Sunday, July 23, 2017

Jokowi - Cerdik seperti ular, tulus seperti merpati

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebesar 80% merupakan angka yang tidak main-main. Angka itu - menurut Survey Gallup World Poll (GWP) - meletakkan Indonesia di peringkat pertama di dunia, di atas India 73%, Jerman 55%, Inggris 31% bahkan Amerika Serikat yang hanya 30%.

Di tahun 2007, survey yang sama oleh GWP memberikan angka 52% untuk Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menanggapi hasil survey itu mengatakan, “Gallup itu bukan lembaga ecek-ecek. Kita harus punya optimisme bahwa negara ini ke depan akan lebih baik, jangan yang dimunculkan pesimisme, nyinyir-nyinyir…”

Nyinyir-nyinyir. Memang ada sebagian orang yang nyinyir. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah, mereka menganggapnya keliru. Jika pemerintah memilih warna putih, mereka bilang hitam lebih baik. Jika pemerintah mengajak berlari, mereka bilang ‘nggak mau ah, nanti capek’. Jika pemerintah mengajak diam, mereka bilang ‘kok diam, nggak kerja?’. Kalau dibahasakan, kira-kira mereka bilang, “Elu mau bikin apa aja, gua bikin sebaliknya deh.”

Angka 80% itu adalah indikator yang sangat penting, karena merupakan konfirmasi bahwa Jokowi sebagai kapten berada di jalur yang benar. Dengan demikian, akan lebih mudah baginya untuk mencapai target-target yang sudah disetting di awal pemerintahannya.

Siapa sangka ‘he can make it so fast’? Dulu ia begitu diremehkan, dipandang sepele, bahkan ada yang mengejeknya tidak pantas menjadi Presiden karena tidak punya ‘potongan’ sebagai seorang pemimpin untuk sebuah negara besar sebesar Indonesia.

Dalam pandangan mereka yang ogah mempunyai pemimpin seperti Jokowi saat itu, seorang Presiden harus gagah perkasa, ganteng, dandanannya mentereng, bicaranya diatur rapi (dengan menekan suaranya ke nada bariton atau bass agar terkesan berwibawa), sekali-sekali menyisipkan istilah-istilah keren agar dianggap pakar, dan memakai simbol-simbol kegagahan lainnya, misalkan kuda.

Tetapi sosok Jokowi kebalikan dari segala atribut kegagahan apapun, karena ternyata penampilannya sangat sederhana, jalannya klemar-klemer, bicaranya datar, bahasanya mudah dipahami karena tidak muter-muter, tubuhnya kurus hingga tiupan angin selembut angin sepoi-sepoi basah pun seakan bisa membuatnya roboh. Dalam kesehariannya, ia suka mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung 3/4, atau terkadang kemeja batik yang bahan kainnya dibelikan oleh istrinya di pasar Tanah Abang. Sesekali bahkan ia tampil sarungan.

Ia adalah Presiden RI. Tetapi baginya Presiden cuma jabatan sementara, sedangkan sebagai manusia ia tetap seorang Jokowi, yang nantinya akan kembali menjadi rakyat biasa setelah selesai tugasnya.

Maka seorang Jokowi begitu apa adanya. Ketika ia menerima Obama di Istana Bogor baru-baru ini, mereka ngobrol santai, makan bakso di beranda ditemani hujan rintik-rintik. Tetapi heran, karena terlalu apa adanya itulah ia malah berhasil mencuri perhatian. Di kalangan para kawula muda dan para netizen namanya sering disebut. Anak-anak muda yang penuh idealisme itu lalu mulai mengamati apa saja yang dikenakannya, mulai dari jaket bomber yang dipakainya waktu musim demo, payung biru waktu hujan-hujanan ke Monas, sepatu Nike dan celana jins yang dipakainya waktu kunjungan kerja ke Tasikmalaya, gayanya nge-trail waktu meninjau proyek jalan trans Papua, liburan Lebarannya ke kebun binatang Ragunan, nongkrong di salah satu coffee shop dengan anak-anak muda, dan lain-lain. Gayanya yang seperti itu sungguh otentik.

Ia memukau pedagang pasar, anak-anak sekolah, artis, kalangan pesantren, kampus, pegawai, dan siapapun mulai dari rakyat jelata hingga kalangan berpunya. Orang tidak takut mendekat untuk bersalaman dan mengajak berfoto karena ia tidak sok angker. Berita tentangnya sewaktu perjalanan kunjungan ke daerah-daerah selalu dinantikan karena kuis-kuis berhadiah sepeda yang selalu mengundang tawa. Sampai saat ini, kita melihat ia telah bekerja dengan tulus untuk rakyat. Ia tulus memikirkan rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Dan semakin lama, kecerdikannya untuk menundukkan lawan semakin terlihat. Ia kaya dengan strategi namun tak kasat mata. Kecerdikannya didukung dengan karakternya yang sabar dan tidak grusa-grusu. Dulu di awal-awal pemerintahannya banyak orang mengira bahwa ia akan mudah “dihabisi” oleh lawan-lawan politiknya karena pendukungnya di DPR berjumlah minoritas. Tetapi siapa sangka bahwa dalam hitungan tidak sampai satu tahun ia berhasil membalik keadaan setelah Koalisi Merah Putih (KMP) kocar-kacir dan sebagian berpindah mendukungnya? Di saat-saat genting, statement-nya dan keputusannya sering tak terduga tetapi kemudian diapresiasi.

Nyalinya yang besar sangat kontras dengan profilnya yang tidak gagah sama sekali. Hanya di eranya maka kita mempunyai kedaulatan atas perairan kita dan ikan-ikan kita di lautan. Sudah tak terhitung jumlah kapal asing pencuri ikan yang ditenggelamkan. Keputusannya untuk menghukum mati gembong narkoba tidak surut walaupun mendapatkan kritikan internasional. Bahkan baru-baru ini ia memerintahkan polisi dan BNN agar tidak ragu-ragu menembak mati para pengedar narkoba. Dan yang baru-baru ini ia lakukan – yang tak pernah berani dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya – adalah menerbitkan Perppu untuk membubarkan organisasi anti Pancasila.

Ketika ia menghadiri pertemuan G-20 di Hamburg, Jerman baru-baru ini, di hadapan pemimpin-pemimpin dunia ia tak menunjukkan rasa inferior sama sekali. Ia berdiskusi dengan Donald Trump, Emmanuel Macron, bahkan nge-vlog bersama Erdogan dan Justin Trudeau. Ketika sesi foto, ia sengaja berdiri di deretan terdepan, seakan ingin menunjukkan bahwa Indonesia berdiri di level yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Ia mengangkat martabat bangsa. Dalam kamusnya, dignity is not negotiable.

Jauh sebelum hasil survey Gallup itu, empat tahun lalu di tahun 2013, dua peneliti senior dari Gallup, yaitu Vibhas Ratanjee dan Meiliany Wu, memprediksi bahwa Indonesia akan muncul sebagai negara dengan ekonomi terkuat ke-7 di dunia karena memiliki potensi sangat besar dalam sumber daya, asalkan dipimpin oleh ‘authentic leader’. Mereka menulis, “Mature, strengths-based leadership in politics and business will be a crucial factor in ensuring the country is ready to take advantage of its potential. The world will be watching Indonesia's leaders.”

Salah satu contoh pemimpin yang disebut mereka adalah Jokowi – yang waktu itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. “He demonstrated a strong focus on action and positive results by his tenacity, perseverance, and competence.”

Kebesaran Indonesia yang dimaksud oleh Vibhas dan Meiliany di atas - yang menyebutkan bahwa Indonesia bisa menjadi ‘axis of power’ - mereka prediksi bisa terjadi di tahun 2030. Tetapi tampaknya kita tidak perlu menunggu hingga tahun 2030 jika ‘authentic leader’ itu ternyata telah kita temukan, yang memimpin Indonesia secerdik ular, dan setulus merpati.


A leader takes people where they want to go. A great leader takes people where they don’t necessarily want to go, but ought to be -- Rosalynn Carter

***
Serpong, 23 Jul 2017
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...