Thursday, March 29, 2012

Gambar Anakku Dan Pelajaran Cinta Nomor 1

Entah sudah berapa banyak gambar yang diberikan oleh anak saya kepada saya. Gambar itu dibuatnya sendiri, dengan coretan dan warna sebebas-bebasnya.

Dulu waktu ia masih berumur 2 – 3 tahun, ia menggambar sekenanya. Barangkali bukan sekenanya, barangkali ia memang menggambar dengan sungguh-sungguh, walaupun anak seumur itu hanya mengandalkan gerak motoriknya untuk mencoret-coret di atas kertas. Tetapi memang itulah bahasa anak umur 2 – 3 tahun. Hanya saya saja yang menganggap bahwa itu coretan sekenanya karena saya menilai dengan cara pandang dan pikiran orang dewasa. Harusnya saya mencoba masuk ke dalam dunia anak seumur dia dan mendengarkan dialognya dengan gambar-gambar itu, tentang apa yang digambarnya dan yang ingin disampaikannya lewat coretan-coretan dan warna-warna itu.

Kemudian waktu anak saya berumur 4 tahun, gambar yang dibuatnya lebih berbentuk jelas, lebih bisa berkomunikasi, terlebih setelah ia bersekolah dan di sekolah ada pelajaran Art Works. Saya belikan alat-alat menggambar mulai dari pensil warna, spidol, krayon, cat air, dan segala pernik-perniknya. Ia menggambar apa saja. Saya sediakan kertas-kertas bekas yang di baliknya masih ada halaman kosong sehingga kapanpun ia mau menggambar ia bisa memakainya. Dan iapun terus menggambar, dimulai dari membikin garis lurus, lengkung, bulatan, lalu mewarnai.

Ketika suatu hari saya menggambar, ia memperhatikan dengan antusias cara saya membikin skets dan kemudian menggoreskan pensil warna, mengarsir, menebalkan, mempertajam fokus dan membikin background. Ia memang masih belum mengerti benar, tetapi ia seolah ingin berkata bahwa ia bisa melakukannya. Memang kita tidak pernah tahu imajinasi anak kecil. Mungkin anak saya berpikir seperti Vincent Van Gogh: “I dream of painting and then I paint my dream.

Ketika ia 5 tahun, gambarnya sudah mulai bisa bercerita. Ia tambahkan kalimat-kalimat untuk menjelaskan apa yang digambarnya. Tak heran, sebab ia sudah mulai lancar membaca dan menulis walaupun kadang-kadang spelling-nya masih banyak yang keliru. Tidak mengapa, yang penting pesannya sampai, dan saya lebih ingin menangkap esensi dari kalimat-kalimat itu ketimbang mengurusi urusan spelling.

Tetapi ada satu hal yang sangat menarik, yaitu setiap kali gambar yang dibuatnya itu selesai, ia tuliskan “To: Papi” jika gambar itu akan diberikannya kepada saya, atau “To: Mami” jika gambar itu untuk maminya, setelah itu ia menambahkan kalimat: “I love you”.

Ah, mungkin bagi kebanyakan orang kalimat ini adalah kalimat biasa saja. Apa istimewanya kalimat “I love you”? Bukankah setiap anak bisa mengucapkannya? Bukankah kalimat “I love you” sering diucapkan oleh siapa saja, misalkan dari seseorang yang lagi mabuk kepayang kepada kekasihnya? Atau bagi para pengobral cinta? Berapa banyak dan melimpah-ruahnya kalimat “I love you” disampaikan oleh seorang kepada yang lain? Sungguh bermaknakah kalimat itu atau hanya sekedar numpang lewat saja?

Ternyata bagi anak saya, kalimat “I love you” itu bukanlah sekedar numpang lewat atau hanya untuk “menuh-menuhin” kertas gambarnya. Kalimat itu merupakan ungkapan polos nan sederhana yang disampaikan seorang anak 5 tahun kepada ayahnya yang saat ini masih belum bisa bermewah-mewah dengan waktu yang bisa diberikan untuknya. Darimana saya mengerti makna ungkapan “I love you” tersebut? Benarkah ada getaran yang menjalar lewat benang yang tersambung dalam jiwa antara saya dan dia?

Saya merenungkan dalam-dalam seraya menarik mundur waktu yang sudah berlalu. Saya mencoba mengingat-ingat dan masuk kembali ke lorong waktu sejak anak saya itu masih belum “dijadikan” oleh Tuhan. Itulah waktu penantian yang panjang yang menguji kesabaran insan manusia ciptaan Tuhan - saya dan istri saya - yang merindukan kehadiran buah hati. Dari tahun ke tahun saya dan istri menunggu, dan di dalam penantian itu seakan Tuhan membisu dan menulikan telinga. Dia benar-benar berdiam dalam sunyi, hingga suatu hari karena kami ngotot dan terus meminta kepadaNya, akhirnya Tuhan bertanya, “Untuk apa engkau minta anak? Untuk merawat dan mendampingimu di masa tuamukah? Bukankah Aku telah berjanji bahwa sampai masa tuamu dan putih rambutmu Aku akan menggendongmu?” Tetapi istri saya menjawab, “Bukan, Tuhan, bukan untuk merawat kami di masa tua kami kelak, tetapi anak itu untuk mengajar kami mengerti akan kasih sayangMu yang Engkau gambarkan seperti kasih seorang bapa kepada anaknya.

Mungkin jawaban itu oleh Tuhan dianggap sebagai “good answer”. Menurut istri saya, pada saat itulah “formulir” antrian permohonan kami di Ruang Tunggu Tuhan itu langsung dicabut dari urutan bawah kemudian oleh Tuhan distempel dengan kalimat “Approved”. Waktu itu genaplah 8 tahun ketika Tuhan membuka kandungan istri saya. Ketika anak saya itu lahir dan masih belum mengerti bahasa secara verbal, setiap hari saya selalu membisikkan kalimat “I love you” di telinganya.

Ketika ia sudah mulai bisa membaca, saya sering menulis di secarik kertas dengan kalimat-kalimat pendek yang sederhana dan saya tempelkan di pintu kulkas untuk berkomunikasi dengannya, karena saya harus berangkat ke kantor pagi-pagi benar sebelum ia bangun. Waktu ia bangun pagi ia akan melihat tempelan kertas itu lalu membacanya dengan terbata-bata. Di akhir pesan saya, selalu saya tuliskan “I love you”.

Hingga kini, entah sudah berapa banyak gambar yang diproduksi oleh anak saya dengan ungkapan “I love you”. Benarkah ini efek dari bahasa cinta yang sangat powerful itu? Apakah makna dari cinta yang sesungguhnya? Kita yang berumur dewasa bisa jadi tak pernah mengerti makna dari kata ini, apalagi anak umur 5 tahun, sebab cinta tak pernah bisa dikomunikasikan dengan bahasa verbal. Anak saya itu belum bisa menjelaskan apa yang ditulisnya itu, sebab ketika saya bertanya, “Mengapa Nona menulis ‘I love you’ dalam gambar ini?” Dengan lugu ia menjawab, “Because I love you.” Itu saja jawabannya, ia benar-benar tak bisa menjelaskan, tetapi saya yakin jauh di dalam dunia kanak-kanaknya komunikasi cinta itu tertransfer tanpa bahasa verbal dan hanya bisa diekspresikannya dengan gambar-gambar itu.

Maka kita para orang-tua sebaiknya tidak menganggap remeh sebuah gambar yang dibikin oleh anak-anak kita. Gambar itu, sejelek apapun (jika mau kita katakan “jelek” dari sudut pandang seni), tetaplah gambar yang berbicara kepada kita. Gambar itu mengirimkan pesan khusus buat kita, jadi masa bodoh dengan nilai seninya, karena Pablo Picasso sendiri mengatakan: “All children are artists”.

Suatu ketika di sebuah channel radio saya mendengarkan seorang psikolog anak bercerita, yaitu tentang pasangan suami-istri yang kedua-duanya sibuk bekerja. Anak mereka satu-satunya diserahkan kepada seorang babysitter untuk mengasuhnya, dan seorang sopir yang bertugas mengantar dan menjemput ke sekolah. Pasangan suami-istri itu jarang sekali bisa bertemu dan bermain dengan anak mereka, karena pagi-pagi mereka sudah berangkat ke kantor, dan malamnya hanya sedikit waktu yang tersisa untuk bertemu dengan anaknya sebelum anaknya tidur.

Suatu hari ketika mereka datang dari kantor, anaknya menunjukkan sebuah gambar hasil karyanya di sekolah: sebuah rumah yang warnanya pucat, mobil, seorang anak kecil, seorang wanita dan seorang pria. Dengan gembira ayahnya berkata, “Bagus sekali. Gambar apa ini, nak?” Anaknya menjawab, “Ini rumah kita, ini mobil kita, dan ini aku…” Lalu dengan hati berbunga dan mata yang berbinar istrinya bertanya, “Hmmm…indah sekali, lalu ini dan ini siapa, nak?” sambil menunjuk gambar 2 orang itu dengan bayangan tentang keindahan sebuah keluarga, betapa anaknya ternyata pintar dan mengerti dan telah menghadirkan papa-mamanya dalam sebuah gambar bersamanya. Tetapi…tanpa diduga anaknya menjawab, “Ini Sus Listi dan Pak Yono...”

Betapa jujurnya gambar anak-anak kita. Gambar itu mentransformasikan kedalaman hatinya menjadi sebuah bentuk visual di atas kertas. Ternyata anak-anak kita lebih membutuhkan kehadiran kita daripada segala fasilitas dan mainan anak-anak yang bisa kita beli dengan harga berapapun sekuat isi kantong kita. Maka dari sini kita melihat bahwa tak ada gambar anak kecil yang tanpa arti. Seabstrak apapun dan seruwet apapun ia mengandung pesan yang nyata, dan itu terlahir dari jiwa yang putih bersih. Bukankah kita sebagai orang-tua adalah pihak yang seharusnya lebih peka dan lebih pintar untuk mengartikannya?

Cinta memang membutuhkan “tools” untuk mengejawantahkan apa yang ada di dalam hati, dan anak saya yang masih 5 tahun ini punya cara sendiri: melalui gambar. Kelak kalau dia sudah bertambah umurnya bisa jadi “tools”nya akan berbeda. Tidak apa-apa, karena itu hanya “tools”, jadi jika anak kita suka menggambar bukan berarti lantas ia akan menjadi pelukis kelak, sebab ia hanya ingin mengkomunikasikan apa yang ada dalam jiwanya.

James Russell Lowell, seorang penyair, kritikus seni, editor dan diplomat kelahiran Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat (1819 – 1891), mengatakan: “Children are God's Apostles, sent forth, day by day, to preach of love, and hope, and peace.” Siapakah di dunia ini yang lebih jujur daripada anak-anak? Seandainya anak-anak bisa berkhotbah, saya yakin Tuhan akan lebih memilih dan mengutus mereka ketimbang orang dewasa, sebab anak-anak selalu dapat dipercaya untuk menyampaikan pesan Tuhan. Benar kata Lowell, anak-anak lebih pantas menjadi rasul. Tak heran Tuhan Yesuspun sangat meninggikan derajat anak-anak ketika ia mengatakan: “Biarlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang kepadaKu; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14).

Betapa anak-anak kita sudah mengajar kita tentang arti kasih sayang, bagaimana rasanya mengasihi anak kita dan bagaimana rasanya dikasihi anak kita. Terkadang saya menegur anak saya ketika ia tidak taat, terkadang saya jengkel waktu ia mengulang kesalahan walau sudah diberitahu dan diajar, tetapi cepat benar saya lupa akan kesalahannya, secepat anak saya yang datang sambil mengucapkan “I am sorry” yang membuat saya tidak tahan untuk lekas-lekas memeluknya. Bukankah demikian pula Bapa kita mengasihi kita? Itulah pelajaran nomor 1 tentang hakikat cinta Tuhan yang digambarkan seperti seorang bapa yang sayang kepada anaknya, dimana pelajaran itu justru saya peroleh dari anak saya, walaupun hanya melalui gambar dan ungkapan “I love you”-nya itu.

Namun, dalam pelajaran ini saya kembali harus merenung lebih dalam, benarkah apa yang saya rasakan ketika mencintai anak saya itu sudah seperti Bapa kita mengasihi kita? Rasanya masih terlalu jauh. Semoga anak saya memaafkan saya kelak.
***
Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. (Maz 103:13)

Serpong, Mar 2012
Titus J.

Sunday, March 25, 2012

Dahlan Iskan: Think Big, Act Simple

(Published by The Jakarta Post on 28 Mar 2012. Click here)

What would we like to say about State-Owned Enterprises Minister Dahlan Iskan? What he is doing always attracts attention and applause from most people. He was recently furious due to being trapped in a long traffic jam when he supposed to be attending a meeting with Garuda Indonesia in Senayan. Upon learning that two of a total of four of the Senayan toll booths were empty he exited his car and threw out chairs from inside the booths, saying, “This chair is useless!

He then opened the un-operated gates and let about 100 queuing cars pass without paying. Dahlan was furious because he had reminded the management of PT Jasa Marga, the toll operator, to pay attention to congestion at toll gates several times.

The news quickly spread through the social media websites and BlackBerry messenger, with everyone giving him two thumbs up. The Internet saw thousands of comments on the articles about Dahlan’s actions, and praised him as a hero. A hero, after all, is one who dares to take a position. I feel that Dahlan was representing those who grumbled about the bad traffic despite paying the toll fee. But the praise for Dahlan was not just about the traffic issue. We see him as a public figure who can feel our heart beats as citizens.

It’s not exaggerating if people make him an idol these days and expect him to bring a lot of changes to our country. He is what he is, always being direct and spontaneous. He knows problems and he solves them right away. He is not just about the theory, or about making commands from his desk, but he is down to earth. He thinks about complicated problems but he simplifies the solution. He acts quickly and leads by example. In short, wherever he is assigned, he becomes a panacea.

If we read his CEO notes when he was the PLN president director (the notes are collected in the book Dua Tangis Dan Ribuan Tawa), we can see how he has made a breakthrough to solve the myriad problems of the PLN with his smart thinking. His leadership style has become an inspiration not only for PLN staff but also for leaders outside the PLN. President Susilo Bambang Yudhoyono made a great decision when he assigned Dahlan to manage 126 state-owned enterprises in 2011 because PLN was too small for his vast talents.

We have seen Dahlan’s humbleness, far from feudalistic style that is usually attached to high-profile government officials. When he came to Bogor Presidential Palace to attend Cabinet meeting on Dec. 23, 2011, he traveled on the low-price and hustle-bustle KRL (electric-powered train) together with ordinary people. He then bought soto ayam (chicken aromatic soup) in a warung (food stall) inside the train station after he arrived there. He looked to be enjoying having a chat with people despite being an important man. When he realized that he had a meeting, and his official car was not around, he took an ojek (motorcycle taxi) to the palace.

Was he pretending to be pro-people and seek popularity by doing such thing? Nonsense! He is already popular. Now some people are starting to mention his name as a presidential hopeful. I think it would be stupid to ignore his name for the 2014 contest, but would he be the same Dahlan Iskan if he successfully attained that position of power?

***
Serpong, 25 Mar 2012
Titus J.

Sunday, March 11, 2012

Fuel Price Hike? Ask The People

(published by The Jakarta Post on 13 Mar 2012. Click here)

This is a time for the government to maintain deafness over the plans to increase fuel prices. It is not because I blindly support the decision, but we need a government that can show decisiveness and consistency in policies. Increasing fuel prices always creates dilemmas and problems. This is a political game, not just a calculation of numbers or profits and loss.

Impacted by soaring global fuel prices of more than US$110 per barrel these days, the government reasons that the state budget will be in deficit if fuel subsidies are not cut. Is it as simple as that?

Well, the government surely has evaluated the risks of any decision, so to Mr. President and the related ministers: please don’t sway with the wind, just be firm. No matter what decision is taken, either to go ahead with the plan or delay or even cancel it, the government’s decision will be criticized.

Some energy analysts as well as economists who oppose the plan comment that government policy on energy management is not prudent. This is mismanagement, they say. It may be correct — considering we are a country very rich in natural resources. But after 14 years of reform movement, who can manage the energy and natural resources properly for the sake of people as mandated by our Constitution?

That will be a long discourse but today we should face facts that subsidized fuel is enjoyed by those who do not need subsidies. Pertamina, the state-owned oil company, can only remind car owners with banners pasted on every fuel station: “Subsidized fuel is only for those who are not able to afford it.” Does this reminder work? We can see there are still many private luxury cars queuing in the fuel stations to join the bajaj (three-wheeled taxis) and angkot (public minibuses).

This is not the first fuel price hike. Several times we have experienced in Susilo Bambang Yudhoyono’s (SBY) term of office how decisions to increase fuel prices always cause outcry. But this time, maybe the outcry is louder. Not because people are afraid of hardship, but because trust has gone.

The government says the state budget is in deficit, but we see the thieves who steal state money every day, and the President’s Democratic Party is in trouble with several senior members implicated in corruption. If the government could prevent these state losses, we might not need to talk about subsidies.

Now if the government is adamant over the plan to increase full prices, we would suggest they ask advice from the people, not from the lawmakers who are sitting in the House of Representatives. If the lawmakers prefer sitting on the (now canceled) imported Rp 24 million ($2,600) chairs, can they represent people who don’t even have somewhere to lay their heads?

The government really needs to understand people who are still living below the poverty line — then think hard and provide solutions to secure their basic needs, or at least fill their stomachs, because an empty stomach is not a good political adviser, said Albert Einstein.

***
Serpong, 11 Mar 2012
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...