Saturday, August 19, 2017

Jokowi menenun kain kebangsaan

Orang tidak pernah menduga bahwa pada acara pidato kenegaraan di hadapan sidang tahunan DPR-DPD tanggal 16 Agustus yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil mengenakan pakaian adat Bugis, sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengenakan pakaian adat Jawa.

Seolah ingin menyampaikan semangat saling menghormati antar suku dan budaya Indonesia, Jokowi yang dari Solo dan JK yang dari Makassar saling bertukar pakaian adat. Pesan itu benar-benar nyata dan meninggalkan kesan mendalam walaupun disampaikan dengan cara yang sederhana. Sejak dulu, gaya Jokowi dalam menyampaikan pesan penting tidak muluk-muluk sehingga mudah sekali dimengerti. Ia tak pernah menggunakan formula yang rumit seperti teori seorang professor, melainkan tindakan nyata yang simple tapi mengena. Namun sesungguhnya, penyederhanaan pesan penting seperti itu sebenarnya hanya bisa dilahirkan oleh kecerdasan seorang professor. Orang sering salah sangka dan berpikir kerumitan berbanding lurus dengan kecerdasan. Tidak. Orang cerdas adalah orang yang bisa menyederhanakan hal-hal yang rumit. Only great minds can afford a simple style, kata Stendhal.

Pertukaran pakaian adat itu mempunyai makna penting di tengah-tengah memudarnya semangat kebangsaan kita yang terjadi belakangan ini. Betapa tidak, mengenakan pakaian adat dari suku lain di acara besar semacam itu merupakan bentuk penghormatan. Dengan berbusana adat Bugis itu Jokowi seolah ingin mengatakan, “Aku tanggalkan Jawaku, dan dengan segala kerendahanhati terimalah aku di rumah Bugismu.” Hal yang sama pula dengan JK, ketika ia merelakan pakaian adat kebanggaannya untuk dikenakan oleh Jokowi, sementara ia sendiri mengenakan beskap dan blangkon tanda keikhlasannya menjadi Jawa. Itulah simbol toleransi, dimana pertukaran pakaian adat yang menjadi simbol kebanggaan daerah itu seolah menyampaikan pesan bahwa “Aku adalah engkau dan engkau adalah aku, dan kita adalah Indonesia.

Tidak cukup dengan kejutan di tanggal 16 Agustus, keesokan harinya Jokowi, JK, semua menteri dan staf kepresidenan hingga pegawai istana tampil dengan berbusana daerah dalam memperingati detik-detik proklamasi di Istana Negara 17 Agustus. Jokowi mengenakan pakaian adat Banjar dari Kalimantan Selatan, yang dijahit oleh penjahit lokal dari tailor “Busana Mawar” di Banjarmasin.

Terobosan itu menurut banyak orang adalah sebuah cara berpikir Jokowi yang out of the box. Jokowi selalu penuh kejutan. Ia adalah pemimpin yang tidak membosankan karena kaya ide. Selama ini kebanyakan pemimpin hanya menjalankan kebiasaan rutin yang terlalu biasa, business as usual, dan tidak pernah berinovasi membuat sesuatu yang berbeda.

Upacara detik-detik proklamasi selama ini begitu formal, kaku, bahkan mungkin membosankan. Tetapi dengan terobosan kreatif itu momen tersebut begitu menarik, berwarna, indah, dan menyadarkan kita sebagai anak bangsa bahwa kita memang sangat berwarna dan berbeda-beda. Jokowi mengirimkan signal penyadaran akan makna Bhinneka Tunggal Ika kepada kita semua, bukan melalui kuliah di kelas, tetapi melalui praktik lapangan. Ia tidak berteriak-teriak seperti seorang penonton sepakbola dari pinggir lapangan yang memaki pemain bola yang sudah bercucuran peluh berusaha menggolkan bola ke gawang lawan. Ia adalah kapten, yang memimpin timnya jatuh-bangun di tengah lapangan untuk menceploskan bola ke gawang. Ia memberi contoh, leading by example.

Dua pakaian adat yang dikenakannya dalam dua hari berturut-turut itu adalah bahasa kerendahan-hati Jokowi. Ketika banyak orang Indonesia begitu membesar-besarkan perbedaan dan merasa lebih besar daripada yang lain, Jokowi lebih memilih mengecilkan diri dan egonya. Setelah Bugis dan Banjar, di kemudian hari mungkin ia akan mengenakan pakaian adat Batak, Nias, Manado, Ambon, Bali, Sumba, Ternate, Dayak, Betawi, Papua, Madura, dan sebanyak-banyaknya suku-suku yang ada. Betapa ia ingin menjadi semua, betapa ia sungguh tulus menghormati dan mencintai semua suku, yang jalin-menjalin menjadi untaian keindahan, yang meminum air dari tanah yang sama, dan yang menghirup udara dari ruang yang sama yang bernama Indonesia itu.

Dalam acara di tanggal 17 Agustus itu pula, kita melihat kepiawaian Jokowi yang lain, ketika untuk pertama kalinya semua mantan Presiden dan Wakil Presiden hadir secara lengkap di Istana. Harus diakui bahwa selama ini sulit sekali menyatukan mereka dalam satu acara kenegaraan karena adanya riak-riak perseteruan. Kita tidak tahu pendekatan semacam apa yang telah dilakukan oleh Jokowi, tetapi baru kali ini merah putih berkibar dengan gembira karena para tokoh itu berdiri bersama dalam satu panggung menyanyikan Indonesia Raya. Di langit sana burung garuda terbang tinggi dan mengepakkan sayapnya dengan bangga dan wibawa.

Kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarganya dengan pakaian adat Palembang mengejutkan kita, lebih-lebih ketika ia akhirnya bertemu dengan Megawati dan bersalaman. Kedua mantan Presiden itu tidak pernah duduk bersama dalam satu acara kenegaraan sejak SBY terpilih menjadi Presiden di tahun 2004. Selama sepuluh kali SBY menyelenggarakan acara detik-detik proklamasi di Istana, kursi untuk Megawati selalu kosong. Dan selama dua kali sejak Jokowi terpilih menjadi Presiden, kursi untuk SBY juga selalu kosong.

Sebelumnya kita pun skeptis bahwa SBY mau hadir di Istana bertemu dengan Jokowi, yang beberapa minggu sebelumnya dihujaninya dengan tembakan salvo. Dari kediamannya di Cikeas ia ingatkan pemegang kekuasaan untuk tidak melakukan abuse of power, cross the line, dan sebagainya. Kita tahu tembakan salvo itu diarahkan ke Istana.

Tetapi Jokowi tidak membalas. Hanya berselang beberapa hari sejak tembakan salvo itu diluncurkan, ia bahkan menerima dengan tangan terbuka ketika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) datang ke Istana dan meminta restu untuk “The Yudhoyono Institute”. Tembakan salvo dari Cikeas itu dibalasnya dengan gudeg Yogya dan bubur lemu masakan Gibran – anak sulungnya. Gudeg yang rasanya manis dan bubur lemu yang gurih itu dipersembahkan sebagai balasan atas rasa pahit yang diterimanya.

Jokowi tak lelah untuk menenun kembali kain kebangsaan. Ia mengerjakannya dengan kerendahan-hati, demi Indonesia. Dirgahayu!

If you are humble, nothing will touch you, neither praise nor disgrace, because you know what you are.” –Mother Teresa--
***
Serpong, 19 Agustus 2017

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...