Friday, October 31, 2008

Cukup Satu Nama Saja

Coba sebut 1 nama saja untuk seorang pemain sepak bola Nasional, yang olehnya kita boleh bangga. Jika ada, saya yakin tak berapa lama lagi Indonesia akan masuk putaran final Piala Dunia. Kalau tidak di 2010 di Afrika Selatan, tunggulah dengan sabar sampai tahun 2014, atau 2018. Tetapi jika jawabannya no name, anda jangan pernah berani bermimpi, karena sampai bumi berhenti berputar tidak akan pernah ada satu nama.

Lihat saja gambar di sebelah ini, betapa unbelievable. Olah raga yang menjunjung tinggi sportifitas selalu dan selalu dinodai dengan tingkah-polah memalukan seperti ini 1). Yang begini yang bikin Indonesia, negeri pecinta sepak bola, terus meratap dan tak pernah bisa bermimpi untuk suatu saat mendengarkan lagu Indonesia Raya berkumandang, pada menit-menit sebelum sebuah pertandingan internasional dimulai.

Tidak nasionaliskah kita jika kita mematikan televisi atau mengubah channel televisi ketika pertandingan Liga Indonesia berlangsung? Tidak nasionaliskah kita jika kita menjadi penggila Liga Inggris, Liga Itali, Liga Spanyol, Liga Jerman dan liga-liga Eropa yang lain? Tidak nasionaliskah anak-anak muda yang lebih suka dan bangga mengenakan kaos Liverpool, Manchester United, Real Madrid, Barcelona, AC Milan ketimbang kaos Persebaya, Persib, Persija, PSMS, PSIS, dan lain-lain?.
Ada dua ratus dua puluh juta orang Indonesia, tetapi tak satupun bisa menendang bola dengan benar. Tak malukah kita dengan Pantai Gading yang punya Didier Drogba dan Solomon Kalou? Atau dengan Togo, negara yang sangat kecil di Afrika Barat yang punya Emmanuel Adebayor? Togo cuma punya 5,2 juta penduduk, jadi hanya 1/50-nya penduduk Indonesia, luas wilayahnyapun cuma 56.785 km2, sedangkan Indonesia 1.919.440 km2, yaitu 300 kali luas Togo.

Jika masih kurang contoh orang-orang hebat yang sudah membuktikan mampu mengharumkan nama negaranya dengan tendangan kakinya, ingatlah nama-nama ini: Michael Essien dari Ghana, Samuel Eto’o dari Kamerun yang bahkan meraih predikat pemain terbaik dunia tahun 2006, Mohamadou Diarra dari Mali, Park Ji Sung dari Korea Selatan, bahkan Bosnia, negeri yang terkoyak karena perang, memiliki Hasan Salihamidzic. Indonesia punya apa? O iya, Indonesia punya tawuran. Berapa banyak pertandingan sepak bola yang tidak diwarnai tawuran? O iya, Indonesia punya ranking tinggi korupsi, ranking tinggi perusak lingkungan, ranking tinggi illegal logging, ranking tinggi penyelundupan narkoba, tindak kekerasan, dan skandal-skandal yang setiap hari menghiasi media masa.

Bagi kita, betapa gampang menyebutkan skandal, tapi sesulit menemukan jarum pada tumpukan jerami jika ingin menyebut nama seorang pemain sepak bola saja. Tak bisakah anda menyebut hanya satu nama saja, pemain sepak bola dalam konteks mampu berkiprah di ajang internasional, merumput di klub-klub besar, yang bisa bikin bangga? Jika negara-negara Afrika itu mampu melahirkan banyak pemain besar, mengapa Indonesia tidak? Ingatkah kita dengan Kamerun, yang pada piala dunia 1990 di Italia mempecudangi Argentina yang 4 tahun sebelumnya menjadi juara Dunia di Meksiko?

Untuk negeriku Indonesia, yang dengan sedih aku cinta,” itulah ungkapan Ayu Utami 2), yang meratapi negerinya Indonesia. Sedih melihat Indonesia, tapi rasa cinta tak bisa dienyahkan. Duka melihat ibu pertiwi, tapi rasa benci tak bisa dikeluarkan. Inilah desperate love. Tahukah anda dahulu ada seorang nabi yang menangisi Yerusalem, dan berkata: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuhi nabi-nabi yang diutus kepadamu. Berkali-kali aku ingin menaungi engkau seperti induk ayam menaungi anak-anaknya, tetapi engkau tidak mau.”

***

Serpong, 31 Oktober 2008
Titus J.

Catatan:
1. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 Oktober 2008 di Liga Indonesia, pada pertandingan antara PSIS Semarang melawan PSMS Medan, dimana manager PSIS Yoyok Sukawi berlari ke lapangan untuk memukul wasit.
2. Ayu Utami adalah novelis muda yang menghasilkan karya-karya hebat seperti Saman, Larung, dan novel terakhirnya: Bilangan Fu. Ungkapan di atas ada di bagian depan novelnya “Bilangan Fu”. Ayu Utami lahir di Bogor, pada tanggal 21 Nopember 1968. Novelnya “Saman” memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998.

Tuesday, October 21, 2008

RUU Pornografi, oh Alangkah Repotnya

Menyusun rancangan undang-undang anti pornografi memang sungguh repot. Bagaimana tidak? Sedangkan dalam mendefinisikan pornografi saja sudah menghasilkan multi tafsir. Pada Bab I Pasal 1 RUU Pornografi disebutkan: “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”

Pornografi sendiri menurut kamus Oxford cuma dijelaskan secara singkat, yaitu: “Printed or visual material intended to stimulate sexual excitement.” Sedangkan menurut kamus Webster, pornografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (prostitute) + graphein (to write) - menjadi “pornographos”, yang berarti “writing about prostitutes”. Penjelasan lebih detail dari kamus Webster sebagai berikut: 1) The depiction of erotic behavior (as in picture or writing) intended to cause sexual excitement. 2) Material (as books or a photograph) that depicts erotic behavior and is intended to cause sexual excitement. 3) The depiction of acts in a sensational manner so as to arouse a quick intense emotional reaction.

Memaknai kata “Yang dapat membangkitkan hasrat seksual” seperti tertulis di Bab I Pasal I itu saja sudah amat repot. Mengapa? Sebab hasrat seksual tiap-tiap orang sungguh amat berbeda. Tentu kita banyak sekali membaca di surat kabar (terutama koran-koran selera rendah yang secara gamblang tanpa tedeng aling-aling mendeskripsikan kasus-kasus perkosaan. Ada orang yang memperkosa tetangganya karena hasrat seksualnya timbul setelah melihat betis tetangganya itu sewaktu sedang mencuci pakaian. Orang lain lagi timbul hasrat seksualnya setelah melihat seorang penyanyi dangdut bergoyang sedemikian rupa, tetapi ada orang yang sama sekali tidak terangsang (bahkan cenderung muak) melihat penyanyi dangdut menyanyi dan bergoyang erotis di panggung. Teman saya malah aneh, dia malah terangsang kalau melihat seorang perempuan hamil sedang berjalan (walaupun berpakaian lengkap dan sopan). “Wanita hamil itu seksi sekali,” katanya. Orang lain lagi bisa timbul hasrat seksualnya terhadap seorang perempuan yang baru bangun tidur, rambutnya acak-acakan, dan masih memakai daster. Teman saya yang lain lagi hanya terangsang jika melihat pusar perempuan. Ketelanjangan yang polos justru bikin dia mual. Wow.. repot amat?

Tapi tunggu dulu, kawan. Memangnya apa yang salah dengan hasrat seksual (sexual desire) itu? Bukankah setiap orang tentu memilikinya? Jika hasrat seksual saya tiba-tiba bangkit karena ada seorang wanita seksi (tentu seksi versi saya – belum tentu seksi menurut anda), masa wanita tersebut harus ditangkap, diinterogasi dan dihukum karena telah menyebabkan jantung saya dag-dig-dug? Jika saya lantas berbuat dosa karena hal itu, bolehkah saya berkata kepada Tuhan: “Duh Tuhan, mengapa Kau ciptakan wanita penggoda itu? Coba kalau dia tak pernah ada, tentu aku jadi orang suci…” Akh, malunya saya, lantaran mata saya yang jelalatan ini. Dan kalau hasrat seksual itu bisa timbul disebabkan bermacam-macam sebab, dan setiap orang berbeda responnya dalam melihat suatu object, bagaimana perkara seperti ini bisa diatur dan diundangkan?

Belum lagi kalau berbicara mengenai kesenian. Betapa suatu imajinasi seni bisa demikian liar dan tak bisa dibatasi. Ada orang yang mengoleksi karya seni seperti patung dan lukisan dengan obyek-obyek wanita telanjang, dan tetaplah dia tidak pernah terangsang karenanya. Tetapi orang lain bisa timbul hasrat seksualnya melihat hal itu. Waktu saya ke Bali, saya mengunjungi museum Antonio Blanco di Ubud. Banyak lukisan Antonio memakai object istrinya sendiri – dilukis telanjang bulat. Tidak tahu saya apakah pengunjung museum itu terangsang malihatnya. Lalu bagaimana dengan sastra India - Kamasutra yang klasik itu, yang ditulis oleh Vatsyayana dan diterjemahkan oleh Alain Danielou dalam buku “The Complete Kamasutra”? Dan bagaimana dengan sastra Jawa kuno yang legendaris - Serat Centhini 1) yang sarat dengan seksualitas yang ditulis dengan begitu gamblang? Apakah semua itu harus dihancurkan dan dilarang?

Bab II Pasal 8 RUU ini mengatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi”.
Dari definisi apa itu pornografi seperti dijelaskan di atas, siapa yang akan terkena undang-undang ini? Apakah seorang perempuan yang pusarnya kelihatan sedang berjalan di sebuah mall akan disebut porno? Apakah seorang perempuan yang mempunyai betis indah dan sedang duduk di sofa sebuah hotel dengan menyilangkan kakinya akan disebut porno? Apakah seorang perempuan yang memakai kebaya dengan buah dadanya yang menonjol dan kelihatan belahannya harus ditangkap karena dituduh porno? Betapa kasihan perempuan. Dan lelaki mata keranjang yang pikirannya “ngeres” tidak diapa-apakan, karena lelaki adalah korban pornografi. Culas sekali. Dan jika lelaki berbuat dosa karenanya, maka itu karena perempuan. Dan perempuan yang akan dikutuki.

Ketika Bali menolak RUU ini, dan gubernur Bali I Made Mangku Pastika menulis surat penolakan ke Presiden SBY dan Ketua DPR Agung Laksono, maka dalam RUU ini langsung diberi pengecualian, dimana bikini akhirnya diperbolehkan untuk daerah wisata (resort) seperti Bali. Kemudian Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengku Buwono X (DIY) ikut berdemonstrasi di Bali menentang RUU ini juga. Maka akhirnya boleh ada bikini juga di daerah Parang Tritis (Yogyakarta). Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang atas nama masyarakat Sulut juga menolak RUU ini, dan bikini boleh dipakai di Bunaken dan di pantai-pantai Sulut. Bagaimana dengan Papua? Apakah orang Papua yang mengenakan koteka 2) dianggap porno? Buah zakarnya dan sebagian penisnya masih kelihatan lho. Ini bisa dijerat oleh Bab II Pasal 4 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, dst..dst..…..ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan atau alat kelamin”.

Lucunya, semakin sering dan semakin banyak pihak yang menentang RUU ini, semakin seringlah RUU ini direvisi, semakin lama semakin melebar, semakin tidak fokus, dan semakin banyak pengecualian. Anggota panja DPR yang membahas RUU ini beberapa hari yang lalu mengatakan: “VCD/DVD porno diperbolehkan untuk konsumsi suami istri yang memang membutuhkannya untuk meningkatkan gairah seksual mereka.” Lho kok (???) Bagaimana nanti kalau para pedagang VCD/DVD di Glodok, ITC, dan tempat-tempat lain bilang bahwa mereka justru berjasa karena dagangan mereka akan membantu suami-istri yang memerlukannya? Wah repot ini.

Dapatkah anda membayangkan jika undang-undang ini diterbitkan maka akan begitu banyak pengecualian – daerah ini boleh begini, daerah itu boleh begitu, daerah ini tidak boleh, daerah sana boleh karena begini dan begitu, dst. Aduh, alangkah repotnya. Apakah sebuah undang-undang layak disahkan jika tidak bersifat universal?

Jika maksud dari RUU ini untuk menekan perkosaan yang disebabkan pornografi, benarkah ada hubungan antara pemerkosaan dengan pornografi? Bagaimana dengan pemerkosaan masal etnis Cina di Jakarta waktu kerusuhan Mei tahun 1998? Apakah mereka terinspirasi dengan pornografi? 3) Atau jika RUU ini dimaksudkan untuk memberantas industri pornografi seperti pembuatan dan penjualan VCD/DVD porno yang meraja-lela, bukankah sudah ada KUHP yang mengatur ini? (Buku II Bab XIV KUHP - KEJAHATAN TERHADAP KESUSILAAN dan Buku III Bab VI KUHP - PELANGGARAN KESUSILAAN). Tetapi mengapa sampai sekarang di setiap pojok ruko, mall, pasar, pinggir jalan di seantero Jakarta kita melihat materi tersebut diperdagangkan dengan bebas? Dan polisi jelas tahu semua itu tapi diam saja? Kalau mau memberantas pornografi, ya jangan beli blue film, jangan nanggap goyang dangdut erotis, jangan nonton televisi yang tidak bermutu, jangan baca koran yang penuh cerita perkosaan. Nanti industri-industri ini akan bangkrut dengan sendirinya. Masalahnya, sekarang justru semuanya itu laku keras. Banyak yang suka. Tidak heran kalau ranking 3 besar surat kabar yang penuh berisi hal-hal itu adalah Lampu Merah, Warta Kota dan Pos Kota. Selama ada konsumen, produsen akan jalan terus, bukan? Selama demand naik, supply juga naik, bukan? Mengapa kita salahkan medianya, bukan kita mencoba untuk tidak membelinya? Mengapa kita salahkan wanita seksi yang lewat, bukan kita yang mencoba untuk memalingkan muka jika kita khawatir tergoda olehnya?

Coba kita berpikir dan berbicara jujur, jika RUU ini dimaksudkan untuk semua pihak, semua kalangan, secara adil, bertujuan semata-mata untuk memberantas pornografi termasuk perdagangan material porno yang sangat marak dan dapat diakses oleh setiap orang tanpa membedakan umur (anak atau dewasa), dengan menjaga spirit kebangsaan dan nasionalisme, menghargai keberagaman seperti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, patut disayangkan jika Mahfudz Siddiq dari PKS sangat menggebu-gebu agar RUU ini segera disahkan di bulan Ramadan dengan mengatakan: “It will be a Ramadan gift4) Bukankah RUU ini, jika benar motivasinya, harusnya untuk semuanya? Statement Mahfudz Siddiq ini selain mengesankan seolah-olah RUU ini hanya kepentingan Islam, juga dapat menciptakan sentimen agama, karena akan menggiring persepsi bahwa pihak yang tidak setuju dengan RUU ini akan dianggap tidak sejalan dengan Islam. Bukankah kita semua berkepentingan untuk memberantas pornografi? Namun, benarkah satu-satunya cara hanya dengan membuat undang-undang semacam ini?

Mahfudz Siddiq mengatakan bahwa sekarang ini Indonesia perlu undang-undang pornografi karena “widespread moral decadence”. Kemerosotan moral sangat meluas? Hmm, betul juga kiranya, karena Mahfudz Siddiq tentu ingat sekali teman-temannya sesama anggota DPR yang video porno amatirnya beredar dan juga temannya yang tertangkap KPK di sebuah hotel bersama seorang wanita yang bukan istrinya.

***
Serpong, 21 Oktober 2008
Titus J.

Catatan:
1. Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras), digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) dan mendeskripsikan tentang seks dan soal bercinta.
2. Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya penduduk asli Papua. Koteka terbuat dari kulit labu (Lagenaria Siceraria). Cara membuatnya adalah, isi dan biji labu tua dikeluarkan, kulitnya dijemur. Secara hurufiah, kata ini bermakna pakaian, berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian menyebutnya holim atau horim.
3. Bramantyo Prijosusilo: “Think twice before passing the pornography bill” – The Jakarta Post, 22 September 2008.
4. PKS seeks porn bill as "Ramadan present” – The Jakarta Post, 12 September 2008.

Sunday, October 12, 2008

Diana Krall dan Clint Eastwood



Ketika Diana Krall datang ke Jakarta 6 tahun lalu (2002), saya masih baru menyukainya. Saya membeli kaset “Diana Krall live in Paris” dan berulang-ulang memutarnya di tape compo saya. Makin sering saya putar kasetnya, makin jatuh cinta saya kepadanya. Wah, inilah nuansa jazz yang selama ini saya cari, pikir saya. Jazz yang tidak terlalu njlimet, tapi penuh dengan improvisasi indah dari vocalnya plus instrumen-instrumen pendukungnya. Kita ingin menikmati music jazz, bukan? Di Paris itu Diana diiringi oleh Anthony Wilson (gitar), John Clayton (kontra bass) dan Jeff Hamilton (drum). Dan warna vocal Diana itu betul-betul memabukkan saya, yaitu warna vocal yang cenderung alto, agak berat dan kadang-kadang seperti berbisik serak romantis. Huii…

Tidak menyangka setelah waktu itu, di tahun 2008 ini Peter Gontha dengan Java Festival Production-nya mengundang Diana ke Jakarta. Wah, thanks Pak Peter, anda ternyata tahu penyanyi/pemusik yang selama ini saya rindukan. Tanpa pikir panjang lagi saya langsung memburu tiketnya, dan dapat. Jadilah saya menonton Diana di Ritz Carlton – Pacific Place pada tanggal 5 Oktober yang lalu.

Yang lebih membuat saya bersemangat adalah karena saya tahu bahwa 2 orang di antara yang bakal menjadi musisi pendukungnya adalah Anthony Wilson (gitar) dan Robert Leslie Hurst (kontra bass), sedangkan drummer Emmanuel Karriem Riggins saya belum tahu. Robert Hurst adalah pembetot bass yang mengiringi Diana di Montreal Jazz Festival. Jadi sebelum 5 Oktober itu saya sudah membayangkan bahwa pertunjukan itu pasti akan seru dan menarik.

Masih dalam suasana libur lebaran, sementara jalanan masih relatif sepi, mendekati Ritz Carlton saya melihat mobil-mobil berbondong-bondong masuk ke tempat parkir. Petugas/satpam pemeriksa mobilpun sudah menyapa pengendara mobil: “Diana Krall, terus masuk!” Heran, pikir saya, satpampun sudah tahu acara ini, hebat sekali. Sepanjang jalan dari tempat parkir menuju lobby terus naik escalator sampai ke ballroom lantai 4, terus saja berbondong-bondong orang dengan dandanan luar biasa. Saya pikir lagi, wah, ini mau nonton Diana Krall atau mau ke pesta? Memang betul, orang-orang itu berdandan hebat seperti mau ke pesta. Dandanan mahal. Saya salut, sungguh! Mungkin mereka merasa bahwa ini konser berkelas, jadi mereka berdandan dengan tidak main-main. Atau saya yang katrok ya?

Setelah masuk ke ruang konser, waduh, sudah penuh. Tidak kurang dari 3000 orang sudah duduk. Saya dapat tempat di ujung. Tapi tak apa, jarak ke panggung masih tidak terlalu jauh. Saya tidak sabar menunggu Diana muncul. Akhirnya sekitar jam 20:25 ada suara dari microfon berbunyi: “Ladies & gentlemen…please welcome…Diana Krall…!” Maka muncullah si ayu itu diiringi dengan 3 orang musisi pengiringnya. Diana mengenakan pakaian bernuansa hitam-abu, sedikit ada coraknya, dan bercelana panjang ketat. Seksi sekali. Dan rambut pirangnya itu bercahaya diterpa sinar lampu panggung yang berwarna-warni itu.

Begitu naik ke panggung, Diana langsung menggebrak dengan lagu pembuka “Love being here with you”. Lagu pembuka ini persis seperti yang dinyanyikan Diana pada waktu membuka konsernya di Paris. Pada interlude, bergantian piano, gitar, kontra bass dan drums menyapa penonton. Tepuk tangan terus menerus membahana setiap kali musisi-musisi top itu mendemonstrasikan kepiawaiannya. Dan lihat, gaya Emmanuel Riggins yang antik itu sungguh enak dipandang dan membuat semua berdecak kagum. Beberapa kali penonton di belakang saya berteriak gemas karena sangat takjub. Setelah itu berturut-turut Diana menyanyikan Did I do, Let’s Face the Music and Dance, Exactly Like You, A Case of You, Devil May Care, Gee Baby, Ain’t Good to You, dan I don’t Know Enough About You.

Tidak terasa lagu demi lagu mengalir hingga Diana bangkit berdiri tanda sudah usai. Peter Gontha berlari ke panggung memberikan bunga kepada Diana. Tapi penonton tidak juga beranjak, serasa belum puas. Kemudian ada yang berseru: “More…more…” Akhirnya karena penonton meminta encore 1), Diana tampil lagi dan membawakan 2 lagu langsung yaitu S’Wonderful (dalam irama bossanova) dan East of the Sun.”

***

Tapi, dimana satu lagu yang saya tunggu-tunggu? Sampai habis konser dan Diana lenyap di balik panggung, satu lagu yang sangat berkesan bagi saya tidak dinyanyikannya. Lagu itu adalah “Why Should I Care”. Mengapa lagu itu begitu istimewa bagi saya? Ya, inilah lagu yang menjadi sound-track film “True Crime” yang disutradarai oleh Clint Eastwood (1999). Dinyanyikan oleh Diana dengan irama ballad, begitu mengesankan, begitu menyentuh:





Was there something more I could have done?
Or was I not meant to be the one?
Where's the life I thought we would share?
And should I care?


And will someone else get more of you?
Will she go to sleep more sure of you?
Will she wake up knowing you're still there?
And why should I care?


Lagu ini sebenarnya hanya muncul di akhir film, tetapi kuat sekali menciptakan kesan yang mendalam sehabis nonton film itu. Film itu dibintangi oleh Clint Eastwood, Isaiah Washington, dan Lisa Gay Hamilton. Clint Eastwood begitu cerdas menggarap film ini. Dan selalu, ada music jazz di setiap filmnya. Clint Eastwood pas sekali memilih lagu ini. Diana Krall di tahun itu baru menyabet Best Vocal Performance lewat album “When I Look in Your Eyes”. Saya menonton film ini sampai 3 kali. Saya perhatikan detail-nya. Betapa kuatnya sisi kemanusiaan yang ingin ditonjolkan oleh Eastwood dalam film ini.

Dalam film itu diceritakan Steve Everett (Clint Eastwood) adalah seorang wartawan yang ditugaskan oleh editor korannya untuk mewancarai seorang terpidana mati Frank Beechum (Isaiah Washington) di penjara San Quentin pada hari terakhirnya, yaitu hari dimana dia akan dieksekusi mati (Frank dituduh melakukan pembunuhan kepada seorang gadis penjaga toko). Namun pada saat bertemu di penjara dengan Frank, Steve merasa ada suatu dorongan yang kuat untuk mengungkap misteri, dimana setelah 6 tahun sejak Frank Beechum divonis mati dan walaupun setiap upaya legal sudah ditempuh, tetapi tetap gagal untuk mengungkap pembunuh yang sebenarnya. Di sisi lain Frank tetap menyangkal bukan dia pelakunya, tetapi memang kebetulan sedang berada di TKP. Masalahnya hari itu adalah hari penentuan, yaitu hari eksekusi matinya.

Ada sekian kali adegan yang sangat mengharukan ketika Frank dikunjungi oleh istrinya Bonnie (Lisa Gay Hamilton) dan anak gadisnya yang masih kecil, mungkin masih 4 tahun. Betapa beratnya bagi seorang istri ketika harus menerima kenyataan bahwa beberapa jam lagi ia dan suaminya akan berpisah. Terlihat ketika Frank menegarkan hatinya (untuk tidak menunjukkan dia menangis di depan anaknya), hingga ia harus menahan nafas sekuat-kuatnya agar air matanya tidak tumpah.

Ini berbeda sekali dengan kehidupan Steve, yang punya istri dan seorang anak gadis, yang juga masih kecil, seumur anak Frank Beechum, dimana perkawinan mereka di ambang perceraian. Hal ini tak lain karena Steve adalah seorang yang kacau, yang hidupnya tidak teratur, yang tidak punya waktu untuk keluarganya, dan seorang womanizer 2), yang mempunyai hubungan khusus dengan istri boss-nya. Ada adegan yang mengharukan ketika Steve menyempatkan untuk mengajak jalan-jalan anaknya ke kebun binatang, padahal Steve tidak punya banyak waktu karena beberapa jam lagi eksekusi Frank Beechum akan dilaksanakan. Dia harus berkejaran dengan jam, menit dan detik untuk mencari fakta baru.

Sungguh dramatis akhir cerita itu. Steve akhirnya berhasil menyelesaikan kasus yang sudah terpendam 6 tahun dalam beberapa jam saja, dan membuktikan bahwa Frank Beechum ternyata bukan pembunuh yang sebenarnya - pada detik terakhir waktu tombol suntik mati sudah ditekan. Ironisnya, Frank Beechum dibebaskan, sedangkan Steve harus membayar harga dengan merelakan istrinya pergi bersama anaknya karena tidak tahan hidup bersama orang yang hidupnya kacau-balau.

Mengapa dia begitu peduli? Mengapa dia harus peduli? Mengapa peduli padahal hidup sangat tidak fair baginya? Chorus lagu “Why Should I Care” berkata demikian:

There's always one to turn and walk away
And one who just wants to stay
But who said that love is always fair?
And why should I care?

Steve, dalam cerita itu memenangkan penghargaan Pulitzer karena membebaskan seorang terpidana mati. Frank dan istri serta anaknya hidup berbahagia, berkumpul dalam sebuah keluarga, tetapi Steve harus hidup sendiri, menggelandang sendiri. Betapa pahitnya, tapi, mengapa dia care, itulah yang sampai saat ini sulit untuk dimengerti. Why? Bait terakhir lagu “Why Should I Care” berkata begini:

Should I leave you alone here in the dark?
Holding my broken heart
While a promise still hangs in the air
Why should I care?

Sayang lagu tersebut tidak dinyanyikan Diana di konsernya. Saya membayangkan dia menyanyikannya, diiringi dengan video klip film “True Crime3) yang ditayangkan lewat layar besar di atas panggung. Akhh..

***
Serpong, 11 Oktober 2008
Titus J.

Catatan:
1. Encore (Oxford): A repeated or additional performance of an item at the end of a concert, as called for by an audience.
2. Womanizer (Oxford): Man who enter into numerous casual sexual relationship with women.
3. Video klip lagu “Why Should I Care“ yang diiringi dengan penggalan-penggalan film True Crime ini dapat anda akses di YouTube.
4. Diana Krall lahir pada tanggal 16 Nopember 1964 di Nanaimo, British Colombia – Kanada. Ia belajar piano sejak umur 4 tahun, dan karena bakatnya yang luar biasa itu pada umur 15 tahun ia sudah mempunyai group musik jazz dan rutin main musik (dan menyanyi) di restoran-restoran di Kanada. Diana Krall banyak sekali menyabet Grammy Award atas pencapaiannya di bidang musik. Diana Krall baru punya anak kembar yang masih berusia 2 tahun. Di sela-sela konsernya di Jakarta itu Diana beberapa kali bercerita tentang anak-anaknya (Dexter dan Frank), dan suaminya (Elvis Costello).

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...