Wednesday, October 28, 2020

Setitik Bara, Sepotong Harapan

"You can cut all the flowers but you cannot keep spring from coming” Pablo Neruda

 

Seperti musim semi, demikianlah harapan harusnya mewujud. Musim semi menggantikan kebekuan musim dingin. Ia menumbuhkan tunas-tunas kecil pada ranting yang daunnya meranggas. Lalu helai demi helai daun bermunculan, dan warna-warni bunga setelahnya. Alam selalu patuh pada waktu dan sabar menunggu gilirannya.

Musim semi selalu menghembuskan kehangatan dan membawa perubahan. Ia menerbitkan harapan. “When flowers bloom, so does hope,” kata tulisan di sebuah tembok kota.

Ada yang bilang, jangan pernah kehilangan harapan, karena ada saatnya dalam suatu episode hidup, tiba-tiba kita terseret masuk dalam kegelapan, bahkan kegelapan yang paling pekat.

Jika kita tak mampu menghalau petaka menghabiskan segala yang kita miliki, sisakan harapan.

Itulah yang diceritakan oleh ayah saya tentang harapan yang dimilikinya.

Waktu itu saya masih berumur empat tahun. Saya sendiri tak pernah ingat peristiwa ini jika bukan ayah saya yang menceritakannya setelah saya beranjak dewasa.

Di usia sangat muda itubahkan saya belum sekolahsaya sakit. Perut saya mengeras. Sehari-hari hanya menangis saja yang bisa saya lakukan. Dengan uang yang ada, ayah saya membawa saya berobat ke sana kemari, tetapi saya tak kunjung sembuh. Perut saya semakin mengeras. Kalau dipegang seperti batu, kata ayah saya. Dan akhirnya uang ayah yang tidak seberapa itu ludes.

“Lalu, apa yang Papa lakukan saat itu?” tanya saya.

“Bingung. Uang ludes, tapi kamu belum sembuh, bahkan kondisimu makin parah,” jawab ayah saya.

“Benar-benar ludes? Habis-habisan? Nggak punya apa-apa lagi?” sergah saya.

“Masih ada ... hmm ....

“Punyanya apa? Berapa?”

“Ini!” jawab ayah saya sambil meraba dadanya. Saya tidak menangkap maksudnya. Tapi sebelum saya bertanya lagi, sepertinya saya mengerti bahwa yang sebenarnya ia maksud adalah harapan. Ia tak berkata apa-apa untuk menjelaskan, tetapi pandangan matanya seakan menyampaikan pesan, “That’s all I have.

Lalu ayah saya menceritakan bagaimana setelahnya ia hanya bisa mengunci diri di kamar dan berdoa, sementara saya dibaringkan di tempat tidur, dengan isak tangis yang tak berhenti.

“Memang Papa tidak berdoa sebelumnya?” tanya saya.

“Berdoa juga, tapi sambil lalu,” jawabnya. “Dan berdoa sambil lalu sama saja dengan tidak berdoa,” katanya.

Uang di kantongnya itulah yang membuatnya overconfident, sok gagah, sombong. Disangkanya uangnya bisa membeli kesembuhan saya.

“Waktu itu apakah Papa menyangka saya bakal ‘lewat’?” tanya saya.

“Tidak. Papa yakin kamu sembuh.”

“Kenapa?”

Ia tak menjawab, mungkin tak tahu bagaimana harus menjawab, atau tak mampu membahasakan apa yang ingin ia ucapkan. Tetapi seandainya ia pandai bicara, seolah-olah ia ingin mengatakan, “Harapan itu masih papa simpan, walaupun tinggal sisa-sisa.”

Betapa kuatnya sebuah harapan. Ia tak tunduk pada kegelapan. Justru dalam kegelapanlah setitik cahaya paling kecil sekalipun akan tampak. Kira-kira sekecil itu harapan yang dimiliki ayah saya. Dan itu sudah cukup.

Maka dengan menggenggam harapan itu, ayah membawa saya ke dokter, dengan saku yang kosong. Dibaringkannya tubuh saya di depan dokter itu. Dokter itu cuma mengelus-elus perut saya yang keras, di sela-sela tangis saya. “Rapopo … sesuk bocah iki waras (tidak apa-apa, besok anak ini sembuh) ...," kata dokter itu.

Lalu ayah membawa saya pulang.

“Besoknya kamu sudah lompat-lompat dan lari-lari,” kata ayah.

Ayah sudah pulang ke rumah kekalnya di tahun 2004, membawa harapannya. Ia memberikan sepotong kecil harapan yang ia miliki, sebelum ia berpulang. Walaupun hanya sepotong, harapan itu seperti bara api. Saya simpan di sebuah sudut di hati saya, dan selalu saya bawa mengembara ke mana pun.

Di kemudian hari ketika saya mulai bekerja dan membangun keluarga, harapan itulah yang mengajar saya arti dari kesabaran dan ketekunan dalam menjalani kehidupan. Pada saat saya dalam kegelapan, bara itu memercikkan api.

Ketika bulan Juli yang lalu saya mendapat kabar tentang kakak saya yang tinggal di Sidoarjo dinyatakan positif Covid-19, saya mengingatkannya tentang harapan. Ia dirawat di Rumah Sakit RKZ di Surabaya. “Kayak mau mati .… Aku gak kuat …,” itulah pesan WhatsApp yang saya terima.

Melalui video call, saya menghubunginya. Selang oksigen menancap di lubang hidungnya, napasnya ngos-ngosan, cepat. Saya lihat berat sekali, sampai tak mampu bicara. Akhirnya saya minta ia mendengarkan saja dan hanya menjawab dengan isyarat.

Saya sampaikan, “Jangan kehilangan harapan.” Hanya itu yang berulang kali saya sampaikan, lalu saya ajak berdoa melalui video call itu.

Keesokan harinya, anaknya menelepon saya. “Dokter menyarankan transfusi plasma darah dari penderita Covid-19 yang telah sembuh, bagaimana Engku?” tanyanya. Saya jawab, ikuti saja saran dokter. Saya berdoa dari Serpong untuknya.

Setelah transfusi kantong pertama, keadaannya berangsur-angsur membaik. Anaknya chat ke saya, “Mami sudah mulai mau makan, walaupun masih sedikit,” katanya. Memang sebelumnya ia tak mau makan apa-apa, karena tenggorokannya sakit sekali. Keesokan harinya, ia mendapatkan lagi transfusi dengan plasma darah kantong kedua, lalu ketiga.

Ketika masih menunggu pemulihan di rumah sakit, anaknya yang pertama positif Covid. Tak pelak lagi, menyusullah ia ke RKZ, dirawat di dalam kamar yang sama. Anaknya yang kedua mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mama dan kakaknya. Dan pada saat keduanya sembuh dan keluar dari RKZ, gantian anaknya yang kedua masuk RKZ sebagai pasien Covid.

“Jangan pernah kehilangan harapan,” pesan saya kepada mereka. Sekarang ketiga-tiganya sudah sehat.

Virus yang dinamai Covid-19 ini memang rakus sekali. Setelah gentayangan ke sana kemari, ia datang meminta tubuh. Setelah dikasih tubuh, ia meminta nyawa. Tak hanya tubuh dan nyawa, ia merampas segala-galanya: bisnis, pekerjaan, nafkah, rencana, dan cita-cita; apa lagi? Kecantikan pun ikut terampas karena lenyap dari pandangan sehari-hari lantaran tertutup masker.

Betapa kegelapan ini masih merajai. Masih adakah bara api tersimpan di hati?

Jika bara itu mati, betapa gelapnya kegelapan itu.

Harapan membuat ayah saya memiliki kekuatan untuk mempertahankan nyawa saya. Harapan membuat kakak saya dan dua anaknya mengalahkan Covid.

Karena harapan, Winston Churchill berseru, “We shall never surrender!” di saat paling gelap dan kritis di hadapan parlemen Inggris dan mengubah Dunkirk yang akan dijadikan kuburan massal oleh Hitler menjadi pantai kemenangan bagi rakyat Inggris (cerita ini dapat ditonton di film Darkest Hour yang rilis di tahun 2017, disutradarai oleh Joe Wright).

Harapan itulah yang membuat Ayuborang yang kita anggap sebagai orang yang paling malang dalam sejarahjustru berkata, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah.” (Ayub 19: 25–26).

Kalimat macam apakah itu jika bukan keluar dari hati yang masih menyimpan bara api?

Jangan pernah kehilangan harapan, karena ia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang membiarkannya pergi.

Demikianlah kita harusnya mengerti, pada akhirnya akan tinggal ketiga hal ini: yaitu iman, pengharapan, dan kasih. Walaupun dari ketiga hal ini yang terbesar adalah kasih, tetapi harapan akan abadi, seabadi ayah saya yang telah pergi.

“But I know, somehow, that only when it is dark enough can you see the stars.” – Martin Luther King, Jr.

***

Serpong, Oct 2020

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...