Sudah enam
bulan ini Ahok menjalani hidupnya di Mako Brimob, dan namanya seolah lenyap
ditelan bumi. Seiring dengan berputarnya waktu, namanya seperti sudah
terlupakan, terbuang.bersama dengan selembar demi selembar kalender yang
tersobek mengganti hari.
Tetapi beberapa
hari terakhir ini, menjelang berakhirnya tugas Djarot Saiful Hidayat sebagai
Gubernur Jakarta, bunga-bunga kembali mendatangi Balai Kota. Walaupun ucapan
terimakasih sekaligus farewell yang
disematkan itu harusnya untuk Djarot, tetapi nama Ahok bahkan Jokowi juga
disebutkan – sebagai trio yang pernah memimpin Jakarta secara estafet selama
lima tahun terakhir.
Banyak orang
menyangka Ahok akan kesepian di dalam selnya, dan mereka yang membencinya
mungkin mengharapkan ia meringkuk terasing meratapi nasibnya.
Ternyata
tidak. Ia menikmati waktunya dengan membaca banyak buku dan membalas
surat-surat yang ditujukan kepadanya, mulai dari yang serius hingga yang lucu
dan yang aneh-aneh. Melalui tulisannya suatu kali ia membantu seorang pria
melamar kekasihnya. “Untuk Mentari, tolong terima lamaran Andreas. Salam, BTP.”
Dengan surat yang singkat padat dan jelas itu mungkin Mentari langsung menerima
lamaran Andreas karena mendapat “blessing”
dari Ahok, dan mungkin saat ini mereka sudah menikah.
Banyak orang
yang berkesempatan mengunjunginya di penjara menceritakan betapa Ahok sama
sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda kesepian atau orang depresi. Ia
menyambut setiap tamunya dengan riang gembira. Sense of humor-nya keluar semua seperti mata air yang tak pernah
kering, membuat tamu-tamunya terpingkal-pingkal seperti menyaksikan stand-up comedy. “Untuk aktor stand-up comedy, ia juaranya!” kata
salah seorang tamunya. Banyak tamu yang bercerita bahwa sukacita Ahok lebih
besar daripada sukacita tamu-tamunya.
Beberapa tamu
yang sebelumnya sudah menyiapkan bahan-bahan pembicaraan untuk menghiburnya, menyiapkan
cerita tentang tokoh-tokoh inspirator dan ayat-ayat kitab suci, akhirnya harus
menyimpan kembali bahan-bahan itu ke dalam sakunya, sebab mereka ternyata lebih
suka mendengarkan Ahok ngoceh (baca: sharing)
tentang banyak hal. “Gua sudah puluhan kali dengerin
tamu cerita tentang Nabi Yusuf,” katanya suatu kali kepada tamunya yang
disambut gelak tawa. Kisah Yusuf barangkali adalah kisah yang paling relevan
untuk diceritakan kepada Ahok untuk mengingatkannya bahwa Yusuf pun masuk
penjara karena fitnah, tetapi kemudian ditunjuk oleh Raja Firaun menjadi Prime Minister.
Bagi Ahok,
kisah Yusuf memang sebuah kisah luar biasa. Ia mendengarkannya sebagai sebuah
penghiburan agar ia bersabar seperti Yusuf, tetapi soal Prime Minister di akhir kisahnya, Ahok mungkin tidak mau ambil
pusing akan jadi apa ia selepas keluar dari penjara nanti, karena baginya lebih
penting saat ini mengisi hari-harinya untuk belajar di “Sekolah Kehidupan”.
Tidak banyak
orang terpilih masuk ke Sekolah Kehidupan seperti yang dialami oleh Yusuf, dan
yang juga dialami oleh Ahok sekarang. Sekolah Kehidupan ini hanya punya satu
Pengajar, yang mengajar dengan cara-Nya sendiri - cara yang sering tak bisa
dipahami oleh kita yang tidak suka bersabar, yang tidak mau menderita, yang selalu
memandang setiap peristiwa dengan pandangan jarak pendek saja.
Pandangan
jarak pendek ini hanya melihat seorang Yusuf yang nasibnya terlunta-lunta;
dibenci oleh saudara-saudaranya sendiri, dibuang ke dalam sumur, dijual sebagai
budak ke negeri asing, difitnah, dan masuk penjara. Adakah kisah yang lebih
pantas untuk diratapi daripada kisah Yusuf yang track record-nya begitu jujur tetapi justru terbuang? Kehidupan
Yusuf di fase itu hanya mempertontonkan ketidak-adilan. Siapapun tidak ingin
mengalami hal yang sama seperti itu. Tetapi andaikan kita melihat potongan
kisahnya dan berhenti hanya sampai penjara, kita akan berkata tentang Yusuf, “Apa
artinya menjadi orang baik tetapi nasibnya sangat buruk?”
Andaikan kita
berhenti melihat Ahok hanya sampai di Mako Brimob, niscaya kita juga akan
berhenti untuk menjadi orang baik dan jujur, sebab nasib orang baik dan jujur
ternyata tragis. Kita mungkin lebih
kecewa lagi menyaksikan orang-orang yang terus melakukan kejahatan ternyata lebih
mujur, dan hidupnya baik-baik saja, happy-happy
saja. Kita lupa bahwa orang-orang jahat yang tampak seperti bunga yang mekar dan
indah itu sebenarnya hanya menunggu waktu saja untuk menjadi layu. “Tuhan tahu, tapi menunggu,” kata Leo
Tolstoy.
Dalam enam
bulan yang sudah dijalaninya di penjara, Ahok pasti belajar banyak. Ia harus
memanfaatkan waktu yang singkat ini – selama dua tahun – untuk menyelesaikan
semua pelajaran yang diberikan oleh Gurunya. Baginya hiruk-pikuk politik di
luar tembok penjara sudah dilupakannya, walaupun survey baru-baru ini
menempatkan namanya di urutan pertama sebagai kandidat cawapres mendampingi
Jokowi di pemilu 2019, mengatasi nama-nama besar lainnya. Ia lebih memilih
membenamkan segala keinginannya untuk menjadi pejabat, semulia apapun maksud
dan tujuannya untuk berbuat baik dan melayani masyarakat.
Kita yakin Tuhan
punya rencana untuk Ahok, tetapi saat ini Tuhan ingin Ahok masuk dulu ke
Sekolah Kehidupan, menjadi tenang, dan menikmati kesendiriannya bersama Tuhan.
Kita jangan mengganggunya. Biarkanlah Tuhan menyelesaikannya.
Bunga-bunga
di Balai Kota itu kembali mengingatkan kita bahwa Ahok pernah berkantor di
dalamnya. Tak berapa lama lagi Gubernur dan Wakil Gubernur baru akan dilantik,
dan bunga-bunga itu akan layu, kemudian disapu dan dibuang. Tetapi ada satu
bunga yang tetap tinggal, yang tak kan layu, bunga terakhir yang tetap menebarkan
keharuman di Balai Kota dan hati orang-orang Jakarta yang pernah merasakan
sentuhan kasih dan ketulusan Ahok selama ia menjabat. Bunga itu adalah legacy yang ditinggalkannya, yang bila
kita mengingatnya akan terucap kata terimakasih.
Apakah
Gubernur dan Wakil Gubernur baru nanti akan menghiasi Balai Kota dengan bunga
ataukah ilalang? Kita akan melihatnya selama lima tahun ini. Time will tell.
Carve your name on hearts, not
tombstones. A legacy is etched into the minds of others and the stories they
share about you. —Shannon L. Alder
***
Serpong,
14 Okt 2017
Titus J.