“Lho, es krim kok misterius?!” tanya saya tak mengerti.
“Orang yang jual es krim nggak ada, tapi es krimnya ada,” katanya.
“Nah, terus kalau mau beli gimana?” tanya saya.
“Ambil sendiri,” jawabnya.
“Benar-benar es krim? Es krim sungguhan?” tanya saya lagi.
“Ya es krim sungguhan-lah, masa bo’ong-bo’ongan?”
“Bagaimana rasanya?”
“Hmm…ueeenaak….!!! Bener deh, aku nggak pernah makan es krim seperti itu.”
“Waduh…, jangan-jangan itu…”
“Nggak usah mikir macam-macam, itu es krim beneran, es krim istimewa.”
“Bagaimana kamu sampai bisa menemukan es krim itu?”
Sepi. Ia mendorong pelahan daun pintu rumah itu. Ternyata tidak terkunci. Ia mendorong lagi lebih lebar kemudian melongokkan kepalanya ke dalam. Benar, di sebelah kanan ada sebuah freezer. Ia ragu untuk masuk, khawatir nanti disangka maling kan bisa repot? Tapi demi memuaskan rasa penasarannya, ia melangkah masuk. Sepi sekali, tak ada tanda-tanda denyut nadi kehidupan di dalam rumah. Dengan agak berdebar ia membuka freezer itu, sreeett…maka tercenganglah ia, karena melihat banyak es krim dalam wadah-wadah cup kecil teratur rapi di dalamnya. Cup-cup kecil itu berjajar tanpa tulisan, gambar, apalagi merk. Polos. Tetapi tampaknya si pembuat es krim sadar bahwa product harus diberi nama. Maka Yoas melihat di dalam freezer itu tertempel kertas bertuliskan (printed) bermacam-macam nama es krim yang sedang dijajarkan di dalam freezer itu, misalkan: peanut butter, raspberry, balsamic strawberry, cappuccino, macha, olive oil, chocolate, dan sebagainya. Ia menyentuh es krim itu, dan memang itu es krim beneran.
Ketika ia mengambilnya, dalam keadaan masih bingung muncullah seorang anak kecil mengintip dari dalam rumah. “Oh, ternyata ada yang tinggal di dalam rumah,” pikir Yoas. Ketika ia mau bertanya bagaimana aturan beli dan bayar es krimnya, anak kecil itu langsung menghilang ke dalam. “Humm, misterius sekali rumah es krim ini,” pikirnya. Sedang ia masih kebingungan sambil memegang es krim di tangannya, muncullah kepala seorang laki-laki mengintip dari balik tembok: “Taruh aja uangnya di situ, 15 ribu,” katanya sambil menunjuk sebuah kantong plastik di atas meja. Sebuah kantong plastik yang berisi uang memang terletak di atas meja di dekat freezer itu. “Ambil uang kembaliannya sendiri,” kata laki-laki itu kemudian kepalanya menghilang.
Hmm…benar-benar misterius. Yoas mengambil sendok kecil (sendok es krim) yang sudah disediakan di atas meja dekat plastik yang berisi uang, kemudian memasukkan selembar uang 50 ribuan ke dalam plastik itu dan mengambil uang kembaliannya sendiri. Lalu ia mencicipinya. Ketika sendokan pertama menyentuh lidahnya, ia mengulumnya pelahan hingga indra perasanya itu bekerja…astaga!! enak sekali rasa es krim itu. Ia masukkan sendokan kedua dan memberi kesempatan lidahnya mencerna, rasa itu kembali menyeruak dan memberi tahu otaknya bahwa rasa es krim itu sungguh berbeda. Ketika ia masukkan sendokan ketiga, wow…benar-benar lidahnya tidak menipu. Itu es krim peanut butter yang tiada duanya. Istrinyapun merasakan hal yang sama dengan pilihan rasa yang lain.
Dengan senyum dan perasaan heran Yoaspun pergi meninggalkan rumah itu bersama istrinya.
Ketika saya mendengar cerita itu, maka terprovokasilah saya dan ingin melihat sendiri es krim yang misterius itu. Saya benar-benar ingin mengerti siapakah “aktor” di balik kehebatan es krim itu, sehingga menarik anak-anak dari sekolah elit seperti Sekolah Pelita Harapan (SPH) dan mahasiswa-mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH) untuk selalu datang ke sana hanya demi 1 cup es krim yang bahkan merknya saja tidak ada.
“Tapi ngomong-omong, bagaimana orang-orang menyebut nama es krim itu?” tanya saya kepada Yoas di dalam mobil.
“Sebut saja Es Krim Om,” jawabnya.
“Es Krim Om? Begitu aja?” tanya saya lagi.
“Ya, begitu aja,” jawabnya.
Seperti yang diceritakan oleh Yoas, memang begitulah adanya: Kami mendorong sendiri pintu rumah yang tertutup, masuk ke dalam, menghampiri freezer, mengambil es krim, menghitung, membayar dengan memasukkan uangnya ke dalam plastik, kemudian mengambil uang kembaliannya sendiri. Setelah itu masing-masing mengambil sendok kecil dan mulai mencicipinya.
“Saya tidak pernah memakai artificial flavor. Semua rasa itu original. Kalau raspberry ya dari raspberry beneran yang saya olah,” katanya.
“Cuma itu yang original?” tanya saya.
“Tidak, kebanyakan es krim memakai emulsifiers, saya tidak pakai. Emulsifiers memang menyebabkan texture es krim lebih lembut, tetapi apakah kita mengerti jenis emulsifiers apa yang digunakan oleh pembuat es krim? Sekarang banyak emulsifiers terbuat dari bahan kimia sintetis,” jawabnya.
Selain itu, lanjut sang maestro, “Kebanyakan es krim diberi stabilizers untuk mengontrol pembentukan kristal es terutama terhadap ‘kejutan tiba-tiba’ waktu terjadi perubahan temperatur, misalkan saat es krim ditransport dari satu tempat ke tempat lain. Dengan stabilizers es krim bisa dipertahankan tidak mudah mencair.”
“Itulah sebabnya saya tidak berani memberi merk dan mengekspansi bisnis ini, karena sekali saya masuk ke situ perhitungan bisnisnya jadi berbeda, karena parameter cost-nya akan sangat banyak yang tentu akan mengerek harga jual ke atas,” jawabnya.
“Jadi akan terus berjualan di rumah ini saja?”
“Tidak apa-apa, sekarangpun sudah jalan dan saya sudah punya banyak pelanggan yang tahu tempat ini dari mulut ke mulut.”
“Berapa cup sehari produksi es krimnya?”
“Rata-rata 150 cup saja.”
“Berapa jenis rasa yang sudah diproduksi?”
“Kalau dihitung bisa sampai 75 jenis rasa, tetapi akhirnya saya tahu yang jadi favorit pelanggan, itulah yang sering saya bikin, sehingga dalam sehari saya bikin kira-kira 10 rasa, besoknya bikin lagi 10 rasa yang berbeda. Seenak saya aja mau bikin yang mana,” jawab sang maestro kalem.
Tak terasa lebih dari 1 jam kami habiskan waktu untuk obrolan yang mengasyikkan dengan sang maestro di rumahnya itu. Selama kami mengobrol beberapa kali berdatangan anak-anak muda membeli es krim, datang dan pergi silih berganti. Kesan aneh dan misterius yang dibawa oleh keponakan saya di awal cerita ini jadi pupus sudah, karena memang sang maestro harus bersikap se-low profile mungkin untuk menghindari anggapan rumahnya di kompleks cluster itu digunakan untuk berjualan/bisnis.
***
Titus J.