Tingkat
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebesar 80% merupakan angka yang tidak
main-main. Angka itu - menurut Survey Gallup World Poll (GWP) - meletakkan
Indonesia di peringkat pertama di dunia, di atas India 73%, Jerman 55%, Inggris
31% bahkan Amerika Serikat yang hanya 30%.
Di
tahun 2007, survey yang sama oleh GWP memberikan angka 52% untuk Indonesia.
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) ketika menanggapi hasil survey itu mengatakan, “Gallup itu
bukan lembaga ecek-ecek. Kita harus
punya optimisme bahwa negara ini ke depan akan lebih baik, jangan yang
dimunculkan pesimisme, nyinyir-nyinyir…”
Nyinyir-nyinyir. Memang ada sebagian orang yang nyinyir. Apapun yang dilakukan oleh
pemerintah, mereka menganggapnya keliru. Jika pemerintah memilih warna putih,
mereka bilang hitam lebih baik. Jika pemerintah mengajak berlari, mereka bilang
‘nggak mau ah, nanti capek’. Jika pemerintah mengajak diam, mereka bilang ‘kok
diam, nggak kerja?’. Kalau dibahasakan, kira-kira mereka bilang, “Elu mau bikin
apa aja, gua bikin sebaliknya deh.”
Angka
80% itu adalah indikator yang sangat penting, karena merupakan konfirmasi bahwa
Jokowi sebagai kapten berada di jalur yang benar. Dengan demikian, akan lebih
mudah baginya untuk mencapai target-target yang sudah disetting di awal
pemerintahannya.
Siapa
sangka ‘he can make it so fast’? Dulu
ia begitu diremehkan, dipandang sepele, bahkan ada yang mengejeknya tidak
pantas menjadi Presiden karena tidak punya ‘potongan’ sebagai seorang pemimpin
untuk sebuah negara besar sebesar Indonesia.
Dalam
pandangan mereka yang ogah mempunyai
pemimpin seperti Jokowi saat itu, seorang Presiden harus gagah perkasa,
ganteng, dandanannya mentereng, bicaranya diatur rapi (dengan menekan suaranya ke
nada bariton atau bass agar terkesan berwibawa), sekali-sekali menyisipkan
istilah-istilah keren agar dianggap pakar, dan memakai simbol-simbol kegagahan
lainnya, misalkan kuda.
Tetapi
sosok Jokowi kebalikan dari segala atribut kegagahan apapun, karena ternyata penampilannya
sangat sederhana, jalannya klemar-klemer,
bicaranya datar, bahasanya mudah dipahami karena tidak muter-muter, tubuhnya
kurus hingga tiupan angin selembut angin sepoi-sepoi basah pun seakan bisa
membuatnya roboh. Dalam kesehariannya, ia suka mengenakan kemeja putih lengan
panjang yang digulung 3/4, atau terkadang kemeja batik yang bahan kainnya dibelikan
oleh istrinya di pasar Tanah Abang. Sesekali bahkan ia tampil sarungan.
Ia adalah Presiden RI. Tetapi baginya Presiden cuma jabatan
sementara, sedangkan sebagai manusia ia tetap seorang Jokowi, yang nantinya
akan kembali menjadi rakyat biasa setelah selesai tugasnya.
Maka seorang Jokowi begitu apa adanya. Ketika ia menerima
Obama di Istana Bogor baru-baru ini, mereka ngobrol santai, makan bakso di
beranda ditemani hujan rintik-rintik. Tetapi heran, karena terlalu apa adanya
itulah ia malah berhasil mencuri perhatian. Di kalangan para kawula muda dan
para netizen namanya sering disebut. Anak-anak muda yang penuh idealisme itu
lalu mulai mengamati apa saja yang dikenakannya, mulai dari jaket bomber yang
dipakainya waktu musim demo, payung biru waktu hujan-hujanan ke Monas, sepatu
Nike dan celana jins yang dipakainya waktu kunjungan kerja ke Tasikmalaya,
gayanya nge-trail waktu meninjau
proyek jalan trans Papua, liburan Lebarannya ke kebun binatang Ragunan,
nongkrong di salah satu coffee shop
dengan anak-anak muda, dan lain-lain. Gayanya yang seperti itu sungguh otentik.
Ia memukau pedagang pasar, anak-anak sekolah, artis,
kalangan pesantren, kampus, pegawai, dan siapapun mulai dari rakyat jelata
hingga kalangan berpunya. Orang tidak takut mendekat untuk bersalaman dan
mengajak berfoto karena ia tidak sok angker. Berita tentangnya sewaktu
perjalanan kunjungan ke daerah-daerah selalu dinantikan karena kuis-kuis
berhadiah sepeda yang selalu mengundang tawa. Sampai saat ini, kita melihat ia telah
bekerja dengan tulus untuk rakyat. Ia tulus memikirkan rakyat dari Sabang
sampai Merauke.
Dan semakin lama, kecerdikannya untuk menundukkan lawan
semakin terlihat. Ia kaya dengan strategi namun tak kasat mata. Kecerdikannya
didukung dengan karakternya yang sabar dan tidak grusa-grusu. Dulu di awal-awal
pemerintahannya banyak orang mengira bahwa ia akan mudah “dihabisi” oleh
lawan-lawan politiknya karena pendukungnya di DPR berjumlah minoritas. Tetapi
siapa sangka bahwa dalam hitungan tidak sampai satu tahun ia berhasil membalik
keadaan setelah Koalisi Merah Putih (KMP) kocar-kacir dan sebagian berpindah
mendukungnya? Di saat-saat genting, statement-nya
dan keputusannya sering tak terduga tetapi kemudian diapresiasi.
Nyalinya yang besar sangat kontras dengan profilnya yang
tidak gagah sama sekali. Hanya di eranya maka kita mempunyai kedaulatan atas
perairan kita dan ikan-ikan kita di lautan. Sudah tak terhitung jumlah kapal
asing pencuri ikan yang ditenggelamkan. Keputusannya untuk menghukum mati
gembong narkoba tidak surut walaupun mendapatkan kritikan internasional. Bahkan
baru-baru ini ia memerintahkan polisi dan BNN agar tidak ragu-ragu menembak
mati para pengedar narkoba. Dan yang baru-baru ini ia lakukan – yang tak pernah
berani dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya – adalah menerbitkan Perppu
untuk membubarkan organisasi anti Pancasila.
Ketika ia menghadiri pertemuan G-20 di Hamburg, Jerman
baru-baru ini, di hadapan pemimpin-pemimpin dunia ia tak menunjukkan rasa
inferior sama sekali. Ia berdiskusi dengan Donald Trump, Emmanuel Macron,
bahkan nge-vlog bersama Erdogan dan Justin Trudeau. Ketika sesi foto, ia
sengaja berdiri di deretan terdepan, seakan ingin menunjukkan bahwa Indonesia berdiri
di level yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Ia mengangkat martabat
bangsa. Dalam kamusnya, dignity is not
negotiable.
Jauh
sebelum hasil survey Gallup itu, empat tahun lalu di tahun 2013, dua peneliti
senior dari Gallup, yaitu Vibhas Ratanjee dan Meiliany Wu, memprediksi bahwa
Indonesia akan muncul sebagai negara dengan ekonomi terkuat ke-7 di dunia
karena memiliki potensi sangat besar dalam sumber daya, asalkan dipimpin oleh ‘authentic leader’. Mereka menulis, “Mature,
strengths-based leadership in politics and business will be a crucial factor in
ensuring the country is ready to take advantage of its potential. The world
will be watching Indonesia's leaders.”
Salah
satu contoh pemimpin yang disebut mereka adalah Jokowi – yang waktu itu masih
menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. “He demonstrated a strong focus on action and positive
results by his tenacity, perseverance, and competence.”
Kebesaran Indonesia yang dimaksud oleh Vibhas dan Meiliany di
atas - yang menyebutkan bahwa Indonesia bisa menjadi ‘axis of power’ - mereka prediksi bisa terjadi di tahun 2030. Tetapi
tampaknya kita tidak perlu menunggu hingga tahun 2030 jika ‘authentic leader’ itu ternyata telah
kita temukan, yang memimpin Indonesia secerdik ular, dan setulus merpati.
A leader takes people where they want to go. A great leader takes people
where they don’t necessarily want to go, but ought to be -- Rosalynn Carter
***
Serpong, 23 Jul 2017
Titus J.