Saturday, June 22, 2019

The Power of Ikhlas

(Kisah Dua Janda - Part 2)

Ah, satu lagi seorang janda telah membikin malu kita, pada suatu masa, ketika kelaparan hebat melanda tanah Israel.

Di Sarfat janda itu hidup, tak kalah miskin daripada janda yang mempersembahkan dua peser itu di bait Allah. Lalu mampirlah Nabi Elia.

“Buatkan bagiku sepotong roti,” kata Elia.
“Maaf Tuan, aku hanya punya segenggam tepung dan sedikit minyak, yang hanya cukup untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak punya apa-apa lagi, selain kain kafan yang sudah kusiapkan untukku dan anakku,” jawab janda itu. Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan roti untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan anakmu.”

"Duhai Nabi, Tuan sungguh tidak punya rasa," pikir janda itu. Wajar ia berpikir demikian, karena Nabi itu meminta makan padanya di saat paceklik dan janda itu hanya punya nafas sehari lagi, dan itupun dimintanya pula?

Janda itu memandang anaknya yang tergolek memegangi perutnya yang mulai perih. Tetapi mata Elia seakan berbicara.

Janda itu, walaupun dengan hati nelangsa, toh merelakan bagiannya untuk diambil bagi orang lain. “Jika makananku kuberikan kepada Nabi ini aku mati sekarang, jika tak kuberikan, aku mati besok. Ah sudahlah, mati hari ini dan besok tak jauh beda,” pikirnya. Dan iapun pasrah, memegangi imannya yang masih tersisa, walau tinggal setitik kecil.

"Ambillah Tuan, redakan rasa laparmu," katanya sambil menyajikan roti yang baru diangkat dari penggorengan. Semerbaklah harum roti yang cuma sekerat itu. Ia melihat anaknya berjuang menahan air liurnya yang hampir menetes. Ia memalingkan muka. Matanya basah.

Apakah kita bangga dengan kekayaan kita karena mampu memberi banyak? Bukankah memberi banyak di saat punya banyak adalah soal biasa? Sebaliknya, bukankah istimewa jika kita masih bisa memberi di saat kekurangan? “We are rich only through what we give, and poor only through what we refuse,” kata Ralph Waldo Emerson.

Dua orang janda itu bukan siapa-siapa. Namanyapun tidak dicatat oleh penulis kitab suci. Tetapi mereka telah menjadi icon persembahan yang tulus dan ikhlas. Merekalah sebenarnya orang-orang kaya yang berbahagia.

***
Serpong, 20 Jun 2019

Titus J.

Persembahan Yang Tulus


(Kisah Dua Janda - Part 1)

Ah, janda itu.
Ia telah membikin malu kita.

Ia berjalan pelahan sambil tertunduk, karena ia rumangsa bahwa orang-orang yang memberi persembahan sebelum dia adalah orang-orang berduit, yang waktu menuju peti persembahan berjalan dengan langkah tegap dan kepala mendongak. Janda itu berjalan gemetar karena ia tahu bukan hanya orang-orang kaya yang sedang berada di bait Allah itu, tetapi Seorang Pengajar top, baru saja menyelesaikan khotbah-Nya dan sedang duduk memperhatikan.

Janda itu menggenggam rapat-rapat uang recehnya agar tak ada yang tahu berapa keping dalam genggamannya yang akan dimasukkan ke peti persembahan. Ia begitu miskin.

Semiskin apakah ia? Hari itu ia cuma punya dua peser. Peser adalah mata uang terkecil Yahudi. Jika dikonversi ke Rupiah, 1 peser kira-kira sama dengan Rp. 500 uang sekarang.

Janda miskin itu pada hari itu hanya punya Rp. 1.000. Betapa miskinnya. Ia benar-benar lebih miskin dari pengemis manapun, pemulung manapun, dan gelandangan manapun.

Mungkin janda itu sudah terbiasa melupakan perutnya. Mungkin iapun sudah terlalu biasa dengan yang namanya lapar. Ia bukan hanya hidup pas-pasan, tetapi sangat minim, sangat kurang, sangat papa. Dalam kondisi miskinnya yang tak terperi itu, toh ia masih memberi persembahan kepada Tuhan. Berapa? Seluruhnya, tanpa ia pernah berpikir perutnya yang kosong.

Walau hanya dua peser, pemberiannya mengundang kekaguman Yesus. "Janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi ia memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya," kata-Nya.

Betapa Yesus kagum akan ketulusan janda itu saat memberi dalam kekurangan. Bukan hanya itu, ia memberi semua yang ada padanya, seluruh nafkahnya, hingga tak ada sisa apa-apa. Sedangkan orang-orang kaya itu memberi sebagian kecil dari yang mereka miliki, bahkan mungkin dari sisa-sisa.

Ah, janda itu telah membikin malu kita. Ia menampar rasa bangga kita ketika kita memberi persembahan kepada Tuhan dan menyangka kita telah memberi yang terbaik.

***
Serpong, 19 Jun 2019
Titus J.

Baru 58 Tahun


Masih muda dirimu, Pak.
Bahkan jika waktu mengantarmu sepuluh tahun bahkan duapuluh tahun ke depan, kau akan tetap muda, sebab kemudaan bukan soal umur, bukan soal raga, tetapi soal semangat, soal pola pikir, soal kedewasaan, dan soal attitude.

Engkau bergerak tak kenal lelah, menapakkan kakimu dari Timur hingga Barat negeri ini, bahkan seandainya waktu dan tenagamu tak membatasi, niscaya tak sejengkal tanahpun di negeri ini yang tak kau jejaki, yang tak kau sambangi, hanya untuk menyapa rakyat, dan menularkan semangat optimisme itu, bahwa esok selalu ada harapan.

Masih muda dirimu, Pak.
Tetapi sudah banyak yang kau lakukan selama hampir lima tahun ini, dengan mencucurkan keringat, menahan pukulan, hinaan, dan segala jenis caci-maki, dari mereka yang tak menganggapmu ada.

Kau pernah berkata betapa masih banyak lagi keinginan dan cita-citamu yang ingin kau kerjakan, jika kau masih diberi kesempatan.
Tapi, Pak, belum cukupkah luka yang mencabik tubuhmu yang kerempeng itu? "Biarkan orang menghinaku, melukaiku, asalkan Indonesia selamat," katamu.

Hari ini orang-orang menyiapkan kue ulang tahun untukmu, tetapi engkau tampak begitu canggung, karena memang tak pernah kau rayakan hari jadimu, apalagi dengan kue ulang tahun dan lilin, sebab bagimu mensyukuri hidup bukan soal ritual tahunan, apalagi dengan pesta, atau dengan bentuk kemewahan lainnya.

Bagimu yang sederhana, umur adalah tanggungjawab, adalah pengabdian, adalah doa. Karena disitulah bertemunya kebajikan dan kearifan, yang mengajarkan betapa waktu dan kesempatan adalah anugerah-Nya semata. 
Bawalah kami menyusuri jalanmu untuk meraih mimpi, mimpimu, mimpiku, mimpi kita semua, yang selama ini tersembunyi dan tak pernah tergali.

Masih muda dirimu, Pak. 
Ah, seandainya kami menemukanmu sejak dulu...
Selamat ulang tahun..

Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young (Henry Ford)

***
Serpong, 21 Jun 2019
Titus J.

Wednesday, June 12, 2019

Kasih Yunarto


Saya tidak kaget jika banyak yang membenci Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika. Tetapi saya kaget ketika tahu bahwa ia menjadi salah satu target pembunuhan bersama dengan empat pejabat tinggi Indonesia yang terungkap baru-baru ini.

Biasanya sebuah plot pembunuhan bermotif politik akan menyasar pejabat penting negara. Tujuannya tak lain adalah membuat geger. Jadi empat target pejabat tinggi yang ada dalam list tersebut merupakan target vital yang bisa berdampak sangat serius secara politik apabila rencana itu terlaksana. Tetapi menyasar target seorang pemimpin lembaga survey?

Toto – panggilan akrab Yunarto – hanya seorang analis politik yang kebetulan mengelola sebuah lembaga survey. Begitu berbahayakah ia bagi seseorang atau sekelompok orang? Ia toh hanya berteman dengan angka-angka, dan semua angka yang direlease oleh lembaganya bisa dipertanggung-jawabkan karena berbasis ilmu. Angka-angka itu berbicara dengan gamblang. Lagipula, bukankah ilmu tak dapat disembunyikan? Maka Toto selalu berani untuk buka-bukaan data jika ada yang menuduhnya bermain-main angka. Ia dengan senang hati akan menjelaskan setiap lekuk dan sudut keilmuannya.

Jika target empat pejabat tinggi negara tersebut jelas bermotif politik, terhadap Toto lebih nyambung jika dikatakan bermotif teror yang rasis mengingat Toto selama ini cukup vokal (lihat tulisan saya “Vivere Pericoloso a la Yunarto Wijaya”).

Tetapi hari ini kita disuguhi sebuah drama menarik, karena sikap Toto yang merespon plot jahat itu dengan kalem. Ia memaafkan perencana maupun eksekutor yang tadinya bakal menarik pelatuk senjata yang sudah disiapkan. “Saya dan keluarga tidak dendam dan sudah memaafkan mereka,” ujarnya. Ketika Toto menyebut kata ‘keluarga’, ia pasti membayangkan bahwa ada seorang istri dan tiga orang anak-anak yang masih kecil yang selalu menunggunya pulang ke rumah. Dan anak-anak kecil ini sekarang mengulurkan maaf kepada yang hendak menghabisi ayahnya.

“Dari situasi seperti ini saya belajar tentang kasih, ketika saya bisa memaafkan mereka yang memusuhi,” sambung Toto.

Ia telah memenangkan perang tanpa sebutir pelurupun dimuntahkan, karena kasih yang ia yakini mengalahkan kebencian.

***
Serpong, 12 Jun 2019
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...