hingga saat ini. Surat permandian – demikianlah Emak menyebut - itu pernah ditunjukkannya kepada saya, dengan foto Emak yang terlihat masih muda belia.

Sekarang Emak sudah 70 tahun lebih, dan terlihat sudah renta, Emak tidak sekuat dulu lagi, tapi ia tetap bekerja membantu istri saya mengurus rumah. Ketika badannya kurang sehat, kami minta ia tidur-tiduran saja dan tidak perlu sibuk, tetapi sia-sia nasihat kami, ia tetap saja melakukan kesibukan mengurus ini-itu hingga akhirnya sakit. Setelah kami bawa ke dokter, dan walaupun oleh dokter sudah dinasihati untuk banyak istirahat, keesokan harinya Emak tetap bangun pagi-pagi dan bekerja. Dasar Emak. Kalau istri saya mengomel, saya katakan kepadanya mungkin Emak memang hanya mau ‘mengabdi’. Bukankah esensi pengabdian adalah memberikan hidupnya? Puluhan tahun ikut keluarga mama membuat kami menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Tak heran, setelah mama dan papa (mertua) tiada pun, Emak tetap setia ikut kami. Ia seakan merasa kewajibannya ‘mengasuh’ anak-anak mama masih belum selesai, walaupun istri saya dan saudara-saudaranya sudah berkeluarga bahkan sudah punya anak-anak.

Setelah Emak dibaptis di waktu muda, hingga saat ini ia tetap konsisten memegang teguh imannya. Soal iman Emak memang keras kepala. Entah apa pesan-pesan dari mama waktu itu, pesan itu tertanam dengan baik di hatinya. Ketika ia pulang ke desanya, sanaknya dan kerabatnya berupaya untuk membujuknya menukar imannya, tapi Emak tidak goyah. Beberapa waktu yang lalu ketika saya mengantarkannya ke bandara Soekarno-Hatta pada waktu ia mau pulang ke Tuban, di dalam mobil saya berpesan, “Mak, nanti di desa tetap cari gereja ya, minta tolong keponakanmu untuk mengantar naik sepeda motor ke gereja.” Emak mengiyakan. Bahkan ketika saya mengingatkan untuk tetap ikut Yesus, ia malah menjawab, “Iya Nyo (‘Nyo’ = Sinyo, panggilan Emak kepada saya). Pamanku dulu pernah menasihati kalau sudah pegang Yesus ya Yesus saja, ojo (jangan) gonta-ganti. Pilih siji wae tapi sak lawas e” (Memilih satu saja tapi selamanya)

Saya iri dengan Emak, karena Yesus begitu mengasihinya. Yesus bahkan (mungkin) lebih mengasihi Emak daripada saya. Emak tidak pandai bicara. Ia berkata-kata apa adanya. Kalau Emak berdoa, bahasa yang dipakainya sangat jujur dan sederhana. Sedangkan doa yang saya ucapkan tidak selalu jujur, banyak menuntut, dan terkadang saya menganggap lebih pintar daripada Tuhan.

Doa Emak itu seakan telepon direct line yang langsung diangkat oleh Tuhan sendiri tanpa lewat operator. Sambungan langsung itu saya yakin adalah karena kebersihan hatinya. Ada yang mengatakan, bagaimana hubungan kita dengan Tuhan adalah bagaimana doa kita. Doa yang berkuasa adalah doa yang menyertakan hati, bukan kata-kata.

In prayer it is better to have a heart without words than words without a heart,” kata John Bunyan. Itulah doa Emak. Ia punya hati, walaupun tak punya kata-kata. Hatinya berisi Alkitab, walaupun ia tak bisa membaca Alkitab. Apa yang dirasakannya, ia ceritakan kepada Tuhan dalam doanya. Tentu Emak bukan cerita dengan kata-kata yang panjang, namun doa dalam kebisuan itu ternyata didengar oleh Tuhan. John Bunyan benar tentang Emak, karena ia berdialog dengan hati daripada kata-kata kepada Tuhan.

Suatu hari, saya dibuat Emak terpana dan kagum akan kebesaran Tuhan, lewat satu kejadian sederhana. Ada seseorang berhutang uang kepada Emak beberapa juta rupiah. Berbulan-bulan orang itu tidak membayar. Datang ke rumahpun tidak pernah. Emak tidak bisa menghubungi orang itu, karena Emak tidak tahu sama sekali soal telepon. Ia benar-benar seorang yang sangat polos, yang benar-benar merdeka dari jajahan gadget dan internet. Sanak dan kerabatnya di Tuban kalau ingin menghubunginya mesti lewat hp istri saya.

Suatu hari, orang yang berhutang itu (sebut saja ‘Wati’ – bukan nama sebenarnya) tiba-tiba muncul di rumah.

“Emak mana?” tanya Wati kepada istri saya. Gesture-nya seperti orang yang kebingungan.
“Ada tuh, di kamar,” jawab istri saya.
“Aku mau bayar utang nih,” kata Wati.
“Wah, iya to?”
“Iya, wahh, aku semalam mimpi Emak. Jadi teringat aku masih punya utang, hehe…,” jawab Wati sambil cengengesan.

Wati menyerahkan uang itu kepada istri saya, kemudian ngeloyor pergi. Sebelum deru mobilnya hilang dari telinga istri saya, segera istri saya menuju ke kamar belakang.

“Maakk…” istri saya teriak memanggil Emak.
Emak keluar dari kamarnya.
“Wati baru datang Mak, bayar utang,” istri saya menyerahkan amplop dari Wati tadi.
“Duhh Gusti,” kata Emak dengan mantap.
“Lho, kenapa Mak?”
“Aku doa tiap hari, Nik,” jawab Emak (‘Nik’ = Nonik, panggilan Emak kepada istri saya).
“Doa soal apa, Mak?”
“Ya doa soal Wati yang belum bayar utang,” jawabnya polos.
“Lohh?”
Lha aku ora iso nelpon Wati, Wati ora tau teko mrene, terus piye cara ne?” (Saya tidak bisa menelepon Wati, Wati juga tidak pernah datang kesini, lalu bagaimana caranya?)
Oooo… dadi mbok doa ne wae to Mak?” (Oooo..jadi kamu doakan saja ya Mak?)
Iyo Nik, duit itu kan duitku dhewe saka kerjo, yo mesti disaur..” (Iya Nik, uang itu kan uang saya sendiri hasil bekerja, ya harus dibayar dong)
“Wah, Mak, beneran yo, Tuhan njawab doamu. Si Wati diimpeni (diberi mimpi) semalam,” kata istri saya.
Diimpeni?” (diberi mimpi)? kata Emak bingung.
Lalu Emak mengambil amplop itu kemudian masuk kamarnya kembali.

Malamnya sepulang saya dari kantor, istri saya cerita perihal kejadian itu. Saya terpana kemudian tertawa. Saya terpana cara kerja Tuhan yang ‘nyentrik’ untuk menunjukkan pembelaannya kepada Emak, dan tertawa melihat kepolosan Emak yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa selain mengadukan perkaranya kepada Tuhan. Emak tidak punya siapa-siapa di Jakarta ini, siapa yang akan membelanya? Emak tidak tahu bagaimana caranya menghubungi Wati. Emak tidak punya hp, tidak tahu cara menelepon, pendeknya ia tak mungkin bisa menagih hutang itu. Tapi dengan polosnya ia menelepon Tuhan dengan doanya. Begitu telepon Tuhan berdering dan didengar-Nya hati Emak sedang galau, Tuhan langsung meneruskan sambungan telepon itu kepada Wati lewat mimpi. Sambungan telepon itu oleh Tuhan langsung direspon, seakan disertai dengan menyelipkan sebuah memo yang bertuliskan: “Bayar hutangmu ke Emak. Besok. No delay!”

Hmm. Apakah Emak pandai berdoa? Tidak. Emak bukan seperti Nabi Elia yang kata-kata doanya seperti ‘idu geni’ (bahasa Jawa: meludah api, artinya setiap yang dikatakan pasti terjadi). Nabi Elia berdoa agar hujan tidak turun selama 3 tahun 6 bulan, dan terjadilah seperti itu. Setelah itu, Nabi Elia berdoa agar hujan turun, maka hujanpun turun. Emak tidak punya atribut apapun sebagai orang yang religius dan hafal ayat-ayat Alkitab. Emak hanya punya hati yang bersih sehingga doanya tidak terhalang.

Dulu, ketika Emak masih diajak ke gereja, ia bahkan tidak terlalu mengerti apa yang dikhotbahkan karena ia lebih paham bahasa Jawa. Tapi ajaib, iman itu toh tertanam juga di hatinya. Ternyata bahasa iman adalah bahasa cinta, dan dimana ada cinta, segala yang mustahil itupun sirna. Cinta memungkinkan orang sederhana dan paling bodohpun mengerti bahasanya. Itulah keadilan Tuhan, ketika di hadapan-Nya orang yang merasa pandai dibuat-Nya bodoh, orang yang sombong direndahkan-Nya, dan orang yang rendah ditinggikan-Nya.

Saya iri dengan Emak, karena doanya mudah dimengerti oleh Tuhan, sedangkan doa saya membuat Tuhan acapkali mengernyitkan dahi-Nya. Barangkali nanti di Kerajaan Surga Emak duduk di tempat terhormat, sedangkan saya mungkin di tempat yang lebih rendah.

If the only prayer you ever say in your entire life is thank you, it will be enough. (Meister Eckhart)

***
Serpong, Feb 2016
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...