Jika orang
Kristen memilih Ahok hanya karena Ahok seorang Kristen, mereka akan kecewa
karena tidak semua orang Kristen baik dan mampu menjadi pemimpin. Jika orang
Tionghoa memilih Ahok hanya karena Ahok adalah seorang Tionghoa, sangat mungkin
kekecewaannya akan sama karena tidak semua orang Tionghoa baik dan bisa menjadi
pemimpin. Tetapi jika kita memilih Ahok karena sosoknya, etos kerjanya,
kejujurannya, keberaniannya, leadership-nya, hasil-hasil kerjanya, dan track
recordnya selama kiprahnya sebagai bupati Belitung Timur, sebagai anggota DPR,
sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta dan sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka
paling tidak dasar pilihan kita sudah benar. Jika dasar pilihan sudah benar, probabilitas
untuk kecewa terhadap Ahok jika Ahok terpilih, akan lebih kecil. Tidak ada yang
bisa menjamin bahwa seorang pemimpin selama 5 tahun memerintah akan benar
terus, tidak Ahok, tidak pula yang lain, karena banyak hal bisa terjadi selama
periode pemerintahannya tersebut.
Dengan logika
yang sama, saya mengapresiasi teman-teman saya yang Muslim – jika memang tidak
mau memilih Ahok – adalah bukan dengan alasan karena Ahok adalah seorang non Muslim.
Jika memang track record Ahok selama menjadi Wagub dan Gubernur DKI Jakarta
dirasa belum memuaskan, kemudian dianggap tidak mampu memimpin Jakarta, kemudian
ada calon Gubernur yang lain yang Anda yakini lebih mampu, lebih bijak, lebih
adil, lebih bisa mewujudkan kemajuan Jakarta ketimbang Ahok, maka jangan pilih
Ahok, pilihlah yang lain. Prinsipnya, justifikasi pilihan akan seorang pemimpin
seharusnya bukan berdasarkan agama dan etnisnya. Kita baru melihat contoh yang
membanggakan dari warga Singkawang yang baru memilih Tjhai Chui Mie, seorang
Tionghoa, menjadi walikota dalam pilkada 15 Feb yang lalu. Sebelumnya, Awang
Ishak, seorang Muslim, terpilih dan menjabat selama 2012-2017. Artinya apa?
Bahwa warga Singkawang walaupun warganya mayoritas beragama Budha dan Konghucu tidak
mempermasalahkan dipimpin oleh seseorang dari etnis dan agama apapun.
Perolehan
suara pasangan Ahok-Djarot di putaran pertama sebesar 43% menunjukkan bahwa
pemilih Jakarta sangat realistis. Dari 43% tersebut, pastilah mayoritas pemilih
adalah mereka yang Muslim. Dan untuk hal ini, saya sangat mengapresiasi.
Demokrasi kita harus terus tumbuh dan berkembang tanpa diwarnai dengan isu-isu
primordialisme, dan tanpa direcoki dengan slanderous
propaganda dengan ambisi asal menang. Dalam segala hal, bukan hanya soal
pemilu/pilkada, di kehidupan kita sehari-haripun kita harusnya melihat manusia secara
esensi, bahwa setiap manusia diciptakan oleh Pencipta yang sama, dimana
atribut-atribut yang ada adalah keniscayaan.
Ahok terlahir
sebagai seorang Tionghoa dan itu bukan keinginannya. Ia pun tidak bisa menukar
ke-Tionghoa-annya dengan etnis lain. Ia memutuskan memeluk Kristen karena
itulah yang diyakininya sebagai tuntunan jalan kehidupannya. Ia terlahir
membawa watak tertentu dan lewat tempaan kehidupan ia bertumbuh menjadi manusia
yang keras, berani, tanpa basi-basi, terus-terang, blak-blakan, mulutnya ceplas-ceplos (outspoken) sehingga sebagian
dari kita melabelinya kasar, mulut comberan, tidak santun, dan sebagainya.
Sejujurnya, saya pun acap kali tidak nyaman mendengar dan melihat ia bicara
kasar, dengan pemilihan kosa-kata yang tidak dipilih-pilih dari kosa kata yang apik
dan enak didengar. Ia memang dilahirkan dengan tidak membawa keindahan bahasa.
Mungkin
orang-orang Kristen selalu mendoakannya agar Tuhan menjaga mulutnya sehingga ia
bisa berbicara sehalus dan sesantun mungkin, karena sebagai orang Kristen, kita
tentu ingin melihat Ahok mewujudkan sosok penuh dengan kesantunan dan
kelemah-lembutan. Tetapi saya tidak yakin permohonan seperti itu akan dikabulkan
oleh Tuhan, karena bagi Tuhan hal itu bukan esensi. Lagipula, jika karakter itu
tiba-tiba hilang dari Ahok, maka kita akan kehilangan Ahok yang asli. Kita
bahkan mungkin akan merindukan kegalakannya. Tuhan menciptakan Ahok dengan jiwa
dan karakter yang utuh seperti itu, dan disitulah kita melihat kesempurnaan
Tuhan dalam mencipta manusia yang tidak sempurna.
Saya yakin
Ahok pun menyadari kekurangannya dalam bertutur dan berbahasa itu, dan mungkin
iapun berdoa agar ketajaman kata-katanya dapat diubahkan. Tetapi bagi Tuhan
bukan itu yang Dia inginkan dari Ahok. Tuhan ingin Ahok menyadari bahwa ia tak
lain adalah manusia biasa yang banyak kekurangan, yang tetap akan menjadi
sasaran kritik dan kebencian, yang tetap dilecehkan karena ke-Tionghoa-annya dan
ke-Kristen-annya oleh sebagian orang. Tuhan membiarkan Ahok sebagaimana adanya
sekarang, yang akan tetap menjadi perbantahan di lingkungan pemerintahan, di
dunia politik bahkan di area publik, yang tetap memiliki kawan dan musuh, yang
tetap menjadi orang yang dicintai dan dibenci, sehingga dengan demikian Ahok
akan terus bersandar kepada Tuhan dan berserah kepada Tuhan sepenuhnya. Orang
macam Ahok dengan gayanya yang sangat confident
akan cenderung mudah menjadi sombong, lebih-lebih jika setiap kekurangannya
yang melekat pada dirinya di-scrapped,
di-removed. Tuhan ingin Ahok
menyadari bahwa tanpa Tuhan ia bukan siapa-siapa.
Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya itu, Tuhan mau memakai Ahok sesuai dengan
panggilannya. Tuhan ingin ia menjadi pemimpin untuk meluruskan yang bengkok,
pemimpin yang siap menanggung risiko, bukan pemimpin yang maunya menyenangkan semua
orang. Seperti yang sering dikatakan Ahok, bahwa tugas seorang pemimpin
sebenarnya adalah melayani, bukan memerintah. Itulah yang selama kiprahnya sebagai
pejabat publik telah ditunjukkannya, tanpa membedakan agama dan etnis warganya.
Banyak orang
yang sempat melihatnya dari dekat ketika ia bekerja di Balai Kota mulai dari jam
7 pagi hingga malam, memberi kesaksian tentang sosok ‘pemimpin yang melayani’
itu. Benar ia sering marah kepada pegawai Pemprov DKI, tetapi sasaran marahnya
ditujukan kepada mereka yang tidak jujur, yang tidak bekerja sungguh-sungguh,
yang tidak melayani warga dengan baik. Ia tidak tahan jika ada anggaran yang
dipakai main-main dan dikorupsi. Gayanya yang keras dan kasar itu memang bagi
kita tidak biasa, bahkan sering membuat hati saya miris karena orang-orang yang
terkena sikat itu tentu akan sakit hati dan sangat mungkin menunggunya untuk
terpeleset dan jatuh. Tetapi Ahok memang urat takutnya sudah putus, karena
imannya mengajarkan bahwa ‘hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan’.
Ahok seakan
sudah melupakan apa arti dari hidup tenang. Seorang wartawan yang
mengunjunginya ke Balai Kota sempat bertanya apakah ia tidak ingin jalan-jalan
ke mal bersama keluarga, menikmati dinner
yang tenang bersama keluarga, tetapi Ahok menjawab bahwa keinginan semacam itu
sudah dikuburnya, karena waktunya hampir semuanya diberikan untuk bekerja dan
melayani sebagai Gubernur. Ahok dengan sadar menjalani panggilannya, walaupun
jalan terjal dan berliku harus dilewatinya, walaupun hujat dan caci-maki terus dilemparkan
orang ke mukanya. Banyak netizen memposting komentar untuk membesarkan hatinya,
ada juga yang tidak tega berkomentar begini, “Sudahlah Hok, elu kerja
mati-matian dan ngebela-belain rakyat, tapi terus dihajar kanan-kiri, terus
dihujat dan dimaki. Gue kasian ama elu Hok. Apa yang elu cari sih Hok?.”
Mungkin Ahok
pun sering mendapat nasihat “Sudahlah Hok” seperti komentar netizen itu, agar
ia berhenti, agar ia ngaso, agar ia menyerah dan quit. Tetapi Ahok bergeming. Ia tak bisa quit, karena panggilannya itu seperti belenggu yang tak bisa tidak
harus ditaatinya. Ia pantang mundur karena perjuangannya bukan untuk mencari
jabatan, tetapi untuk melayani sesuai mandat dari Tuhan. Ia harus menjalankan mandat
dan panggilannya itu, sampai pada waktunya nanti ketika Tuhan berkata “Cukup”.
Sebagai orang
beriman, baik kita yang Kristen maupun teman-teman yang Muslim, kita percaya
bahwa setiap pemimpin bisa menjadi pemimpin karena kedaulatan Tuhan. Setiap
kandidat pemilu/pilkada berkewajiban berjuang dengan segala ikhtiar yang
maksimal, namun pada akhirnya kedaulatan Tuhan mengatasi segalanya. Dia berkuasa
mendudukkan pemimpin pada tempat pemimpin, namun Dia jugalah yang berkuasa
menurunkan pemimpin tersebut atas kehendak-Nya pada waktunya.
“A politician thinks of the next
election. A statesman, of the next generation” (James Freeman Clarke)
***
Serpong, 18
Feb 2017
Titus J.