**Renungan Jumat Agung**
Jumat Agung bukan sekadar kisah tentang penderitaan dan
kematian Kristus, tetapi suatu encouragement, suatu niat untuk menjalani
penderitaan secara sadar, dan tekad untuk menyongsong kematian demi sebuah
mandat.
Mandat itu sudah disahkan dan tak bisa dicabut, sebuah mandat
untuk mati.
Beberapa kali dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem,
Yesus sudah mengatakan tentang penderitaan, kehinaan dan kematian yang harus Ia
hadapi itu. "Mari kita berangkat ke Yerusalem, dan disanalah Aku akan
menanggung hinaan, persekusi oleh para imam, tuntutan mati, dan
disalibkan," kata-Nya kepada murid-muridNya.
Tidak ada tokoh yang begitu firmed dalam menyikapi penderitaan dan
kematian yang ia tahu bakal dialaminya. Seseorang biasanya sangat firmed
untuk mengejar cita-cita dan meraih sukses, lalu berusaha dengan segenap daya
dan upaya agar apa yang didambakannya tercapai. Seorang panglima perang selalu
memiliki tekad untuk memenangkan perang, bukan untuk mati. Dan setelah berbagai
pertempuran di medan laga, pada akhirnya ia ingin pulang ke rumah membawa
kemenangan. Pulang dengan tetap hidup, bukan pulang tinggal nama.
Dalam bukunya “Long Walk to Freedom”, Nelson Mandela
mengisahkan perjalanan hidupnya untuk meraih kemerdekaan bagi bangsanya. Dan
itu adalah sebuah perjalanan panjang yang ia lalui dalam berbagai derita,
termasuk mendekam selama 27 tahun di balik jeruji penjara. Tetapi Mandela rela
menjalani semuanya karena ada satu tujuan, yaitu mengecap manisnya kemerdekaan
negerinya. Ia ingin tetap hidup ketika bendera bangsanya dikibarkan ke atas
langit dan lagu kebangsaannya dikumandangkan dengan gegap gempita.
Tetapi kisah Jumat Agung adalah “Long Walk to Death”. Kisah
itu berbeda dengan kisah para pahlawan. Tujuannya pun berbeda. Yesus tidak
melawan Romawi agar bendera bangsanya boleh dikibarkan, dan kemudian memerintah
sebagai pemimpin bangsa. Bukan itu direction-nya. Ia menerima peran sebagai
tokoh yang harus mati di akhir cerita. Dan skenarionya sudah tertulis semua
oleh nubuat para nabi ratusan tahun sebelumnya. Maka ketika Ia berjalan ke
Yerusalem, setiap langkah-Nya adalah komitmen, yaitu komitmen menyongsong
kematian. Heran. Untuk tujuan kematian, ada Seseorang yang mengerjakannya
dengan niat yang maksimal.
Dan Ia mengerjakan itu semua bukan untuk kepentingan diri-Nya
sendiri, tetapi justru untuk yang memusuhi-Nya, yang melawan-Nya, para pendosa
yang kotor dan rusak, …kita.
"Makanan-Ku adalah melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa
kepada-Ku," kata-Nya ketika murid-muridNya bertanya soal makanan. Ia harus
mengecap kematian untuk memberikan kehidupan. Betapa paradoks. Hal ini aneh,
tidak masuk akal, dan menjadi bahan tertawaan oleh dunia.
Maka dalam kisah yang penuh derita itu, hingga “the end” tak
ada panji-panji yang dikibarkan untuk menandai sebuah kemenangan yang tercapai.
Di penghabisan kisah itu pun, ketika Ia berkata “sudah selesai..” dan lantas
menyerahkan nyawa-Nya, tak ada iring-iringan manusia membawa peti mati dalam
prosesi penghormatan terakhir. Hembusan nafas-Nya yang penghabisan kali hanya
disambut oleh suasana mencekam karena gempa bumi dan bunyi guruh yang
menggelegar.
Dan Ia pun mati dengan kepala tertunduk, berlumuran darah
hingga genangan darah itu menutupi seluruh tubuh-Nya. Tidak cukup, itu pun masih
ditambah pula dengan air dan darah yang muncrat dari lambung-Nya ketika
prajurit Romawi menikam-Nya.
Ia mati mengenaskan, tergantung di palang kayu, di antara
penjahat-penjahat, di antara hujan caci-maki dan hujat, dan ditunggui oleh
burung-burung nazar yang siap menyambar bangkai-bangkai itu sebagai santapan
yang lezat.
Bagi kebanyakan orang, tak ada sepenggal episode pun dalam
rangkaian ceritanya yang layak dibanggakan. Orang tak sudi mengulang cerita itu
bahkan untuk mengingatnya pun tidak.
Apa keindahan dari sebuah kisah yang tokohnya babak-belur,
carut-marut, lebam-memar-bengkak hingga bentuknya saja sudah tidak seperti
manusia yang sewajarnya manusia?
“Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia – begitu
buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak
manusia lagi” (Yesaya 52:14)
Dan bukan hanya soal tubuh yang hancur-hancuran, tetapi
adegan demi adegan yang Ia perankan selama perjalanan itu, betapa Ia
benar-benar menjadi “A man of sorrow”, yang sangat menderita tanpa diberi hak
untuk melawan walau hanya dengan jentikan jari-Nya. Ia digambarkan begitu
lemah, bagaikan domba yang kelu di hadapan orang-orang yang mengguntingi
bulunya.
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh
kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga
orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.”
(Yesaya 53:3)
Benarkah tak ada gunanya untuk mengingat kisah tragis ini?
Bagi dunia barangkali itu adalah kisah yang absurd. Dunia
lebih tertarik mengingat Alexander The Great, Julius Caesar, Napolean
Bonaparte, Gandhi, Roosevelt, atau pun Stan Lee, yang untuk menonton karyanya
orang rela menunggu berjam-jam di depan gedung bioskop demi Spider-Man, Black
Panther atau Captain America.
Tetapi kisah Jumat Agung sesungguhnya bukan kisah tentang
power atau kepahlawanan yang heroik, melainkan kisah tentang kasih. Dan jika
kita bisa melihat dimanakah kita berada, dalam cerita itu, sebenarnya kita dibawa-Nya
masuk, untuk melihat sedalam apakah kasih yang ingin Ia tunjukkan. Kasih itu Ia
nyatakan melalui gelapnya lorong kematian yang Ia lalui - hanya.untuk satu
tujuan yang sulit dipahami, yaitu mengeluarkan kita yang terbelenggu disana, di
lorong gelap itu.
Mulut-Nya yang kelu membuat-Nya tak perlu mengatakan sedalam
apa kasih-Nya kepada kita. Ia cukup merentangkan tangan-Nya di atas kayu salib.
Kasih yang maksimal itu memang tak tergantikan dengan kata-kata apapun.
Kisah kasih itulah yang membuat kita ingin selalu mengingatnya,
bukan hanya setahun sekali, tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Karena
kisah kasih itu kita ada sebagaimana adanya kita sekarang.
Itulah kasih yang melampaui segala akal, yang tidak bisa dipahami kecuali
dengan memandang kepada salib. Salib yang mengerikan itu Ia rasakan sebagai
wujud keindahan kasih yang Ia lakukan dengan setulus hati dan segenap niat.
Inilah paradoks, ketika Ia mengambil tempat mengerikan yang harusnya
diperuntukkan untuk kita agar kita memperoleh tempat yang mulia milik-Nya.
Kasih yang melampaui segala akal itu membuat niat-Nya begitu firmed
untuk berangkat ke Yerusalem, untuk secara sadar rela mengalami segala luka dan
menyongsong kematian. Ia tak pernah melihat luka-Nya karena Ia melihat kita.
Perjalanan-Nya benar-benar adalah long walk to death. Disanalah Ia merebut tempat kita di kayu salib, agar kita tidak terluka.
"I have found a paradox, that if you love until it hurts,
there can be no more hurt, only more love," --Mother Teresa.
***
Serpong, Mar
2021
Titus J.