Friday, August 26, 2022

Bukan Sekadar Soal Perempuan

Tiada seorang pun manusia di dunia ini yang kedekatannya dengan Tuhan melebihi Musa.

Jaraknya melebihi dekat. Sejarak nafas dengan hembusannya. Sejarak nadi dengan denyutannya.

Ia begitu intim dengan Tuhannya.

Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa keintiman-Nya dengan Musa melebihi nabi-nabi manapun.

“Aku bicara dengan nabi melalui penglihatan, melalui mimpi, tetapi dengan Musa aku bicara berhadap-hadapan. Hanya dia yang boleh memandang rupa-Ku,” kata Tuhan.

Itu adalah deklarasi oleh Tuhan saat terjadi sebuah insiden di padang gurun, ketika Musa memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir.

Kakak-kakak Musa, yaitu Miryam dan Harun, nge-gerundel tentang Musa yang memperistri perempuan Kush. Sebagian penafsir Alkitab mengatakan, perempuan Kush yang dimaksud ini adalah Zipora, anak seorang imam di Midian, bukan perempuan lain (Secara paras, orang Midian yang tinggal di padang pasir mirip dengan orang Kush). Tetapi penafsir yang lain mengatakan bahwa perempuan Kush ini bukan Zipora melainkan seorang perempuan dari tanah Afrika (sebuah wilayah antara Etiopia dan Sudan pada era modern sekarang).

Gerundelan Miryam dan Harun ini bukan sekadar obrolan ngalor-ngidul, dan apa yang mereka perbincangkan jauh daripada gerundelan soal perempuan. Mereka memandang rendah Musa sehubungan perempuan Kush itu. Kemudian muncullah niat yang kebablasan. Kudeta.

Upaya kudeta ini dipertegas dengan penulisan perikop di kitab Bilangan 12, dimana insiden itu diberi judul “Pemberontakan Miryam dan Harun”.

Mereka menganggap bukan cuma Musa yang sanggup menjadi pemimpin, tetapi mereka juga merasa bisa. Hal ini sebenarnya aneh, sebab gara-gara soal perempuan, mengapa yang disasar adalah jabatan Musa sebagai pemimpin? Sepertinya soal perempuan Kush itu hanyalah soal yang dicari-cari. Entah mengapa, Miryam dan Harun mengingini jabatan itu dan ingin merebutnya dari tangan Musa. Padahal mereka mengerti posisi Musa sebagai seorang yang ditunjuk oleh Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.

“Sungguhkah Tuhan berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" kata mereka. Berdua saja mereka bicara, seperti dua orang yang rasan-rasan (kasak-kusuk, membicarakan orang lain yang sedang tidak ada disitu).

Tetapi angin gurun yang berhembus membawa kabar itu. Dan rasan-rasan kedua kakaknya yang menyakitkan itu sampai juga ke telinga Musa. Tetapi Musa memilih diam. Ia tidak mau berkonfrontasi. Mengapa? karena hatinya teramat lembut.

“Musa adalah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari semua manusia yang di atas muka bumi.” (Bilangan 12:3). Kalimat ini ditulis setelah kalimat gerundelan Miryam dan Harun itu.

Tampaknya Musa adalah seorang yang melankolis, yang tidak tertarik untuk berkonfrontasi. Maka Musa tidak ingin persoalan itu dibesar-besarkan. Ia kembali sibuk bekerja, menyelesaikan berbagai urusan bangsa Israel.

Barangkali Musa ingin berdoa kepada Tuhan, tetapi diurungkannya niatnya. Ia bukan type pengadu. Lagipula mereka adalah kakak-kakaknya sendiri. Jadi ia berharap persoalan itu akan selesai sendiri dengan mendiamkannya. “Semoga Tuhan tidak mendengar…,” demikian mungkin pikir Musa yang lemah-lembut.

Tetapi Tuhan mendengar.

“Keluarlah kamu bertiga ke kemah pertemuan!” perintah Tuhan kepada Miryam, Harun dan Musa.

Setelah ketiganya berkumpul, Tuhan turun dalam tiang awan.

Lengang. Tuhan hadir dengan wibawa-Nya yang tak terkatakan.

“Ada apa ini?” pikir mereka. Gemetar tubuh mereka. Tetapi gemetarnya Musa serasa berbeda dengan gemetarnya Miryam dan Harun. Gemetarnya Musa adalah karena respeknya kepada kebesaran Tuhan. Ia sudah biasa bertemu Tuhan, sedangkan gemetarnya Miryam dan Harun karena ketakutan setelah berbuat dosa.

Dan benar. Setelah Tuhan berdiri di pintu kemah itu, Ia hanya memanggil Miryam dan Harun (saja) untuk maju ke depan.

Lalu berfirmanlah Tuhan, "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, Tuhan menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi. Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku. Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa Tuhan." (Bilangan 12:6-8).

Derrrr!!! Firman Tuhan itu bagai gelegar petir yang menyengat hingga memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum.

Miryam dan Harun pucat pasi. Mungkin tubuh mereka ambruk ke tanah karena kaki mereka tiba-tiba lemas tak bertenaga.

Ngeri sekali.

Musa lebih daripada nabi, kata Tuhan sendiri. Sedangkan dengan nabi saja Tuhan hanya berbicara lewat penglihatan dan mimpi. Tetapi dengan Musa berbeda. Tuhan berbicara langsung, berhadap-hadapan, face to face. Tuhan memperkenankan Musa memandang wajah Tuhan.

Ingatkah kita cahaya wajah Tuhan yang penuh kemuliaan itu sampai “menular” ke wajah Musa ketika selama empatpuluh hari empatpuluh malam Musa berdua-duaan dengan Tuhan di atas gunung Sinai? “Ketika Musa turun dari gunung Sinai --kedua loh hukum Allah ada di tangan Musa ketika ia turun dari gunung itu-- tidaklah ia tahu, bahwa kulit mukanya bercahaya oleh karena ia telah berbicara dengan Tuhan.” (Keluaran 34:29)

Itulah keintiman yang tak terkatakan antara Musa dan Tuhan. Keintiman itu begitu spesial bagi-Nya. Tuhan sangat mengerti bahwa Musa berhati lembut. Musa tidak bakal berubah menjadi ofensif. Maka Tuhan memutuskan untuk turun-tangan dan membelanya sedemikian rupa.

“Mengapakah kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa?” tanya Tuhan kepada Miryam dan Harun.

Kalimat Tuhan begitu tajam, menusuk amat dalam. Ada bobot kemarahan yang tertahan dalam kalimat itu. Ada murka yang meletup pada nada bicara-Nya. Tetapi sikap Tuhan begitu elegan.

Jadi, mungkinkah Tuhan begitu murka jika masalahnya cuma soal perempuan, urusan perempuan Kush itu belaka?

Miryam dan Harun lunglai di depan kemah pertemuan itu, gemetar, seakan-akan nafasnya berhenti menghembusi jiwanya dan darahnya berhenti mengaliri raganya.

Seandainya mereka mengerti keintiman Musa dengan Tuhan yang sedemikian itu.

Lalu Tuhan pergi. Tiang awan itu naik dari atas kemah, tetapi jejak wibawa Tuhan masih terasa di tanah.

Dan tiba-tiba sekujur tubuh Miryam memutih, penuh dengan kusta.

Ketika Harun melihat keadaan kakak perempuannya itu, maka melolonglah suara Harun penuh penyesalan.

“Ampunilah kebodohan kami, Tuan…,” Harun memohon belas kasihan kepada adiknya. Lututnya yang sudah tiada daya itu diseretnya mendekati kaki Musa.

Betapa lembutnya hati Musa. Betapa sabar. Ia tidak membusungkan dada atas pembelaan Tuhan di depan mata seluruh bangsa Israel. Ia tidak jumawa. Ia tidak sakit hati kepada kakak-kakaknya. Kelembutan hatinya bagai tangan yang suci menadahkan doa kepada Tuhan: “Sembuhkanlah dia ya Allah...”

Keintimannya dengan Tuhan menggapai tangan Tuhan seketika itu juga, dan Tuhan mengulurkan tangan-Nya. Lalu Tuhan menjawab, “Suruhlah ayahnya meludahi mukanya, dan biarkan dia dikucilkan dulu selama tujuh hari, baru setelah itu terimalah ia kembali.”

Seluruh bangsa Israel terpana.

Beberapa saat kemudian Harun membimbing Miryam menuju tempat karantina yang dikhususkan untuk orang-orang yang kena kusta.

Musa terdiam. Pikirannya menerawang tatkala dari jauh ia memandang kerudung Miryam yang melambai diterpa angin. Ia teringat cerita Yokhebed, ibunya, puluhan tahun yang lalu, tentang kakaknya itu, yang menjaganya ketika ia masih bayi, terapung-apung di dalam peti pandan di sungai Nil, hingga putri Firaun yang tengah mandi mengangkatnya dari dalam air.

Walau bagaimana pun, rasa sayangnya kepada kakaknya itu tidak pudar, hingga detik itu, hingga rambut sama-sama sudah ubanan dan kulit sama-sama sudah keriput.

Ia memohon kepada Tuhan untuk tidak berangkat dari tempat itu sebelum tujuh hari masa karantina Miryam berakhir. Dan ia pun menunggu dengan sabar.

Betapa lembutnya hatinya.

***

Serpong, Jul 2022

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...