Wednesday, December 29, 2010

If You Don’t Want to Come to The Lost&Found Desk, Try This

If you have ever encountered of losing your properties such as bag, wallet, handphone (cellular phone) and other gadgets in public place of Jakarta, I believe you would have defenselessly let it go. You would have not expected the stuffs be returned to you, yet you would have taken it as a lesson learned for you to next time being more careful, that’s it.

Losing some properties in public places and not getting it back is common. Just come into the Lost&Found desk in malls, terminals, and other public places, then ask the officer to show the list of “Lost” and the list of “Found” in the log book and you will get the point. That’s why most of us are too reluctant to come to the Lost&Found desk when losing of properties. I am too. But you can try my approach, probably it can work.

One day I went to a bookstore with my wife, daughter as well as my daughter’s babysitter. After hours in the bookstore, my daughter asked to go to toilet and the nanny accompanied her. Minutes later, the nanny came to me hurriedly and said: “Pak, I am losing of my handphone.” I asked: “How come? Where?” She replied: “Just now, in the toilet.”

I then asked my wife to quickly go with her to the toilet for searching it. The handphone just a new one and I believed she had saved money for several months to buy that. Minutes later, they came to me with empty hands. The satpam (security officer) who saw us could do nothing but asked me to leave my name and my contact number. Instead of coming to the Lost&Found desk, I went home. What could I do? It’s almost impossible to get it back, but I still wanted to try something.

I then texted some message and sent it to the number of the lost handphone: “Dear sir/madam, this handphone belongs to my nanny, would you please return it back? Thanks for your kindness.”

That was a Saturday. I told the nanny that the only thing we could do was try but no need to expect too much. I have forgotten the case until the following day my handphone suddenly beep receiving a message (sms): “The handphone is on me. Call me in this number.”

I called the number right away and a man picked up my call over there. I introduced myself and conveyed many thanks for his response. I then explained that he could return the handphone to my nanny if he wanted to do so. “No problem, when do you want to take it?” he asked. “It’s up to you, Pak, I will follow when and where can we meet,” I replied. We made appointment to meet in a hospital in West Jakarta because the location is not too far from his home.

I brought my wife, daughter as well as the nanny to come there. We met with the man - a young man accompanied by his pregnant wife. “Sorry, I got it from my mom,” he said and took the handphone out of his pocket. “She found it at the bookstore’s toilet and didn’t know what to do,” he continued. After minutes of conversation he handed it over to me. I asked my nanny to check if it was really her handphone. The nanny smiled widely and said many thanks to him. I looked at my wife chatted with his wife and wished grace for her pregnancy.

Till today, I sometimes texted an sms to him saying hello and asking his wife’s pregnancy condition. I planned to visit the family when the baby is born, but the due date has yet to come.
I don’t really understand how it’s worked. I was happy not just because we’ve found the lost handphone, but we’ve found someone with such morality in the middle of reckless society nowadays.

Maybe you can try such approach to find your lost properties rather than making a report to the Lost&Found desk.

***
Serpong, 29 Dec 2010
Titus J.

Sunday, December 26, 2010

Kartu Natal Di Keranjang Sampah

Waktu Natal tiba, hal yang selalu kita lakukan adalah saling berkirim salam kepada keluarga, kerabat, teman dan sahabat kita. Namun, apa arti salam Natal itu bagi kita?

Katika saya masih umur belasan tahun, dan masih duduk di bangku SMP atau SMA atau ketika masih di Perguruan Tinggi, berkirim salam Natal selalu dilakukan lewat kartu Natal (Christmas Card). Menjelang Natal, setiap orang ramai mendatangi toko-toko yang menjual kartu Natal, kemudian memilih kartu yang paling bagus. Kadang-kadang kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih puluhan kartu dengan design yang berbeda-beda dengan kalimat terindah yang tertulis di dalamnya. Sambil memilih-milih kartu itu, kita membacanya pelahan, menghayati kata demi kata yang tertulis di kartu itu dengan harapan nanti si penerima kartu Natal merasa senang, dan membacanya pelahan, menghayati kata demi kata yang tertulis di situ persis seperti yang kita lakukan.

Dari belasan bahkan puluhan kartu itu, akan ada 1 kartu yang istimewa, yang akan berbeda dengan kartu-kartu lain yang kita pilih, karena kartu itu hendak kita kirimkan kepada seseorang yang istimewa bagi kita. Jika kita tidak pintar mengarang kata-kata, kita cukup mengirimkan kartu yang sudah berisi kata-kata yang puitis itu, kemudian tinggal membubuhkan tanda-tangan kita. Tetapi ada di antara kita yang selalu ingin menulis sendiri ungkapan hati kita, sehingga kita cukup memilih kartu Natal yang polos tanpa kata-kata, tentu dengan design yang bagus.

Kartu itu akan kita tulisi dengan goresan tinta dari tangan kita sendiri, yang kalimatnya kita rancang berjam-jam seindah mungkin. Dan mungkin waktu menulisnyapun tangan kita akan bergetar, karena jantung kita berdetak lebih cepat tidak seperti biasanya lantaran membayangkan bahwa kartu itu benar-benar untuk seseorang yang istimewa dalam hidup kita. Kita seolah ingin meminta kepada kartu itu untuk mewakili kita berbicara dengan si penerima di hari yang khusus itu. Inilah cara tradisional yang indah dan romantis.

Maka ketika tanggal 25 Desember sudah mendekat, hati kita berdebar-debar menunggu tukang pos datang ke rumah kita mengantarkan kartu-kartu Natal. Kita menunggu datangnya kartu Natal dari seseorang yang istimewa itu, dan kitapun berharap dia yang istimewa itu juga tengah duduk menanti di rumahnya akan datangnya kartu Natal yang kita kirimkan kepadanya.

Benar, ketika tukang pos itu mengeluarkan setumpuk kartu Natal dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada kita, ada 1 kartu Natal yang berbeda dari yang lain. Tak sabar hati kita untuk segera tahu, maka kita sisihkan dulu kartu-kartu yang lain di sebelah kita karena tangan kita hanya mau memegang 1 kartu istimewa itu. Berdebar-debar hati kita membuka amplopnya dan membaca kartu itu. Sembari membaca tulisan di dalamnya, saat itu kaki kita terasa terangkat dan tubuh kita terasa lebih ringan, melayang, melayang jauh terbang tinggi bagai rajawali di atas awan. Sambil tersenyum sendiri di dalam kamar, kita bertanya, apakah dia juga sudah menerima kartu Natal yang kita kirimkan? Dan apakah jantungnya juga berdebar-debar menerima dan membaca kartu yang kita kirimkan?

Saya pernah menerima kartu Natal dari seorang teman ketika saya masih SMP. Begitu kartu itu saya buka, mengalunlah sebuah instrumental lagu Natal yang dibunyikan oleh sebuah komponen kecil elektronika yang ditempelkan di bagian dalam kartu itu. Saya kagum bukan kepalang dan saat itu saya meyakini bahwa kartu Natal itu pasti harganya mahal. Selama bertahun-tahun kartu Natal itu tetap saya simpan karena hati sangat terkesan.

Sadarkah kita bahwa dalam hidup kita ini ada 1 orang istimewa yang selalu menantikan salam Natal kita? Sampai sekarangpun, jika kita mau berdiam diri sejenak, keluar dari rutinitas kesibukan kita, kita akan diingatkan bahwa betapa berartinya salam Natal itu untuk mereka yang menantikan kita. Apakah 1 orang yang istimewa itu istri atau suami kita, ibu atau ayah kita, sahabat kita, kekasih kita, kitalah yang paling tahu dimana seharusnya posisi mereka itu berada dalam kehidupan kita. Tetapi kesibukan kita sering mengaburkan pandangan kita dan menumpulkan sensitifitas hati kita untuk mengingat mereka.

Kalaupun toh kita mengirimkan kartu Natal juga, apakah kita pernah menyadari bahwa di dalam kartu itu seharusnya kita tidak sekedar menaruh kata-kata yang indah, melainkan lebih dari itu kita seharusnya menaruh hati kita untuk orang yang menerima? Kita memilih kartu yang seindah dan sebagus mungkin, mengirimkannya kepada orang lain tetapi sesudah itu lupa. Mengapa? Karena kita hanya terpaku pada symbol, pada gambar atau design yang bagus, pada kalimat yang indah, puitis dan berbunga-bunga. Kita lupa menyertakan ketulusan kita dengan cara yang paling sederhana dalam kartu itu untuk mereka.

Sebuah kartu Natal diberikan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya, diselipkan di bawah bantal dan bertuliskan begini: “My daughter, you bring so much goodness and beauty unto the world with your thoughtfulness, kindness and loving heart. And especially at this Christmas holiday, you should know that you make me feel so very proud and thankful. And I love you very much.”

Betapa engkau sangat berarti bagi dunia karena kebaikanmu dan cintamu membuat dunia menjadi indah. Ayah bangga padamu, nak,” begitulah kira-kira maksud si bapak itu. Tetapi tak seorangpun tahu, anak perempuannya itu selalu menunggu ayahnya untuk diajak bercerita tentang kegiatannya di sekolah, tentang teman-temannya, tentang kejadian-kejadian yang menjengkelkannya atau yang menggembirakannya, tentang perasaannya yang tiba-tiba menjadi lain ketika memandang teman sekelasnya. Tetapi ayahnya jarang punya waktu untuknya semenjak karirnya menanjak, dan ayahnya begitu sibuk dengan teman-teman kantornya dan teman-teman lainnya yang selalu mengajaknya pergi entah kemana.

Dan seorang wanita muda yang mengirimkan kartu Natal kepada mamanya memilih kartu yang berisi kalimat ini: “To my mom who shines so bright in so many hearts. The best things to wish you are all the things you give to others...happiness, laughter, and so much love. Merry Christmas, mom.”

“Engkau menyinari hati dengan cahaya cintamu, dan engkau selalu memberi kebahagiaan dan sukacita. Biarlah engkau rasakan hal yang sama seperti apa yang engkau berikan, mama,” begitulah kira-kira maksud wanita muda itu ketika memilih kartu berkalimat itu. Tetapi tak seorangpun tahu bahwa bertahun-tahun sudah wanita muda itu memupuk kepahitan di hati mamanya karena sikapnya yang menyakitkan di dalam rumah.

Di tempat dan waktu yang berbeda, seorang istri memberikan kartu Natal kepada suaminya dengan menaruh kartu itu di dekat keranjang tempat koran. Suaminya selalu membaca koran setiap pagi di tempat itu, dan si istri memilih kartu Natal bertuliskan begini: “Whatever your heart hopes for, I want to be a part of...Wherever God's plan leads you, I'll be by your side...However many joys today can hold for you, I pray that you will have them all...because I love you and I love sharing life with you...It's a blessing that grows more wonderful every day. Loving you at Christmas.”

“Aku ingin selalu berada di sisimu dan menjadi bagianmu, kemanapun Tuhan membawamu. Doaku untukmu agar engkau memiliki sukacita yang penuh. Aku sayang padamu dan ingin selalu berjalan bersamamu setiap hari dalam berkatNya,” begitulah kira-kira maksud si istri itu kepada suaminya. Tetapi tak seorangpun tahu bahwa suaminya memendam dendam kepadanya karena suaminya tahu jika ia sedang tidak berada di rumah, istrinya betah mengobrol berjam-jam di telepon dengan seorang laki-laki lain entah siapa. Dan suaminyapun tahu, Blackberry istrinya penuh dengan obrolan tidak senonoh dengan teman-teman prianya.

Betapa indah dan menakjubkan kata demi kata dalam sebuah kartu Natal, dan kita suka sekali memilih kalimat yang indah-indah karangan orang lain, bukan ekspresi hati kita yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Kita suka mengobral kata-kata indah yang kita cari berjam-jam waktu memilih kartu Natal, tetapi kita tidak peduli sikap kita sehari-hari kepada orang penerima kartu itu. Bahkan lebih celaka, jika sampai terjadi bahwa tak ada salam Natal secuilpun bagi seseorang yang harusnya menjadi orang yang istimewa bagi kita.

Di jaman sekarang, ketika teknologi telah menjadi raja dalam kehidupan manusia modern, berkirim salam Natal dilakukan lewat e-card di internet atau sms (short message service), dan untuk itupun kita malas mengetikkan huruf demi huruf untuk si penerima. Kita hanya menunggu sms dari teman kita, lalu kita memilih kata-kata yang terindah, kemudian kita mem-forward-nya kepada teman, sahabat dan keluarga kita. Dan mereka yang menerima sms yang indah itu mem-forward-nya kepada teman mereka yang lain. Dan teman mereka yang lain itu kemudian mem-forward-nya ke kita lagi. Betapa salam Natal yang pura-pura!

Saling berkirim salam lewat kartu Natal di saat Natal tiba memang menjadi moment yang indah untuk dikenang, namun sekali lagi, apa arti salam Natal itu bagi kita? Jika kartu-kartu Natal itu kita kirimkan hanya untuk basa-basi dan sopan-santun pergaulan, lebih-lebih jika di dalamnya terkandung kata-kata kemunafikan, bukankah oleh si penerimanya kartu-kartu Natal itu akan segera dibuang ke dalam keranjang sampah?

***
Serpong, Dec 2010
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...