Sunday, June 24, 2018

Setelah kisah Yunus dibacakan


“Papa, siapakah nabi yang paling Papa kagumi?” tanya seorang gadis kecil kepada ayahnya di suatu malam di sebuah rumah kecil di pinggir kota.
“Nabi Yunus, Sayang,” jawab ayahnya sambil membetulkan kacamatanya. Ia baru selesai membaca kitab Yunus sesuai dengan jadwal bacaan Alkitab malam itu.
Hahh?? Bukankah Yunus adalah nabi yang tidak taat kepada perintah Tuhan?”

Maka dengan senyum nyengir sambil menelan ludahnya, ayahnya memulai ceritanya:

Banyak orang hanya melihat Yunus dari satu sisi saja, yaitu pembangkangannya kepada Tuhan. Di mata anak-anak sekolah minggu, Yunus diejek dan ‘disyukurin’ karena mendekam di dalam perut ikan hingga tiga hari. Kan ada lagunya tuh. Ia dipandang sebagai nabi yang tak pantas dicontoh, tak layak dibanggakan. Banyak nabi lain yang lebih spektakuler, ngapain ngefans kepada Yunus?

Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa Yunus adalah seorang yang hebat? Tidak ada nabi yang lebih berani daripada nabi Yunus. Ia bukan hanya berani tetapi juga sangat memegang prinsip. Ketika ia diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi ke Niniwe, ia sengaja pergi ke kota lain, jauh dari hadapan Tuhan.

Itu adalah bentuk protesnya kepada Tuhan. Ia berani begitu karena ia sangat mengenal Allahnya; Allah yang pemurah, pengasih, dan suka mengobral ampunan. Kenekatannya pergi ke Kota Tarsis daripada menuruti perintah Tuhan untuk berkhotbah di Niniwe dipicu pikirannya yang curiga kepada Allah. Hmm ... agak gila juga sih, ada nabi yang berani-beraninya mencurigai Allah.

“Ini pasti Tuhan mau bikin bangsa yang jahat itu sadar dan insaf,” begitu mungkin pikiran Yunus.
“Enak betul! Harusnya mereka dimusnahkan hingga debunya pun berhamburan di udara!” pikirnya lagi.
“Daripada sesak dadaku melihat bangsa itu diampuni, lebih baik aku minggat! Hukum saja aku, Tuhan! daripada aku harus melihat bangsa yang jahat itu lolos dari hukuman-Mu, huhh!!” Berkecamuk pikirannya sambil melampiaskan kekesalannya dengan meremas-remas karcis kapal.

Kekesalan Yunus itu bukan tanpa alasan. Kota Niniwe adalah sebuah kota di kerajaan Asyur. Pada zaman itu, Asyur merupakan negara adikuasa. Bangsa Asyur bukan hanya kuat dan suka berperang, tetapi dalam setiap peperangan, mereka selalu membantai musuh-musuhnya dengan sangat kejam dan sadis. Keganasan Asyur terkenal seantero jagat dan membuat bangsa-bangsa lain gemetar; karena mereka suka menyiksa tawanan, memenggal kepala, dan mengaraknya sepanjang jalan.

“Waduh, itu mirip dengan kelompok ISIS di zaman modern ini ya, Papa?” gadis kecil itu tiba-tiba nyeletuk.
Naahh ... persis! Sayang …,” jawab ayahnya.
Tetapi tiba-tiba ayahnya tertegun memandang anaknya. “Ehh ... ngomong-ngomong, darimana kau tahu soal ISIS?” tanya ayahnya dengan dahi berkerut.
“Aku kan ngga gaptek, Papa ...!” jawab anaknya dengan ketus.
Ayahnya tersenyum kecut, lalu melanjutkan ceritanya.

Atas dasar kejengkelan itulah Yunus lari, tak menggubris firman yang disampaikan oleh Tuhan kepadanya. Dan ia tahu benar risiko membangkang Tuhan. Bayangkan, ia terang-terangan membangkang Tuhan. Orang biasa paling-paling hanya berani membangkang bosnya, atau paling parah membangkang orang tuanya. Tapi Yunus membangkang Yang Empunya langit dan bumi!

Setelah ia sampai di kapal itu, ia turun ke bagian yang paling bawah, lalu tidur di situ. Bagaimana ia sengaja mengambil tempat yang paling bawah itu lalu tertidur lelap, menunjukkan sikapnya yang sudah tak peduli dan masa bodoh. Bahkan ketika badai mengamuk dan laut bergelora, ia mendengkur sementara penumpang lainnya berteriak-teriak dalam kepanikan.

Seandainya para penumpang yang ketakutan itu tidak membangunkannya, barangkali Yunus tetap melungker di atas kasur dan menarik selimutnya lebih rapat hingga menutupi kepalanya. Lihat, betapa kerasnya hatinya dalam memegang prinsip, “Pokoknya, Tuhan, aku ogah Kau suruh ke Niniwe! Whatever it takes!”

Tetapi Yunus yang keras kepala itu adalah nabi yang berani, teguh memegang prinsip, dan bersikap kesatria. Ia dengan lantang bicara kepada awak kapal dan para penumpang itu, “Aku seorang Ibrani! Karena akulah maka laut bergelora dan badai mengamuk!” Yunus bukan orang yang berbelit-belit dan mencari-cari kambing hitam untuk dipersalahkan. Ia bicara terus terang, dan memberi solusi, “Angkatlah aku dan campakkanlah aku ke laut, maka laut akan berhenti mengamuk!” Berani benar dia.

Heran, para penumpang kapal yang tidak mengenal Allah itu langsung berdoa dan memanggil dewa-dewa mereka untuk menolong, bahkan, mereka mendayung sekuat tenaga agar bisa mencapai daratan.
Mereka—orang-orang yang tidak mengenal Allah itu—masih berusaha untuk menyelamatkan Yunus. Mereka tidak mau mengikuti perintah Yunus. Tetapi pada akhirnya, tidak ada cara lain, mereka harus melempar Yunus ke lautan. Begitu tubuh Yunus lenyap digulung gelombang; ajaib, laut yang bergelora itu langsung menjadi tenang.

“Apakah awak kapal dan penumpang itu bertobat, Papa?” tanya gadis kecil itu.
“Benar. Mereka menjadi sangat takut kepada Tuhan, lalu mempersembahkan korban sembelihan bagi Tuhan dan mengikrarkan nazar. Yang luar biasa adalah, mereka bertobat oleh ketidaktaatan Yunus,” jawab ayahnya.
“Apakah Yunus tahu ia bakal dimakan oleh ikan?”
“Pasti tidak tahu. Ketika ia minta awak kapal melemparnya ke laut, ia pasti berpikir inilah akhir hidupnya; tenggelam di lautan dan mati. Ia sudah siap dengan itu. Seorang nabi sangat mengerti konsekuensi akibat membangkang perintah Tuhan.”
“Jadi ia lebih memilih mati daripada melihat bangsa Niniwe bertobat?”
“Itulah kekerasan hatinya dalam memegang prinsip, Sayang .…”
Hmm ... tetapi sebesar apa sih ikan itu, Papa?”
“Pastinya besar sekali, Sayang .Hmm perutnya sendiri kira-kira seluas kamar kita ini. Buktinya Yunus masih bisa berdoa di dalam perut ikan ....”

Gadis kecil itu tercenung. Matanya memandang bibir ayahnya yang terus berkata-kata, tetapi pikirannya melayang menuju video yang ditontonnya di YouTube mengenai bom yang diledakkan di tiga gereja di Surabaya baru-baru ini. Walaupun ia tak terlalu mengerti arti dari rangkaian peristiwa itu, tetapi ia melihat foto anak-anak seusianya yang menjadi korban. Ia ingat teman-temannya di sekolah yang selalu bersama-sama belajar di kelas dan bermain di halaman sekolah.

Setelah Yunus dimuntahkan oleh ikan besar itu, ayahnya melanjutkan, Yunus berjalan keliling di Kota Niniwe dan berseru-seru, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan!”
Ia mungkin melakukannya dengan ogah-ogahan, mungkin suaranya pun diatur setengah volume agar tidak terlalu kedengaran oleh orang-orang Niniwe. Tetapi walaupun dengan setengah hati, ternyata orang-orang itu bertobat.

Raja Niniwe langsung memaklumkan puasa, bahkan ia memerintahkan bukan hanya manusia saja, tetapi juga seluruh ternak harus berpuasa dan berselubungkan kain kabung. Melihat semuanya itu, anehnya, Yunus malah marah. Benarlah dugaannya, dan kecurigaannya kepada Allah terbukti.

“Jika saat ini Tuhan mengutus Papa ke tempat persembunyian ISIS di suatu kota agar mereka bertobat, apakah Papa akan berangkat?” tanya gadis kecil itu. Nadanya datar sekali, tetapi tatapan matanya tajam tertuju ke mata ayahnya, menusuk ke dalam hatinya.
Ohhh .... Hmm .... Papa tentu berangkat, Sayang . Emang enak mendekam tiga hari dalam perut ikan?” jawab ayahnya dengan nada menggantung. Ia sebenarnya tidak berkata benar, tetapi ia merasa harus mengajari anaknya untuk tidak mencontoh Yunus yang membangkang itu.

Dalam hatinya ia berkata, daripada mendatangi sarang ISIS dan berkhotbah; lebih baik ia pergi ke Purwodadi makan swike, atau ke Magelang makan kupat tahu, atau blusukan cari tongseng di Solo.

Ketika gadis kecil itu menatap ayahnya, ia teringat tubuh-tubuh bergelimpangan berlumuran darah yang ia saksikan di YouTube, lalu kupingnya menangkap suara sedu sedan orang-orang yang menangisi anak-anak seusianya yang diantarkan ke kuburan untuk dimakamkan.

“Jika suatu saat Tuhan memintamu, kau pasti lebih hebat daripada Yunus, Sayang,” kata ayahnya dengan wajah gembira dan hati yang bangga.
“Papa, apakah di dalam perut ikan besar itu ada Wi-Fi?” tanya gadis kecil itu.
Ayahnya menatap mata gadis kecil itu. Sepertinya anaknya sangat menghayati cerita yang baru disampaikannya dan begitu mengagumi Nabi Yunus.

Sepanjang malam gadis kecil itu tak bisa tidur.

***
Aku tenggelam ke dasar bumi, pintunya terpalang di belakangku untuk selama-lamanya. Ketika itulah Engkau naikkan nyawaku dari dalam liang kubur, ya Tuhan, Allahku. (Yunus 2:6)

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...