Thursday, March 23, 2017

Tuhan mampir di Kalijodo

Di suatu pagi bulan Februari tahun dua ribu enam belas yang tidak terlalu sejuk dan tidak pula terlalu panas, Tuhan berjalan-jalan di Kalijodo. Ia menghentikan langkah-Nya ketika sebuah nyanyian menggema dari kerumunan beberapa puluh orang yang sedang mengikuti kebaktian di sebuah gereja yang terletak di antara padatnya pemukiman dan café yang kalau malam hari begitu semarak dan kalau pagi hari tertidur lelap. Puluhan sepeda motor dan bajaj berjajar di halaman parkir gereja yang luasnya hanya beberapa meter saja.

Di situlah Tuhan mampir.

Jemaat gereja yang sederhana  itu terus menyanyi dengan khusuk. Lagu yang dipilih oleh pemimpin pujian adalah “Briku hati”. Maka diiringi dengan organ tunggal yang suaranya sember, yang pemain organnya mengangguk-angguk konsisten mengikuti irama, jemaat itu menyanyikan: “Briku hati untuk menyembah-Mu, briku hati untuk mengasihi-Mu, briku hati memuji-Mu dan mengasihi Engkau, seperti wanita yang datang mengurapi-Mu….

Jari-jemari pemain organ tunggal itu terus memijit-mijit tuts, sesekali ia melirik ke arah sang pemimpin pujian yang berdiri di belakang mimbar sambil memegang mikrofon yang suaranya juga sember.

Pagi itu Tuhan mengenakan celana jeans belel, berkaos oblong putih berlabel Giordano dan bersandal kulit warna coklat muda. Setelah kaki-Nya memasuki ruangan gereja, Ia duduk di bangku paling belakang, tepat di sebelah seorang perempuan yang mengenakan terusan berwarna coklat bermotif kembang, berambut hitam sebahu dan ber-lipstick merah jambu.

Perempuan itu tengah menundukkan kepala dan berdoa dalam hatinya, “Tuhan, ampunilah dosa-dosaku….” Setelah selesai berdoa, ia mengusap matanya dengan sehelai tisu yang sejak tadi digenggamnya. Ketika ia melihat siapa yang duduk di sebelahnya, ia beringsut sedikit memperlebar jarak duduknya. Lalu kepalanya menunduk. Ia tidak ikut menyanyi seperti jemaat yang lain.

“Mengapa engkau tidak menyanyi?” sapa Tuhan.
“Aku tidak bisa menyanyi,” jawab perempuan itu.
“Benarkah engkau tidak bisa menyanyi? Aku sering melihatmu menyanyi di café bercat biru di ujung jalan ini,” kata Tuhan.
“Hmm, bukan itu maksudku, lebih tepatnya, aku tak pantas menyanyi di sini.”

Tuhan diam. Perempuan itu diam.

Seorang laki-laki mabuk berjalan lewat di depan gereja dengan langkah terhuyung-huyung. Kancing bajunya terlepas dan rambutnya acak-acakan. Ia menyanyikan lagu ‘It’s my life’ menirukan Bon Jovi dengan suara serak diselingi dengan suara sendawa dari mulutnya yang berbau alkohol. Ketika ia mendengar suara organ dari dalam gereja itu, ia berhenti, lalu memanggil: “Selvi.. Selvi…!” Perempuan yang duduk di sebelah Tuhan itu menoleh ke arah pintu, memandang sejenak, lalu membuang muka tanpa menyahut apa-apa. Laki-laki itu kemudian berlalu pergi.

“Sudah berapa lama engkau tinggal di sini, Selvi?” tanya Tuhan.
“Ohh.., Engkau tahu namaku?” perempuan itu balik bertanya.
“Aku tahu nama semua perempuan di tempat ini,” jawab Tuhan.
“Hmm..,” perempuan itu menggumam, mencuri pandang ke arah Tuhan dengan ekor matanya, kemudian menjawab, “Kalau kuhitung sejak aku lulus SMA, tidak kurang dari lima belas tahun.”
“Apakah engkau selalu datang ke gereja ini setiap hari Minggu?”
“Ya, aku tak pernah melewatkan hari Minggu di gereja ini. Oleh sebab itu, di hari Sabtu aku tidak bekerja terlalu larut agar esoknya aku bisa bangun pagi-pagi.”
“Apakah jemaat dan Bapak Pendeta di sini mengenalmu?”
“Ohh, kenal.. setiap hari Minggu aku ikut kebaktian di sini bukan?”
“Hmm.. bukan itu maksud-Ku..”
“Ohh, aku tahu maksud-Mu. Ya, mereka tahu aku.. mereka kenal aku. Bapak Pendeta selalu menjabat tanganku setiap selesai kebaktian dan memberikan senyum yang ramah. Ia selalu menitipkan sepotong doa untuk aku bawa pulang.”

Pemain organ tunggal itu telah mengganti lagu yang tadi dan sudah memainkan dua lagu lain, membiarkan jemaat tenggelam dalam moment kontemplasi yang khusuk. Di bangku baris belakang perempuan itu masih bercakap-cakap dengan Tuhan.

“Aku dengar, tidak lama lagi tempat ini akan dibongkar,” kata Tuhan. Perempuan itu mengangguk.
“Kemana engkau akan pergi setelah tempat ini diratakan dengan bulldozer?”
“Entahlah, terus terang aku bingung karena tempat ini sudah menjadi rumahku selama ini. Hmm.., dan jemaat gereja ini, kemana mereka akan pergi beribadah setelah tempat ini diratakan?”
“Pergilah ke gereja mana saja, nanti aku akan datang menemuimu dan mengobrol seperti ini,” jawab Tuhan.
“Benarkah? Tidakkah Engkau akan mempermalukan Diri-Mu sendiri jika Engkau mencariku dan mengobrol denganku?”
“Dulu, Aku pun pernah menemui seorang perempuan seperti dirimu di dekat perigi dan bercakap-cakap seperti ini dengannya.”
“Dimana?”
“Di tempat yang jauh dari sini, di Samaria.”

Perempuan itu menoleh kepada Tuhan, tapi ia tak kuasa menatap wajah-Nya, melainkan hanya memberanikan diri memandang kaos oblong berlabel Giordano yang dikenakan-Nya.
Sejurus kemudian, pemain organ tunggal itu menghentikan musiknya, kemudian turun setelah terlebih dahulu menyerahkan mimbarnya kepada Bapak Pendeta.

“Saudara-saudara terkasih, hari ini tidak ada khotbah. Mari kita berdoa dan pulang!” seru Bapak Pendeta dari mimbar.

***
Setahun pun berlalu.

Pada suatu hari Minggu, di sebuah gereja yang letaknya jauh dari kawasan Kalijodo, seorang perempuan yang mengenakan terusan berwarna coklat bermotif kembang, berambut hitam sebahu dan ber-lipstick merah jambu datang mengikuti kebaktian.

Sudah setahun sejak Kalijodo dibongkar atas perintah Gubernur Ahok, setiap hari Minggu perempuan itu datang kesana. Ia selalu duduk di kursi di deretan belakang. “Tuhan, ampunilah dosa-dosaku yang telah kulakukan selama ini…,” demikianlah doa yang ia ucapkan setiap kali ia berada di dalam gereja itu. Selepas kebaktian, ia menuju Roxy tempat kerjanya sebagai penjaga toko handphone.

Sudah setahun perempuan itu menunggu Tuhan di gereja itu, tetapi yang ditunggu tak pernah datang. Hingga akhirnya di suatu pagi yang tidak terlalu sejuk dan tidak pula terlalu panas, perempuan itu mengorder ojek aplikasi untuk mengantarnya ke Kalijodo. Hatinya begitu rindu untuk bertemu Tuhan dan ia ingat di situlah tempat ia bertemu dengan-Nya setahun sebelumnya.

Setibanya disana ia ragu-ragu dan bertanya dalam hatinya, benarkah tempat itu adalah tempatnya dulu? Ia membaca tulisan “RPTRA Kalijodo”. Ia melihat tempat itu telah berubah. Ketimbang deretan café dan warung remang-remang, ia melihat arena belajar dan bermain yang rapi dan terang. Anak-anak kecil berkejaran dan sebagian bermain di playground, anak-anak remaja bermain bola dan anak-anak muda sedang bermain skateboard.

Sedang ia berdiri dan dipenuhi kekaguman melihat keindahan di depannya, Tuhan datang mendekatinya. Pagi itu penampilan Tuhan masih tetap sama seperti dulu: mengenakan celana jeans belel, berkaos oblong putih berlabel Giordano dan bersandal kulit warna coklat muda.

“Mengapa engkau datang kesini?” sapa Tuhan.
“Aku kesepian. Tak ada lagi sepotong doa yang aku bawa pulang selepas kebaktian seperti dulu. Aku menunggu-Mu di gereja sana, tetapi sudah setahun Engkau tak pernah datang,” jawab perempuan itu.
“Aku selalu lewat di depan gereja itu, tetapi enggan mampir,” jawab Tuhan.
“Mengapa?”
Hmm..karena mereka merasa dirinya sudah suci. Hanya pendosa yang mencari-Ku.”

Perempuan itu diam. Pandangannya tertuju pada tempat di depannya yang sudah berubah, dan pikirannya dipenuhi dengan wajah-wajah orang yang sangat dikenalnya, yang sering ia lihat berdiri di atas panggung di gereja sana, mengenakan jas dan dasi.
Sebuah bola menggelinding dari lapangan RPTRA itu dan berhenti tepat di kaki Tuhan. Tuhan memungut bola itu dan menyerahkannya kepada seorang anak yang datang menghampiri. Anak itu menerima bola dari tangan Tuhan, kemudian berlari menuju ke tengah lapangan.

Perempuan itu mengorder ojek aplikasi kemudian berlalu pergi. Tuhan berjalan menuju ke arah Angke.

A church is a hospital for sinners, not a museum for saints (Abigail Van Buren)

***
Catatan:
*) Cerita ini mengambil tempat dan waktu yang aktual namun dengan dialog imajiner.
*) RPTRA: Ruang Publik Terpadu Ramah Anak. Gubernur Ahok mempunyai visi menyediakan taman dan ruang bermain bagi keluarga yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti tempat olah-raga, perpustakaan, taman bermain anak (playground), bahkan disediakan pula ruang laktasi bagi ibu-ibu yang membawa balita. RPTRA menjadi semacam community center bagi masyarakat sekitarnya sebab dibangun di area yang dekat dengan perkampungan. Dana untuk membangun RPTRA tidak diambil dari APBD DKI Jakarta melainkan dari perusahaan-perusahaan lewat dana CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Perusahaan yang mendanai diperbolehkan memasang nama perusahaannya di samping papan nama “RPTRA” tersebut. Bagi yang tidak mengerti dan sinis terhadap hasil karya Pemprov DKI ini, mereka menuduh antara Pemprov DKI dan pengusaha “ada udang di balik rempeyek”.
Salah satu RPTRA yang sangat fenomenal adalah RPTRA Kalijodo, karena dibangun “bagai sulapan” dari kompleks prostitusi tertua di Jakarta hanya dalam waktu 1 tahun. Per Januari 2017, jumlah RPTRA yang sudah dibangun oleh Pemprov DKI sebanyak 186, dan jumlah ini akan terus ditambah agar Jakarta sebagai kota metropolitan tidak terkesan garang tetapi ramah, aman dan nyaman.
***
Serpong, Mar 2017
Titus J.

Tuesday, March 14, 2017

Seandainya mereka mendengarkan Ahok

Seandainya anggota Komisi II DPR dan sederet nama-nama besar yang ‘bermain’ di proyek e-KTP beberapa tahun lalu itu mau mendengarkan Ahok, tentu mereka akan selamat dari hari penghakiman saat ini. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, dan sekarang tinggal piring-piring kotor sisa dari sebuah pesta yang membuat mereka deg-degan setiap kali membaca koran dan menonton TV hari-hari ini.

Entahlah, uang 2,3 Triliun yang dibuat bancaan itu begitu berkuasa hingga orang-orang terhormat itu tak berkuasa untuk menolak. Dan seperti biasa, beberapa dari mereka yang disebut di dalam dakwaan jaksa di pengadilan Tipikor minggu lalu membantah bahwa mereka ikut mengambil bagian. Tidak perlu heran kalau mereka berkilah. Mereka makan, kenyang, lalu menyeka mulutnya, dan berkata: “Aku tidak berbuat jahat.”

Sebanyak 37 orang anggota Komisi II DPR yang disebut di dalam dakwaan jaksa itu sekarang pasti teringat kembali kepada Ahok, rekan mereka yang dikucilkan karena ‘ngerepotin’ pembahasan proyek e-KTP. Nurul Arifin - rekan Ahok yang sama-sama dari fraksi Golkar - yang ditugaskan untuk “melobby” Ahok agar tidak menjadi batu sandungan, pasti teringat kembali percakapannya dengan Ahok yang kalau diingatnya samar-samar kurang lebih begini:

“Hok, elu mau dipindahin ke Komisi VIII bidang agama, karena elu ini di Komisi II rewel banget,” kata Nurul.
“Wah, nggak masalah gue ke Komisi VIII. Elu bilang ke bos-bos pimpinan fraksi ya, entar di Komisi VIII gue bongkar soal mark-up dana haji. Yang bongkar non-Muslim pula,” jawab Ahok enteng.

Nurul pergi, dan kembali lagi setelah beberapa hari. Sepertinya bos-bos itu pusing juga jika Ahok sampai masuk ke Komisi VIII dan mengacak-acak apa saja di dalamnya. Harap maklum, bidang agama harus tetap dijaga “kesuciannya”.

“Jadi elu maunya ke komisi berapa sih?” rayu Nurul.
“Mau ke komisi berapapun gue siap. Di komisi manapun, keberadaan gue pasti bikin elu orang sakit kepala.”
“Ya sudah, sudah, elu tetap di Komisi II deh, tapi elu entar diam saja ya.”

Setelah itu Ahok memang diam. Entahlah, mungkin ia tidak diundang rapat Komisi waktu pembahasan proyek e-KTP, atau mungkin datang tetapi hanya jadi pendengar saja. Ahok merasa bahwa nasihatnya akan sia-sia karena ia melihat libido untuk memuaskan hasrat korupsi sudah sampai di ubun-ubun mereka. Percuma dicegah. Dalam situasi seperti itu, bahkan malaikat pun agaknya tidak akan mampu mencegahnya. Sejak saat itu Ahok tidak kedengaran lagi ngeributin proyek e-KTP, karena tidak lama setelah itu ia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi.

Dari situlah, jika kita mau merenung sejenak dengan tenang dan hati bersih, betapa tidak mudahnya posisi Ahok saat itu. Ia menjadi orang yang aneh sendiri di kalangan rekan-rekannya di DPR. Nyanyian koor rekan-rekannya di DPR yang sudah kompak itu diganggu dengan satu nada berbeda yang dibunyikan oleh Ahok. Ketika mereka berkata bahwa dinding gedung DPR itu berwarna putih bersih, Ahok bilang kusam, penuh jelaga dan debunya tebal. Ketika mereka bilang halaman gedung DPR begitu indah permai berumput hijau, Ahok bilang penuh duri dan ditumbuhi banyak ilalang. Ketika mereka dengan mudah menyebut Nama Tuhan yang kudus, Ahok tak  berani sembarangan menyebut Nama-Nya, karena ia tahu pembicaraan dan diskusi apa saja yang terjadi di ruang-ruang rapat, yang jika didengarkan sungguh menista Nama Tuhan.

Jadi, tidak perlu heran jika kita melihat Ahok yang sedang teraniaya di hari-hari ini. Ia sudah biasa teraniaya, karena integritasnya tak bisa dibeli dengan uang. Orang yang anti mainstream akan selalu teraniaya karena menjadi bahan olok-olok, menjadi tertawaan, menjadi cemooh karena berbeda sendiri. Jika saya ngobrol dengan teman-teman soal ini, semua heran dengan endurance mentalnya. Mental seperti itu tak kan pernah ditemukan pada orang yang bermental tempe. Orang mengira Ahok akan kelelahan dan frustrasi karena hatinya terus-menerus gelisah melihat ketidak-beresan. Namun saya yakin, hatinya justru lebih gelisah jika ia mencium bau kotoran di depan hidungnya tapi mendiamkannya, pura-pura tidak melihat atau bahkan pura-pura mencium bau wewangian.

Dalam kegiatannya sehari-hari, ia tak pernah terlihat putus asa, loyo, mengeluh, lalu curhat di Twitter, komplain bahwa dirinya dizolimi, dan sebagainya. Darimana ia dapatkan kekuatan itu? Tidak lain dari keyakinan akan kebenaran yang dipegangnya, walaupun ia seperti sendirian. Dalam setiap hal yang ia kerjakan, ia selalu teringat sebuah nasihat, “Apapun yang engkau kerjakan, kerjakanlah seperti engkau mengerjakannya untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Maka kelirulah kita jika kita menilai bahwa Ahok adalah pejabat yang paling malang di negeri ini karena punya paling banyak musuh. Ia memang teraniaya dan dikucilkan karena menjadi biang sakit kepala. Ia tidak diinginkan karena selalu ngerepotin mereka yang ingin mencuri uang rakyat. Tetapi seandainya kita bisa meneropong jauh di kedalaman hatinya, ia adalah orang yang paling berbahagia, karena ia melakukan semuanya itu untuk Dia yang menjadi sandaran imannya. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat,” demikian khotbah Yesus di atas bukit.

Lawan-lawan Ahok saat ini mengkin begitu kepingin nama Ahok masuk di dalam list penerima uang bancaan itu. Tetapi Jaksa Irene Putrie mengatakan tidak ada nama Ahok dalam surat dakwaan. Ahok selamat dari hari penghakiman ini.

Seandainya 37 rekannya di Komisi II DPR dan sederet nama-nama besar itu mau mendengarkan Ahok yang mereka anggap sebagai biang sakit kepala itu, tentu hari-hari ini mereka tidak akan sakit kepala menunggu giliran dipanggil pengadilan.

Sayangnya, dalam hidup ini tidak mengenal kata seandainya…

“Many people, especially ignorant people, want to punish you for speaking the truth, for being correct, for being you. If you are right and you know it, speak your mind. Even if you are a minority of one, the truth is still the truth.” (Mahatma Gandhi)

***
Serpong, 13 Mar 2017

Titus J.

Saturday, March 4, 2017

Ahok dan rejeki anak sholeh

Sebenarnya kejadian salaman antara Ahok dan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dari Arab Saudi adalah hal yang wajar, karena Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta yang bisa saja diminta oleh Presiden untuk mendampingi menyambut tamu Negara. Tetapi salaman itu menjadi istimewa karena ada dua alasan:

Pertama, tamunya sendiri memang istimewa, khususnya bagi rakyat Indonesia. Raja Salman adalah pemimpin Arab yang sangat dihormati di Indonesia – Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia - karena beliau menjadi penjaga dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah. Raja Salman membangun fasilitas untuk menerima jutaan umat Muslim seluruh dunia setiap tahun dalam rangka menunaikan rukun Islam kelima: haji (ziarah) ke Baitullah Makkah.

Kedua, karena sehari sebelumnya, Rizieq Shihab - yang menjadi saksi di persidangan kasus penistaan agama - tidak mau menyalami Ahok. Rizieq dan Ahok sudah lama berseteru, dan di persidangan itulah untuk pertama kalinya keduanya ‘face-off’ (berhadapan) langsung dalam satu ruang.

Rizieq tidak sudi menyalami Ahok. Mungkin ia tidak sudi tangannya ternoda. Tidak mengapa, Ahok tidak tersinggung. Yang membuat saya bersyukur, di sepanjang kesaksian itu, Ahok hanya memandang Rizieq dan memperhatikan setiap perkataannya dengan seksama. Koran-koran menulis, Ahok tight-lipped. Padahal ada kekhawatiran jika ketemu Rizieq bisa-bisa Ahok terpancing, emosi dan meluncurkan kalimat-kalimat yang kasar.

Ahok dituduh menistakan agama dan saat ini sedang diadili. Namanya dilabeli oleh sebagian orang sebagai “Si Penista Agama”. Label yang dikenakan ini memang menyakitkan. Label itu sendiri begitu nista.

Rabu siang itu di depan tangga pesawat Kerajaan Arab Saudi yang bertuliskan ‘God Bless You’ di bawah jendela kokpit itu, Raja Salman yang mulia itu datang dengan kebesaran, dan menjabat tangan Ahok dengan senyum kecil. Dengan mengenakan peci dan sikap setengah membungkukkan badan, Ahok menggenggam tangan Raja Salman dengan kedua tangannya yang mungkin sedikit gemetar, grogi. Raja Salman memang berkharisma.

Apakah Raja Salman tidak tahu orang yang disalami itu adalah terdakwa penista agama? Sudah pasti tahu. Duta besar Arab Saudi untuk Indonesia pasti selalu memberi update tentang situasi di Indonesia, termasuk soal Ahok dan persidangannya, soal demo 411 maupun 212, soal pilkada Jakarta, dan soal-soal lain. Kalaupun ada info yang terlupa, Raja Salman bisa saja mengetahui hal itu dari pemberitaan media internasional, sebab kasus Ahok sudah ditulis oleh hampir semua media: CNN, BBC, New York Times, Al Jazeera, Al Arabiya, The Jerusalem Post dan media-media lain di seluruh dunia.

Foto salaman Ahok dengan Raja Salman yang langsung menjadi viral itu mengundang berbagai komentar dari para netizen. Dari sekian banyak komentar atas momen menarik itu, seorang netizen memposting: “Saya Muslim, tapi saya mau mengutip kitab Amsal 22:29: Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina." Satu netizen lain memposting: "Wah, itu rejeki anak sholeh..."

“Rejeki anak sholeh” adalah metaphor yang menggambarkan seseorang yang tidak pernah mengharapkan sesuatu tetapi mendapatkannya dengan tak disangka-sangka. Ungkapan “Rejeki anak sholeh” sebenarnya berlaku bukan kepada seseorang yang suci tak bercacat, tetapi justru kepada mereka yang harusnya tidak layak menerima. Ia tak pernah bermimpi, tapi justru diberi tanpa meminta. Dalam konsep Kristen, “Rejeki anak sholeh” ini dinamakan anugerah. Anugerah bukan diberikan kepada mereka yang suci, tetapi kepada mereka yang tidak layak. Kita semua sama di hadapan Tuhan, sebab di hadapan-Nya kita adalah sama-sama orang berdosa. Berbahagialah orang yang mengaku dan menyadari dirinya berdosa, sebab Tuhan datang mencari orang berdosa, bukan orang yang merasa suci.

Saya kira Ahok tidak pernah berlagak sebagai orang penting yang merasa harus diundang untuk bertemu dan menyambut Raja Salman. Label yang menyakitkan itu mengingatkan dirinya bahwa yang akan datang itu adalah seorang Raja dari sebuah Negara yang menjadi pusat peradaban Islam dunia, dan rakyat Indonesia sangat menghormatinya. Bagaimanapun, secara psikologis Ahok merasa tidak layak. Tetapi ternyata Presiden Jokowi memintanya untuk ikut menyambut Sang Raja dari Arab Saudi itu. Presiden Jokowi bahkan memperkenalkannya, “Ini Gubernur Jakarta.”

Pada pertemuan dengan tokoh lintas agama di Jakarta kemarin, Raja Salman memuji Indonesia atas terjaganya toleransi di tengah keberagaman agama, etnis, dan budaya. Beliau mengingatkan semangat Islam sebagai rahmatan lil alamin – blessing for the world - yang harus terus dihidupi oleh umat.Islam di manapun. Ketika Sang Raja menjabat tangan Ahok, beliau ingin menunjukkan jiwa Islam yang rahmatan lil alamin itu, walaupun Ahok adalah seorang Kristen beretnis Tionghoa, walaupun oleh sebagian orang ia dikafir-kafirkan.

Beberapa hari menjelang kedatangan Raja Salman, seorang wartawan bertanya kepada Ahok, apakah harapannya dengan kunjungan Raja dari Arab Saudi itu. “Gua berharap kuota haji bagi jemaah Indonesia ditambah lagi,” katanya. Jawaban Ahok itu lantas menuai kekaguman orang, betapa ia yang dituduh menista Islam masih tetap memikirkan umat Islam agar mendapatkan lebih banyak ruang untuk menunaikan ibadahnya di tanah suci yang dirindukan oleh setiap umat.

Seandainya Ahok mempunyai kesempatan untuk duduk semeja dengan Raja Salman, ia pasti menyampaikan permohonannya itu.

“Rejeki anak sholeh” memang datang tanpa diminta. Anugerah Tuhan diberikan kepada mereka dan kitapun tak bisa mengerti. Jika kita bertanya, “Tuhan, mengapa Kau berikan itu kepadanya?” Sepertinya Tuhan enggan menjawab pertanyaan ini sebab anugerah itu adalah hak prerogatif-Nya.

Kepada Raja Salman, kita doakan agar selalu diberikan kesehatan dan perlindungan oleh Tuhan YME. Setelah penat menghadiri semua acara di Jakarta selama tiga hari ini, beliau akan berlibur di pulau dewata.

Enjoy your vacation in Bali, Your Majesty. God Bless You.

"Deposuit potentes de sede et exultavit humiles - Dia merendahkan mereka yang berkuasa dan meninggikan mereka yang terhina" (Lukas 14:11)

***
Serpong, 4 Mar 2017

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...