A table, a chair, a bowl of
fruit and a violin; what else does a man need to be happy?
Kalimat
itu dikatakan oleh Albert Einstein, seorang jenius Yahudi kelahiran Jerman di
tahun 1879 yang dikenal menemukan The
theory of relativity. Einstein dikukuhkan sebagai Professor Extraordinary di Zurich ketika usianya masih sangat
belia, 30 tahun. Tidak berhenti sampai disitu, Einstein dikukuhkan kembali sebagai
Professor of Theoretical Physics di
Prague 2 tahun kemudian, dan professor di University of Berlin 3 tahun kemudian.
Jadi pada umur semuda itu, 35 tahun, Einstein sudah mempunyai 3 gelar professor
dari 3 tempat yang berbeda.
Einstein
mendapat Nobel di bidang Fisika pada tahun 1921. Ia pindah ke Amerika Serikat
dan menjadi warga Negara Amerika pada tahun 1940 serta mengajar di University
of Princeton, New Jersey.
Ketika
berlangsung perang dunia II, hatinya terkoyak melihat bangsanya dikejar-kejar
dan dibantai oleh tentara Nazi. Einstein anti perang sehingga ia ingin agar
perang segera dihentikan. Karena kekhawatirannya bahwa Hitler sedang
mengembangkan senjata pemusnah, Einstein menulis surat kepada President
Roosevelt dan mendorong Amerika untuk sesegera mungkin mendahului membikin bom
atom untuk menghentikan Hitler. Maka dibentuklah sebuah proyek yang dinamakan The Manhattan Project.
Pada
tahun 1945 perang dunia II berakhir setelah Amerika menjatuhkan bom atom ke
kota Hiroshima dan Nagasaki. Walaupun bom atom yang dikerjakannya itu telah
menghentikan perang, namun kedahsyatan dan kengerian yang diakibatkannya begitu
mengusik Einstein setelahnya. Setahun sebelum ia meninggal, di tahun 1954 ia
berkata kepada sahabatnya, Linus Pauling, “I made
one great mistake in my life - when I signed the letter to President Roosevelt
recommending that atom bombs be made.”
Sebuah
meja, kursi, semangkuk buah-buahan dan nada-nada indah dari biola, itulah
konsep sederhana Einstein tentang kebahagiaan. Di tengah-tengah kesibukannya
mengajar dan mengutak-atik rumus-rumus Fisika, Einstein bermain biola,
memainkan komposisi dari Bethoven dan Mozart. Siapa pasangan bermain musiknya?
Tidak tanggung-tanggung, ia adalah Max Planck, seorang fisikawan yang menemukan
The theory of quantum. Max Planck
mendapat Nobel Fisika tahun 1918. Bayangkan jika dua orang jenius yang
sama-sama peraih Nobel memainkan musik. Mungkin sebuah komposisi lagu di tangan
mereka berubah menjadi hidup dan menari-nari, karena not-not balok itu tidak
asal dibunyikan tetapi ditransformasikan dulu memakai rumus-rumus Fisika. Hmmm…menarik.
Einstein
mendengarkan dan memainkan musik bukan hanya sekedar hobby, melainkan cinta.
Dan dimana ada cinta, di situlah terletak kebahagiaan. “If I were not a physicist, I would probably be a musician. I often
think in music. I live my daydreams in music. I see my life in terms of
music... I get most joy in life out of music,” katanya suatu ketika.
Itulah
rumus Einstein tentang kebahagiaan. Baginya, mungkin, ia cukup perlu meja dan
kursi untuk bekerja, mencoret-coret rumus-rumus dan angka-angka di atas kertas.
Ketika ia lapar sedangkan pekerjaan masih ‘tanggung’, ia cuma perlu mengunyah
anggur, apel, blueberry atau buah pir karena malas untuk mengambil sepiring nasi
atau roti. Pada waktu otaknya sudah jenuh karena persamaan matematika dan
geometri, ia perlu rehat sejenak mendengarkan musik atau bahkan memainkan
biolanya. Pada moment itu mungkin jiwanya begitu lepas dan merdeka. Adakah
dalam hidup ini yang lebih bermakna daripada jiwa yang bebas merdeka?
Betapa
sederhananya untuk menjadi bahagia.
Jika
yang mengatakan konsep sederhana itu adalah seorang pengamen jalanan yang
hidupnya papa, tinggal di pinggiran rel kereta api, perabot rumahnya hanyalah
sepasang meja-kursi dan kasur lipat yang digelar di atas ubin, dan di
malam-malam yang sepi hiburannya hanyalah menggesek biola di bawah sinar
rembulan, maka konsep itu hanyalah sekedar pelipur lara, sebab ia tidak punya apa-apa
selain barang-barang itu. Ia mungkin terhibur sejenak di malam itu tetapi
ketika fajar menyingsing beban hidup akan menyapanya karena hari ini ia tidak
tahu mau makan apa.
Tetapi
lihatlah, itu dikatakan oleh seorang Albert Einstein, seorang fisikawan yang
dikagumi di abad-20 yang punya hampir segala sesuatu (sekalipun ia bukan
seorang bilioner, walaupun bisa jika ia mau). Ketika ia meninggal di usia 76,
dokter yang mengotopsi jasadnya di rumah sakit Princeton mengambil otaknya dan
disimpan untuk diteliti guna kepentingan keilmuan neuroscience. Para scientist
itu penasaran untuk mengetahui terbuat dari apa otaknya hingga ia begitu jenius. Jika dijual, semahal apakah
otak Einstein? 100 juta dollar? 100 milyar dollar?
Jika
Einstein ditanya, barangkali ia tidak akan menyebut angka, sebab berapapun angka
yang orang bisa sebutkan untuk membeli otaknya, ia akan menjawab dengan
tersenyum. Ia barangkali justru hanya meminta sebuah moment yang bisa membawa
hatinya kepada suatu suasana yang peaceful,
asal ada meja, kursi, semangkuk buah-buahan dan sebuah biola di dekatnya.
Makna
dari konsep itu sebenarnya bukan soal meja-kursi-buah-biola yang bisa
memberikan kebahagiaan, tetapi yang dimaksud oleh Einstein adalah bahwa
kebahagiaan bukan soal uang, emas, mobil mewah, jabatan, dan popularitas. Sebab
jika faktor ini yang bisa bikin seseorang bahagia, alangkah malangnya orang
biasa, yang tak memiliki uang untuk membelinya. Tetapi nyatanya seseorang bisa
bahagia karena nikmatnya makan nasi dan sayur asem, ditambah sambal terasi dan
petai.
Einstein
mengingatkan kita untuk menemukan kebahagiaan dengan apa yang kita miliki,
bukan dengan sesuatu yang tidak mungkin kita miliki, dengan sesuatu yang dekat
dengan kehidupan kita, bukan dengan sesuatu yang muluk-muluk yang hanya akan
menstimulasi keinginan untuk berbuat dosa.
Andrew
Chan, figur sentral gang Bali Nine dalam perdagangan narkotika internasional
yang baru-baru ini dieksekusi mati di pulau Nusakambangan, tertangkap melakukan
bisnis tersebut ketika ia masih berusia 21 tahun. Begitu muda. Sebuah media
luar negeri menulis bahwa kenekatannya mengorganisir jaringan perdagangan narkotika
itu lantaran keinginannya akan uang, mobil mewah, wanita cantik, dan hidup
bersenang-senang semasa muda.
Setelah
ia dieksekusi mati, banyak tulisan beredar mengenai pertobatannya ketika ia
dipenjara di Kerobokan, Bali. Ia menolak menggunakan penutup mata dalam
eksekusi dan terus menyanyikan lagu Amazing Grace, yang salah satu teksnya
berkata: “Amazing grace how sweet the
sounds, that saves a wrecked like me…” Menjelang eksekusi, ia mengatakan
kepada keluarga dan kerabat yang mendampinginya, bahwa ia mempercayakan
hidupnya kepada Allah, bahwa tidak ada sehelai rambut kepalanya yang jatuh
tanpa seijin Allah.
Chan
menulis sendiri eulogy menjelang hari
eksekusinya (yang kemudian dibacakan pada moment pemakaman jenasahnya di
Sidney): “Treat each day as a diamond,
for each day is valuable, as you can never buy it back. Learn
to use it doing the things you love, spend it with the people you care for
most, because we just never know when we will say goodbye.”
Di
bagian lain Andrew Chan mengatakan bahwa seseorang tidak harus menjadi tua
terlebih dahulu untuk mati. Benar, tetapi andaikan langkahnya tidak keliru
mungkin ia tidak harus mati di usia yang sangat belia, 31 tahun. Nasihatnya
bahwa tiap hari sangat berharga dan tidak mungkin bisa kembali merupakan
kesadarannya yang muncul di saat-saat terakhir menjelang kematiannya. Kisah
pertobatannya sewaktu di penjara memang menggugah sebagian orang, dan orang
begitu menyayangkan mengapa ia tetap tak terampuni sekalipun ia sudah berubah,
sudah bertransformasi menjadi manusia baru. Agaknya kita memang harus rela
untuk mengerti, bahwa pengalaman
spiritualnya dengan Tuhan tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghindari
hukum negara. Kitapun tidak pernah bisa mencapai kata sepakat apakah ia
selayaknya dihukum mati atau tidak.
Seandainya
Andrew Chan mengenal Albert Einstein, dan belajar nasihatnya tentang
kesederhanaan untuk menjadi bahagia, mungkin ia tidak akan berbuat nekat memimpin
gang Bali Nine dalam jaringan bisnis narkoba internasional guna memburu mobil
mewah, wanita cantik dan hidup bersenang-senang. Seandainya ia tidak bisnis
narkoba, ia tidak perlu mati di usia 31 tahun. Seandainya ia tidak mati di usia
31 tahun, mungkin Tuhan bisa memakainya lebih dari keadaan terakhirnya sebagai
seorang petobat baru untuk rencana Tuhan yang lain. Tetapi bukankah dalam hidup
ini tidak ada kata ‘seandainya’?
Tuhan
membiarkan Chan untuk selesai sampai disini, dan kita tidak pernah mengerti
mengapa demikian, selain meyakini bahwa hanya kedaulatan Allah yang menjadi
jawaban. Mengapa Tuhan tak memberi ‘the
second chance’ untuk Andrew Chan, sedangkan untuk Mary Jane Fiesta Veloso,
Tuhan meluputkannya (paling tidak hingga hari ini)? Mary Jane tidak akan bisa
melupakan menit-menit maut di malam itu ketika namanya tiba-tiba dicoret dari
daftar eksekusi. Bukankah hanya kedaulatan Allah semata, ketika beberapa menit
sebelum eksekusi dilakukan, Kejaksaan Agung menelepon eksekutor di
Nusakambangan agar tiang eksekusi yang sudah dipancangkan untuk Mary Jane
dikosongkan?
Sebagai sesama insan
manusia, terlebih sesama orang yang percaya Kristus Sang Maha empunya
kedaulatan atas hidup manusia, saya ingin memberikan respect untuk Andrew Chan dan ikut bersimpati dengan keluarga dan
sahabat-sahabatnya yang menangisinya. Biarlah ia mengubur masa lalu kelamnya
dan pergi sesuai dengan keyakinan imannya: “My
last moments here on earth I sang out hallelujah, I ran the good race, I fought
the good fight and came out a winner in God’s eyes,” tulisnya di eulogy
kematiannya.
Seandainya
Andrew Chan mengenal Albert Einstein, ia akan belajar menjadi orang besar
dengan sederhana. Einstein tidak silau dengan kehidupan glamour bergelimang
harta dan popularitas. Kalau mau ia sudah menjadi Presiden Israel karena
bangsanya sendiri memintanya untuk pulang dari Amerika dan menjadikannya pemimpin, tetapi ia menolak tawaran
tersebut. Ia lebih memilih mendirikan universitas - The Hebrew University of
Jerusalem – agar bangsanya bisa mencetak generasi brilliant.
Sebuah
meja, kursi, semangkuk buah-buahan dan keindahan suara biola; apalagi yang kita
butuhkan untuk menjadi bahagia?
***
A great man is always willing
to be little
(Ralph Waldo Emerson)
Serpong, 20 Mei 2015
Titus J.