Thursday, December 29, 2011

Tuhanpun Suka Es Krim

Ini memang unik sekaligus aneh. Saya diberitahu keponakan saya, Yoas, tentang es krim yang unik, aneh dan tiada duanya. Apa sih unik dan anehnya es krim? Itu hal biasa sekali, bukan? Jika ingin makan es krim, kita dengan mudah menemukannya di toko retail seperti Indomaret atau Alfamart yang bertebaran di mana-mana, atau di food court sebuah mal, atau bahkan dijajakan oleh para penjual es krim keliling, benar kan? Cuma es krim doang, apa istimewanya?


“Tapi ini aneh dan misterius,” kata Yoas.
“Lho, es krim kok misterius?!” tanya saya tak mengerti.
“Orang yang jual es krim nggak ada, tapi es krimnya ada,” katanya.
“Nah, terus kalau mau beli gimana?” tanya saya.
“Ambil sendiri,” jawabnya.
“Benar-benar es krim? Es krim sungguhan?” tanya saya lagi.
“Ya es krim sungguhan-lah, masa bo’ong-bo’ongan?”
“Bagaimana rasanya?”
“Hmm…ueeenaak….!!! Bener deh, aku nggak pernah makan es krim seperti itu.”
“Waduh…, jangan-jangan itu…”
“Nggak usah mikir macam-macam, itu es krim beneran, es krim istimewa.”
“Bagaimana kamu sampai bisa menemukan es krim itu?”

Maka berceritalah Yoas, bahwa hal itu awalnya adalah ketidak-sengajaannya waktu browsing di Google untuk mencari sesuatu. Hasil browsing-nya menggiringnya ke tulisan seseorang tentang es krim istimewa yang ada di kawasan Lippo Karawaci, tepatnya di dalam cluster Taman Diponegoro.

Penasaran ingin tahu aneh dan uniknya es krim tersebut, meluncurlah ia kesana bersama istrinya. Ketika ia sampai di pintu gerbang cluster Taman Diponegoro, ia tak perlu susah-susah mencari alamat rumah es krim itu karena semua satpam yang menjaga perumahan itu langsung menunjukkan tempatnya.

Yoas menjalankan mobilnya pelan-pelan dengan pikiran berkecamuk keanehan, karena tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ada penjual es krim berada di kompleks elit itu. Ia memarkir mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang sepi dan tertutup rapat. Hampir-hampir ia pergi lagi karena hatinya tidak yakin bahwa rumah itu benar-benar berjualan es krim. Tetapi rasa penasarannya terlalu kuat sehingga mendorongnya untuk melangkah mendekati pintu.


Sepi. Ia mendorong pelahan daun pintu rumah itu. Ternyata tidak terkunci. Ia mendorong lagi lebih lebar kemudian melongokkan kepalanya ke dalam. Benar, di sebelah kanan ada sebuah freezer. Ia ragu untuk masuk, khawatir nanti disangka maling kan bisa repot? Tapi demi memuaskan rasa penasarannya, ia melangkah masuk. Sepi sekali, tak ada tanda-tanda denyut nadi kehidupan di dalam rumah. Dengan agak berdebar ia membuka freezer itu, sreeett…maka tercenganglah ia, karena melihat banyak es krim dalam wadah-wadah cup kecil teratur rapi di dalamnya. Cup-cup kecil itu berjajar tanpa tulisan, gambar, apalagi merk. Polos. Tetapi tampaknya si pembuat es krim sadar bahwa product harus diberi nama. Maka Yoas melihat di dalam freezer itu tertempel kertas bertuliskan (printed) bermacam-macam nama es krim yang sedang dijajarkan di dalam freezer itu, misalkan: peanut butter, raspberry, balsamic strawberry, cappuccino, macha, olive oil, chocolate, dan sebagainya. Ia menyentuh es krim itu, dan memang itu es krim beneran.


Ketika ia mengambilnya, dalam keadaan masih bingung muncullah seorang anak kecil mengintip dari dalam rumah. “Oh, ternyata ada yang tinggal di dalam rumah,” pikir Yoas. Ketika ia mau bertanya bagaimana aturan beli dan bayar es krimnya, anak kecil itu langsung menghilang ke dalam. “Humm, misterius sekali rumah es krim ini,” pikirnya. Sedang ia masih kebingungan sambil memegang es krim di tangannya, muncullah kepala seorang laki-laki mengintip dari balik tembok: “Taruh aja uangnya di situ, 15 ribu,” katanya sambil menunjuk sebuah kantong plastik di atas meja. Sebuah kantong plastik yang berisi uang memang terletak di atas meja di dekat freezer itu. “Ambil uang kembaliannya sendiri,” kata laki-laki itu kemudian kepalanya menghilang.


Hmm…benar-benar misterius. Yoas mengambil sendok kecil (sendok es krim) yang sudah disediakan di atas meja dekat plastik yang berisi uang, kemudian memasukkan selembar uang 50 ribuan ke dalam plastik itu dan mengambil uang kembaliannya sendiri. Lalu ia mencicipinya. Ketika sendokan pertama menyentuh lidahnya, ia mengulumnya pelahan hingga indra perasanya itu bekerja…astaga!! enak sekali rasa es krim itu. Ia masukkan sendokan kedua dan memberi kesempatan lidahnya mencerna, rasa itu kembali menyeruak dan memberi tahu otaknya bahwa rasa es krim itu sungguh berbeda. Ketika ia masukkan sendokan ketiga, wow…benar-benar lidahnya tidak menipu. Itu es krim peanut butter yang tiada duanya. Istrinyapun merasakan hal yang sama dengan pilihan rasa yang lain.





Ketika ia masih kebingungan di dalam rumah itu, tiba-tiba datanglah serombongan anak-anak remaja dengan masih mengenakan seragam sekolah. Setelah memarkir mobilnya mereka masuk ke dalam rumah. Anak-anak ini dari Sekolah Pelita Harapan. Mereka tampak begitu familiar, dengan riuh-rendahnya mereka membuka freezer dan masing-masing mengambil es krim pilihannya, mengambil sendok kecil, menaruh uang ke dalam plastik dan mengambil uang kembaliannya sendiri. Setelah itu mereka nongkrong di teras rumah sambil bercengkrama dan memakan es krimnya. Beberapa waktu kemudian datanglah 1 mobil rombongan anak-anak muda yang lain dan melakukan hal yang sama. “Oh, jadi begitu aturan mainnya?” pikir Yoas.
Dengan senyum dan perasaan heran Yoaspun pergi meninggalkan rumah itu bersama istrinya.

***

Ketika saya mendengar cerita itu, maka terprovokasilah saya dan ingin melihat sendiri es krim yang misterius itu. Saya benar-benar ingin mengerti siapakah “aktor” di balik kehebatan es krim itu, sehingga menarik anak-anak dari sekolah elit seperti Sekolah Pelita Harapan (SPH) dan mahasiswa-mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH) untuk selalu datang ke sana hanya demi 1 cup es krim yang bahkan merknya saja tidak ada.



Maka di hari Sabtu berikutnya saya mengajak istri dan anak saya bersama dengan Yoas dan istrinya menuju ke kompleks Taman Diponegoro, Lippo Karawaci.
“Tapi ngomong-omong, bagaimana orang-orang menyebut nama es krim itu?” tanya saya kepada Yoas di dalam mobil.
“Sebut saja Es Krim Om,” jawabnya.
“Es Krim Om? Begitu aja?” tanya saya lagi.
“Ya, begitu aja,” jawabnya.


Ketika kami sampai di pintu gerbang kompleks Taman Diponegoro, benar, satpam perumahan itu langsung menunjukkan rumah es krim itu ketika saya menyebut: “Mau ke Es Krim Om.”
Seperti yang diceritakan oleh Yoas, memang begitulah adanya: Kami mendorong sendiri pintu rumah yang tertutup, masuk ke dalam, menghampiri freezer, mengambil es krim, menghitung, membayar dengan memasukkan uangnya ke dalam plastik, kemudian mengambil uang kembaliannya sendiri. Setelah itu masing-masing mengambil sendok kecil dan mulai mencicipinya.

Saya mengambil olive oil. Ketika sendokan pertama es krim itu mampir di lidah saya, saya langsung setuju terhadap rasa yang diceritakan sebelumnya oleh Yoas. Saya cicipi raspberry punya anak saya, lidah saya menemukan perspektif baru. Tidak usah diceritakan dua kali karena sendok demi sendok es krim yang masuk ke mulut saya sudah mampu menceritakan sendiri.

Sedang kami menikmati keajaiban es krim itu di dalam rumah yang sepi dan misterius itu, tiba-tiba muncullah seorang lelaki dengan dandanan seadanya, mengenakan kaos oblong dan celana pendek dan rambut yang tidak disisir. Tampaknya dialah sang tuan rumah. Saya menyapanya terlebih dahulu karena saya teramat yakin bahwa pria ini pendiam dan low profile sekali. Tidak tahu hal ini terbalik atau tidak karena saya sebagai tamu harusnya mendapat sapaan terlebih dahulu dari tuan rumah. Tetapi tidak mengapa. Saling mendahului dalam menyapa adalah hal yang baik, bukan? Dan yang lebih penting saya sudah berhasil membuat “sang maestro” keluar dari sarangnya!

Maka adrenalin saya ketika bertemu dengan narasumber penting langsung tergugah, dan kesempatan itu langsung saya gunakan untuk mengobrol dan bertanya kepada sang maestro segala macam hal tentang es krimnya. Dengan antusias saya menggali keunikan es krimnya, dan di luar dugaan, sang maestro yang pendiam itu akhirnya jadi begitu antusias menceritakan tentang es krim yang sudah dipelajarinya selama lebih dari 5 tahun. Ia begitu menguasai persoalan es krim, dan ia ceritakan dari A sampai Z.

Dari cerita yang disampaikannya, saya mengerti mengapa es krimnya begitu istimewa dan berhasil memikat pelanggan-pelanggan dari kalangan berada di antaranya anak-anak SPH dan UPH itu.
“Saya tidak pernah memakai artificial flavor. Semua rasa itu original. Kalau raspberry ya dari raspberry beneran yang saya olah,” katanya.
“Cuma itu yang original?” tanya saya.
“Tidak, kebanyakan es krim memakai emulsifiers, saya tidak pakai. Emulsifiers memang menyebabkan texture es krim lebih lembut, tetapi apakah kita mengerti jenis emulsifiers apa yang digunakan oleh pembuat es krim? Sekarang banyak emulsifiers terbuat dari bahan kimia sintetis,” jawabnya.
Selain itu, lanjut sang maestro, “Kebanyakan es krim diberi stabilizers untuk mengontrol pembentukan kristal es terutama terhadap ‘kejutan tiba-tiba’ waktu terjadi perubahan temperatur, misalkan saat es krim ditransport dari satu tempat ke tempat lain. Dengan stabilizers es krim bisa dipertahankan tidak mudah mencair.”

Sang maestro terus bercerita tentang risetnya dalam pembuatan es krim, dan ia perlu waktu 5 tahun untuk mencoba dan mengulangi prakteknya sampai menemukan formula yang pas. Memang tidak mudah karena ia sangat concern terhadap kesehatan para konsumennya dan tidak mau sembarangan membuat es krim yang asal laku. “Beberapa ibu datang ke saya ketika tahu anaknya makan es krim yang saya bikin. Mereka bilang anaknya tidak boleh makan es krim murah karena pasti tenggorokannya sakit atau jadi batuk. Mereka mungkin melihat harga es krim saya hanya 15 ribu rupiah. Tetapi setelah mencoba sekali dua kali, anaknya selalu datang ke sini beli es krim, ibunya terkadang pesan untuk arisan,” katanya.

“Dengan harga 15 ribu rupiah, bagaimana bisa membuat es krim dengan bahan-bahan asli dan bukan artificial flavor?” tanya saya.
“Itulah sebabnya saya tidak berani memberi merk dan mengekspansi bisnis ini, karena sekali saya masuk ke situ perhitungan bisnisnya jadi berbeda, karena parameter cost-nya akan sangat banyak yang tentu akan mengerek harga jual ke atas,” jawabnya.
“Jadi akan terus berjualan di rumah ini saja?”
“Tidak apa-apa, sekarangpun sudah jalan dan saya sudah punya banyak pelanggan yang tahu tempat ini dari mulut ke mulut.”
“Berapa cup sehari produksi es krimnya?”
“Rata-rata 150 cup saja.”
“Berapa jenis rasa yang sudah diproduksi?”
“Kalau dihitung bisa sampai 75 jenis rasa, tetapi akhirnya saya tahu yang jadi favorit pelanggan, itulah yang sering saya bikin, sehingga dalam sehari saya bikin kira-kira 10 rasa, besoknya bikin lagi 10 rasa yang berbeda. Seenak saya aja mau bikin yang mana,” jawab sang maestro kalem.

Perihal nama Es Krim Om itu, menurut sang maestro sambil sedikit tergelak, hal itu karena kebanyakan yang datang adalah anak-anak sekolah dan mahasiswa. Anak-anak muda ini menyapa sang maestro dengan sebutan ‘Om’, maka jadilah trade-mark ‘Es Krim Om’.
Tak terasa lebih dari 1 jam kami habiskan waktu untuk obrolan yang mengasyikkan dengan sang maestro di rumahnya itu. Selama kami mengobrol beberapa kali berdatangan anak-anak muda membeli es krim, datang dan pergi silih berganti. Kesan aneh dan misterius yang dibawa oleh keponakan saya di awal cerita ini jadi pupus sudah, karena memang sang maestro harus bersikap se-low profile mungkin untuk menghindari anggapan rumahnya di kompleks cluster itu digunakan untuk berjualan/bisnis.

Sang maestro hanyalah orang biasa pembuat es krim tetapi bukan es krim biasa, karena setiap ingredient di dalam es krim produksinya dipikirkan benar-benar dengan ketekunan riset dan kesabaran trial bertahun-tahun guna menyediakan es krim yang enak dan sehat.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan keunikan sang maestro, terutama concern-nya dalam tanggung-jawab terhadap kesehatan orang lain. Adakah di antara kita sebagai penyedia makanan mempunyai kepedulian yang sama seperti sang maestro?




Jika kita sebagai pembuat roti, apa saja yang kita campurkan dalam adonan? Jika kita sebagai petani buah dan sayur, berapa banyak pestisida dan racun berbahaya lain kita semprotkan ke tanaman kita? Jika kita sebagai pemilik restoran, apakah yang kita masak adalah makanan yang menyehatkan? Jika kita punya pabrik air minum dalam kemasan, unsur-unsur apa saja yang kita masukkan dalam proses penyulingan air tersebut? Apakah kita jujur kepada pelanggan kita dengan terus-terang menuliskan content produk-produk yang kita jual? Ataukah ada yang sengaja kita sembunyikan, atau sengaja membuat keterangan produk yang tidak terlalu jelas?


John Ruskin, seorang kritikus seni dan pemikir sosial dari Inggris (1819 – 1900) mengatakan: “Taste is the only morality. Tell me what you like and I'll tell you what you are.” Kita adalah apa yang kita sukai. Kita dikenal karena citarasa kita. Citarasa seperti apa yang kita sukai? Di situlah terletak nilai moral kita. Sang maestro membikin es krim yang sehat karena punya citarasa sehat, begitulah tercermin nilai moral sang maestro. Maka Tuhanpun akan suka es krim, asal yang bikin adalah sang maestro. Mengapa? Kita sudah tahu jawabannya.
***


Serpong, Dec 2011
Titus J.

Friday, December 23, 2011

Hotter Literally; Hotter Politically

(published by The Jakarta Post on 23 Dec 2011 in special pages of Outlook 2012. Click here)

The year 2012 will be very hot. The country, already affected by global warming, will be much hotter politically as we approach 2014.

At least three challenges will be faced by our country; corruption will still have top billing, followed by the Papua issue and then the political rivalry ahead of the 2014 election. Big battles in three big corruption cases are imminent and likely will prey on other big victims (again): the re-opening of the Bank Century bailout case, the graft scandal in the dormitory project for the 2011 SEA Games in Palembang and vote-buying involving the selection of Bank Indonesia (BI) senior deputy governor Miranda S. Goeltom where the key suspect, Nunun Nurbaeti, has just been apprehended after months on the run.

The battles, for sure, will happen, and major political parties will gang up on the bruised Democratic Party while it in turn will fight back. Unfortunately, those who enter the battle will not be able to identify the enemies clearly because they will all be wearing the same uniform, even sitting down at the same table, chatting and enjoying dinner together. This is the most difficult battlefield.

They look like they are fighting corruption, but they are aiming at something else. That’s why, although there is a battle against corruption, the corruption has yet to be defeated. We have been fighting against corruption for years, and many corruptors have been sent to jail, but our Corruption Perception Index (CPI) does not move anywhere.

Previously, many people were optimistic that the root of corruption could be pulled out after chopping down the old generation, but these days we are astonished by the Financial Transactions Reports and Analysis Centre (PPATK) findings on large bank accounts belonging to dozens of young and low - ranking civil servants — allegedly as a result of corruption.

So, are we sure that everything we have done with such endeavor to fight corruption has been on the right track? Now the year 2011 is about to end, and we are still the same as yesterday, maybe even worse.

Eduard Shevardnadze, a former Georgia president, might have been correct when he said that eradicating corruption is not enough to sustain a country. The corruption in our country is systemic, so we need to fight it systemically, too. Don’t we see that it is important — apart from sending corruptors to jail — to start campaigning about moral values in schools, in homes, in offices, everywhere to blow away the decaying smells from our environment?

Ahead of entering 2012, this is time for us to have solitude, to contemplate how things are not working in our country.

***
Serpong, 13 Dec 2011
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...