Ia adalah pemimpin band yang sehari-hari bertugas menghibur para penumpang first class di kapal mewah itu. Selain itu, tugasnya adalah memainkan musik di waktu dinner, setelah dinner dan di kebaktian hari Minggu selama Titanic berlayar mengarungi samudera dari Southampton, Inggris ke New York, Amerika.
Hartley, yang waktu itu berumur 33 tahun, adalah seorang
Kristen Methodist yang taat. Di masa kecilnya ia adalah anggota paduan suara
anak-anak di gerejanya. Ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar musik di George
Street School, Colne, Inggris dan memperdalam biola. Karirnya sebagai pemain
biola membawanya dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lainnya sampai akhirnya
ia diterima menjadi bandmaster di
kapal mewah Titanic. Ketika ia akan
memulai pelayarannya, ia pamit dan mengucapkan salam perpisahan kepada
tunangannya, Maria Robinson.
Ia
tak tahu bahwa hari itu benar-benar pertemuannya yang terakhir dengan tunangannya.
Karena, 4 hari setelah Titanic
berlayar dengan anggun, hari Minggu tanggal 14 April 1912 jam 23:40, Titanic menabrak gunung es (iceberg) di samudera Atlantik. Gunung es
itu merobek lambung kapal dan menyebabkan 5 kompartemen di kapal itu bocor dan
mulai terisi air. Betapa malangnya, sebab Titanic
didisain untuk tetap bisa bertahan mengapung walaupun 4 kompartemen terisi air.
Seandainya lambung kapal yang robek itu tidak menerus ke kompartemen ke-5, Titanic tak bakal tenggelam.
(kompartemen adalah ruang-ruang yang disekat-sekat di bagian bawah kapal dengan
tujuan agar jika terjadi kebocoran dari badan kapal, maka air laut yang masuk
akan dilokalisir dalam kompartemen yang berada tepat di bagian yang bocor itu
sehingga kapal tetap mengapung sementara kebocoran bisa diperbaiki/ditambal).
Kebocoran
5 kompartemen itu begitu cepat menyedot air laut untuk masuk, dan hanya dalam
waktu 45 menit, lambung kapal itu telah terisi sekitar 13.000 ton air yang tak
sanggup diatasi oleh pompa-pompa kapal yang kapasitasnya hanya 1.700 ton per
jam. Ketika kapal sudah mulai miring, nahkoda kapal Kapten Edward Smith tahu
benar bahwa Titanic tak mungkin
tertolong.
Pelan
tapi pasti, air menggenangi ruang demi ruang. Semua penumpang panik dan berlari
menuju sekoci, lalu saling berebut. Dapatkah kita membayangkan suasana pada
malam itu? Sebanyak 2.229 penumpang berlarian menghindari air yang bergerak pelahan
mengepung mereka. Dinginnya samudera Atlantik seakan menjadi hangat oleh tangis
dan jerit ketakutan serta teriak orang-orang yang saling berebut untuk mencari
selamat sendiri-sendiri.
Dalam
situasi genting itu, Wallace Hartley, dengan 7 orang anggota band-nya, datang
ke First Class Lounge lalu memainkan
musik untuk menenangkan penumpang yang panik. Ketika keadaan semakin memburuk,
Hartley dan anggotanya menuju ke geladak dan kembali memainkan musiknya. “Aku dengar mereka terus memainkan lagu-lagu sementara
semua orang berlarian untuk menyelamatkan diri,” kata salah seorang yang
selamat.
Survivor yang lain, Mrs. John Murray Brown,
menyaksikan bahwa mereka seakan tidak peduli ketika air semakin menggenang dan
merayap naik sampai ke lutut mereka. “The band played marching from deck to deck, and as the ship
went under I could still hear the music,"
kata Mrs. Brown.
Entah apa yang ada di benak Hartley. Ia tidak berpikir untuk
menyelamatkan diri. Mungkin hatinya pilu menyaksikan orang-orang, terutama
wanita dan anak-anak, juga orang-orang tua, tak bisa berbuat apa-apa selain
menangis. Sebagai musisi, Hartley tak mengerti tata-cara dan aturan keselamatan
di laut. Ia bukan Pendeta yang bisa berkhotbah, dan dalam situasi seperti itu,
barangkali khotbah juga tak mampu menundukkan kepanikan. Hartley hanya bisa
bermain musik dan ia ingin berbuat sesuatu untuk menenangkan mereka. Maka
ketika sudah banyak lagu ia mainkan, ia lalu menggesek biolanya dan memainkan “Nearer, my God, to Thee”.
Nearer, my God to Thee, nearer to Thee.
E'en though it be a cross, that raise me,
Still all my song shall be.
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
E'en though it be a cross, that raise me,
Still all my song shall be.
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
Kita tak pernah tahu mengapa ia memilih lagu itu. Udara Atlantik
begitu dingin menusuk di tengah malam itu ketika ia melihat masih begitu banyak
penumpang belum terangkut sekoci sementara air semakin meninggi dan Titanic semakin miring.
Hartley benar-benar tak memikirkan dirinya. Yang dipikirkannya
adalah bagaimana membuat orang-orang itu tenang. Betapa saya kagum kepada
Hartley, kagum atas ketiadaan selfishness
pada dirinya. Ia hanya seorang pemain biola, tetapi egonya ia tanggalkan untuk
sebuah pengorbanan. Dalam keadaan paling sulit, bukankah biasanya yang akan
nampak terlebih dahulu dari seseorang adalah selfishness? Selfishness memang
tidak menjahati orang dengan menyerang atau membunuh, tetapi selfishness sama jahatnya dengan
kejahatan lain karena di dalamnya terkandung perasaan mau menang sendiri, tidak
peduli nasib orang lain bahkan tega melihat orang lain celaka asal dirinya
tidak.
Tanpa sadar, sikap selfishness
ini yang sering mewarnai pola hidup kita sehari-hari, bukan? Ketika kita di
jalanan waktu berkendara, ketika kita di kantor, di rumah, bahkan di gereja,
kita sering lupa ada orang lain yang layak untuk kita dahulukan. Apakah kita
tidak mau tahu barangkali kepentingan orang lain lebih urgent daripada kepentingan kita? Kita selalu merasa kepentingan
kita yang lebih urgent sehingga ingin
dilayani lebih dulu dan ingin menjadi yang pertama tanpa mau mengalah. Tidakkah
kita mau mengerem keinginan kita sedikit saja dan mempersilakan orang lain untuk
mengambil bagian kita karena mungkin ia lebih membutuhkan daripada kita saat
ini?
Andaikan hidup ini kita jalani dengan sikap saling mendahulukan
orang lain, mungkin dunia akan berputar sedikit melambat dan bergerak sedikit
lebih relaks. Dunia kita saat ini begitu terburu-buru karena kita terus
menginjak pedal gas akibat segala sesuatu kita anggap urgent dan kritis.
Sekitar jam 2 tengah malam, ketika air laut semakin bergelora
menguasai semua ruangan, dan ketika sudah tak memungkinkan lagi memainkan
musik, Hartley menghentikan lagunya. Itulah lagu terakhir di samudera Atlantik
malam itu, yang menjadi saksi tentang seorang anak manusia yang rela
mengorbankan dirinya untuk orang lain. Sesudah Hartley mengemasi biolanya dan
memasukkannya ke dalam leather case, ia
dan anggota band-nya membubarkan diri. Sayup-sayup terdengar Hartley berucap
pelahan: “Gentlemen…I bid you farewell..”
Lalu ia dan teman-temannya menghilang di kerumunan.
Dan Titanic yang naas
itu terbelah menjadi 2 bagian, kemudian pelahan tenggelam ke kedalaman samudera
Atlantik membawa lebih dari 1500 penumpang yang tak kebagian sekoci. Waktu itu
jam 2.20 tengah malam.
Tubuh Hartley ditemukan oleh tim pencari tanggal 4 Mei 1912, masih
berpakaian seragam band-nya, lengkap
dengan sepatu hitam dan kaos kaki hijau. Sekitar 30.000 pelayat memadati Chapel
tempat jenasahnya dibaringkan hingga ke pemakaman. Di situlah paduan suara
kembali menyanyikan “Nearer, my God, to
Thee” dalam kesyahduan untuk mengenangnya.
There in my Father's home, safe and at rest,
There in my Saviour's love, perfectly blest,
Age after age to be,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
There in my Saviour's love, perfectly blest,
Age after age to be,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
Dan 100 tahun berlalu begitu cepat…
Nilai fantastis itu tentu bukan hanya karena biola kuno itu sudah
berumur lebih dari 100 tahun, tetapi karena biola itu menyimpan kisah luar
biasa yang ditorehkan oleh pemiliknya: W.H.H (Wallace Henry Hartley) – A man with no selfishness.
*) Lagu “Nearer, my God, to
Thee” diciptakan oleh Sarah Flower Adams (1805 – 1848). Lagu ini ada di buku
KPPK no. 405.
***
Serpong, Nov 2013
Titus J.
No comments:
Post a Comment