"You can cut all the flowers but you cannot keep spring from coming” – Pablo Neruda
Seperti musim semi, demikianlah
harapan harusnya mewujud. Musim semi menggantikan kebekuan musim dingin. Ia menumbuhkan
tunas-tunas kecil pada ranting yang daunnya meranggas. Lalu helai demi helai
daun bermunculan, dan warna-warni bunga setelahnya. Alam selalu patuh pada
waktu dan sabar menunggu gilirannya.
Musim semi selalu menghembuskan
kehangatan dan membawa perubahan. Ia menerbitkan harapan. “When flowers bloom, so does hope,” kata tulisan di sebuah tembok
kota.
Ada yang bilang, jangan pernah
kehilangan harapan, karena ada saatnya dalam suatu episode hidup, tiba-tiba
kita terseret masuk dalam kegelapan, bahkan kegelapan yang paling pekat.
Jika kita tak mampu menghalau
petaka menghabiskan segala yang kita miliki, sisakan harapan.
Itulah yang diceritakan oleh ayah
saya tentang harapan yang dimilikinya.
Waktu itu saya masih berumur empat tahun. Saya sendiri tak pernah ingat peristiwa ini jika bukan
ayah saya yang menceritakannya setelah saya beranjak dewasa.
Di usia sangat muda itu—bahkan saya belum sekolah—saya sakit. Perut saya mengeras.
Sehari-hari hanya menangis saja yang bisa saya lakukan. Dengan uang yang ada,
ayah saya membawa saya berobat ke sana kemari, tetapi saya tak kunjung sembuh. Perut saya semakin mengeras. Kalau dipegang seperti
batu, kata ayah saya. Dan akhirnya uang ayah yang tidak seberapa itu ludes.
“Lalu, apa yang Papa lakukan
saat itu?” tanya saya.
“Bingung. Uang ludes, tapi kamu
belum sembuh, bahkan kondisimu makin parah,” jawab ayah saya.
“Benar-benar ludes? Habis-habisan?
Nggak punya apa-apa lagi?” sergah
saya.
“Masih ada ... hmm ....”
“Punyanya apa? Berapa?”
“Ini!” jawab ayah saya sambil
meraba dadanya. Saya tidak menangkap maksudnya. Tapi sebelum saya bertanya
lagi, sepertinya saya mengerti bahwa yang sebenarnya ia maksud adalah harapan. Ia tak berkata
apa-apa untuk menjelaskan, tetapi pandangan matanya seakan menyampaikan pesan,
“That’s all I have.”
Lalu ayah saya menceritakan
bagaimana setelahnya ia hanya bisa mengunci diri di kamar dan berdoa, sementara
saya dibaringkan di tempat tidur, dengan isak tangis yang tak berhenti.
“Memang Papa tidak berdoa sebelumnya?” tanya
saya.
“Berdoa juga, tapi sambil lalu,”
jawabnya. “Dan berdoa sambil lalu sama saja dengan tidak berdoa,” katanya.
Uang di kantongnya itulah yang
membuatnya overconfident, sok gagah,
sombong. Disangkanya uangnya bisa membeli kesembuhan saya.
“Waktu itu apakah Papa menyangka
saya bakal ‘lewat’?” tanya saya.
“Tidak. Papa yakin kamu sembuh.”
“Kenapa?”
Ia tak menjawab, mungkin tak tahu
bagaimana harus menjawab, atau tak mampu membahasakan apa yang ingin ia
ucapkan. Tetapi seandainya ia pandai bicara, seolah-olah ia ingin mengatakan,
“Harapan itu masih papa simpan, walaupun tinggal sisa-sisa.”
Betapa kuatnya sebuah harapan. Ia
tak tunduk pada kegelapan. Justru dalam kegelapanlah setitik cahaya paling
kecil sekalipun akan tampak. Kira-kira sekecil itu harapan yang
dimiliki ayah saya. Dan itu sudah cukup.
Maka dengan menggenggam harapan
itu, ayah membawa saya ke dokter, dengan saku yang kosong. Dibaringkannya tubuh
saya di depan dokter itu. Dokter itu cuma mengelus-elus perut saya yang keras,
di sela-sela tangis saya. “Rapopo … sesuk bocah iki waras (tidak apa-apa, besok anak ini sembuh) ...," kata dokter itu.
Lalu ayah membawa saya pulang.
“Besoknya kamu sudah lompat-lompat
dan lari-lari,” kata ayah.
Ayah sudah pulang ke rumah
kekalnya di tahun 2004, membawa harapannya. Ia memberikan sepotong kecil
harapan yang ia miliki, sebelum ia berpulang. Walaupun hanya sepotong, harapan
itu seperti bara api. Saya simpan di sebuah sudut di hati saya, dan selalu saya
bawa mengembara ke mana pun.
Di kemudian hari ketika saya mulai
bekerja dan membangun keluarga, harapan itulah yang mengajar saya arti dari
kesabaran dan ketekunan dalam menjalani kehidupan. Pada saat saya dalam
kegelapan, bara itu memercikkan api.
Ketika bulan Juli yang lalu saya
mendapat kabar tentang kakak saya yang tinggal di Sidoarjo dinyatakan positif
Covid-19, saya mengingatkannya tentang harapan. Ia dirawat di Rumah Sakit
RKZ di Surabaya. “Kayak mau mati .… Aku gak kuat …,” itulah pesan WhatsApp yang saya terima.
Melalui video call, saya menghubunginya.
Selang oksigen menancap di lubang hidungnya, napasnya ngos-ngosan, cepat. Saya
lihat berat sekali, sampai tak mampu bicara. Akhirnya saya minta ia
mendengarkan saja dan hanya menjawab dengan isyarat.
Saya sampaikan, “Jangan kehilangan
harapan.” Hanya itu yang berulang kali saya sampaikan, lalu saya ajak berdoa
melalui video call itu.
Keesokan harinya, anaknya
menelepon saya. “Dokter menyarankan transfusi plasma darah dari penderita
Covid-19 yang telah sembuh, bagaimana Engku?” tanyanya.
Saya jawab, ikuti saja saran dokter. Saya berdoa dari Serpong untuknya.
Setelah transfusi kantong pertama,
keadaannya berangsur-angsur membaik. Anaknya chat ke saya, “Mami sudah mulai mau makan, walaupun masih sedikit,”
katanya. Memang sebelumnya ia tak mau makan apa-apa, karena tenggorokannya
sakit sekali. Keesokan harinya, ia mendapatkan lagi transfusi dengan plasma
darah kantong kedua, lalu ketiga.
Ketika masih menunggu pemulihan di
rumah sakit,
anaknya yang pertama positif Covid. Tak pelak lagi, menyusullah ia ke RKZ,
dirawat di dalam kamar yang sama. Anaknya yang kedua mondar-mandir mengurus ini
dan itu untuk mama dan kakaknya. Dan pada saat keduanya sembuh dan keluar dari
RKZ, gantian anaknya yang kedua masuk RKZ sebagai pasien Covid.
“Jangan pernah kehilangan
harapan,” pesan saya kepada mereka. Sekarang ketiga-tiganya sudah sehat.
Virus yang dinamai Covid-19 ini
memang rakus sekali. Setelah gentayangan ke sana kemari, ia datang meminta tubuh.
Setelah dikasih tubuh, ia meminta nyawa. Tak hanya tubuh dan nyawa, ia merampas
segala-galanya: bisnis, pekerjaan, nafkah, rencana, dan cita-cita; apa lagi?
Kecantikan pun ikut terampas karena lenyap dari pandangan sehari-hari lantaran
tertutup masker.
Betapa kegelapan ini masih
merajai. Masih adakah bara api tersimpan di hati?
Jika bara itu mati, betapa
gelapnya kegelapan itu.
Harapan membuat ayah saya memiliki
kekuatan untuk mempertahankan nyawa saya. Harapan membuat kakak saya dan dua
anaknya mengalahkan Covid.
Karena harapan, Winston Churchill
berseru, “We shall never surrender!”
di saat paling gelap dan kritis di hadapan parlemen Inggris dan mengubah
Dunkirk yang akan dijadikan kuburan massal oleh Hitler menjadi pantai
kemenangan bagi rakyat Inggris (cerita ini dapat ditonton di film Darkest Hour yang rilis di tahun 2017, disutradarai oleh Joe Wright).
Harapan itulah yang membuat Ayub—orang yang kita anggap sebagai
orang yang paling malang dalam sejarah—justru berkata, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya
Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa
dagingku pun aku akan melihat Allah.” (Ayub 19: 25–26).
Kalimat macam apakah itu jika
bukan keluar dari hati yang masih menyimpan bara api?
Jangan pernah kehilangan harapan,
karena ia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang membiarkannya pergi.
Demikianlah kita harusnya
mengerti, pada akhirnya akan tinggal ketiga hal ini: yaitu
iman, pengharapan, dan kasih. Walaupun dari ketiga hal ini yang terbesar adalah
kasih, tetapi harapan akan abadi, seabadi ayah saya yang telah pergi.
“But
I know, somehow, that only when it is dark enough can you see the stars.” – Martin Luther King, Jr.
***
Serpong,
Oct 2020
Titus
J.