Saturday, February 18, 2017

Ahok dan belenggu panggilannya

Jika orang Kristen memilih Ahok hanya karena Ahok seorang Kristen, mereka akan kecewa karena tidak semua orang Kristen baik dan mampu menjadi pemimpin. Jika orang Tionghoa memilih Ahok hanya karena Ahok adalah seorang Tionghoa, sangat mungkin kekecewaannya akan sama karena tidak semua orang Tionghoa baik dan bisa menjadi pemimpin. Tetapi jika kita memilih Ahok karena sosoknya, etos kerjanya, kejujurannya, keberaniannya, leadership-nya, hasil-hasil kerjanya, dan track recordnya selama kiprahnya sebagai bupati Belitung Timur, sebagai anggota DPR, sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta dan sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka paling tidak dasar pilihan kita sudah benar. Jika dasar pilihan sudah benar, probabilitas untuk kecewa terhadap Ahok jika Ahok terpilih, akan lebih kecil. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa seorang pemimpin selama 5 tahun memerintah akan benar terus, tidak Ahok, tidak pula yang lain, karena banyak hal bisa terjadi selama periode pemerintahannya tersebut.

Dengan logika yang sama, saya mengapresiasi teman-teman saya yang Muslim – jika memang tidak mau memilih Ahok – adalah bukan dengan alasan karena Ahok adalah seorang non Muslim. Jika memang track record Ahok selama menjadi Wagub dan Gubernur DKI Jakarta dirasa belum memuaskan, kemudian dianggap tidak mampu memimpin Jakarta, kemudian ada calon Gubernur yang lain yang Anda yakini lebih mampu, lebih bijak, lebih adil, lebih bisa mewujudkan kemajuan Jakarta ketimbang Ahok, maka jangan pilih Ahok, pilihlah yang lain. Prinsipnya, justifikasi pilihan akan seorang pemimpin seharusnya bukan berdasarkan agama dan etnisnya. Kita baru melihat contoh yang membanggakan dari warga Singkawang yang baru memilih Tjhai Chui Mie, seorang Tionghoa, menjadi walikota dalam pilkada 15 Feb yang lalu. Sebelumnya, Awang Ishak, seorang Muslim, terpilih dan menjabat selama 2012-2017. Artinya apa? Bahwa warga Singkawang walaupun warganya mayoritas beragama Budha dan Konghucu tidak mempermasalahkan dipimpin oleh seseorang dari etnis dan agama apapun.

Perolehan suara pasangan Ahok-Djarot di putaran pertama sebesar 43% menunjukkan bahwa pemilih Jakarta sangat realistis. Dari 43% tersebut, pastilah mayoritas pemilih adalah mereka yang Muslim. Dan untuk hal ini, saya sangat mengapresiasi. Demokrasi kita harus terus tumbuh dan berkembang tanpa diwarnai dengan isu-isu primordialisme, dan tanpa direcoki dengan slanderous propaganda dengan ambisi asal menang. Dalam segala hal, bukan hanya soal pemilu/pilkada, di kehidupan kita sehari-haripun kita harusnya melihat manusia secara esensi, bahwa setiap manusia diciptakan oleh Pencipta yang sama, dimana atribut-atribut yang ada adalah keniscayaan.

Ahok terlahir sebagai seorang Tionghoa dan itu bukan keinginannya. Ia pun tidak bisa menukar ke-Tionghoa-annya dengan etnis lain. Ia memutuskan memeluk Kristen karena itulah yang diyakininya sebagai tuntunan jalan kehidupannya. Ia terlahir membawa watak tertentu dan lewat tempaan kehidupan ia bertumbuh menjadi manusia yang keras, berani, tanpa basi-basi, terus-terang, blak-blakan,  mulutnya ceplas-ceplos (outspoken) sehingga sebagian dari kita melabelinya kasar, mulut comberan, tidak santun, dan sebagainya. Sejujurnya, saya pun acap kali tidak nyaman mendengar dan melihat ia bicara kasar, dengan pemilihan kosa-kata yang tidak dipilih-pilih dari kosa kata yang apik dan enak didengar. Ia memang dilahirkan dengan tidak membawa keindahan bahasa.

Mungkin orang-orang Kristen selalu mendoakannya agar Tuhan menjaga mulutnya sehingga ia bisa berbicara sehalus dan sesantun mungkin, karena sebagai orang Kristen, kita tentu ingin melihat Ahok mewujudkan sosok penuh dengan kesantunan dan kelemah-lembutan. Tetapi saya tidak yakin permohonan seperti itu akan dikabulkan oleh Tuhan, karena bagi Tuhan hal itu bukan esensi. Lagipula, jika karakter itu tiba-tiba hilang dari Ahok, maka kita akan kehilangan Ahok yang asli. Kita bahkan mungkin akan merindukan kegalakannya. Tuhan menciptakan Ahok dengan jiwa dan karakter yang utuh seperti itu, dan disitulah kita melihat kesempurnaan Tuhan dalam mencipta manusia yang tidak sempurna.

Saya yakin Ahok pun menyadari kekurangannya dalam bertutur dan berbahasa itu, dan mungkin iapun berdoa agar ketajaman kata-katanya dapat diubahkan. Tetapi bagi Tuhan bukan itu yang Dia inginkan dari Ahok. Tuhan ingin Ahok menyadari bahwa ia tak lain adalah manusia biasa yang banyak kekurangan, yang tetap akan menjadi sasaran kritik dan kebencian, yang tetap dilecehkan karena ke-Tionghoa-annya dan ke-Kristen-annya oleh sebagian orang. Tuhan membiarkan Ahok sebagaimana adanya sekarang, yang akan tetap menjadi perbantahan di lingkungan pemerintahan, di dunia politik bahkan di area publik, yang tetap memiliki kawan dan musuh, yang tetap menjadi orang yang dicintai dan dibenci, sehingga dengan demikian Ahok akan terus bersandar kepada Tuhan dan berserah kepada Tuhan sepenuhnya. Orang macam Ahok dengan gayanya yang sangat confident akan cenderung mudah menjadi sombong, lebih-lebih jika setiap kekurangannya yang melekat pada dirinya di-scrapped, di-removed. Tuhan ingin Ahok menyadari bahwa tanpa Tuhan ia bukan siapa-siapa.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu, Tuhan mau memakai Ahok sesuai dengan panggilannya. Tuhan ingin ia menjadi pemimpin untuk meluruskan yang bengkok, pemimpin yang siap menanggung risiko, bukan pemimpin yang maunya menyenangkan semua orang. Seperti yang sering dikatakan Ahok, bahwa tugas seorang pemimpin sebenarnya adalah melayani, bukan memerintah. Itulah yang selama kiprahnya sebagai pejabat publik telah ditunjukkannya, tanpa membedakan agama dan etnis warganya.

Banyak orang yang sempat melihatnya dari dekat ketika ia bekerja di Balai Kota mulai dari jam 7 pagi hingga malam, memberi kesaksian tentang sosok ‘pemimpin yang melayani’ itu. Benar ia sering marah kepada pegawai Pemprov DKI, tetapi sasaran marahnya ditujukan kepada mereka yang tidak jujur, yang tidak bekerja sungguh-sungguh, yang tidak melayani warga dengan baik. Ia tidak tahan jika ada anggaran yang dipakai main-main dan dikorupsi. Gayanya yang keras dan kasar itu memang bagi kita tidak biasa, bahkan sering membuat hati saya miris karena orang-orang yang terkena sikat itu tentu akan sakit hati dan sangat mungkin menunggunya untuk terpeleset dan jatuh. Tetapi Ahok memang urat takutnya sudah putus, karena imannya mengajarkan bahwa ‘hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan’.

Ahok seakan sudah melupakan apa arti dari hidup tenang. Seorang wartawan yang mengunjunginya ke Balai Kota sempat bertanya apakah ia tidak ingin jalan-jalan ke mal bersama keluarga, menikmati dinner yang tenang bersama keluarga, tetapi Ahok menjawab bahwa keinginan semacam itu sudah dikuburnya, karena waktunya hampir semuanya diberikan untuk bekerja dan melayani sebagai Gubernur. Ahok dengan sadar menjalani panggilannya, walaupun jalan terjal dan berliku harus dilewatinya, walaupun hujat dan caci-maki terus dilemparkan orang ke mukanya. Banyak netizen memposting komentar untuk membesarkan hatinya, ada juga yang tidak tega berkomentar begini, “Sudahlah Hok, elu kerja mati-matian dan ngebela-belain rakyat, tapi terus dihajar kanan-kiri, terus dihujat dan dimaki. Gue kasian ama elu Hok. Apa yang elu cari sih Hok?.”

Mungkin Ahok pun sering mendapat nasihat “Sudahlah Hok” seperti komentar netizen itu, agar ia berhenti, agar ia ngaso, agar ia menyerah dan quit. Tetapi Ahok bergeming. Ia tak bisa quit, karena panggilannya itu seperti belenggu yang tak bisa tidak harus ditaatinya. Ia pantang mundur karena perjuangannya bukan untuk mencari jabatan, tetapi untuk melayani sesuai mandat dari Tuhan. Ia harus menjalankan mandat dan panggilannya itu, sampai pada waktunya nanti ketika Tuhan berkata “Cukup”.

Sebagai orang beriman, baik kita yang Kristen maupun teman-teman yang Muslim, kita percaya bahwa setiap pemimpin bisa menjadi pemimpin karena kedaulatan Tuhan. Setiap kandidat pemilu/pilkada berkewajiban berjuang dengan segala ikhtiar yang maksimal, namun pada akhirnya kedaulatan Tuhan mengatasi segalanya. Dia berkuasa mendudukkan pemimpin pada tempat pemimpin, namun Dia jugalah yang berkuasa menurunkan pemimpin tersebut atas kehendak-Nya pada waktunya.

“A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation” (James Freeman Clarke)

***
Serpong, 18 Feb 2017

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...