Friday, March 27, 2020

Ibu


Menangislah Pak, sebab menangis bukanlah tanda kelemahan.
Bukan pula tanda kecengengan.
Ia hanya sebuah bahasa
Yang tak mampu dituturkan oleh kata-kata
Tentang sesuatu yang ada di dalam
Yang terpukul dan remuk-redam

Kesesakan hatimu tak mungkin kami sepenuhnya tahu
Yang kehilangan Ibu, justru di saat-saat yang paling kau perlu
Untuk menopangmu,
Dengan kasih dan doa seorang Ibu.

Ah, seandainya kau bisa menyandarkan kepalamu di dadanya,
Seperti seorang anak kecil yang penat, lalu 'nyambat'
Menantikan tangan yang keriput itu, mengelus kepalamu,
Sambil berpesan, "Sing sabar yo le.."

Tetapi Pak, kami tahu bahwa kau bukanlah orang yang suka show-off
Apalagi pamer derita dan airmata
Bahkan ketika pelupuk matamu sudah hendak pecah,
Kau masih berusaha untuk menyumbatnya agar tak membuncah.

Tetapi sekuat apapun upayamu menidurkan duka,
Duka itu tetap meremas hatimu,
Hingga tiba-tiba matamu tergenang basah,
Lalu kau terpaksa harus menyingkir di sudut yang sepi
Agar tak ada orang yang mengerti,
Dukamu yang dalam tak terperi.

"Ibu, beristirahatlah," demikian mungkin bisikmu.
"Anakmu belum bisa meletakkan kepala hari ini,
tumpang-tindih dukaku dan duka negeriku," jeritmu dalam senyap.


Menangislah Pak, karena airmata ketulusan adalah kekuatan
Butirnya akan menyegarkan jiwa
Beningnya akan memendarkan doa
Untuk menyertaimu di medan laga.

***
Serpong, 27 Mar 2020
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...