Orang tidak
pernah menduga bahwa pada acara pidato kenegaraan di hadapan sidang tahunan
DPR-DPD tanggal 16 Agustus yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil
mengenakan pakaian adat Bugis, sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)
mengenakan pakaian adat Jawa.
Seolah ingin
menyampaikan semangat saling menghormati antar suku dan budaya Indonesia,
Jokowi yang dari Solo dan JK yang dari Makassar saling bertukar pakaian adat.
Pesan itu benar-benar nyata dan meninggalkan kesan mendalam walaupun
disampaikan dengan cara yang sederhana. Sejak dulu, gaya Jokowi dalam menyampaikan
pesan penting tidak muluk-muluk sehingga mudah sekali dimengerti. Ia tak pernah
menggunakan formula yang rumit seperti teori seorang professor, melainkan
tindakan nyata yang simple tapi
mengena. Namun sesungguhnya, penyederhanaan pesan penting seperti itu sebenarnya
hanya bisa dilahirkan oleh kecerdasan seorang professor. Orang sering salah
sangka dan berpikir kerumitan berbanding lurus dengan kecerdasan. Tidak. Orang
cerdas adalah orang yang bisa menyederhanakan hal-hal yang rumit. Only great minds can afford a simple style,
kata Stendhal.
Pertukaran
pakaian adat itu mempunyai makna penting di tengah-tengah memudarnya semangat kebangsaan
kita yang terjadi belakangan ini. Betapa tidak, mengenakan pakaian adat dari
suku lain di acara besar semacam itu merupakan bentuk penghormatan. Dengan
berbusana adat Bugis itu Jokowi seolah ingin mengatakan, “Aku tanggalkan Jawaku,
dan dengan segala kerendahanhati terimalah aku di rumah Bugismu.” Hal yang sama
pula dengan JK, ketika ia merelakan pakaian adat kebanggaannya untuk dikenakan
oleh Jokowi, sementara ia sendiri mengenakan beskap dan blangkon tanda
keikhlasannya menjadi Jawa. Itulah simbol toleransi, dimana pertukaran pakaian
adat yang menjadi simbol kebanggaan daerah itu seolah menyampaikan pesan bahwa
“Aku adalah engkau dan engkau adalah aku, dan kita adalah Indonesia.”
Tidak cukup
dengan kejutan di tanggal 16 Agustus, keesokan harinya Jokowi, JK, semua
menteri dan staf kepresidenan hingga pegawai istana tampil dengan berbusana
daerah dalam memperingati detik-detik proklamasi di Istana Negara 17 Agustus.
Jokowi mengenakan pakaian adat Banjar dari Kalimantan Selatan, yang dijahit
oleh penjahit lokal dari tailor “Busana Mawar” di Banjarmasin.
Terobosan itu
menurut banyak orang adalah sebuah cara berpikir Jokowi yang out of the box. Jokowi selalu penuh
kejutan. Ia adalah pemimpin yang tidak membosankan karena kaya ide. Selama ini kebanyakan
pemimpin hanya menjalankan kebiasaan rutin yang terlalu biasa, business as usual, dan tidak pernah
berinovasi membuat sesuatu yang berbeda.
Upacara
detik-detik proklamasi selama ini begitu formal, kaku, bahkan mungkin
membosankan. Tetapi dengan terobosan kreatif itu momen tersebut begitu menarik,
berwarna, indah, dan menyadarkan kita sebagai anak bangsa bahwa kita memang
sangat berwarna dan berbeda-beda. Jokowi mengirimkan signal penyadaran akan
makna Bhinneka Tunggal Ika kepada
kita semua, bukan melalui kuliah di kelas, tetapi melalui praktik lapangan. Ia
tidak berteriak-teriak seperti seorang penonton sepakbola dari pinggir lapangan
yang memaki pemain bola yang sudah bercucuran peluh berusaha menggolkan bola ke
gawang lawan. Ia adalah kapten, yang memimpin timnya jatuh-bangun di tengah
lapangan untuk menceploskan bola ke gawang. Ia memberi contoh, leading by example.
Dua pakaian
adat yang dikenakannya dalam dua hari berturut-turut itu adalah bahasa kerendahan-hati
Jokowi. Ketika banyak orang Indonesia begitu membesar-besarkan perbedaan dan
merasa lebih besar daripada yang lain, Jokowi lebih memilih mengecilkan diri
dan egonya. Setelah Bugis dan Banjar, di kemudian hari mungkin ia akan
mengenakan pakaian adat Batak, Nias, Manado, Ambon, Bali, Sumba, Ternate, Dayak,
Betawi, Papua, Madura, dan sebanyak-banyaknya suku-suku yang ada. Betapa ia
ingin menjadi semua, betapa ia sungguh tulus menghormati dan mencintai semua
suku, yang jalin-menjalin menjadi untaian keindahan, yang meminum air dari
tanah yang sama, dan yang menghirup udara dari ruang yang sama yang bernama
Indonesia itu.
Dalam acara
di tanggal 17 Agustus itu pula, kita melihat kepiawaian Jokowi yang lain,
ketika untuk pertama kalinya semua mantan Presiden dan Wakil Presiden hadir
secara lengkap di Istana. Harus diakui bahwa selama ini sulit sekali menyatukan
mereka dalam satu acara kenegaraan karena adanya riak-riak perseteruan. Kita
tidak tahu pendekatan semacam apa yang telah dilakukan oleh Jokowi, tetapi baru
kali ini merah putih berkibar dengan gembira karena para tokoh itu berdiri
bersama dalam satu panggung menyanyikan Indonesia Raya. Di langit sana burung
garuda terbang tinggi dan mengepakkan sayapnya dengan bangga dan wibawa.
Kehadiran
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarganya dengan pakaian adat Palembang
mengejutkan kita, lebih-lebih ketika ia akhirnya bertemu dengan Megawati dan
bersalaman. Kedua mantan Presiden itu tidak pernah duduk bersama dalam satu
acara kenegaraan sejak SBY terpilih menjadi Presiden di tahun 2004. Selama
sepuluh kali SBY menyelenggarakan acara detik-detik proklamasi di Istana, kursi
untuk Megawati selalu kosong. Dan selama dua kali sejak Jokowi terpilih menjadi
Presiden, kursi untuk SBY juga selalu kosong.
Sebelumnya
kita pun skeptis bahwa SBY mau hadir di Istana bertemu dengan Jokowi, yang
beberapa minggu sebelumnya dihujaninya dengan tembakan salvo. Dari kediamannya
di Cikeas ia ingatkan pemegang kekuasaan untuk tidak melakukan abuse of power, cross the line, dan sebagainya. Kita tahu tembakan salvo itu
diarahkan ke Istana.
Tetapi Jokowi
tidak membalas. Hanya berselang beberapa hari sejak tembakan salvo itu
diluncurkan, ia bahkan menerima dengan tangan terbuka ketika Agus Harimurti
Yudhoyono (AHY) datang ke Istana dan meminta restu untuk “The Yudhoyono
Institute”. Tembakan salvo dari Cikeas itu dibalasnya dengan gudeg Yogya dan
bubur lemu masakan Gibran – anak
sulungnya. Gudeg yang rasanya manis dan bubur lemu yang gurih itu dipersembahkan sebagai balasan atas rasa pahit
yang diterimanya.
Jokowi tak
lelah untuk menenun kembali kain kebangsaan. Ia mengerjakannya dengan
kerendahan-hati, demi Indonesia. Dirgahayu!
“If you are humble, nothing will touch you,
neither praise nor disgrace, because you know what you are.” –Mother Teresa--
***
Serpong,
19 Agustus 2017
Titus J.