Suatu
siang, di sebuah warung soto Madura di pinggir jalan, saya dan sahabat saya
makan dengan lahap sembari asyik mengobrol. Warung soto Madura mempunyai
kekhasan dengan menyediakan nasi putih yang dibungkus kecil-kecil dengan daun
pisang. Bungkusan-bungkusan nasi tersebut ditaruh di atas meja sehingga
pelanggan bisa bebas mengambil, asalkan jangan lupa mengaku berapa bungkus yang
kita habiskan waktu membayar.
Biasanya
sahabat saya mengukur kadar kenyangnya dari jumlah berapa bungkus nasi yang
saya habiskan. Kalau saya habis tiga bungkus, dia empat. Kalau saya habis
empat, dia lima. Itulah cara uniknya untuk berhenti makan, karena memang porsi
makannya lebih banyak dari saya. Moment makan siang bersama sahabat di sebuah
warung sambil mengobrol merupakan moment yang sangat kami nikmati.
Sambil
membuka bungkus nasi yang ketiga, sahabat saya bercerita mengenai bosnya.
Hampir
setiap siang sahabat saya dipanggil oleh bosnya hanya untuk disuruh makan siang
di rumahnya. Rumah bosnya itu menempel di belakang tokonya, sebuah toko yang
berjualan alat tulis kantor. Di toko itulah sahabat saya bekerja, mengontrol
keluar/masuk barang, dan mencatat. Toko itu memang terlihat penuh sesak dengan
barang-barang jualan, tetapi rumah bosnya tertata rapi dan dihiasi dengan
perabotan yang berkelas.
Jadi
jika bosnya tidak sedang keluar toko, jika jam sudah berbunyi 12 kali, sahabat
saya diajak masuk ke belakang untuk makan siang. Menu makanan yang terhampar di
meja makan itu selalu lengkap terdiri atas sayur-sayuran, daging, ikan, ayam,
telur, tahu, tempe, dan nasi. Buah-buahan selalu menemani untuk menyegarkan
mulut di akhir sesi makan. Sayur-sayuran biasanya lebih dari dua macam,
sedangkan daging bervariasi, terkadang dibikin empal goreng, rendang atau sup. Kalau
ayamnya, terkadang hanya digoreng saja, dan di hari lain dijadikan ayam bumbu
rujak atau ayam rica-rica. Sering juga menu tetap tersebut masih ditambah
dengan udang goreng atau jenis-jenis seafood lainnya. Dan yang tidak pernah
absen untuk hadir di meja makan itu tentunya, adalah sambal.
Pada
saat-saat awal, sahabat saya itu merasa canggung, karena tidak pernah ia makan
siang dengan menu selengkap itu. Ia lebih canggung lagi melihat bosnya hanya
mengambil 3 – 4 sendok nasi, setengah mangkuk sup atau sayur dan sepotong kecil
ayam goreng. Sedangkan teman saya menyantap dengan lahap nasi, sayur dan
beberapa macam lauk-pauk di atas meja, sebanyak yang ia inginkan. Pada hari
lain, bosnya mengambil 3 – 4 sendok nasi, setengah mangkuk sup atau sayur dan
sepotong kecil rendang. Dan hari-hari berikutnyapun tetaplah sama, bosnya makan
begitu sedikit dan serba terbatas.
Suatu
hari ketika mereka selesai makan, sambil mengobrol ditemani oleh apel, jeruk
dan rambutan, mereka mengobrol. Dalam bincang-bincang itu mengertilah sahabat
saya bahwa bosnya sedang dalam kondisi sakit yang membuatnya harus banyak
berpantang makanan, atau makan dengan menu yang serba ditakar. Tetapi menurut sahabat
saya, bosnya tidak pernah memperlihatkan bahwa ia sakit. Ia tetap bergairah
dalam bekerja dan memperlakukan semua karyawannya dengan baik dan ramah.
“Wah,
jadi kamu tiap hari makan enak ya?” tanya saya.
“Lha
iya, tapi aku lama-lama sungkan…” jawabnya sambil tersenyum nyengir.
Walaupun
saya tidak mengenal bosnya itu, tetapi dari cerita yang disampaikannya itu,
saya yakin ia adalah seorang yang murah hati. Ia tidak bisa ikut menikmati
semua makanan yang dihidangkan, tetapi ia memberikannya kepada orang lain untuk
menikmati. Ia mengajak ngobrol karyawannya, membagikan wawasan dan pengalaman
bisnisnya serta mengajarkan attitude yang
patut agar kelak karyawannya bisa berhasil.
Mungkin ia
menyadari, bahwa berapapun dan semewah apapun makanan yang bisa ia beli dan
sediakan, tetapi toh hanya 3 – 4 sendok saja yang bisa ia makan. Tubuhnya yang
sakit itu telah membatasinya. Ia tidak bisa merasakan makanan sebanyak dan
sesuka hatinya. Ia merasa sudah cukup dengan itu saja, dan “menjamu” orang lain
sungguh merupakan kesempatan yang ia syukuri, lebih-lebih kepada sahabat saya
yang merasa tak bisa membalas budi baiknya.
Di
kesempatan lain, saya bertemu dengan sahabat saya semasa kami bersekolah di
kota kecil kami dulu. Setelah lebih dari 20 tahun kehilangan jejak, kami
dipertemukan oleh Facebook (Thanks Mr. Zuckerberg!). Akhirnya kami janjian
bertemu.
Rumah
tempat kami bertemu adalah sebuah kompleks perumahan yang mewah. Di rumah itu
saya lihat 3 mobil: sebuah BMW, sebuah Honda CRV dan sebuah Kijang Inova.
Ketiganya belum berumur 3 tahun. Sahabat saya keluar dari rumah itu sambil cengengesan. Dandanannya parlente. Lalu
dia mengajak saya ke sport club di kompleks itu yang hanya berjarak sepelempar
batu dari rumahnya.
“Wuahh…hebat
kamu…hebat…,” saya memulai obrolan sambil menarik kursi.
“Hehehe…apanya
yang hebat? Hehehe…,” tawanya tetap cengengesan.
“Lah..itu…ck..ck..ck..,”
jawab saya terkagum-kagum sambil melirik 3 mobil yang berderet di depan
rumahnya.
“Oooo…itu
punya bos..”
“Bos? piye (bagaimana) maksudmu?” tanya saya
tak mengerti.
“Hehehe…iya
itu punya bos, aku kerja disini.”
“Ahhh..yang
bener…piye sih?”
“Lha dikandhani (dibilangin) kok, aku ikut
bos…suruh bawa itu,” jawabnya sambil menunjuk ke BMW yang nongkrong di depan
rumah.
Setelah
panjang lebar ngobrol, mengertilah saya bahwa sahabat saya ini bekerja sebagai
seorang sopir. Bosnya bekerja sebagai orang yang posisinya cukup penting di sebuah
perusahaan yang mengurusi soal-soal migas. Beberapa tahun sebelum ia ikut
bosnya itu, ia pernah mempunyai bisnis tetapi bangkrut. Bangkrutnya itu bukan
hanya sekali, tetapi beberapa kali hingga akhirnya ia harus meninggalkan
kotanya menuju Jakarta. Di situlah ia bertemu dengan bosnya itu.
Bosnya
memperlakukannya dengan sangat baik. Sahabat saya disuruh memboyong istrinya
sekalian ke Jakarta, dan menyediakan tempat tinggal untuk mereka di dalam
rumahnya yang sangat besar itu. Sehari-hari istrinya dipercaya untuk mengelola
rumah, ya.. seperti deputy kepala rumah tangga begitulah (kepala rumah tangganya
sendiri adalah nyonyanya), sedangkan sahabat saya layaknya menjadi ajudan yang
sehari-hari “mengawal” bosnya kemanapun bosnya pergi dan bertugas. Anak mereka
ditinggalkan di kampung bersama neneknya, dan sesekali berkunjung ke Jakarta
untuk “kangen-kangenan” dengan ibu-bapaknya.
“Wis jangan pindah-pindah lagi kamu,”
kata saya.
“Ndak..aku ndak mau walaupun kadang-kadang ada orang yang mengajak,” jawabnya
sambil senyum cengengesan.
Saya
agak terharu waktu mendengar ceritanya. Betapa tidak, sahabat saya itu dulunya
adalah anak seorang pejabat yang cukup berada. Rumahnya mentereng, ia sendiri
sudah dipercaya pakai sepeda motor ke sekolah. Semua keperluan sekolahnya
dipenuhi oleh orang-tuanya. Ketika saya dan teman-teman lainnya belum pakai
arloji, ia sudah mengenakan arloji merk terkenal. Pendeknya, ia tak kekurangan
apapun.
Dari
sekian banyak teman-teman masa remaja saya yang sempat dipertemukan oleh
Zuckerberg, hanya sahabat saya ini yang profesinya sebagai sopir. Yang lainnya
sudah sukses secara pekerjaan, jabatan dan ekonomi: sebagai pengusaha, profesional
kantoran, camat, polisi, tentara ataupun profesional bebas misalkan pelukis,
penerjemah bahasa, atau arsitek. Ada juga teman saya yang akan mencalonkan diri
pada pilkada di daerahnya. Bertemu sahabat lama yang menjadi sopir tersebut
sungguh menggugah hati saya, dan saya terkesan dengan bosnya yang memperlakukannya
dengan sangat baik.
Ketika mengenang
dua sahabat saya itu, saya teringat sahabat saya yang lain, yang memperlakukan
PRT (pembantu rumah tangga) nya dengan sangat murah hati. Apa yang dilakukan
oleh sahabat saya ini sederhana tetapi sangat mulia dan meaningful, misalkan dalam soal makan. Ia selalu mengambilkan
bagian untuk PRT-nya itu terlebih dahulu, baru kemudian ia makan. Tidak pernah
ia makan dulu, baru kemudian sisanya diberikan untuk PRT-nya. Soal ini saya
juga berpesan pada istri saya, agar setiap kali kami mau makan, ia harus mengambilkan
terlebih dahulu yang menjadi bagian PRT atau babysitter di rumah kami, jangan memberikan sisa.
Soal
gaji, saya juga berpesan, agar gaji PRT atau babysitter jangan sampai terlambat, jangan ditahan-tahan. Ini
prinsip, karena mereka sudah bekerja dan berhak menerima gaji tepat pada
waktunya. Siapa tahu ia perlu untuk segera mengirimkan uang ke kampungnya
karena mungkin ibu/bapak atau anaknya di kampung sangat membutuhkan?
Memperlakukan
“orang kecil” dengan ramah dan murah hati sungguh sangat bermakna. Mengapa?
karena orang-orang ini tidak dapat membalas apa yang sudah kita lakukan dan
berikan. Bukankah Tuhan Yesus juga mengajarkan hal ini? “Jika engkau mengadakan perjamuan, jangan mengundang yang kaya, sebab
mereka akan membalasnya dengan ganti mengundang kamu. Tetapi undanglah mereka
yang miskin, maka kamu akan berbahagia karena mereka tidak mempunyai apa-apa
untuk membalasnya,” kata-Nya. (Lukas 14:14-15)
Kita
mengenal adagium “We are what we eat”, sebuah encouragement untuk mengkonsumsi makanan sehat untuk tubuh yang
sehat. Tetapi itu hanya berhenti pada soal lahiriah, Maka saya ingin mengganti
adagium “We are what we eat” menjadi “We are how we (tr)eat”. Kita adalah
bagaimana kita memperlakukan orang lain, terutama bawahan kita atau orang kecil
yang kita temui. Dari sinilah bersumber kebahagiaan kita yang sesungguhnya.
Dua
orang sahabat saya yang saya ceritakan di atas tentu sangat bersyukur merasakan
berkat atas kebaikan bosnya masing-masing, tetapi saya yakin mereka tidak lebih
berbahagia daripada bosnya yang memperlakukan mereka sedemikian baik. Demikian
juga PRT dari sahabat saya yang ketiga, rasa senangnya tidak mungkin bisa
mengalahkan kebahagiaan sahabat saya, karena dalil “lebih berbahagia memberi
daripada menerima” sudah teruji dalam kehidupan.
“Kamu
juga menyekolahkan anak mereka ya?” tanya saya kepada sahabat saya yang ketiga.
Dan
sahabat saya tersenyum manis sekali.
***
My father said there were two
kinds of people in the world: givers and takers. The takers may eat better, but
the givers sleep better (Margaret Julia Thomas)
Serpong, 18 Feb 2015
Titus J.