Di suatu pagi
bulan Februari tahun dua ribu enam belas yang tidak terlalu sejuk dan tidak
pula terlalu panas, Tuhan berjalan-jalan di Kalijodo. Ia menghentikan
langkah-Nya ketika sebuah nyanyian menggema dari kerumunan beberapa puluh orang
yang sedang mengikuti kebaktian di sebuah gereja yang terletak di antara
padatnya pemukiman dan café yang kalau malam hari begitu semarak dan kalau pagi
hari tertidur lelap. Puluhan sepeda motor dan bajaj berjajar di halaman parkir gereja
yang luasnya hanya beberapa meter saja.
Di situlah
Tuhan mampir.
Jemaat gereja
yang sederhana itu terus menyanyi dengan
khusuk. Lagu yang dipilih oleh pemimpin pujian adalah “Briku hati”. Maka
diiringi dengan organ tunggal yang suaranya sember, yang pemain organnya
mengangguk-angguk konsisten mengikuti irama, jemaat itu menyanyikan: “Briku hati untuk menyembah-Mu, briku hati
untuk mengasihi-Mu, briku hati memuji-Mu dan mengasihi Engkau, seperti wanita
yang datang mengurapi-Mu….“
Jari-jemari
pemain organ tunggal itu terus memijit-mijit tuts, sesekali ia melirik ke arah sang
pemimpin pujian yang berdiri di belakang mimbar sambil memegang mikrofon yang
suaranya juga sember.
Pagi itu Tuhan
mengenakan celana jeans belel, berkaos oblong putih berlabel Giordano dan
bersandal kulit warna coklat muda. Setelah kaki-Nya memasuki ruangan gereja, Ia
duduk di bangku paling belakang, tepat di sebelah seorang perempuan yang
mengenakan terusan berwarna coklat bermotif kembang, berambut hitam sebahu dan ber-lipstick merah jambu.
Perempuan itu
tengah menundukkan kepala dan berdoa dalam hatinya, “Tuhan, ampunilah
dosa-dosaku….” Setelah selesai berdoa, ia mengusap matanya dengan sehelai tisu
yang sejak tadi digenggamnya. Ketika ia melihat siapa yang duduk di sebelahnya,
ia beringsut sedikit memperlebar jarak duduknya. Lalu kepalanya menunduk. Ia
tidak ikut menyanyi seperti jemaat yang lain.
“Mengapa
engkau tidak menyanyi?” sapa Tuhan.
“Aku
tidak bisa menyanyi,” jawab perempuan itu.
“Benarkah
engkau tidak bisa menyanyi? Aku sering melihatmu menyanyi di café bercat biru
di ujung jalan ini,” kata Tuhan.
“Hmm,
bukan itu maksudku, lebih tepatnya, aku tak pantas menyanyi di sini.”
Tuhan diam.
Perempuan itu diam.
Seorang
laki-laki mabuk berjalan lewat di depan gereja dengan langkah terhuyung-huyung.
Kancing bajunya terlepas dan rambutnya acak-acakan. Ia menyanyikan lagu ‘It’s
my life’ menirukan Bon Jovi dengan suara serak diselingi dengan suara sendawa
dari mulutnya yang berbau alkohol. Ketika ia mendengar suara organ dari dalam
gereja itu, ia berhenti, lalu memanggil: “Selvi.. Selvi…!” Perempuan yang duduk
di sebelah Tuhan itu menoleh ke arah pintu, memandang sejenak, lalu membuang
muka tanpa menyahut apa-apa. Laki-laki itu kemudian berlalu pergi.
“Sudah berapa lama engkau tinggal di sini, Selvi?” tanya
Tuhan.
“Ohh.., Engkau tahu namaku?” perempuan itu balik
bertanya.
“Aku tahu nama semua perempuan di tempat ini,” jawab
Tuhan.
“Hmm..,” perempuan itu menggumam, mencuri pandang ke arah
Tuhan dengan ekor matanya, kemudian menjawab, “Kalau kuhitung sejak aku lulus
SMA, tidak kurang dari lima belas tahun.”
“Apakah engkau selalu datang ke gereja ini setiap hari
Minggu?”
“Ya, aku tak pernah melewatkan hari Minggu di gereja ini.
Oleh sebab itu, di hari Sabtu aku tidak bekerja terlalu larut agar esoknya aku
bisa bangun pagi-pagi.”
“Apakah jemaat dan Bapak Pendeta di sini mengenalmu?”
“Ohh, kenal.. setiap hari Minggu aku ikut kebaktian di
sini bukan?”
“Hmm.. bukan itu maksud-Ku..”
“Ohh, aku tahu maksud-Mu. Ya, mereka tahu aku.. mereka
kenal aku. Bapak Pendeta selalu menjabat tanganku setiap selesai kebaktian dan
memberikan senyum yang ramah. Ia selalu menitipkan sepotong doa untuk aku bawa
pulang.”
Pemain
organ tunggal itu telah mengganti lagu yang tadi dan sudah memainkan dua lagu
lain, membiarkan jemaat tenggelam dalam moment kontemplasi yang khusuk. Di
bangku baris belakang perempuan itu masih bercakap-cakap dengan Tuhan.
“Aku dengar, tidak lama
lagi tempat ini akan dibongkar,” kata Tuhan. Perempuan itu mengangguk.
“Kemana engkau akan pergi
setelah tempat ini diratakan dengan bulldozer?”
“Entahlah, terus terang
aku bingung karena tempat ini sudah menjadi rumahku selama ini. Hmm.., dan
jemaat gereja ini, kemana mereka akan pergi beribadah setelah tempat ini
diratakan?”
“Pergilah ke gereja
mana saja, nanti aku akan datang menemuimu dan mengobrol seperti ini,” jawab
Tuhan.
“Benarkah? Tidakkah
Engkau akan mempermalukan Diri-Mu sendiri jika Engkau mencariku dan mengobrol
denganku?”
“Dulu, Aku pun pernah
menemui seorang perempuan seperti dirimu di dekat perigi dan bercakap-cakap
seperti ini dengannya.”
“Dimana?”
“Di tempat yang jauh
dari sini, di Samaria.”
Perempuan
itu menoleh kepada Tuhan, tapi ia tak kuasa menatap wajah-Nya, melainkan hanya
memberanikan diri memandang kaos oblong berlabel Giordano yang dikenakan-Nya.
Sejurus
kemudian, pemain organ tunggal itu menghentikan musiknya, kemudian turun
setelah terlebih dahulu menyerahkan mimbarnya kepada Bapak Pendeta.
“Saudara-saudara
terkasih, hari ini tidak ada khotbah. Mari kita berdoa dan pulang!” seru Bapak
Pendeta dari mimbar.
***
Setahun
pun berlalu.
Pada
suatu hari Minggu, di sebuah gereja yang letaknya jauh dari kawasan Kalijodo,
seorang perempuan yang mengenakan terusan berwarna coklat bermotif kembang,
berambut hitam sebahu dan ber-lipstick
merah jambu datang mengikuti kebaktian.
Sudah
setahun sejak Kalijodo dibongkar atas perintah Gubernur Ahok, setiap hari
Minggu perempuan itu datang kesana. Ia selalu duduk di kursi di deretan
belakang. “Tuhan, ampunilah dosa-dosaku yang telah kulakukan selama ini…,” demikianlah
doa yang ia ucapkan setiap kali ia berada di dalam gereja itu. Selepas
kebaktian, ia menuju Roxy tempat kerjanya sebagai penjaga toko handphone.
Sudah
setahun perempuan itu menunggu Tuhan di gereja itu, tetapi yang ditunggu tak
pernah datang. Hingga akhirnya di suatu pagi yang tidak terlalu sejuk dan tidak
pula terlalu panas, perempuan itu mengorder ojek aplikasi untuk mengantarnya ke
Kalijodo. Hatinya begitu rindu untuk bertemu Tuhan dan ia ingat di situlah
tempat ia bertemu dengan-Nya setahun sebelumnya.
Setibanya
disana ia ragu-ragu dan bertanya dalam hatinya, benarkah tempat itu adalah
tempatnya dulu? Ia membaca tulisan “RPTRA Kalijodo”. Ia melihat tempat itu
telah berubah. Ketimbang deretan café dan warung remang-remang, ia melihat
arena belajar dan bermain yang rapi dan terang. Anak-anak kecil berkejaran dan
sebagian bermain di playground, anak-anak remaja bermain bola dan anak-anak
muda sedang bermain skateboard.
Sedang
ia berdiri dan dipenuhi kekaguman melihat keindahan di depannya, Tuhan datang
mendekatinya. Pagi itu penampilan Tuhan masih tetap sama seperti dulu: mengenakan
celana jeans belel, berkaos oblong putih berlabel Giordano dan bersandal kulit
warna coklat muda.
“Mengapa engkau datang
kesini?” sapa Tuhan.
“Aku kesepian. Tak ada
lagi sepotong doa yang aku bawa pulang selepas kebaktian seperti dulu. Aku
menunggu-Mu di gereja sana, tetapi sudah setahun Engkau tak pernah datang,”
jawab perempuan itu.
“Aku selalu lewat di
depan gereja itu, tetapi enggan mampir,” jawab Tuhan.
“Mengapa?”
“Hmm..karena mereka
merasa dirinya sudah suci. Hanya pendosa yang mencari-Ku.”
Perempuan itu diam. Pandangannya
tertuju pada tempat di depannya yang sudah berubah, dan pikirannya dipenuhi
dengan wajah-wajah orang yang sangat dikenalnya, yang sering ia lihat berdiri
di atas panggung di gereja sana, mengenakan jas dan dasi.
Sebuah
bola menggelinding dari lapangan RPTRA itu dan berhenti tepat di kaki Tuhan.
Tuhan memungut bola itu dan menyerahkannya kepada seorang anak yang datang menghampiri.
Anak itu menerima bola dari tangan Tuhan, kemudian berlari menuju ke tengah
lapangan.
Perempuan
itu mengorder ojek aplikasi kemudian berlalu pergi. Tuhan berjalan menuju ke arah
Angke.
A
church is a hospital for sinners, not a museum for saints (Abigail Van Buren)
***
Catatan:
*)
Cerita ini mengambil tempat dan waktu yang aktual namun dengan dialog imajiner.
*)
RPTRA: Ruang Publik Terpadu Ramah Anak. Gubernur Ahok mempunyai visi
menyediakan taman dan ruang bermain bagi keluarga yang dilengkapi dengan
berbagai fasilitas seperti tempat olah-raga, perpustakaan, taman bermain anak
(playground), bahkan disediakan pula ruang laktasi bagi ibu-ibu yang membawa
balita. RPTRA menjadi semacam community center bagi masyarakat sekitarnya sebab
dibangun di area yang dekat dengan perkampungan. Dana untuk membangun RPTRA
tidak diambil dari APBD DKI Jakarta melainkan dari perusahaan-perusahaan lewat
dana CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Perusahaan yang mendanai
diperbolehkan memasang nama perusahaannya di samping papan nama “RPTRA”
tersebut. Bagi yang tidak mengerti dan sinis terhadap hasil karya Pemprov DKI
ini, mereka menuduh antara Pemprov DKI dan pengusaha “ada udang di balik
rempeyek”.
Salah
satu RPTRA yang sangat fenomenal adalah RPTRA Kalijodo, karena dibangun “bagai
sulapan” dari kompleks prostitusi tertua di Jakarta hanya dalam waktu 1 tahun.
Per Januari 2017, jumlah RPTRA yang sudah dibangun oleh Pemprov DKI sebanyak
186, dan jumlah ini akan terus ditambah agar Jakarta sebagai kota metropolitan
tidak terkesan garang tetapi ramah, aman dan nyaman.
***
Serpong, Mar 2017
Titus J.