“Serahkan surat
ini kepada panglima Yoab!” titah Raja Daud kepada Uria.
Maka dengan
dada bergemuruh –dada seorang patriot sejati– Uria mengambil sikap sempurna,
tegap. Matanya lurus menatap rajanya, sang panglima tertinggi, lalu badannya
berbalik, kakinya dihentakkan ke tanah, kemudian berjalan cepat menuju kudanya yang
tali kekangnya tertambat pada sebuah pohon di halaman istana raja.
Hatinya mantap.
Ia menepuk kepala kudanya satu-dua kali, dan setelah duduk di atas pelananya,
ia menyelipkan surat dari raja di balik baju zirahnya. Ia menarik nafas
dalam-dalam, lalu mengeprak kudanya tanpa menoleh ke belakang menuju medan
pertempuran.
Dalam
perjalanannya, Uria terus memikirkan tentang pertempuran pasukannya melawan
bani Amon yang sudah berlarut-larut sekian lama.
“Strategi apa
lagi yang akan dilakukan pasukannya untuk segera menyudahi pertempuran?” pikir
Uria.
“Mengapa raja
sampai harus memanggilku pulang dan memintaku membawa surat ini kepada panglima
Yoab? Hmm.. surat ini pasti berisi strategi perang yang sangat rahasia,”
pikirannya berkecamuk.
Uria merasa
mendapatkan kehormatan tinggi sebagai pembawa pesan penting. Ini sebuah
kepercayaan dari raja sendiri, dan ia tidak ingin mengecewakannya. Dadanya
meletup-letup. Maka ia makin memacu kudanya secepat kilat. Ia ingin segera tiba
di medan pertempuran dan menyampaikan surat maha penting itu kepada panglima
Yoab.
Ketika ia
memasuki hutan, pohon-pohon yang berdiri di jalan yang dilaluinya bergoyang diterpa
angin yang berhembus kencang oleh kelebat kudanya. Debu tanah berhamburan ke
atas dijejak oleh derap kaki kudanya. Dan ketika ia melewati sungai yang airnya
dangkal, arus sungai itu tersibak dan airnya muncrat ke segala penjuru diterpa
tubuh kudanya yang seolah mengerti kegelisahan hati tuannya yang duduk di atas
punggungnya.
Uria teringat
beberapa malam sebelumnya. Waktu itu ia sedang bersama dengan pasukannya di
medan pertempuran ketika Yoab tiba-tiba memanggilnya menghadap. Ia segera
bergegas datang. Ketika ia masuk ke dalam kemah tempat Yoab mengatur strategi
perang, ia melihat utusan raja itu sudah menunggu disana.
“Raja memintamu
menghadap. Sekarang!” perintah Yoab kepada Uria.
Uria masih
belum sempat menjawab apa-apa ketika Yoab melanjutkan bicaranya dengan tegas,
“Pulanglah. Ini perintah!”
Sebagai
prajurit, tak ada bagi Uria untuk bertanya lebih jauh tentang maksud dari
perintah yang mendadak itu, apalagi menolak perintah. Ia sangat menghormati
panglima Yoab. Maka ia pun berkemas dan segera pulang untuk menghadap raja.
Sesampainya di
hadapan raja, sikap raja biasa-biasa saja. Raja hanya menanyakan jalannya
pertempuran dan keadaan panglima Yoab beserta seluruh pasukannya. Saat itu raja
bahkan memberikan cuti beberapa hari untuk pulang ke rumahnya.
Walaupun
rumahnya hanya berjarak sepemandangan mata dari istana raja, ia tak mau pulang.
Ia memilih tidur di emperan istana bersama para prajurit pengawal istana. Uria
teringat seorang pegawai istana menyusulnya dan membawa hadiah raja untuknya.
“Kudengar kau
tidak pulang ke rumahmu,” kata raja Daud keesokan harinya. Uria menunduk tanda
hormat. “Engkau boleh pulang, atas ijinku!” kata raja lagi.
“Pantaskah hamba
bersenang-senang di rumah hamba sedangkan pasukan hamba menyabung nyawa di
medan pertempuran? Pantaskah hamba berbaring dalam pelukan istri hamba
sedangkan panglima Yoab tinggal dalam kemah beralaskan rumput kering?”
demikianlah Uria mengenang jawabnya kepada raja Daud waktu itu.
Teman-temannya,
para pegawai istana raja, memandangnya sebagai laki-laki tolol. Berbulan-bulan
ia berada di medan pertempuran dan belum sekalipun menginjak halaman rumahnya.
Kali ini raja sendiri yang memanggilnya dari medan pertempuran, dan
memberikannya cuti. Tidak pernah hal sepele soal cuti prajurit jadi urusan
raja. Tidak pernah.
Sebenarnya Uria
bisa pulang dan menikmati makanan rumah masakan istrinya yang jelas jauh lebih
lezat daripada ransum tentara yang itu-itu saja. Ia bukannya tidak rindu hawa
rumahnya dan sudut-sudut kamarnya. Ia bukannya tidak rindu aroma tubuh istrinya
yang cantik dan segar. Selama di medan pertempuran hanya bau keringat
pasukannya yang tercium. Tapi ini soal disiplin prajurit, soal solidaritas prajurit,
baik dengan anak buahnya maupun dengan atasannya. Ini juga soal kepantasan. Pantaskah
ia mereguk kenikmatan di dalam rumahnya yang sejuk padahal nyawa pasukannya dan
panglimanya hanya berjarak setipis rambut dari maut?
Kuda yang
dinaikinya terus menerobos hutan dan belantara di sepanjang jalan. Tapi
pikirannya tetap tidak bisa lepas dari ingatan beberapa malam sebelumnya yang
ia lewati di Yerusalem bersama dengan Raja Daud.
Malam-malam
yang aneh. Hari-hari yang tidak biasa.
Uria heran
dengan sikap raja yang kelewat ramah kepadanya. “Siapakah aku? Aku hanya
seorang Het, penduduk Kanaan yang terusir dan tak dipandang di hadapan orang
Israel,” pikirnya.
“Apakah karena
aku seorang prajurit yang membela Raja Israel dengan gigih dan habis-habisan
selama ini?” pikirnya lagi. Memang pedangnya tak pernah kembali ke dalam
sarungnya tanpa mencium darah lawan-lawannya. Tetapi ia tak pernah membanggakan
dirinya, karena selain dia masih banyak pahlawan yang patut mendapat pujian
dari raja.
“Ataukah karena
aku adalah menantu Eliam, anak dari Ahitofel, penasihat raja, yang nasihatnya selama
ini dianggap seperti suara Tuhan Allah?”
Dan malam
terakhir kemarin, raja menjamunya dengan perjamuan yang istimewa yang belum
pernah ia alami sebelumnya. Di tengah mabuknya karena terlalu banyak minum
anggur, antara sadar dan tidak, ia merasa seperti ada suara-suara yang
mendesaknya untuk pulang ke rumah. Tapi di sisi lain, entah mengapa ia merasa
seperti ada sebongkah batu besar yang menekannya hingga ia terkapar di halaman
istana semalam-malaman hingga pagi hari.
Di pagi itulah
setelah ia sadar dari mabuknya, ia kembali dipanggil oleh raja dan menerima
surat itu.
Uria tergagap
dari pikirannya, lalu menepuk punggung kudanya. Kudanya berlari makin kencang.
Ia meraba
dadanya di balik baju zirahnya. Surat itu masih ada terselip disana. Kudanya
meringkik keras ketika ia tanpa sengaja menarik tali kekangnya. Ia ingin
kudanya terbang agar detik itu pula ia dapat menyerahkan surat maha penting itu
kepada panglima Yoab.
Seandainya…
seandainya Uria tahu apa yang ditulis oleh Raja Daud dalam surat yang terselip
di balik baju zirahnya…
Ia terus memacu
kudanya. Kali ini ia pegang tali kekang hanya dengan satu tangan sedangkan
tangan satunya lagi menekan dadanya untuk melindungi surat itu agar tidak
terjatuh. Baginya surat itu adalah seperti pusaka, yang lebih berharga daripada
pedangnya, tombaknya, bahkan nyawanya sendiri. Ia harus segera sampai untuk
menyerahkan surat itu, amanat itu…
Seandainya…
seandainya Uria dapat mengintip sedikit saja dari tulisan raja di dalam surat
itu…
Tapi Uria tak
bakal melakukan perbuatan tercela itu. Ia tak bakal menciderai integritasnya.
Matahari sudah
turun ketika Uria sampai di tempat pasukan Israel berkubu di balik gunung.
Penjaga gerbang dengan tangkas membuka pintu dan Uria langsung menuju kemah
tempat panglima Yoab berada. Uria meloncat dari punggung kudanya dan masuk
untuk menyerahkan surat itu kepada Yoab.
Setelah Yoab
membaca surat itu, ia menelan ludah. Wajahnya berubah tegang. Uria masih tegak
berdiri di tempatnya menunggu perintah yang keluar dari mulut Yoab.
Senja yang tadi
berwarna keemasan mulai meredup. Langit menghantarkan kelam menuju malam. Yoab
tidak mengucapkan apa-apa. Uria tidak bertanya apa-apa. Mereka membisu.
Surat itu masih
di tangan Yoab. Sudah tiga kali ia mengulang membaca isi surat itu dalam
hatinya.
Uria masih
berdiri menunggu perintah.
Ia
sungguh-sungguh berharap agar amanat dalam surat itu dilaksanakan secepatnya.
Dan ia siap menerima perintah.
Ohh. Seandainya
ia tahu apa yang ditulis oleh Raja Daud dalam surat itu.
Malam merambat
begitu pelan, begitu panjang…
***
“Cowards die
many times before their deaths; the valiant never taste of death but once” --William Shakespeare—
***
Serpong, Des
2021
Titus J.