Sunday, January 16, 2022

Maria And The Beauty of Tennis

If there is something or some event that made Maria Sharapova a tennis player, it would be Chernobyl, a nuclear reactor that exploded and became a disaster in 1986, a year before she born in Nyagan, Russia - that might be the thing that changed her life. She wrote the words in this book.

But if there is someone who play an extraordinary role in Maria Sharapova’ successful career, I would say it’s her father.

Yuri Sharapov, her father, decided to leave his job in Russia to bring Maria to Florida, United States when Maria was six years old, with the only purpose to find the best tennis academy and coach for Maria. He risked everything to get Maria landed in Florida - the sacred land of tennis academies – with courage and determination that Maria could be a star.

Yuri and Maria arrived in America with only seven hundred dollars in pocket and knowing only a few words of English. This was crazy. But as the wise people say, strong determination will open the way. His braveness to achieve the goal overcame any risks. The story told that Yuri and Maria never be a homeless nor starving, even they could find the best tennis academy and the best coach for Maria despite very much pain and struggle.

But God seems always over His hand through good people, unknown people whom Yuri never met before. God watches over those who try hard.

Practice and practice and practice. This is the key for an athlete to success, and Maria proved it by beating two-time defending champion Serena Williams to win Wimbledon – the most prestigious tennis tournament - at seventeen years old in 2004.

And she won the next four Grand Slam afterward, i.e. the US Open in 2006, the Australian Open in 2008, the French Open in 2012, and the French Open again in 2014.

Maria is known having strong forehand, and when she moves and swings she shows the beauty of tennis in the tennis court.  Her movement is fluid which forces every eye to keep glaring at her.

The book is a powerful memoir that she wrote with a whole heart, telling her life so far – from her childhood, her struggle, her success, her bitterness when she was accused of doping, and her feelings as she closed her story in this book: “I was thinking only about the finish line. How it would end, how I would make my exit. But I don’t think about that anymore. Now I think only about playing. As long as I can. As hard as I can. Until they take down the nets. Until they burn my rackets. Until they stop me. And I want to see them try.”

Tennis has been being her life and she will not let anything take it from her.

***
Serpong, 16 Jan 2022
Titus J.

Sunday, January 2, 2022

Amanat Kematian

“Serahkan surat ini kepada panglima Yoab!” titah Raja Daud kepada Uria.

Maka dengan dada bergemuruh –dada seorang patriot sejati– Uria mengambil sikap sempurna, tegap. Matanya lurus menatap rajanya, sang panglima tertinggi, lalu badannya berbalik, kakinya dihentakkan ke tanah, kemudian berjalan cepat menuju kudanya yang tali kekangnya tertambat pada sebuah pohon di halaman istana raja.

Hatinya mantap. Ia menepuk kepala kudanya satu-dua kali, dan setelah duduk di atas pelananya, ia menyelipkan surat dari raja di balik baju zirahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeprak kudanya tanpa menoleh ke belakang menuju medan pertempuran.

Dalam perjalanannya, Uria terus memikirkan tentang pertempuran pasukannya melawan bani Amon yang sudah berlarut-larut sekian lama.

“Strategi apa lagi yang akan dilakukan pasukannya untuk segera menyudahi pertempuran?” pikir Uria.

“Mengapa raja sampai harus memanggilku pulang dan memintaku membawa surat ini kepada panglima Yoab? Hmm.. surat ini pasti berisi strategi perang yang sangat rahasia,” pikirannya berkecamuk.

Uria merasa mendapatkan kehormatan tinggi sebagai pembawa pesan penting. Ini sebuah kepercayaan dari raja sendiri, dan ia tidak ingin mengecewakannya. Dadanya meletup-letup. Maka ia makin memacu kudanya secepat kilat. Ia ingin segera tiba di medan pertempuran dan menyampaikan surat maha penting itu kepada panglima Yoab.

Ketika ia memasuki hutan, pohon-pohon yang berdiri di jalan yang dilaluinya bergoyang diterpa angin yang berhembus kencang oleh kelebat kudanya. Debu tanah berhamburan ke atas dijejak oleh derap kaki kudanya. Dan ketika ia melewati sungai yang airnya dangkal, arus sungai itu tersibak dan airnya muncrat ke segala penjuru diterpa tubuh kudanya yang seolah mengerti kegelisahan hati tuannya yang duduk di atas punggungnya.

Uria teringat beberapa malam sebelumnya. Waktu itu ia sedang bersama dengan pasukannya di medan pertempuran ketika Yoab tiba-tiba memanggilnya menghadap. Ia segera bergegas datang. Ketika ia masuk ke dalam kemah tempat Yoab mengatur strategi perang, ia melihat utusan raja itu sudah menunggu disana.

“Raja memintamu menghadap. Sekarang!” perintah Yoab kepada Uria.

Uria masih belum sempat menjawab apa-apa ketika Yoab melanjutkan bicaranya dengan tegas, “Pulanglah. Ini perintah!”

Sebagai prajurit, tak ada bagi Uria untuk bertanya lebih jauh tentang maksud dari perintah yang mendadak itu, apalagi menolak perintah. Ia sangat menghormati panglima Yoab. Maka ia pun berkemas dan segera pulang untuk menghadap raja.

Sesampainya di hadapan raja, sikap raja biasa-biasa saja. Raja hanya menanyakan jalannya pertempuran dan keadaan panglima Yoab beserta seluruh pasukannya. Saat itu raja bahkan memberikan cuti beberapa hari untuk pulang ke rumahnya.

Walaupun rumahnya hanya berjarak sepemandangan mata dari istana raja, ia tak mau pulang. Ia memilih tidur di emperan istana bersama para prajurit pengawal istana. Uria teringat seorang pegawai istana menyusulnya dan membawa hadiah raja untuknya.

“Kudengar kau tidak pulang ke rumahmu,” kata raja Daud keesokan harinya. Uria menunduk tanda hormat. “Engkau boleh pulang, atas ijinku!” kata raja lagi.

“Pantaskah hamba bersenang-senang di rumah hamba sedangkan pasukan hamba menyabung nyawa di medan pertempuran? Pantaskah hamba berbaring dalam pelukan istri hamba sedangkan panglima Yoab tinggal dalam kemah beralaskan rumput kering?” demikianlah Uria mengenang jawabnya kepada raja Daud waktu itu.

Teman-temannya, para pegawai istana raja, memandangnya sebagai laki-laki tolol. Berbulan-bulan ia berada di medan pertempuran dan belum sekalipun menginjak halaman rumahnya. Kali ini raja sendiri yang memanggilnya dari medan pertempuran, dan memberikannya cuti. Tidak pernah hal sepele soal cuti prajurit jadi urusan raja. Tidak pernah.

Sebenarnya Uria bisa pulang dan menikmati makanan rumah masakan istrinya yang jelas jauh lebih lezat daripada ransum tentara yang itu-itu saja. Ia bukannya tidak rindu hawa rumahnya dan sudut-sudut kamarnya. Ia bukannya tidak rindu aroma tubuh istrinya yang cantik dan segar. Selama di medan pertempuran hanya bau keringat pasukannya yang tercium. Tapi ini soal disiplin prajurit, soal solidaritas prajurit, baik dengan anak buahnya maupun dengan atasannya. Ini juga soal kepantasan. Pantaskah ia mereguk kenikmatan di dalam rumahnya yang sejuk padahal nyawa pasukannya dan panglimanya hanya berjarak setipis rambut dari maut?

Kuda yang dinaikinya terus menerobos hutan dan belantara di sepanjang jalan. Tapi pikirannya tetap tidak bisa lepas dari ingatan beberapa malam sebelumnya yang ia lewati di Yerusalem bersama dengan Raja Daud.

Malam-malam yang aneh. Hari-hari yang tidak biasa.

Uria heran dengan sikap raja yang kelewat ramah kepadanya. “Siapakah aku? Aku hanya seorang Het, penduduk Kanaan yang terusir dan tak dipandang di hadapan orang Israel,” pikirnya.

“Apakah karena aku seorang prajurit yang membela Raja Israel dengan gigih dan habis-habisan selama ini?” pikirnya lagi. Memang pedangnya tak pernah kembali ke dalam sarungnya tanpa mencium darah lawan-lawannya. Tetapi ia tak pernah membanggakan dirinya, karena selain dia masih banyak pahlawan yang patut mendapat pujian dari raja.

“Ataukah karena aku adalah menantu Eliam, anak dari Ahitofel, penasihat raja, yang nasihatnya selama ini dianggap seperti suara Tuhan Allah?”

Dan malam terakhir kemarin, raja menjamunya dengan perjamuan yang istimewa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Di tengah mabuknya karena terlalu banyak minum anggur, antara sadar dan tidak, ia merasa seperti ada suara-suara yang mendesaknya untuk pulang ke rumah. Tapi di sisi lain, entah mengapa ia merasa seperti ada sebongkah batu besar yang menekannya hingga ia terkapar di halaman istana semalam-malaman hingga pagi hari.

Di pagi itulah setelah ia sadar dari mabuknya, ia kembali dipanggil oleh raja dan menerima surat itu.

Uria tergagap dari pikirannya, lalu menepuk punggung kudanya. Kudanya berlari makin kencang.

Ia meraba dadanya di balik baju zirahnya. Surat itu masih ada terselip disana. Kudanya meringkik keras ketika ia tanpa sengaja menarik tali kekangnya. Ia ingin kudanya terbang agar detik itu pula ia dapat menyerahkan surat maha penting itu kepada panglima Yoab.

Seandainya… seandainya Uria tahu apa yang ditulis oleh Raja Daud dalam surat yang terselip di balik baju zirahnya…

Ia terus memacu kudanya. Kali ini ia pegang tali kekang hanya dengan satu tangan sedangkan tangan satunya lagi menekan dadanya untuk melindungi surat itu agar tidak terjatuh. Baginya surat itu adalah seperti pusaka, yang lebih berharga daripada pedangnya, tombaknya, bahkan nyawanya sendiri. Ia harus segera sampai untuk menyerahkan surat itu, amanat itu…

Seandainya… seandainya Uria dapat mengintip sedikit saja dari tulisan raja di dalam surat itu…

Tapi Uria tak bakal melakukan perbuatan tercela itu. Ia tak bakal menciderai integritasnya.

Matahari sudah turun ketika Uria sampai di tempat pasukan Israel berkubu di balik gunung. Penjaga gerbang dengan tangkas membuka pintu dan Uria langsung menuju kemah tempat panglima Yoab berada. Uria meloncat dari punggung kudanya dan masuk untuk menyerahkan surat itu kepada Yoab.

Setelah Yoab membaca surat itu, ia menelan ludah. Wajahnya berubah tegang. Uria masih tegak berdiri di tempatnya menunggu perintah yang keluar dari mulut Yoab.

Senja yang tadi berwarna keemasan mulai meredup. Langit menghantarkan kelam menuju malam. Yoab tidak mengucapkan apa-apa. Uria tidak bertanya apa-apa. Mereka membisu.

Surat itu masih di tangan Yoab. Sudah tiga kali ia mengulang membaca isi surat itu dalam hatinya.

Uria masih berdiri menunggu perintah.

Ia sungguh-sungguh berharap agar amanat dalam surat itu dilaksanakan secepatnya. Dan ia siap menerima perintah.

Ohh. Seandainya ia tahu apa yang ditulis oleh Raja Daud dalam surat itu.

Malam merambat begitu pelan, begitu panjang…

***

“Cowards die many times before their deaths; the valiant never taste of death but once” --William Shakespeare—

***

Serpong, Des 2021

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...