Wednesday, May 20, 2015

Seandainya Andrew Chan Mengenal Albert Einstein

A table, a chair, a bowl of fruit and a violin; what else does a man need to be happy?

Kalimat itu dikatakan oleh Albert Einstein, seorang jenius Yahudi kelahiran Jerman di tahun 1879 yang dikenal menemukan The theory of relativity. Einstein dikukuhkan sebagai Professor Extraordinary di Zurich ketika usianya masih sangat belia, 30 tahun. Tidak berhenti sampai disitu, Einstein dikukuhkan kembali sebagai Professor of Theoretical Physics di Prague 2 tahun kemudian, dan professor di University of Berlin 3 tahun kemudian. Jadi pada umur semuda itu, 35 tahun, Einstein sudah mempunyai 3 gelar professor dari 3 tempat yang berbeda.

Einstein mendapat Nobel di bidang Fisika pada tahun 1921. Ia pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara Amerika pada tahun 1940 serta mengajar di University of Princeton, New Jersey.

Ketika berlangsung perang dunia II, hatinya terkoyak melihat bangsanya dikejar-kejar dan dibantai oleh tentara Nazi. Einstein anti perang sehingga ia ingin agar perang segera dihentikan. Karena kekhawatirannya bahwa Hitler sedang mengembangkan senjata pemusnah, Einstein menulis surat kepada President Roosevelt dan mendorong Amerika untuk sesegera mungkin mendahului membikin bom atom untuk menghentikan Hitler. Maka dibentuklah sebuah proyek yang dinamakan The Manhattan Project.

Pada tahun 1945 perang dunia II berakhir setelah Amerika menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki. Walaupun bom atom yang dikerjakannya itu telah menghentikan perang, namun kedahsyatan dan kengerian yang diakibatkannya begitu mengusik Einstein setelahnya. Setahun sebelum ia meninggal, di tahun 1954 ia berkata kepada sahabatnya, Linus Pauling, “I made one great mistake in my life - when I signed the letter to President Roosevelt recommending that atom bombs be made.

Sebuah meja, kursi, semangkuk buah-buahan dan nada-nada indah dari biola, itulah konsep sederhana Einstein tentang kebahagiaan. Di tengah-tengah kesibukannya mengajar dan mengutak-atik rumus-rumus Fisika, Einstein bermain biola, memainkan komposisi dari Bethoven dan Mozart. Siapa pasangan bermain musiknya? Tidak tanggung-tanggung, ia adalah Max Planck, seorang fisikawan yang menemukan The theory of quantum. Max Planck mendapat Nobel Fisika tahun 1918. Bayangkan jika dua orang jenius yang sama-sama peraih Nobel memainkan musik. Mungkin sebuah komposisi lagu di tangan mereka berubah menjadi hidup dan menari-nari, karena not-not balok itu tidak asal dibunyikan tetapi ditransformasikan dulu memakai rumus-rumus Fisika. Hmmm…menarik.

Einstein mendengarkan dan memainkan musik bukan hanya sekedar hobby, melainkan cinta. Dan dimana ada cinta, di situlah terletak kebahagiaan. If I were not a physicist, I would probably be a musician. I often think in music. I live my daydreams in music. I see my life in terms of music... I get most joy in life out of music,” katanya suatu ketika.

Itulah rumus Einstein tentang kebahagiaan. Baginya, mungkin, ia cukup perlu meja dan kursi untuk bekerja, mencoret-coret rumus-rumus dan angka-angka di atas kertas. Ketika ia lapar sedangkan pekerjaan masih ‘tanggung’, ia cuma perlu mengunyah anggur, apel, blueberry atau buah pir karena malas untuk mengambil sepiring nasi atau roti. Pada waktu otaknya sudah jenuh karena persamaan matematika dan geometri, ia perlu rehat sejenak mendengarkan musik atau bahkan memainkan biolanya. Pada moment itu mungkin jiwanya begitu lepas dan merdeka. Adakah dalam hidup ini yang lebih bermakna daripada jiwa yang bebas merdeka?

Betapa sederhananya untuk menjadi bahagia.

Jika yang mengatakan konsep sederhana itu adalah seorang pengamen jalanan yang hidupnya papa, tinggal di pinggiran rel kereta api, perabot rumahnya hanyalah sepasang meja-kursi dan kasur lipat yang digelar di atas ubin, dan di malam-malam yang sepi hiburannya hanyalah menggesek biola di bawah sinar rembulan, maka konsep itu hanyalah sekedar pelipur lara, sebab ia tidak punya apa-apa selain barang-barang itu. Ia mungkin terhibur sejenak di malam itu tetapi ketika fajar menyingsing beban hidup akan menyapanya karena hari ini ia tidak tahu mau makan apa.

Tetapi lihatlah, itu dikatakan oleh seorang Albert Einstein, seorang fisikawan yang dikagumi di abad-20 yang punya hampir segala sesuatu (sekalipun ia bukan seorang bilioner, walaupun bisa jika ia mau). Ketika ia meninggal di usia 76, dokter yang mengotopsi jasadnya di rumah sakit Princeton mengambil otaknya dan disimpan untuk diteliti guna kepentingan keilmuan neuroscience. Para scientist itu penasaran untuk mengetahui terbuat dari apa otaknya hingga ia begitu jenius. Jika dijual, semahal apakah otak Einstein? 100 juta dollar? 100 milyar dollar?

Jika Einstein ditanya, barangkali ia tidak akan menyebut angka, sebab berapapun angka yang orang bisa sebutkan untuk membeli otaknya, ia akan menjawab dengan tersenyum. Ia barangkali justru hanya meminta sebuah moment yang bisa membawa hatinya kepada suatu suasana yang peaceful, asal ada meja, kursi, semangkuk buah-buahan dan sebuah biola di dekatnya.

Makna dari konsep itu sebenarnya bukan soal meja-kursi-buah-biola yang bisa memberikan kebahagiaan, tetapi yang dimaksud oleh Einstein adalah bahwa kebahagiaan bukan soal uang, emas, mobil mewah, jabatan, dan popularitas. Sebab jika faktor ini yang bisa bikin seseorang bahagia, alangkah malangnya orang biasa, yang tak memiliki uang untuk membelinya. Tetapi nyatanya seseorang bisa bahagia karena nikmatnya makan nasi dan sayur asem, ditambah sambal terasi dan petai.

Einstein mengingatkan kita untuk menemukan kebahagiaan dengan apa yang kita miliki, bukan dengan sesuatu yang tidak mungkin kita miliki, dengan sesuatu yang dekat dengan kehidupan kita, bukan dengan sesuatu yang muluk-muluk yang hanya akan menstimulasi keinginan untuk berbuat dosa.

Andrew Chan, figur sentral gang Bali Nine dalam perdagangan narkotika internasional yang baru-baru ini dieksekusi mati di pulau Nusakambangan, tertangkap melakukan bisnis tersebut ketika ia masih berusia 21 tahun. Begitu muda. Sebuah media luar negeri menulis bahwa kenekatannya mengorganisir jaringan perdagangan narkotika itu lantaran keinginannya akan uang, mobil mewah, wanita cantik, dan hidup bersenang-senang semasa muda.

Setelah ia dieksekusi mati, banyak tulisan beredar mengenai pertobatannya ketika ia dipenjara di Kerobokan, Bali. Ia menolak menggunakan penutup mata dalam eksekusi dan terus menyanyikan lagu Amazing Grace, yang salah satu teksnya berkata: “Amazing grace how sweet the sounds, that saves a wrecked like me…” Menjelang eksekusi, ia mengatakan kepada keluarga dan kerabat yang mendampinginya, bahwa ia mempercayakan hidupnya kepada Allah, bahwa tidak ada sehelai rambut kepalanya yang jatuh tanpa seijin Allah.

Chan menulis sendiri eulogy menjelang hari eksekusinya (yang kemudian dibacakan pada moment pemakaman jenasahnya di Sidney): “Treat each day as a diamond, for each day is valuable, as you can never buy it back. Learn to use it doing the things you love, spend it with the people you care for most, because we just never know when we will say goodbye.

Di bagian lain Andrew Chan mengatakan bahwa seseorang tidak harus menjadi tua terlebih dahulu untuk mati. Benar, tetapi andaikan langkahnya tidak keliru mungkin ia tidak harus mati di usia yang sangat belia, 31 tahun. Nasihatnya bahwa tiap hari sangat berharga dan tidak mungkin bisa kembali merupakan kesadarannya yang muncul di saat-saat terakhir menjelang kematiannya. Kisah pertobatannya sewaktu di penjara memang menggugah sebagian orang, dan orang begitu menyayangkan mengapa ia tetap tak terampuni sekalipun ia sudah berubah, sudah bertransformasi menjadi manusia baru. Agaknya kita memang harus rela untuk mengerti, bahwa pengalaman spiritualnya dengan Tuhan tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghindari hukum negara. Kitapun tidak pernah bisa mencapai kata sepakat apakah ia selayaknya dihukum mati atau tidak.

Seandainya Andrew Chan mengenal Albert Einstein, dan belajar nasihatnya tentang kesederhanaan untuk menjadi bahagia, mungkin ia tidak akan berbuat nekat memimpin gang Bali Nine dalam jaringan bisnis narkoba internasional guna memburu mobil mewah, wanita cantik dan hidup bersenang-senang. Seandainya ia tidak bisnis narkoba, ia tidak perlu mati di usia 31 tahun. Seandainya ia tidak mati di usia 31 tahun, mungkin Tuhan bisa memakainya lebih dari keadaan terakhirnya sebagai seorang petobat baru untuk rencana Tuhan yang lain. Tetapi bukankah dalam hidup ini tidak ada kata ‘seandainya’?

Tuhan membiarkan Chan untuk selesai sampai disini, dan kita tidak pernah mengerti mengapa demikian, selain meyakini bahwa hanya kedaulatan Allah yang menjadi jawaban. Mengapa Tuhan tak memberi ‘the second chance’ untuk Andrew Chan, sedangkan untuk Mary Jane Fiesta Veloso, Tuhan meluputkannya (paling tidak hingga hari ini)? Mary Jane tidak akan bisa melupakan menit-menit maut di malam itu ketika namanya tiba-tiba dicoret dari daftar eksekusi. Bukankah hanya kedaulatan Allah semata, ketika beberapa menit sebelum eksekusi dilakukan, Kejaksaan Agung menelepon eksekutor di Nusakambangan agar tiang eksekusi yang sudah dipancangkan untuk Mary Jane dikosongkan?

Sebagai sesama insan manusia, terlebih sesama orang yang percaya Kristus Sang Maha empunya kedaulatan atas hidup manusia, saya ingin memberikan respect untuk Andrew Chan dan ikut bersimpati dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menangisinya. Biarlah ia mengubur masa lalu kelamnya dan pergi sesuai dengan keyakinan imannya: “My last moments here on earth I sang out hallelujah, I ran the good race, I fought the good fight and came out a winner in God’s eyes,” tulisnya di eulogy kematiannya.

Seandainya Andrew Chan mengenal Albert Einstein, ia akan belajar menjadi orang besar dengan sederhana. Einstein tidak silau dengan kehidupan glamour bergelimang harta dan popularitas. Kalau mau ia sudah menjadi Presiden Israel karena bangsanya sendiri memintanya untuk pulang dari Amerika dan menjadikannya pemimpin, tetapi ia menolak tawaran tersebut. Ia lebih memilih mendirikan universitas - The Hebrew University of Jerusalem – agar bangsanya bisa mencetak generasi brilliant.

Sebuah meja, kursi, semangkuk buah-buahan dan keindahan suara biola; apalagi yang kita butuhkan untuk menjadi bahagia?

***

A great man is always willing to be little (Ralph Waldo Emerson)

Serpong, 20 Mei 2015
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...