“Papa,
siapakah nabi yang paling Papa kagumi?” tanya seorang gadis kecil kepada ayahnya
di suatu malam di sebuah rumah kecil di pinggir kota.
“Nabi
Yunus, Sayang,”
jawab ayahnya sambil membetulkan kacamatanya. Ia baru selesai membaca kitab
Yunus sesuai dengan jadwal bacaan Alkitab malam itu.
“Hahh?? Bukankah Yunus adalah nabi yang
tidak taat kepada perintah Tuhan?”
Maka
dengan senyum nyengir sambil menelan
ludahnya, ayahnya memulai ceritanya:
Banyak
orang hanya melihat Yunus dari satu sisi saja, yaitu pembangkangannya kepada
Tuhan. Di mata anak-anak sekolah minggu, Yunus diejek dan ‘disyukurin’ karena
mendekam di dalam perut ikan hingga tiga hari. Kan ada lagunya tuh. Ia
dipandang sebagai nabi yang tak pantas dicontoh, tak layak dibanggakan. Banyak
nabi lain yang lebih spektakuler, ngapain
ngefans kepada Yunus?
Tetapi
pernahkah kita berpikir bahwa Yunus adalah seorang yang hebat? Tidak ada nabi
yang lebih berani daripada nabi Yunus. Ia bukan hanya berani tetapi juga sangat
memegang prinsip. Ketika ia diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi ke Niniwe, ia
sengaja pergi ke kota lain, jauh dari hadapan Tuhan.
Itu
adalah bentuk protesnya kepada Tuhan. Ia berani begitu karena ia sangat
mengenal Allahnya; Allah yang pemurah, pengasih, dan suka mengobral ampunan. Kenekatannya
pergi ke Kota Tarsis daripada menuruti perintah Tuhan untuk
berkhotbah di Niniwe dipicu pikirannya yang ‘curiga’
kepada Allah. Hmm ... agak
gila juga sih, ada nabi yang berani-beraninya mencurigai Allah.
“Ini
pasti Tuhan mau bikin bangsa yang jahat itu sadar dan insaf,” begitu mungkin
pikiran Yunus.
“Enak
betul! Harusnya mereka dimusnahkan hingga debunya pun berhamburan di udara!” pikirnya
lagi.
“Daripada
sesak dadaku melihat bangsa itu diampuni, lebih baik aku minggat! Hukum saja
aku, Tuhan! daripada aku harus melihat bangsa yang jahat itu lolos dari
hukuman-Mu, huhh!!” Berkecamuk
pikirannya sambil melampiaskan kekesalannya dengan meremas-remas karcis kapal.
Kekesalan
Yunus itu bukan tanpa alasan. Kota Niniwe adalah sebuah kota di kerajaan Asyur.
Pada zaman itu, Asyur merupakan negara adikuasa. Bangsa Asyur bukan hanya kuat
dan suka berperang, tetapi dalam setiap peperangan, mereka selalu membantai
musuh-musuhnya dengan sangat kejam dan sadis. Keganasan Asyur terkenal seantero
jagat
dan membuat bangsa-bangsa lain gemetar; karena mereka suka menyiksa tawanan,
memenggal kepala, dan mengaraknya sepanjang jalan.
“Waduh,
itu mirip dengan kelompok ISIS di zaman modern ini ya, Papa?”
gadis kecil itu tiba-tiba nyeletuk.
“Naahh ... persis! Sayang …,” jawab ayahnya.
Tetapi
tiba-tiba ayahnya tertegun memandang anaknya. “Ehh
... ngomong-ngomong,
darimana kau tahu soal ISIS?” tanya ayahnya dengan dahi berkerut.
“Aku
kan ngga gaptek, Papa ...!”
jawab anaknya dengan ketus.
Ayahnya
tersenyum kecut, lalu melanjutkan ceritanya.
Atas
dasar kejengkelan itulah Yunus lari, tak menggubris firman yang disampaikan
oleh Tuhan kepadanya. Dan ia tahu benar risiko membangkang Tuhan. Bayangkan, ia
terang-terangan membangkang Tuhan. Orang biasa paling-paling hanya berani
membangkang bosnya, atau paling parah membangkang orang tuanya.
Tapi Yunus membangkang Yang Empunya langit dan bumi!
Setelah
ia sampai di kapal itu, ia turun ke bagian yang paling bawah, lalu tidur di situ.
Bagaimana ia sengaja mengambil tempat yang paling bawah itu lalu tertidur
lelap, menunjukkan sikapnya yang sudah tak peduli dan masa bodoh. Bahkan ketika
badai mengamuk dan laut bergelora, ia mendengkur sementara penumpang lainnya
berteriak-teriak dalam kepanikan.
Seandainya
para penumpang yang ketakutan itu tidak membangunkannya, barangkali Yunus tetap
melungker di atas kasur dan menarik
selimutnya lebih rapat hingga menutupi kepalanya. Lihat, betapa kerasnya
hatinya dalam memegang prinsip, “Pokoknya, Tuhan, aku ogah Kau suruh ke Niniwe! Whatever it takes!”
Tetapi
Yunus yang keras kepala itu adalah nabi yang berani, teguh memegang prinsip,
dan bersikap kesatria. Ia dengan lantang bicara kepada awak kapal dan
para penumpang itu, “Aku seorang Ibrani! Karena akulah maka laut
bergelora dan badai mengamuk!” Yunus bukan orang yang berbelit-belit dan
mencari-cari kambing hitam untuk dipersalahkan. Ia bicara terus terang,
dan memberi solusi, “Angkatlah aku dan campakkanlah aku ke laut, maka
laut akan berhenti mengamuk!” Berani benar dia.
Heran,
para penumpang kapal yang tidak mengenal Allah itu langsung berdoa dan
memanggil dewa-dewa mereka untuk menolong, bahkan, mereka mendayung sekuat
tenaga agar bisa mencapai daratan.
Mereka—orang-orang
yang tidak mengenal Allah itu—masih berusaha untuk menyelamatkan Yunus. Mereka
tidak mau mengikuti perintah Yunus. Tetapi pada akhirnya, tidak ada cara lain,
mereka harus melempar Yunus ke lautan. Begitu tubuh Yunus lenyap digulung gelombang;
ajaib, laut yang bergelora itu langsung menjadi tenang.
“Apakah
awak kapal dan penumpang itu bertobat, Papa?” tanya gadis kecil itu.
“Benar.
Mereka menjadi sangat takut kepada Tuhan, lalu mempersembahkan korban sembelihan
bagi Tuhan dan mengikrarkan nazar. Yang luar biasa adalah, mereka bertobat oleh
ketidaktaatan Yunus,” jawab ayahnya.
“Apakah
Yunus tahu ia bakal dimakan oleh ikan?”
“Pasti
tidak tahu. Ketika ia minta awak kapal melemparnya ke laut, ia pasti berpikir
inilah akhir hidupnya; tenggelam di lautan dan mati. Ia sudah siap dengan itu.
Seorang nabi sangat mengerti konsekuensi akibat membangkang perintah Tuhan.”
“Jadi
ia lebih memilih mati daripada melihat bangsa Niniwe bertobat?”
“Itulah
kekerasan hatinya dalam memegang prinsip, Sayang .…”
“Hmm ... tetapi sebesar apa sih ikan itu, Papa?”
“Pastinya
besar sekali, Sayang .… Hmm
perutnya sendiri kira-kira seluas kamar kita ini. Buktinya Yunus masih bisa
berdoa di dalam perut ikan ....”
Gadis
kecil itu tercenung. Matanya memandang bibir ayahnya yang terus berkata-kata,
tetapi pikirannya melayang menuju video yang ditontonnya di YouTube
mengenai bom yang diledakkan di tiga gereja di Surabaya baru-baru ini. Walaupun
ia tak terlalu mengerti arti dari rangkaian peristiwa itu, tetapi ia melihat
foto anak-anak seusianya yang menjadi korban. Ia ingat teman-temannya di
sekolah yang selalu bersama-sama belajar di kelas dan bermain di halaman
sekolah.
Setelah
Yunus dimuntahkan oleh ikan besar itu, ayahnya melanjutkan, Yunus berjalan
keliling di Kota Niniwe dan berseru-seru,
“Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan!”
Ia
mungkin melakukannya dengan ogah-ogahan, mungkin suaranya pun diatur setengah
volume agar tidak terlalu kedengaran oleh orang-orang Niniwe. Tetapi walaupun
dengan setengah hati, ternyata orang-orang itu bertobat.
Raja
Niniwe langsung memaklumkan puasa, bahkan ia memerintahkan bukan hanya manusia
saja, tetapi juga seluruh ternak harus berpuasa dan berselubungkan kain kabung.
Melihat semuanya itu, anehnya, Yunus malah marah. Benarlah dugaannya, dan
kecurigaannya kepada Allah terbukti.
“Jika
saat ini Tuhan mengutus Papa ke tempat persembunyian ISIS di suatu kota agar
mereka bertobat, apakah Papa akan berangkat?” tanya gadis kecil itu. Nadanya
datar sekali, tetapi tatapan matanya tajam tertuju ke mata ayahnya, menusuk ke
dalam hatinya.
“Ohhh ....
Hmm ....
Papa tentu berangkat, Sayang .… Emang enak mendekam tiga hari dalam perut ikan?” jawab
ayahnya dengan nada menggantung. Ia sebenarnya tidak berkata benar, tetapi ia
merasa harus mengajari anaknya untuk tidak mencontoh Yunus yang membangkang
itu.
Dalam
hatinya ia berkata, daripada mendatangi sarang ISIS dan berkhotbah;
lebih baik ia pergi ke Purwodadi makan swike, atau ke Magelang makan kupat
tahu, atau blusukan cari tongseng di Solo.
Ketika
gadis kecil itu menatap ayahnya, ia teringat tubuh-tubuh bergelimpangan
berlumuran darah yang ia saksikan di YouTube, lalu kupingnya menangkap suara sedu sedan
orang-orang yang menangisi anak-anak seusianya yang diantarkan ke kuburan untuk
dimakamkan.
“Jika
suatu saat Tuhan memintamu, kau pasti lebih hebat daripada Yunus, Sayang,”
kata ayahnya dengan wajah gembira dan hati yang bangga.
“Papa,
apakah di dalam perut ikan besar itu ada Wi-Fi?” tanya gadis kecil itu.
Ayahnya
menatap mata gadis kecil itu. Sepertinya anaknya sangat menghayati cerita yang
baru disampaikannya dan begitu mengagumi Nabi Yunus.
Sepanjang
malam gadis kecil itu tak bisa tidur.
***
Aku tenggelam ke dasar bumi, pintunya
terpalang di belakangku untuk selama-lamanya. Ketika itulah Engkau naikkan
nyawaku dari dalam liang kubur, ya Tuhan, Allahku. (Yunus 2:6)