Saya
iri dengan Emak.
Kami
memanggilmya Emak. Panggilan ‘Emak’ atau ‘Mak’ bagi sebagian orang Jawa berarti
Ibu. Tapi bagi sebagian orang Tionghoa di Indonesia yang disebut Cina peranakan,
‘Emak’ berarti panggilan untuk neneknya. Sebagian orang Tionghoa yang lain memanggil
neneknya dengan sebutan ‘Ama’ atau ‘Popo’.
Emak
sudah beberapa tahun ini tinggal di rumah saya. Ia bukan nenek saya atau nenek
istri saya. Menurut cerita istri saya, Emak ‘diambil’ oleh mama (almh) di tahun
60-an, jauh sebelum istri saya lahir di sebuah desa di ujung Timur pulau Jawa,
Banyuwangi. Waktu itu Emak masih muda. Tak begitu jelas tahun berapa Emak
lahir. Emak hanya ingat dari cerita ibunya bahwa ia lahir waktu jaman Jepang.
Jadi kalau dihitung, waktu ‘diambil’ oleh mama kala itu, ia masih berumur 20-an
tahun.
Demikianlah
Emak berada di tengah-tengah keluarga mama mertua, mengasuh istri saya dan
adiknya di masa kecil mereka. “Waktu kecil, jika saya menangis, Emaklah yang
menggendong dan membujuk sampai saya diam. Mama sibuk membantu papa bekerja,”
cerita istri saya.
Ketika
menginjak remaja, istri saya baru mengerti bahwa Emak adalah orang Tuban, Jawa
Timur. Emak tidak pernah menikah. Sanak dan kerabatnya masih tinggal di desa
terpencil di Tuban sampai hari ini. Jika Emak pulang ke desa, ia disambut
dengan gegap-gempita oleh keponakan-keponakannya, dan Emak begitu bangga
dikelilingi oleh orang sekampung. Di saat itulah biasanya Emak bagi-bagi
‘angpao’ dari hasil jerih lelahnya bekerja selama ikut keluarga kami.
Emak
tidak bisa membaca. Orang desa seperti Emak mana mungkin bisa sekolah kala itu?
Tetapi heran, ia tahu bahwa Alkitab adalah kitab suci yang berisi perkataan
Tuhan, dan, karena ketelatenan mama memperkenalkan Yesus Kristus, Emak akhirnya
menerima Kristus dan dibaptis di salah satu gereja di desa itu. Surat baptisnya
tetap disimpannya hingga saat ini. Surat permandian – demikianlah Emak menyebut
- itu pernah ditunjukkannya kepada saya, dengan foto Emak yang terlihat masih
muda belia.
Sekarang
Emak sudah 70 tahun lebih, dan terlihat sudah renta, Emak tidak sekuat dulu
lagi, tapi ia tetap bekerja membantu istri saya mengurus rumah. Ketika badannya
kurang sehat, kami minta ia tidur-tiduran saja dan tidak perlu sibuk, tetapi
sia-sia nasihat kami, ia tetap saja melakukan kesibukan mengurus ini-itu hingga
akhirnya sakit. Setelah kami bawa ke dokter, dan walaupun oleh dokter sudah
dinasihati untuk banyak istirahat, keesokan harinya Emak tetap bangun pagi-pagi
dan bekerja. Dasar Emak. Kalau istri saya mengomel, saya katakan kepadanya
mungkin Emak memang hanya mau ‘mengabdi’. Bukankah esensi pengabdian adalah
memberikan hidupnya? Puluhan tahun ikut keluarga mama membuat kami
menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Tak heran, setelah mama dan papa
(mertua) tiada pun, Emak tetap setia ikut kami. Ia seakan merasa kewajibannya
‘mengasuh’ anak-anak mama masih belum selesai, walaupun istri saya dan
saudara-saudaranya sudah berkeluarga bahkan sudah punya anak-anak.
Setelah
Emak dibaptis di waktu muda, hingga saat ini ia tetap konsisten memegang teguh
imannya. Soal iman Emak memang keras kepala. Entah apa pesan-pesan dari mama
waktu itu, pesan itu tertanam dengan baik di hatinya. Ketika ia pulang ke
desanya, sanaknya dan kerabatnya berupaya untuk membujuknya menukar imannya,
tapi Emak tidak goyah. Beberapa waktu yang lalu ketika saya mengantarkannya ke
bandara Soekarno-Hatta pada waktu ia mau pulang ke Tuban, di dalam mobil saya
berpesan, “Mak, nanti di desa tetap cari gereja ya, minta tolong keponakanmu
untuk mengantar naik sepeda motor ke gereja.” Emak mengiyakan. Bahkan ketika
saya mengingatkan untuk tetap ikut Yesus, ia malah menjawab, “Iya Nyo (‘Nyo’ =
Sinyo, panggilan Emak kepada saya). Pamanku dulu pernah menasihati kalau sudah
pegang Yesus ya Yesus saja, ojo
(jangan) gonta-ganti. Pilih siji wae tapi
sak lawas e” (Memilih satu saja tapi selamanya)
Saya
iri dengan Emak, karena Yesus begitu mengasihinya. Yesus bahkan (mungkin) lebih
mengasihi Emak daripada saya. Emak tidak pandai bicara. Ia berkata-kata apa
adanya. Kalau Emak berdoa, bahasa yang dipakainya sangat jujur dan sederhana.
Sedangkan doa yang saya ucapkan tidak selalu jujur, banyak menuntut, dan terkadang
saya menganggap lebih pintar daripada Tuhan.
Doa
Emak itu seakan telepon direct line
yang langsung diangkat oleh Tuhan sendiri tanpa lewat operator. Sambungan
langsung itu saya yakin adalah karena kebersihan hatinya. Ada yang mengatakan, bagaimana
hubungan kita dengan Tuhan adalah bagaimana doa kita. Doa yang berkuasa adalah
doa yang menyertakan hati, bukan kata-kata.
“In prayer it is better to have a heart
without words than words without a heart,” kata John Bunyan. Itulah doa Emak. Ia punya hati,
walaupun tak punya kata-kata. Hatinya berisi Alkitab, walaupun ia tak bisa
membaca Alkitab. Apa yang dirasakannya, ia ceritakan kepada Tuhan dalam doanya.
Tentu Emak bukan cerita dengan kata-kata yang panjang, namun doa dalam kebisuan
itu ternyata didengar oleh Tuhan. John Bunyan benar tentang Emak, karena ia berdialog
dengan hati daripada kata-kata kepada Tuhan.
Suatu hari, saya dibuat
Emak terpana dan kagum akan kebesaran Tuhan, lewat satu kejadian sederhana. Ada
seseorang berhutang uang kepada Emak beberapa juta rupiah. Berbulan-bulan orang
itu tidak membayar. Datang ke rumahpun tidak pernah. Emak tidak bisa
menghubungi orang itu, karena Emak tidak tahu sama sekali soal telepon. Ia
benar-benar seorang yang sangat polos, yang benar-benar merdeka dari jajahan gadget dan internet. Sanak dan
kerabatnya di Tuban kalau ingin menghubunginya mesti lewat hp istri saya.
Suatu hari, orang yang
berhutang itu (sebut saja ‘Wati’ – bukan nama sebenarnya) tiba-tiba muncul di
rumah.
“Emak mana?” tanya Wati
kepada istri saya. Gesture-nya
seperti orang yang kebingungan.
“Ada tuh, di kamar,”
jawab istri saya.
“Aku mau bayar utang
nih,” kata Wati.
“Wah, iya to?”
“Iya, wahh, aku semalam
mimpi Emak. Jadi teringat aku masih punya utang, hehe…,” jawab Wati sambil
cengengesan.
Wati menyerahkan uang
itu kepada istri saya, kemudian ngeloyor pergi. Sebelum deru mobilnya hilang
dari telinga istri saya, segera istri saya menuju ke kamar belakang.
“Maakk…” istri saya
teriak memanggil Emak.
Emak keluar dari
kamarnya.
“Wati baru datang Mak,
bayar utang,” istri saya menyerahkan amplop dari Wati tadi.
“Duhh Gusti,” kata Emak dengan
mantap.
“Lho, kenapa Mak?”
“Aku doa tiap hari, Nik,” jawab Emak
(‘Nik’ = Nonik, panggilan Emak kepada istri saya).
“Doa soal apa, Mak?”
“Ya doa soal Wati yang belum bayar
utang,” jawabnya polos.
“Lohh?”
“Lha
aku ora iso nelpon Wati, Wati ora tau teko mrene, terus piye cara ne?”
(Saya tidak bisa menelepon Wati, Wati juga tidak pernah datang kesini, lalu
bagaimana caranya?)
“Oooo…
dadi mbok doa ne wae to Mak?” (Oooo..jadi kamu doakan saja ya Mak?)
“Iyo
Nik, duit itu kan duitku dhewe saka kerjo, yo mesti disaur..” (Iya Nik,
uang itu kan uang saya sendiri hasil bekerja, ya harus dibayar dong)
“Wah,
Mak, beneran yo, Tuhan njawab doamu.
Si Wati diimpeni (diberi mimpi)
semalam,” kata istri saya.
“Diimpeni?” (diberi mimpi)? kata Emak
bingung.
Lalu
Emak mengambil amplop itu kemudian masuk kamarnya kembali.
Malamnya
sepulang saya dari kantor, istri saya cerita perihal kejadian itu. Saya terpana
kemudian tertawa. Saya terpana cara kerja Tuhan yang ‘nyentrik’ untuk
menunjukkan pembelaannya kepada Emak, dan tertawa melihat kepolosan Emak yang
merasa tidak bisa berbuat apa-apa selain mengadukan perkaranya kepada Tuhan. Emak
tidak punya siapa-siapa di Jakarta ini, siapa yang akan membelanya? Emak tidak
tahu bagaimana caranya menghubungi Wati. Emak tidak punya hp, tidak tahu cara
menelepon, pendeknya ia tak mungkin bisa menagih hutang itu. Tapi dengan
polosnya ia menelepon Tuhan dengan doanya. Begitu telepon Tuhan berdering dan
didengar-Nya hati Emak sedang galau, Tuhan langsung meneruskan sambungan
telepon itu kepada Wati lewat mimpi. Sambungan telepon itu oleh Tuhan langsung
direspon, seakan disertai dengan menyelipkan sebuah memo
yang bertuliskan: “Bayar hutangmu ke Emak. Besok. No delay!”
Hmm.
Apakah Emak pandai berdoa? Tidak. Emak bukan seperti Nabi Elia yang kata-kata
doanya seperti ‘idu geni’ (bahasa
Jawa: meludah api, artinya setiap yang dikatakan pasti terjadi). Nabi Elia berdoa
agar hujan tidak turun selama 3 tahun 6 bulan, dan terjadilah seperti itu.
Setelah itu, Nabi Elia berdoa agar hujan turun, maka hujanpun turun. Emak tidak
punya atribut apapun sebagai orang yang religius dan hafal ayat-ayat Alkitab. Emak
hanya punya hati yang bersih sehingga doanya tidak terhalang.
Dulu,
ketika Emak masih diajak ke gereja, ia bahkan tidak terlalu mengerti apa yang
dikhotbahkan karena ia lebih paham bahasa Jawa. Tapi ajaib, iman itu toh
tertanam juga di hatinya. Ternyata bahasa iman adalah bahasa cinta, dan dimana
ada cinta, segala yang mustahil itupun sirna. Cinta memungkinkan orang
sederhana dan paling bodohpun mengerti bahasanya. Itulah keadilan Tuhan, ketika
di hadapan-Nya orang yang merasa pandai dibuat-Nya bodoh, orang yang sombong
direndahkan-Nya, dan orang yang rendah ditinggikan-Nya.
Saya
iri dengan Emak, karena doanya mudah dimengerti oleh Tuhan, sedangkan doa saya
membuat Tuhan acapkali mengernyitkan dahi-Nya. Barangkali nanti di Kerajaan
Surga Emak duduk di tempat terhormat, sedangkan saya mungkin di tempat yang
lebih rendah.
If
the only prayer you ever say in your entire life is thank you, it will be
enough. (Meister Eckhart)
***
Serpong, Feb 2016
Titus J.
***
Serpong, Feb 2016
Titus J.