Wednesday, February 18, 2015

Senyum Tiga Sahabat

Suatu siang, di sebuah warung soto Madura di pinggir jalan, saya dan sahabat saya makan dengan lahap sembari asyik mengobrol. Warung soto Madura mempunyai kekhasan dengan menyediakan nasi putih yang dibungkus kecil-kecil dengan daun pisang. Bungkusan-bungkusan nasi tersebut ditaruh di atas meja sehingga pelanggan bisa bebas mengambil, asalkan jangan lupa mengaku berapa bungkus yang kita habiskan waktu membayar.

Biasanya sahabat saya mengukur kadar kenyangnya dari jumlah berapa bungkus nasi yang saya habiskan. Kalau saya habis tiga bungkus, dia empat. Kalau saya habis empat, dia lima. Itulah cara uniknya untuk berhenti makan, karena memang porsi makannya lebih banyak dari saya. Moment makan siang bersama sahabat di sebuah warung sambil mengobrol merupakan moment yang sangat kami nikmati.

Sambil membuka bungkus nasi yang ketiga, sahabat saya bercerita mengenai bosnya.

Hampir setiap siang sahabat saya dipanggil oleh bosnya hanya untuk disuruh makan siang di rumahnya. Rumah bosnya itu menempel di belakang tokonya, sebuah toko yang berjualan alat tulis kantor. Di toko itulah sahabat saya bekerja, mengontrol keluar/masuk barang, dan mencatat. Toko itu memang terlihat penuh sesak dengan barang-barang jualan, tetapi rumah bosnya tertata rapi dan dihiasi dengan perabotan yang berkelas.

Jadi jika bosnya tidak sedang keluar toko, jika jam sudah berbunyi 12 kali, sahabat saya diajak masuk ke belakang untuk makan siang. Menu makanan yang terhampar di meja makan itu selalu lengkap terdiri atas sayur-sayuran, daging, ikan, ayam, telur, tahu, tempe, dan nasi. Buah-buahan selalu menemani untuk menyegarkan mulut di akhir sesi makan. Sayur-sayuran biasanya lebih dari dua macam, sedangkan daging bervariasi, terkadang dibikin empal goreng, rendang atau sup. Kalau ayamnya, terkadang hanya digoreng saja, dan di hari lain dijadikan ayam bumbu rujak atau ayam rica-rica. Sering juga menu tetap tersebut masih ditambah dengan udang goreng atau jenis-jenis seafood lainnya. Dan yang tidak pernah absen untuk hadir di meja makan itu tentunya, adalah sambal.

Pada saat-saat awal, sahabat saya itu merasa canggung, karena tidak pernah ia makan siang dengan menu selengkap itu. Ia lebih canggung lagi melihat bosnya hanya mengambil 3 – 4 sendok nasi, setengah mangkuk sup atau sayur dan sepotong kecil ayam goreng. Sedangkan teman saya menyantap dengan lahap nasi, sayur dan beberapa macam lauk-pauk di atas meja, sebanyak yang ia inginkan. Pada hari lain, bosnya mengambil 3 – 4 sendok nasi, setengah mangkuk sup atau sayur dan sepotong kecil rendang. Dan hari-hari berikutnyapun tetaplah sama, bosnya makan begitu sedikit dan serba terbatas.

Suatu hari ketika mereka selesai makan, sambil mengobrol ditemani oleh apel, jeruk dan rambutan, mereka mengobrol. Dalam bincang-bincang itu mengertilah sahabat saya bahwa bosnya sedang dalam kondisi sakit yang membuatnya harus banyak berpantang makanan, atau makan dengan menu yang serba ditakar. Tetapi menurut sahabat saya, bosnya tidak pernah memperlihatkan bahwa ia sakit. Ia tetap bergairah dalam bekerja dan memperlakukan semua karyawannya dengan baik dan ramah.

“Wah, jadi kamu tiap hari makan enak ya?” tanya saya.
“Lha iya, tapi aku lama-lama sungkan…” jawabnya sambil tersenyum nyengir.

Walaupun saya tidak mengenal bosnya itu, tetapi dari cerita yang disampaikannya itu, saya yakin ia adalah seorang yang murah hati. Ia tidak bisa ikut menikmati semua makanan yang dihidangkan, tetapi ia memberikannya kepada orang lain untuk menikmati. Ia mengajak ngobrol karyawannya, membagikan wawasan dan pengalaman bisnisnya serta mengajarkan attitude yang patut agar kelak karyawannya bisa berhasil.

Mungkin ia menyadari, bahwa berapapun dan semewah apapun makanan yang bisa ia beli dan sediakan, tetapi toh hanya 3 – 4 sendok saja yang bisa ia makan. Tubuhnya yang sakit itu telah membatasinya. Ia tidak bisa merasakan makanan sebanyak dan sesuka hatinya. Ia merasa sudah cukup dengan itu saja, dan “menjamu” orang lain sungguh merupakan kesempatan yang ia syukuri, lebih-lebih kepada sahabat saya yang merasa tak bisa membalas budi baiknya.

Di kesempatan lain, saya bertemu dengan sahabat saya semasa kami bersekolah di kota kecil kami dulu. Setelah lebih dari 20 tahun kehilangan jejak, kami dipertemukan oleh Facebook (Thanks Mr. Zuckerberg!). Akhirnya kami janjian bertemu.

Rumah tempat kami bertemu adalah sebuah kompleks perumahan yang mewah. Di rumah itu saya lihat 3 mobil: sebuah BMW, sebuah Honda CRV dan sebuah Kijang Inova. Ketiganya belum berumur 3 tahun. Sahabat saya keluar dari rumah itu sambil cengengesan. Dandanannya parlente. Lalu dia mengajak saya ke sport club di kompleks itu yang hanya berjarak sepelempar batu dari rumahnya.

“Wuahh…hebat kamu…hebat…,” saya memulai obrolan sambil menarik kursi.
“Hehehe…apanya yang hebat? Hehehe…,” tawanya tetap cengengesan.
“Lah..itu…ck..ck..ck..,” jawab saya terkagum-kagum sambil melirik 3 mobil yang berderet di depan rumahnya.
“Oooo…itu punya bos..”
“Bos? piye (bagaimana) maksudmu?” tanya saya tak mengerti.
“Hehehe…iya itu punya bos, aku kerja disini.”
“Ahhh..yang bener…piye sih?”
“Lha dikandhani (dibilangin) kok, aku ikut bos…suruh bawa itu,” jawabnya sambil menunjuk ke BMW yang nongkrong di depan rumah.

Setelah panjang lebar ngobrol, mengertilah saya bahwa sahabat saya ini bekerja sebagai seorang sopir. Bosnya bekerja sebagai orang yang posisinya cukup penting di sebuah perusahaan yang mengurusi soal-soal migas. Beberapa tahun sebelum ia ikut bosnya itu, ia pernah mempunyai bisnis tetapi bangkrut. Bangkrutnya itu bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali hingga akhirnya ia harus meninggalkan kotanya menuju Jakarta. Di situlah ia bertemu dengan bosnya itu.

Bosnya memperlakukannya dengan sangat baik. Sahabat saya disuruh memboyong istrinya sekalian ke Jakarta, dan menyediakan tempat tinggal untuk mereka di dalam rumahnya yang sangat besar itu. Sehari-hari istrinya dipercaya untuk mengelola rumah, ya.. seperti deputy kepala rumah tangga begitulah (kepala rumah tangganya sendiri adalah nyonyanya), sedangkan sahabat saya layaknya menjadi ajudan yang sehari-hari “mengawal” bosnya kemanapun bosnya pergi dan bertugas. Anak mereka ditinggalkan di kampung bersama neneknya, dan sesekali berkunjung ke Jakarta untuk “kangen-kangenan” dengan ibu-bapaknya.

Wis jangan pindah-pindah lagi kamu,” kata saya.
Ndak..aku ndak mau walaupun kadang-kadang ada orang yang mengajak,” jawabnya sambil senyum cengengesan.

Saya agak terharu waktu mendengar ceritanya. Betapa tidak, sahabat saya itu dulunya adalah anak seorang pejabat yang cukup berada. Rumahnya mentereng, ia sendiri sudah dipercaya pakai sepeda motor ke sekolah. Semua keperluan sekolahnya dipenuhi oleh orang-tuanya. Ketika saya dan teman-teman lainnya belum pakai arloji, ia sudah mengenakan arloji merk terkenal. Pendeknya, ia tak kekurangan apapun.

Dari sekian banyak teman-teman masa remaja saya yang sempat dipertemukan oleh Zuckerberg, hanya sahabat saya ini yang profesinya sebagai sopir. Yang lainnya sudah sukses secara pekerjaan, jabatan dan ekonomi: sebagai pengusaha, profesional kantoran, camat, polisi, tentara ataupun profesional bebas misalkan pelukis, penerjemah bahasa, atau arsitek. Ada juga teman saya yang akan mencalonkan diri pada pilkada di daerahnya. Bertemu sahabat lama yang menjadi sopir tersebut sungguh menggugah hati saya, dan saya terkesan dengan bosnya yang memperlakukannya dengan sangat baik.

Ketika mengenang dua sahabat saya itu, saya teringat sahabat saya yang lain, yang memperlakukan PRT (pembantu rumah tangga) nya dengan sangat murah hati. Apa yang dilakukan oleh sahabat saya ini sederhana tetapi sangat mulia dan meaningful, misalkan dalam soal makan. Ia selalu mengambilkan bagian untuk PRT-nya itu terlebih dahulu, baru kemudian ia makan. Tidak pernah ia makan dulu, baru kemudian sisanya diberikan untuk PRT-nya. Soal ini saya juga berpesan pada istri saya, agar setiap kali kami mau makan, ia harus mengambilkan terlebih dahulu yang menjadi bagian PRT atau babysitter di rumah kami, jangan memberikan sisa.

Soal gaji, saya juga berpesan, agar gaji PRT atau babysitter jangan sampai terlambat, jangan ditahan-tahan. Ini prinsip, karena mereka sudah bekerja dan berhak menerima gaji tepat pada waktunya. Siapa tahu ia perlu untuk segera mengirimkan uang ke kampungnya karena mungkin ibu/bapak atau anaknya di kampung sangat membutuhkan?

Memperlakukan “orang kecil” dengan ramah dan murah hati sungguh sangat bermakna. Mengapa? karena orang-orang ini tidak dapat membalas apa yang sudah kita lakukan dan berikan. Bukankah Tuhan Yesus juga mengajarkan hal ini? “Jika engkau mengadakan perjamuan, jangan mengundang yang kaya, sebab mereka akan membalasnya dengan ganti mengundang kamu. Tetapi undanglah mereka yang miskin, maka kamu akan berbahagia karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya,” kata-Nya. (Lukas 14:14-15)

Kita mengenal adagium “We are what we eat”, sebuah encouragement untuk mengkonsumsi makanan sehat untuk tubuh yang sehat. Tetapi itu hanya berhenti pada soal lahiriah, Maka saya ingin mengganti adagium “We are what we eat” menjadi “We are how we (tr)eat”. Kita adalah bagaimana kita memperlakukan orang lain, terutama bawahan kita atau orang kecil yang kita temui. Dari sinilah bersumber kebahagiaan kita yang sesungguhnya.

Dua orang sahabat saya yang saya ceritakan di atas tentu sangat bersyukur merasakan berkat atas kebaikan bosnya masing-masing, tetapi saya yakin mereka tidak lebih berbahagia daripada bosnya yang memperlakukan mereka sedemikian baik. Demikian juga PRT dari sahabat saya yang ketiga, rasa senangnya tidak mungkin bisa mengalahkan kebahagiaan sahabat saya, karena dalil “lebih berbahagia memberi daripada menerima” sudah teruji dalam kehidupan.

“Kamu juga menyekolahkan anak mereka ya?” tanya saya kepada sahabat saya yang ketiga.
Dan sahabat saya tersenyum manis sekali.

***
My father said there were two kinds of people in the world: givers and takers. The takers may eat better, but the givers sleep better (Margaret Julia Thomas)

Serpong, 18 Feb 2015
Titus J.

Thursday, February 5, 2015

Will Jokowi Follow Ahok?

(published by The Jakarta Post on 5 Feb 2015. Click here)

President Joko “Jokowi” Widodo is now in the labyrinth, but apparently he will soon find the way out after he met with Prabowo Subianto on Jan 29 at the Bogor Palace.

Was Prabowo coming as a savior for Jokowi, who these days is trying very hard to settle his dishevelment in the face of the law? 

The meeting soon became headline news as Jokowi is in the middle of a political crisis surrounding the National Police chief position. It also attracted attention after news circulated that the Indonesia Democratic Party of Struggle (PDI-P), the leader of Jokowi’s supporting parties, had threatened to withdraw its support because Jokowi did not immediately inaugurate Comr. Gen. Budi Gunawan as the next National Police chief.

Ahmad Syafi’i Maarif, leader of the independent team formed by Jokowi to provide advice toward a solution regarding the bitter friction between the Corruption Eradication Commission (KPK) and the National Police, said that the President was pressured by his alliance of political parties when nominating Budi. It was even said that the name was not actually his choice.

Although on many occasions the PDI-P has denied interfering with the prerogative of the President in selecting the National Police chief, its actions tell otherwise. While Jokowi is cool and remains calm in the critical situation, the way the PDI-P behaves is very aggressive. The PDI-P very obviously showed anger after the KPK named Budi a suspect.

The appearance of Prabowo for Jokowi in this time of trouble was surprising for many. We don’t know who initiated the meeting, but this was a very smart arrangement as the timing was so precise. Prabowo stole the attention and impressed the public given that he is the chief figure of Red-and-White Coalition (KMP), the rival of the PDI-P-led Great Indonesia Coalition (KIH). Jokowi himself described Prabowo as his best friend. Prabowo said he will provide full support whatever the President decides surrounding the KPK-police conflict. This is a moral boost offered by Prabowo with the knowledge that he would counter the PDI-P, which is standing on Jokowi’s opposite side.

Speculation is mounting that Jokowi may switch alliances if the PDI-P fails to make the President feel comfortable while running his administration. Indeed, Jokowi could be with any political party if he wants. But it is too early to conclude this right now.

While Jokowi is known as the Javanese person who shows polite manners and upholds the alon-alon waton kelakon (slow but sure) principle, we remember the bravery of Jakarta Governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, who quit the Gerindra Party right after Gerindra, with the KMP, supported indirect elections to elect regional leaders. Ahok seemed to have no worries at all, although he knew he would govern Jakarta without support from any parties.

Are Prabowo and his KMP sincere in supporting Jokowi? Time will tell. But I would like to remind our President of advice from Benjamin Franklin: “Be slow in choosing a friend, slower in changing”. 

Will you follow your former deputy Jakarta governor, Mr. President?

***
Serpong, 5 Feb 2015

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...