In Memoriam Elasa Noviani (20 Nov 1966 – 10 Sep 2023)Sudah lebih
dari 13 tahun saya mengenal Elasa (Ela).
Bukan sekadar
mengenalnya, tetapi kami bersama-sama “nyemplung” dalam pelayanan di bidang
yang sama selama bertahun-tahun.
Ketika saya dipercaya
sebagai pemimpin redaksi majalah Nafiri GKY BSD sekitar tahun 2010-an, ada yang
merekomendasikan nama Ela untuk masuk dalam staf redaksi. Saya tidak kenal Ela,
tetapi ketika saya telepon dan saya ajak untuk bergabung di Nafiri, dia
langsung bersedia.
Saya memberikan
tugas-tugas penulisan, wawancara, dan mencari narasumber. Ia selalu bersemangat
ketika menerima tugas apalagi wawancara tentang kesaksian jemaat, potret (mini
biografi jemaat yang akan diangkat kisah hidupnya), dan serpihan perjalanan
yang menceritakan pengalaman spiritualnya ketika ia dalam perjalanan ke suatu
tempat (dalam rangka business trip, liburan, atau ketika ia pelayanan ke
tempat-tempat kumuh dan kaum marginal).
Di situlah Ela
menunjukkan komitmennya.
Tak pernah
suatu tugas tak selesai. Ia rela melek hingga larut malam untuk menulis agar
terhindar dari deadline.
Suatu hari ia
mengusulkan untuk mewawancarai Pdt. Yakub Susabda untuk halaman “Thought”
(segmen ini mengupas pemikiran tokoh-tokoh Kristen di Indonesia dari segala
bidang) dan disajikan dalam bentuk tanya-jawab.
“Ela yakin bisa
kontak Pdt. Yakub Susabda dan memastikan beliau mau diwawancarai untuk Nafiri?”
tanya saya. Saat itu saya ragu karena sebagai Rektor STTRI, Pdt. Yakub pasti
sibuk sekali.
“Aku tanya dulu
ya.. tapi yakin dia pasti mau, hehehe,” jawabnya dengan tertawa. Setelah itu
dia sebut bahwa Pdt. Yakub adalah Om-nya. Oalah, saya baru tahu.
Saya datang ke
kampus STTRI ditemani dengan Ela, Pak Anton, dan Pak Yahya. Hari itu Ela
semangat sekali, bahkan ia bela-belain mengajukan cuti agar jadwal
wawancara dengan Pdt. Yakub tidak terganggu urusan pekerjaan.
Sejak moment bersama
dengan Pdt Yakub itulah, setelah itu Nafiri terus menyajikan tokoh-tokoh
Kristen (bukan hanya pendeta, tetapi juga tokoh politik, hukum, sosial, dsb) untuk
diwawancarai agar pemikirannya dapat menjadi berkat bagi pembaca.
Beberapa waktu
kemudian Ela mengusulkan untuk mewawancarai Christianto Wibisono (seorang tokoh
politik dan bisnis, pendiri PDBI, penulis di surat kabar, anggota komite
ekonomi nasional – beliau meninggal dunia tahun 2021). Lagi-lagi saya tanya Ela
apakah beliau mau? Dan lagi-lagi Ela tertawa dan menjawab bahwa Pak Christ itu
juga Om-nya.
Saya berpikir
Ela ini keluarga besarnya berisi orang-orang hebat ya? Tapi sikapnya yang humble
itu telah mengajari saya tentang arti kerendah-hatian.
Ketika saya
sudah 3 tahun bertugas sebagai pemimpin redaksi, saya mengusulkan Ela untuk
menggantikan saya. Ela langsung menolak. “Aku tuh suka nulis saja, jangan
disuruh jadi leader,” katanya. “Pokoknya Titus kasi aja tugas apapun
akan aku kerjakan, asal bukan sebagai pemred,” katanya lagi.
Lalu atas usul
Pak Feri (Irawan) dan tim redaksi, Ela ditunjuk sebagai wakil saya (wapemred).
Akhirnya dia bersedia. Tapi saya bilang, “Ok jadi wakil selama setahun atau
paling lama dua tahun ya, setelah itu harus jadi pemred.”
Ela membuktikan
sebagai wapemred pun ia sangat committed dan penuh dedikasi, bahkan
setelah ia akhirnya bersedia sebagai pemred 2 tahun kemudian, ia tunjukkan
pengabdiannya itu dengan tidak pernah itung-itungan.
Masa itu Nafiri
selalu terbit rutin 3 bulanan (4x dalam setahun). Dan untuk menjaga komitmen
terbit tersebut, Ela tak bosan-bosannya “mengejar-ngejar” dan “menagih” para
penulis maupun tim desain untuk menyelesaikan tepat waktu.
Mengingat waktu
itu Nafiri masih terbit cetak (hard copy), Ela selalu minta spare
beberapa puluh eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan
teman-temannya, lalu ia “membayar” sebagai ganti ongkos cetak ke kas
Nafiri/Gereja. Hal ini bagi saya merupakan ethic yang ia tunjukkan.
Ia pernah
bercerita betapa ia bersyukur sekali kepada Tuhan yang “mencemplungkan” dirinya
di Nafiri, karena di bidang pelayanan ini ia merasa “klik” alias pas banget
dengan apa yang selama ini ia cari.
Dalam beberapa
kesempatan ketika Nafiri mengadakan outing ke luar kota, atau pas sedang
kongkow-kongkow (sambil rapat) dimana saja, ia menunjukkan sifatnya yang so
generous. Ia suka mentraktir kami.
Bukan hanya di
lingkungan gereja, di rumahnya ia membantu satu keluarga dari desa seperti
layaknya “mengadopsi” mereka (Kesaksian ini pernah ditulis Ela, cerita tentang
Riki dan Painem) yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri sampai sekarang.
Di kantor
banyak sekali cerita tentang sifat dermawannya Ela, sampai suatu kali ia
keceplosan bilang, “Teman-teman kantorku memanggilku Bunda Teresa, hehehe…”
Saya yakin ia
tidak bermaksud sombong, tetapi ia memang suka spontan sehingga terkadang tidak
sadar kepolosannya itu.
Sejak saat itu,
saya, Pak Anton dan Pak Yahya suka menggodanya dengan menyebutnya “Mother
Teresa dari Serpong”.
Sering sekali
kalau ia baru bepergian, ia pulang membawakan oleh-oleh untuk saya dan
diantarkan oleh Riki ke rumah saya. Ia juga sering memberi buku-buku bagus
kepada saya. Kebiasaan Ela kalau membeli buku itu tidak cukup 1, tetapi
beberapa untuk dibagikan ke teman-teman.
Setelah
beberapa tahun sebagai Pemred Nafiri, Ela pun turun agar terus terjadi
regenerasi di Nafiri. Selanjutnya ia dipercaya sebagai Ketua Smyrna Café. Ini
adalah bidang pelayanan yang sangat berbeda dengan Nafiri.
Suatu hari Ela
bilang ke saya, “Aku tidak bisa di Smyrna. Sudah beberapa bulan ini jalan, tapi
sebagai Ketua kok rasanya aku belum berbuat apa-apa ya?”
“Sabar..
namanya baru pegang, pasti ada waktunya belajar dan penyesuaian,” jawab saya.
“Tapi Tus… aku
takut kalau aku ngga performed,” jawabnya.
Rupanya itulah
yang menjadi concern utamanya. Dalam setiap pelayanan, Ela ingin selalu performed
atau memberi yang terbaik. Ia risau jika pelayanan yang ia lakukan tidak
maksimal. Saat itu saya menyemangatinya agar terus maju, dan saya katakan bahwa
saya akan mendampingi sampai ia siap dilepas.
Selama Ela
menjadi Ketua Smyrna, training-training barista banyak sekali diadakan. Jumlah
barista saat ini sekitar 50 orang yang terbagi dalam 8 – 9 group, dan setiap
hari minggu Smyrna memproses “order” paling sedikit 140-150 cup, bahkan pernah
hampir 200.
Belakangan Ela
sudah makin bersemangat mengurus Smyrna, salah satunya karena melihat semangat
para barista yang melayani setiap hari Minggu, juga antrian yang panjang setiap
kali usai kebaktian.
Bukan saja soal
pelayanan, Ela suka ngobrol dan tanya soal-soal teknologi kepada saya, karena
ia merasa gaptek.
Menjelang akhir
tahun lalu, saat saya sedang mengoprek problem MacBook-nya yang ia pakai
kerja, saya bilang, “Udahlah Ela.. istirahat aja di rumah.. mau cari apa lagi
sih kok masih sibuk kerja?”
Saya tahu Ela
sudah pensiun tapi oleh perusahaannya diperpanjang dengan kontrak. Saya yakin
Ela tidak mengejar finansial, karena suaminya, Pak Johanes adalah orang yang
sukses sebagai Presiden Direktur Santika Hotel & Resort.
“Hehe,
enggaklah, wong masih kuat. Lagian kan perusahaan yang nawarin..,” jawabnya.
Kata
“perusahaan yang nawarin” itu mengingatkan saya soal perjalanan karirnya. Ela
cukup lama berkarir di Clariant (perusahaan kimia terkemuka dunia) dan menjadi
andalan. Selepas itu ia ditarik masuk Croda (juga perusahaan kimia terkemuka
dunia) sampai ia pensiun, dan ia tetap dipakai hingga saat ini.
Saya kira tidak
ada perusahaan yang mau mempekerjakan orang yang sudah pensiun kecuali memiliki
sesuatu yang penting. Dan perusahaan tempat Ela bekerja sudah menemukannya
dalam diri Ela, di antaranya adalah ethos kerja, integritas, performance
dan komitmen.
Benar, perusahaan
tidak akan menyesal telah merekrut Ela. Gereja pun juga akan sangat beruntung
jika yang masuk dalam pelayanan adalah orang-orang seperti Ela, yang masih
memiliki hati yang risau jika ia tidak performed, jika ia tidak
mengerjakan bagiannya dengan maksimal.
Kita ingin
memiliki teman seperjuangan baik di kantor ataupun di gereja seperti Ela.
Maka semalam
sekitar jam 11.30pm ketika saya bersiap hendak naik ke tempat tidur, berita
yang berseliweran melalui WhatsApp sungguh seperti petir di siang bolong, yang
lalu meremas-remas hati dan mengaduk-aduk pikiran. Benarkah Ela secepat ini
pergi meninggalkan kita?
Betapa banyak
di antara kita yang begitu kehilangan, dan terkenang akan kebersamaan dan
persahabatan yang terjalin dengan Ela.
“Tugasnya telah
selesai, tangannya telah cukup banyak mengerjakan,” kata Tuhan.
Kita ingin
sepakat dengan apa kata Tuhan, tetapi mungkin bagi kita rasanya tak kan pernah
cukup untuk melihat tangan Ela terus bekerja bagi kebaikan di dunia ini, seperti
tangan Mother Teresa of Calcutta.
Selamat jalan,
Ela.
***
Serpong, 11 Sep 2023
Titus J.