Sunday, November 30, 2008

Mahalnya Rp. 15 ribu

Sungguh tidak tertata dunia pendidikan di Indonesia ini. Lebih tepat kalau saya katakan: Tidak terurus.

Kemarin saya menonton TV, pada acara “Nusantara”, TV Elshinta menayangkan figur seorang kepala sekolah SD yang merangkap sebagai pemulung. Bapak ini bernama Pak Mahmud. Setiap hari Pak Mahmud mengajar di sekolah itu, dan setiap hari pula sehabis pulang mengajar beliau harus memulung sampah untuk menyambung nafkah keluarganya.

Kita tidak perlu bertanya berapa gaji Pak Mahmud sebagai seorang kepala sekolah di SD reyot itu, karena dengan mengikuti kesehariannya sudahlah dapat diketahui tanpa kita perlu berhitung dulu. Dan jika seorang kepala sekolah harus menjadi pemulung sampah, berapa rupiah murid-murid SD itu membayar biaya sekolahnya? Untuk hal inipun kita tidak perlu bertanya apa-apa.
Jika memulung, Pak Mahmud memakai pakaian yang kumuh, bersandal jepit, berjalan mengais tumpukan sampah, lalu memilah-milahnya untuk barang-barang yang bisa dijual. Tapi jika beliau mengajar di kelas, begitu bersih, begitu rapi, berpakaian batik lengan panjang, berkaca-mata. Siapapun tidak akan menyangka bahwa beliau juga seorang pemulung. Saya kagum. Inilah orang yang sangat mencintai profesinya sebagai guru. Bukan hanya mencintai, tetapi juga menghargai profesinya sendiri. Walau harus memulung sampah, jadi guru tetaplah panggilan. Jadi mengajar haruslah rapi, tidak harus dekil, kucel.

Di sebuah SMP di daerah tempat tinggal saya, yaitu di Serpong, saya mengajar matematika. Bukan, saya bukan guru di SMP itu, saya hanya relawan yang tergerak untuk membantu dan menyumbangkan sedikit waktu, tenaga dan pikiran untuk anak-anak kurang mampu itu. Sekolah itu sudah reyot, dindingnya sudah kusam, plafonnya kotor penuh jaring laba-laba, lantainya dari semen yang sudah banyak retak dan bangku-bangkunyapun sudah reyot.

Pada tiap-tiap hari Sabtu, pada waktu nama saya terjadwal mengajar, saya pergi ke sekolah yang terletak tak jauh dari jalan besar Bumi Serpong Damai (BSD). Jalan masuk ke situ sudah rusak, penuh lubang dan genangan air. Setelah beberapa menit berkelok masuklah mobil saya ke gang sempit dimana sekolah itu berada. Waktu pertama kali saya kesana, saya heran bukan kepalang, karena ternyata ada sekolah reyot seperti ini di balik semarak perumahan mewah BSD. Jika mengajar di sana, peluh saya bercucuran begitu derasnya karena ventilasi buruk dan saya harus mengulang-ulang materi agar anak-anak itu bisa menangkap pelajaran sampai mengerti.

Sekolah itu bukan sekolah negeri. Sekolah itu didirikan oleh seseorang (Kepala Sekolah menyebutnya: Pak Haji) di daerah itu sendiri yang merasa prihatin karena banyak anak-anak di situ yang tidak sekolah. Dan untuk menghidupi sekolah itu, Pak Haji meminta dukungan dari sebuah yayasan kemanusiaan untuk membantu. Karena tidak cukup uang, guru-gurunyapun sangat sedikit jumlahnya. Satu guru bisa mengajar sampai 4 – 5 mata pelajaran. Darimana dana untuk merekrut guru banyak-banyak? Maka jadilah saya dan beberapa teman menjadi guru relawan. Ada yang mengajar matematika, bahasa Inggris, dan komputer (Sekolah ini mendapatkan sumbangan seperangkat komputer dari sebuah lembaga). Saya hanya berpikir, jika tidak ada orang seperti Pak Haji ini, dimana anak-anak itu bisa sekolah? Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah?

Pak Haji berhasil, karena sejak sekolah itu didirikan, banyak anak-anak di daerah itu yang mau sekolah. Gratis. Namun setelah beberapa tahun berjalan, yayasan itu menyetop bantuannya karena ada pergantian direksi (baca: pergantian policy). Tak ayal, demi tetap menghidupi sekolah itu, anak-anak yang bersekolah di situ dipungut biaya, tidak lagi gratis. Biayanya hanya Rp. 15.000,- per bulan. 15 ribu? Ya, hanya 15 ribu per bulan!

Tetapi tahukah kita dampaknya? Dengan pungutan yang cuma seharga sepiring nasi pecel lele itu, banyak murid yang langsung menghilang dari sekolah itu. Setelah ditelusuri, didapatlah informasi dari para orang-tua murid bahwa mereka tidak sanggup membayar yang 15 ribu rupiah itu. “Lebih baik anak saya di rumah saja, malah bisa bantuin saya cari uang, ketimbang harus sekolah dan keluar uang pula,” kata beberapa orang-tua murid. Ketika ditanya kalau tidak sekolah nanti anaknya mau jadi apa, mereka menjawab: “Jadi kuli proyek, atau tukang ojek, yang perempuan bisa jadi tukang cuci di rumah-rumah orang kaya.”

Se-simple itu? Ya, concern mereka hanya perkara 15 ribu itu! Sebesar itukah nilai 15 ribu rupiah? Kawan, mereka tidak tinggal di daerah terpencil pedalaman hutan atau di kaki gunung. Mereka tidak tinggal di gua-gua yang angker atau di balik tebing-jurang yang sulit dijangkau. Mereka tinggal di sekitar kita, tak jauh dari kita, bertetangga dengan ibu kota Jakarta yang punya segala macam. Dan perkara 15 ribu rupiah itu benar-benar mengusik mereka. Jangan tanyakan arti masa depan, karena yang mereka pikirkan adalah masa kini, apakah perut mereka dan anak-anak mereka aman untuk hari ini, besok dan besoknya lagi.

Jika saya masuk kelas di siang hari dan akan mulai mengajar, selalu saya sapa anak-anak itu dengan senyum, dan mereka membalas dengan teriakan serentak: “Walaikumsalam…!!”. Ingin rasanya saya bertanya: “Adik-adik, apakah semua sudah makan siang?” Namun selalu pertanyaan itu terhenti di tenggorokan, karena sejujurnya saya takut mendengar jika nanti ada yang menjawab: “Belum…”

***

Dekat sekali dengan sekolah reyot dimana saya mengajar sebagai guru relawan itu, bertebaranlah sekolah-sekolah megah. Megah bangunannya, megah fasilitasnya, megah kurikulumnya, megah guru-gurunya, megah murid-muridnya, dan megah mobil-mobil yang mengantar-menjemput mereka. Dan setiap menjelang tahun ajaran baru, sekolah-sekolah itu jor-joran mengadakan pameran di mal-mal megah ataupun mengadakan open house (harusnya open school ya?) di sekolah masing-masing.

Saya, 2 – 3 tahun yang lalu selalu tidak berselera mampir di ajang pameran seperti itu. Buat apa? Saya belum membutuhkannya. Namun, 3 bulan yang lalu saya mengubah pikiran saya. Tentu saya harus menyempatkan diri untuk mengunjungi pameran-pameran itu karena anak saya sudah 2 tahun, dan tahun depan akan 3 tahun, dan ini artinya: sekolah.

Tepatlah apa yang saya duga, sekolah-sekolah itu luar biasa mengemas program pendidikan mereka dengan menonjolkan kurikulum yang diadopsi dari sekolah top luar negeri plus segala kelengkapan fasilitasnya. Dan sekolah-sekolah megah itu luar biasa hebat mempromosikan sekolahnya. Mereka punya seorang public relation yang piawai bicara. Konsekuensi dari semua itu tentu adalah tarip sekolahnya. Dari uang pangkal masuk sekolah sampai monthly fee-nya, satupun tidak ada yang murah (tentu untuk ukuran saya). Semuanya adalah business class atau executive class. Saya mencari-cari tarip kelas ekonomi, tetapi tidak ada. Bayangkan, untuk anak saya yang masih ingusan ini, uang pangkalnya hampir 10 juta, dan uang bulanannya hampir 1 juta.

Saya merasa kepepet. Sekolah-sekolah mahal dan megah itu seperti menyandera kita yang tidak punya banyak uang. Saya merasa dunia pendidikan kita tidak adil sama sekali. Di satu sisi ada sekolah yang langsung kehilangan murid-muridnya hanya gara-gara tarip 15 ribu rupiah per bulan, di sisi lain banyak orang berebut mendaftarkan anaknya sekolah walaupun taripnya 1 juta per bulan. Dan di sekolah-sekolah megah itu tak pernah ada bangku kosong di dalamnya.

Lalu saya teringat anak-anak SMP yang saya ajar matematika itu, kemudian teringat sekolah reyot itu, dan 15 ribu rupiah yang bikin perkara itu. Kepala saya langsung pening.

***

Serpong, 30 Nov 2008
Titus J.

Thursday, November 20, 2008

Sumbang

(sebuah cerpen)

”Sesungguhnya perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk Kerajaan Surga. Demikianlah kata Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat,” kata pengajar itu kepada Maria.
”Benarkah?” tanya Maria.
"Benar, karena mereka merasa dirinya benar dan suci dengan melakukan ibadahnya, sedangkan perempuan sundal itu merasa dirinya hina karena seorang pendosa".
"Ceritakanlah kepadaku tentang kemunafikan”, pinta Maria kepada pengajar itu.
Maka pengajar itu mulailah bercerita:

Di gereja yang besar itu laki-laki itu sangat dikenal. Usianya belum terlalu tua, kira-kira 50 tahun. Ia sangat terpandang, bukan hanya karena kekayaannya, namun terlebih karena kiprahnya dalam kegiatan-kegiatan kerohanian. Sudah belasan tahun ia terlibat sebagai aktivis di gereja itu. Semua orang tahu, lelaki itu seorang yang saleh, dan sukses. Siapa yang tidak tahu bahwa bisnisnya maju, mobilnya banyak, dan rumahnya mewah? Siapa yang tak kenal dengan bau parfumnya yang semerbak dan mengusik hidung ketika ia lewat? Siapa yang bisa membantah bahwa kantornya digunakan untuk persekutuan doa seminggu sekali? Siapa yang menyangkal bahwa adanya gereja itu bisa berdiri dengan megah sebagian besar adalah karena uluran tangannya? Andaikan semua yang dilakukannya itu masih belum cukup untuk memujinya, bukankah kesalehannya masih juga didukung dengan kegiatannya dalam beribadah di gereja?

Sebagai pemimpin pujian ia seorang yang hebat. Dengan suaranya yang cukup bagus ia bisa mengajak semua jemaat untuk mengikutinya menyanyi. Gayanya yang khas adalah mengangkat tangan. Ia selalu menyanyi dengan mengangkat tangan. Bahkan bila perlu, iapun ikut melompat. Eh, jangan dikira di usianya yang lima puluh itu dia sudah loyo. Tidak, ia adalah seorang yang enerjik. Dalam memimpin pujian ia suka berseru: "Berikan kemuliaan bagi Tuhan!" lalu iapun menyuruh jemaat untuk bertepuk tangan.

Apabila ia harus memimpin doa, maka dengan suara lantang iapun berdoa dengan kalimat yang lancar. Dalam doa inipun ia selalu mengangkat tangan. Dan kalimat doanya yang sering diucapkannya adalah: "Kami bersukacita karena berkatMu melimpah ya, Tuhan!" Atau sering juga kalimat: "Betapa bangga kami memiliki Allah seperti Engkau!" Atau kadang-kadang juga kalimat: "Biarlah segala yang bernafas memuji Engkau, Tuhan!"

Bila hari Minggu tiba, gereja itu penuh sesak dengan orang. Halaman parkir akan berjubel dengan mobil, bahkan mobil-mobil itu sampai meluber ke jalanan. Di dalam gedung, bangku-bangku akan cepat terisi. Bila kebetulan kamu datang terlambat, jangan mengomel bila harus duduk di deretan kursi plastik yang dipasang di luar dan hanya puas menonton monitor TV saja. Dan lihat, sebelum kebaktian dimulai laki-laki itu lengkap dengan setelan jas dan dasinya akan tampak duduk di deretan kursi terdepan sambil terus memejamkan mata. Hmm..barangkali dia berdoa agar gereja itu penuh.

Bila kebaktian usai, ia tidak langsung pulang, karena ia harus mengatur ini dan itu tentang kegiatan-kegitan yang harus diadakan pada hari-hari berikutnya. Setelah semua selesai, ia pulang bersama istrinya, ketika halaman gereja sudah sepi. Ia berjalan menenteng Kitab Suci dan jas yang disampirkan di tangkai tangannya. Lalu mobil sedannya menderu keluar pagar halaman dan melaju di jalan raya.

Setiap kali pulang dari gereja, mereka mampir di sebuah restoran kelas satu yang menjadi langganannya. Setelah kenyang mereka pulang (biasanya di atas jam sembilan malam) menuju rumah mereka di sebuah pemukiman elit di daerah Permata Hijau – Jakarta Selatan. Begitu sampai di depan pagar rumah, dengan sekali klakson maka muncullah seorang pembantu dengan tergopoh-gopoh untuk membukakan pintu. Rumah bercat krem yang sangat besar dan megah itu langsung menelan mobil mereka di dalam, lalu sepilah. Tak ada suara apapun selain bunyi gembok pagar yang bercampur dengan bunyi segerombol kunci di tangan pembantu itu.

* * *

Di pinggiran pemukiman elit Permata Hijau itu, di sebuah rumah petak, di gang sempit becek dan berlubang, malam itu juga setelah usai Berita Malam TVRI, adalah seorang perempuan sedang berada di dalam kamar dengan anaknya. Di antara bunyi radio yang suaranya terbawa angin lewat menembus dinding-dinding kayu lapuk milik rumah-rumah sempit yang berdesakan di daerah itu, berkumandanglah bunyi gurauan dan tawa lepas perempuan yang sedang bercengkerama dengan anaknya. Sesekali suara tawa anaknya bergetar-getar kegelian. Penjual siomay yang menuntun sepedanya melewati gang-gang sempit masih berteriak, menandakan siomay-nya belum habis. Juga pedagang gorengan, jagung rebus dan kembang tahu dengan suara khas masing-masing.

"Mama, mama!" kata anak kecil itu. Nama anak kecil itu adalah Juwita. Namun ia lebih sering dipanggil Ita.
"Ya, sayang?!"
"Kemarin di kelas semua anak ditanya satu persatu oleh ibu guru."
"Oh, ya? Ibu guru bertanya apa?"
"Ngg..., ibu guru bertanya begini: apa cita-cita kamu?"
"Terus?"
"Ngg... ada yang bilang mau jadi dokter, ada yang mau jadi guru, ada yang mau jadi tentara, terus ngg... ada juga yang ingin jadi presiden!"
"Wah, hebat dong. Hm, lalu kalau kamu jawab apa, Ita?!"
"Ita bingung."
"Lho, kok bingung sih? Masak tidak menjawab?!"
"Ya menjawab..."
"Iya, tapi Ita jawab apa?"
"Ita bilang mau seperti mama."
"Oh, hm...begitukah jawabmu? Oh, hm..ya, ya, tapi ...". tiba-tiba suara perempuan itu menjadi bergetar. Perkataan yang lugu dari anaknya seperti sebuah palu godam yang dahsyat menghantam hatinya. Ia tidak menyangka akan mendengar hal itu. Ia ingin bicara lagi, tapi seakan-akan lehernya tercekik. Anak itu memandang wajah mamanya dengan mimik muka tak mengerti.
"Lho, mama, kenapa ma?!" tanyanya.
"Ah, tidak apa-apa, Nak, tidak. Tapi, hm..., mengapa Ita tidak ingin menjadi dokter, guru, atau polisi misalnya?"
"Nggak mau ah, Ita ingin seperti mama saja."
"Kenapa?" sergah mamanya.
"Nggak tahu. Pokoknya Ita mau seperti mama. Memangnya nggak boleh?"
Mamanya diam saja.
"Mama, mama!"
"Ya, Sayang?"
"Kenapa sih mama mesti pergi malam-malam?"
"Oh, mama bekerja, Nak, agar kamu bisa sekolah."
"Kenapa bekerjanya tidak siang saja?"
"Lho, kalau siang mama mesti mengantar dan menjemputmu sekolah, kan?"

Anak itu diam. Matanya memandang wajah mamanya lekat-lekat. Perempuan itu serta merta memeluknya. Ia tak berani menatap mata anaknya yang bening itu lama-lama. Betapa mata itu seakan-akan ingin menelusuri sudut-sudut hatinya.
"Ita sayang mama ...," lirih sekali suara itu terdengar. Perempuan itu makin mempererat pelukannya. Ia berusaha menahan sekuat-kuatnya agar perasaannya tidak tumpah. Tapi, uh, ada sesuatu di matanya yang ingin keluar. Betapa ia merasakan perkataan anaknya seperti air pegunungan yang dingin menyirami jiwanya. Ia tak tahu harus bagaimana.

"Hm, ya, ya, Ita, hm ..., oh, ya, ngomong-ngomong sudah sampai mana cerita kemarin?" ujar wanita itu sambil tersenyum, senyum yang dipaksakan.
"Lho, mama kok lupa, ceritanya sudah tamat kan kemarin?"
"O, o, benarkah? Waduh! mama benar-benar lupa. Kalau begitu ayo kita tidur."
"Ah, nggak mau! Ita mau dengar cerita!"
"Wah, cerita apa ya?" sejenak wanita itu berpikir. "Cerita tentang pelanduk yang cerdik saja, yah? Mau?"
"Ah, ibu guru sudah pernah cerita itu."
"Kalau...tentang putri raja yang sombong, bagaimana?"
"Itupun Ita sudah pernah dengar di kelas"
"Kalau begitu...hmm, apa ya? gumam perempuan itu. "Bagaimana kalau tentang persahabatan burung nuri dan seekor semut? Mau?" tanya perempuan itu lagi.
"Mau, mau!"

Sambil memeluk boneka Winnie The Pooh, mata anak kecil itu bercahaya, raut mukanya berseri-seri melihat mamanya begitu pandai bercerita. Memang perempuan itu selalu menarik tatkala membawa cerita apapun. Cerita yang hanya khayalan menjadi hidup begitu keluar dari bibirnya. Ketika cerita telah selesai, perempuan itu merebahkan dirinya di samping anaknya. Tangannya membelai rambutnya dengan mesra.

Jarum jam dinding terus saja berputar. Dan mata anak kecil itu makin lama makin pudar sinarnya. Tak berapa lama kemudian mata itu telah terkatup, pulas. Dipandanginya lama-lama wajah anaknya. Begitu bersih, sebersih langit seusai hujan. Barangkali ia dulu seperti itu ketika seusia anaknya, tetapi kini..., ah, ia harus segera pergi.

* * *

Perlahan perempuan itu berdiri, melepas pakaiannya. Disemprotkannya parfum di beberapa bagian tubuhnya, lalu mengenakan pakaian yang baru diambilnya dari lemari, sebuah rok mini span warna hitam, kaos berlengan panjang warna hitam juga. Ia berdiri di depan cermin sebentar, mengamati dirinya dalam balutan pakaian itu hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Ia mengoles bibirnya dengan lipstick merah menyala, lalu menyisir rambutnya yang panjang tergerai sampai ke bahu. Ia mengecup kening anaknya perlahan, kemudian mengenakan sepatunya. Sambil berjingkat ia menyambar tasnya dan melesat pergi meninggalkan rumahnya menembus malam. Di depan pintu, pembantunya mengamati punggungnya hingga hilang dalam kegelapan.

Di dekat gardu listrik di mulut gang rumahnya, ya, di gardu listrik itu perempuan itu berdiri, pada tiap-tiap malam. Sudah beratus-ratus malam, ia sendiri tak pernah menghitungnya. Baginya malam demi malam begitu cepat lewat bagai hembusan angin. Namun malam itu cukup lama ia mematung di sana. Demi didengarnya perkataan anaknya tadi, tanpa disadarinya bergulirlah sebutir air yang bening keluar dari sudut matanya. Ia menunduk, berusaha menghindari terpaan sinar lampu mobil-mobil yang lewat. Beberapa kali terdengar siulan nakal dari dalam mobil-mobil yang sengaja memperlambat lajunya.

Beberapa saat kemudian sebuah mobil biru menghampirinya. Ia segera menghapus wajahnya dengan saputangan, dan berusaha tersenyum. Lalu ia melangkah mendekat dan dalam sekejap tenggelamlah ia di dalamnya. Mobil meluncur membawanya menyusuri gemerlap lampu yang bertebaran di jalan-jalan dan gedung-gedung megah. Sampailah mobil itu di suatu tempat. Ia dan lelaki muda itu memasuki sebuah ruang yang diterangi lampu berwarna-warni, kemudian duduk saling merapat. Banyak juga orang duduk berpasang-pasangan di sudut-sudut lain. Denting gelas, kepulan asap rokok, suara sendawa, suara tawa cekikikan, suara musik, suara penyanyi semuanya campur baur membikin ruangan ber-AC itu jadi hangat.

Perempuan itu mengambil gelas, dituangkannya sebotol minuman ke atasnya, satu kali ke dalam gelasnya, satu kali ke dalam gelas lelaki muda itu.
"Seharusnya kamu tidak di tampat ini, Sam," kata perempuan itu sambil meletakkan botol.
"Eh, kenapa? Kok, tiba-tiba kamu berkata begitu?" jawab lelaki itu.
"Bukan, kamu masih terlalu muda. Oh, iya berapa sih umurmu?"
"Ah, jangan tanya umurlah. Apa aku masih tampak seperti kanak-kanak?"
"Hmmm ..."
"Aku ingin bersamamu di sini. Itu sudah cukup bagiku," kata lelaki muda itu.
"Pulanglah. Mengapa kamu sia-siakan waktumu bersamaku?"
"Lho, lho kamu kenapa sih? Tidak biasanya kamu begini. Aneh."
"Nggak tahu, tiba-tiba aku merasa capek ... gitu, Sam."
"Oh nggak apa-apa, kita ngobrol saja di sini."
"Pulanglah, Sam, orang tuamu menunggu di rumah."
"Mana mungkin! Mereka tidak bakal mencariku. Waktu mereka habis untuk urusan mereka sendiri."
"Orang tuamu adalah orang baik-baik. Bagaimana kalau mereka tahu kamu ada di tempat ini bersamaku?"
"Biar saja. Aku lebih suka bersamamu."

Tempat yang remang itu makin malam makin semarak. Di atas panggung seorang penyanyi menyanyikan sebuah lagu yang cengeng. Perempuan itu menuang minuman lagi, meneguknya lagi dan meletakkannya dengan pelahan. Lelaki muda itu memandangnya lekat-lekat.
"Kamu ibu yang baik," katanya.
"Baik? Ah, kamu menyindirku. Aku bisa tersinggung," jawab perempuan itu sambil membuang muka.
"Sungguh! Kamu adalah ibu yang baik. Paling tidak untuk anakmu. Dia pasti tak akan kekurangan kasih sayang."
"Dia satu-satunya milikku yang paling berharga. Mengapa kusia-siakan?"
"Itulah, apa kataku, kamu ibu yang baik."
"Kamu masih terlalu muda, Sam. Kamu belum mengerti apa-apa tentang diriku yang sebenarnya, walau kita telah lama saling kenal."

Perempuan itu menunduk. Ia teringat percakapan dengan anaknya tadi. Ia heran, mengapa anaknya berceloteh ingin seperti dirinya bila kelak besar? Andaikan anaknya nanti tahu siapa dia sebenarnya, ah, ia tak sanggup membayangkannya. Bukankah dirinya sangat hina, bahkan tak pantas mendidik anak yang hatinya putih seperti kertas yang masih bersih?
"Heh, kenapa melamun?" kata lelaki muda itu sambil mencolek lengannya.
"Pulanglah, Sam. Ini bukan tempatmu. Uruslah kuliahmu. Jadilah anak baik-baik. Masa depanmu masih panjang."
"Wah, wah, pintar juga kamu berkhotbah."
"Bersyukurlah bila hidupmu serba kecukupan, sehingga kamu bisa sekolah sesuai keinginanmu."
"Kecukupan? Kekayaankah yang menjadi ukuranmu tentang kecukupan?"
"Paling tidak kamu tidak seperti diriku, yang harus berada di sini demi anakku di rumah."
"Kamu tidak tahu. Sesungguhnya aku dan orang tuaku miskin."
"Hm, aneh sekali kamu, Sam," kata perempuan itu sambil mencibir.
"Aku berkata benar. Kamu tidak mengerti keadaanku. Secara materi, memang aku tidak kekurangan apa-apa. Namun apa yang palimg kubutuhkan, justru tidak kudapatkan. Itulah sebabnya aku senang bersamamu di sini."

Untuk beberapa saat lamanya mereka berdua membisu. Mereka berjalan dengan pikirannya masing-masing. Tiba-tiba lelaki muda itu memegang tangan perempuan itu. Merasa tangannya dipegang, perempuan itu menatap lelaki muda itu, dan lelaki muda itu menatap perempuan itu. Sejenak mereka berpandang-pandangan.
"Aku ..., hm, aku ingin hidup bersamamu," kata lelaki muda itu dengan suara sedikit bergetar.
"Apa? Gila! Ah, ngawur kamu! Apa-apaan nih?!" kata perempuan itu sambil melepaskan tangannya. "Kamu lebih pantas jadi adikku, gimana sih kamu?" sambungnya pula.
"Biar! Aku tak peduli, memangnya kenapa?"
"Tidak, Sam, ah! Aduh, kenapa mesti begini? Tidak mungkin! Kamu jangan ngawur, Sam."
"Eh, aku sungguh-sungguh. Apanya yang tidak mungkin? Toh hubungan kita selama ini tidak pernah kita permasalahkan 'kan?"
"Sudahlah, Sam, pulanglah. Kamu seharusnya tidak pernah mengenal aku. Kamu anak baik-baik, dari keluarga baik-baik. Lupakanlah hubungan kita."

Lalu perempuan itu bangkit berdiri. Ia menyambar tasnya dan bergegas keluar. Lelaki muda itu serta merta berdiri dan mengejarnya. Ia tangkap tangan perempuan itu. Dilihatnya mata perempuan itu berkaca-kaca. Lelaki muda itu merangkulnya dan mereka memasuki mobil.

Di depan sebuah gardu listrik mobil itu berhenti. Perempuan itu turun dan memasuki gang. Di belakangnya ia dengar suara mobil menderu menjauh. Sampai di rumahnya, ia masuk ke kamar anaknya. Dilihatnya anaknya masih tertidur pulas. Didekatinya, diciumnya keningnya dengan pelahan. Lalu iapun tidurlah di samping anaknya.

Tak jauh dari gang tadi, di sebuah rumah megah berwarna krem, lelaki muda itu menghentikan mobilnya. Tangannya meraba-raba gembok pagar, lalu pintu pagar yang tinggi itu didorongnya terbuka. Ia memarkir mobilnya. Sambil terhuyung ia berjalan. Langkahnya terseret. Malam yang lengang hanya menyajikan suara kerikil yang terinjak. Jari-jari tangannya mencari pegangan pintu rumah. Demi pintu itu terbuka, sebuah tangan yang keras menampar mukanya. "Plak!" dan iapun roboh mencium lantai marmer yang dingin.

* * *

"Betapa kejamnya ayah lelaki muda itu," kata Maria kepada pengajar itu.
"Ya, tetapi di gereja banyak orang memuji dan mengaguminya."

* * *

Jakarta, 15 Februari 2000
(dengan sedikit modifikasi – Nov 2008)

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...