Wednesday, March 31, 2021

Long Walk to Death

**Renungan Jumat Agung**

Jumat Agung bukan sekadar kisah tentang penderitaan dan kematian Kristus, tetapi suatu encouragement, suatu niat untuk menjalani penderitaan secara sadar, dan tekad untuk menyongsong kematian demi sebuah mandat.

Mandat itu sudah disahkan dan tak bisa dicabut, sebuah mandat untuk mati.

Beberapa kali dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus sudah mengatakan tentang penderitaan, kehinaan dan kematian yang harus Ia hadapi itu. "Mari kita berangkat ke Yerusalem, dan disanalah Aku akan menanggung hinaan, persekusi oleh para imam, tuntutan mati, dan disalibkan," kata-Nya kepada murid-muridNya.

Tidak ada tokoh yang begitu firmed dalam menyikapi penderitaan dan kematian yang ia tahu bakal dialaminya. Seseorang biasanya sangat firmed untuk mengejar cita-cita dan meraih sukses, lalu berusaha dengan segenap daya dan upaya agar apa yang didambakannya tercapai. Seorang panglima perang selalu memiliki tekad untuk memenangkan perang, bukan untuk mati. Dan setelah berbagai pertempuran di medan laga, pada akhirnya ia ingin pulang ke rumah membawa kemenangan. Pulang dengan tetap hidup, bukan pulang tinggal nama.

Dalam bukunya “Long Walk to Freedom”, Nelson Mandela mengisahkan perjalanan hidupnya untuk meraih kemerdekaan bagi bangsanya. Dan itu adalah sebuah perjalanan panjang yang ia lalui dalam berbagai derita, termasuk mendekam selama 27 tahun di balik jeruji penjara. Tetapi Mandela rela menjalani semuanya karena ada satu tujuan, yaitu mengecap manisnya kemerdekaan negerinya. Ia ingin tetap hidup ketika bendera bangsanya dikibarkan ke atas langit dan lagu kebangsaannya dikumandangkan dengan gegap gempita.

Tetapi kisah Jumat Agung adalah “Long Walk to Death”. Kisah itu berbeda dengan kisah para pahlawan. Tujuannya pun berbeda. Yesus tidak melawan Romawi agar bendera bangsanya boleh dikibarkan, dan kemudian memerintah sebagai pemimpin bangsa. Bukan itu direction-nya. Ia menerima peran sebagai tokoh yang harus mati di akhir cerita. Dan skenarionya sudah tertulis semua oleh nubuat para nabi ratusan tahun sebelumnya. Maka ketika Ia berjalan ke Yerusalem, setiap langkah-Nya adalah komitmen, yaitu komitmen menyongsong kematian. Heran. Untuk tujuan kematian, ada Seseorang yang mengerjakannya dengan niat yang maksimal.

Dan Ia mengerjakan itu semua bukan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi justru untuk yang memusuhi-Nya, yang melawan-Nya, para pendosa yang kotor dan rusak, …kita.

"Makanan-Ku adalah melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa kepada-Ku," kata-Nya ketika murid-muridNya bertanya soal makanan. Ia harus mengecap kematian untuk memberikan kehidupan. Betapa paradoks. Hal ini aneh, tidak masuk akal, dan menjadi bahan tertawaan oleh dunia.

Maka dalam kisah yang penuh derita itu, hingga “the end” tak ada panji-panji yang dikibarkan untuk menandai sebuah kemenangan yang tercapai. Di penghabisan kisah itu pun, ketika Ia berkata “sudah selesai..” dan lantas menyerahkan nyawa-Nya, tak ada iring-iringan manusia membawa peti mati dalam prosesi penghormatan terakhir. Hembusan nafas-Nya yang penghabisan kali hanya disambut oleh suasana mencekam karena gempa bumi dan bunyi guruh yang menggelegar.

Dan Ia pun mati dengan kepala tertunduk, berlumuran darah hingga genangan darah itu menutupi seluruh tubuh-Nya. Tidak cukup, itu pun masih ditambah pula dengan air dan darah yang muncrat dari lambung-Nya ketika prajurit Romawi menikam-Nya.

Ia mati mengenaskan, tergantung di palang kayu, di antara penjahat-penjahat, di antara hujan caci-maki dan hujat, dan ditunggui oleh burung-burung nazar yang siap menyambar bangkai-bangkai itu sebagai santapan yang lezat.

Bagi kebanyakan orang, tak ada sepenggal episode pun dalam rangkaian ceritanya yang layak dibanggakan. Orang tak sudi mengulang cerita itu bahkan untuk mengingatnya pun tidak.

Apa keindahan dari sebuah kisah yang tokohnya babak-belur, carut-marut, lebam-memar-bengkak hingga bentuknya saja sudah tidak seperti manusia yang sewajarnya manusia?

“Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia – begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi” (Yesaya 52:14)

Dan bukan hanya soal tubuh yang hancur-hancuran, tetapi adegan demi adegan yang Ia perankan selama perjalanan itu, betapa Ia benar-benar menjadi “A man of sorrow”, yang sangat menderita tanpa diberi hak untuk melawan walau hanya dengan jentikan jari-Nya. Ia digambarkan begitu lemah, bagaikan domba yang kelu di hadapan orang-orang yang mengguntingi bulunya.

Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.” (Yesaya 53:3)

Benarkah tak ada gunanya untuk mengingat kisah tragis ini?

Bagi dunia barangkali itu adalah kisah yang absurd. Dunia lebih tertarik mengingat Alexander The Great, Julius Caesar, Napolean Bonaparte, Gandhi, Roosevelt, atau pun Stan Lee, yang untuk menonton karyanya orang rela menunggu berjam-jam di depan gedung bioskop demi Spider-Man, Black Panther atau Captain America.

Tetapi kisah Jumat Agung sesungguhnya bukan kisah tentang power atau kepahlawanan yang heroik, melainkan kisah tentang kasih. Dan jika kita bisa melihat dimanakah kita berada, dalam cerita itu, sebenarnya kita dibawa-Nya masuk, untuk melihat sedalam apakah kasih yang ingin Ia tunjukkan. Kasih itu Ia nyatakan melalui gelapnya lorong kematian yang Ia lalui - hanya.untuk satu tujuan yang sulit dipahami, yaitu mengeluarkan kita yang terbelenggu disana, di lorong gelap itu.

Mulut-Nya yang kelu membuat-Nya tak perlu mengatakan sedalam apa kasih-Nya kepada kita. Ia cukup merentangkan tangan-Nya di atas kayu salib. Kasih yang maksimal itu memang tak tergantikan dengan kata-kata apapun.

Kisah kasih itulah yang membuat kita ingin selalu mengingatnya, bukan hanya setahun sekali, tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Karena kisah kasih itu kita ada sebagaimana adanya kita sekarang.

Itulah kasih yang melampaui segala akal, yang tidak bisa dipahami kecuali dengan memandang kepada salib. Salib yang mengerikan itu Ia rasakan sebagai wujud keindahan kasih yang Ia lakukan dengan setulus hati dan segenap niat. Inilah paradoks, ketika Ia mengambil tempat mengerikan yang harusnya diperuntukkan untuk kita agar kita memperoleh tempat yang mulia milik-Nya.

Kasih yang melampaui segala akal itu membuat niat-Nya begitu firmed untuk berangkat ke Yerusalem, untuk secara sadar rela mengalami segala luka dan menyongsong kematian. Ia tak pernah melihat luka-Nya karena Ia melihat kita.

Perjalanan-Nya benar-benar adalah long walk to death. Disanalah Ia merebut tempat kita di kayu salib, agar kita tidak terluka.

"I have found a paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love," --Mother Teresa.

***

Serpong, Mar 2021

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...