Monday, August 19, 2013

Jakarta Needs "Insane" Leaders

published by The Jakarta Post on 16 Aug 2013. Click here)

Jakarta Deputy Governor Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama may believe in the principle held by Mark Twain: “If you tell the truth, you don’t have to remember anything.”

Many leaders in this country fail to tell the truth, which is why they can’t be direct like Ahok, who says everything blatantly. If usually leaders try to behave as sweet as possible to maintain a good image, Ahok shows his original character. He realizes that being a “bad cop” is not easy, and he is fully aware of the risks.

As he has no hidden agenda, why shouldn’t he speak freely? His activities are recorded and uploaded to Youtube for transparency. Recently, he was told to have a psychological checkup because of his frequent sharp remarks. Rather than countering this cynical comment, he stated that he was insane.

His outspoken style shocks people and sometimes makes them anxious. A couple of times I have heard him say, “I am not fearful of anything, even to taste death.” Recently, while experiencing a tough challenge regarding the relocation of street vendors at Tanah Abang market, he said, “I am ready to die for the sake of the Constitution,” referring to his stance in upholding bylaws by prohibiting vendors from trading on the streets.

Ahead of Jakarta’s gubernatorial election last year, a smear campaign was launched to discredit him. Ahok was targeted for being a Chinese-Indonesian and Christian. But thankfully, people were mature and egalitarian and judged him based on personal quality and track record.

As predicted, Ahok remains Ahok, who has been labeled stubborn and assertive. He realizes that there will always be someone who is unhappy with him when he makes a decision to solve the myriad problems of Jakarta.

On July 29, Ahok received several protesters, who asked him to change his behavior and be more polite, more careful and less offensive toward Tanah Abang’s figures. “To solve Jakarta’s problem, someone will always be hurt,” Ahok answered. When they claimed to have supported him in last year’s election, Ahok replied firmly that he would only adhere to the Constitution, not constituents. He agreed to use the persuasive approach, but said that law enforcement was also necessary. He threatened that defiant street vendors who rejected the persuasive approach would face legal action.

His foes may consider him “insane” because of his courageous acts, particularly when dealing with the Tanah Abang market problem, but for people who dream of having a new Jakarta, it doesn’t bother them at all whether Ahok is “insane” or not. The most important point is how Ahok works totally for the people and for a solution to the problems. Comments by netizens on Youtube and in news outlets are very supportive of his actions.

Now, not only does Ahok have a lot of complicated tasks but he also has to perform them perfectly because invisible hands are waiting for him to slip up. But it seems he has nothing to lose.

***

Serpong, 8 Aug 2013
Titus J.

Sunday, August 4, 2013

Kim Dae-jung dan Warisan Divine Character-nya

Memberi pengampunan itu seharusnya tidak rugi apa-apa, karena kita tidak ‘kulakan’ pengampunan sehingga harus menghitung-hitung modal berapa, jual berapa dan untung berapa.

Filosofi sederhana ini mewarnai prinsip hidup Kim Dae-jung (alm), Presiden Korea Selatan ke-8. Perjalanan hidupnya sebelum ia terpilih menjadi Presiden sangat berliku, tetapi dunia mengaguminya bukan karena ketahanannya dalam penderitaan, melainkan karena karakter mulia yang dimilikinya.
Sekitar dua puluh tahun sebelum ia menjadi Presiden, pada tahun 1980, Kim Dae-jung dijatuhi hukuman mati karena aktifitas politiknya menentang tirani Presiden (waktu itu) Chun Doo-hwan. Intervensi dari Amerika Serikat membuat hukumannya dikurangi menjadi 20 tahun penjara dan ia harus menjalani pembuangan ke AS.

Ketika ia pulang ke Korsel, ia masih harus menjalani tahanan rumah tetapi kemudian ia diperbolehkan mencalonkan diri dalam pemilu Presiden. Tahun 1998 ia terpilih menjadi Presiden Korsel ke-8.

Di kursi presiden, ia teringat Chun Doo-hwan, mantan Presiden yang dulu menjatuhkan hukuman mati padanya sedang dipenjara dan menanti hukuman mati atas tuduhan pembantaian rakyatnya sendiri di Gwangju. Kim Dae-jung sebagai Presiden, mempunyai kuasa untuk memerintahkan eksekusi mati atas Chun Doo-hwan, tetapi ia justru mengampuninya.
Entahlah, mungkin hatinya terbuat dari pualam. Setelah mengampuni Chun Doo-hwan, di tahun 2000 ia mengunjungi Penguasa Korea Utara, Kim Jong-il yang menjadi seteru saudara sebangsanya di Selatan. Kim Dae-jung tak surut walau ia tahu Korea Utara selalu mencaci-maki dirinya dengan jargon-jargon politik komunisnya. Pada hari yang bersejarah itu, di Pyongyang yang angker itu, Kim Dae-jung duduk berdua dengan Kim Jong-il menawarkan rekonsiliasi dua bangsa yang berseteru.

Kim Dae-jung mempunyai keyakinan bahwa memberi pengampunan tak membuatnya rugi apa-apa. Forgiveness means compassion, kata orang bijak, dan belas kasihan Kim Dae-jung ibarat sumber air yang terus memancar keluar. Ia memang tidak ‘kulakan’ itu, untuk apa mengirit-irit? Bukankah sumber air compassion itu tak pernah habis walau sudah dicedok dengan gayung ratusan kali, atau ditimba dengan ember sampai ribuan kali?

Sebagai seorang Katolik, Kim Dae-jung mengerti pelajaran dari Yesus tentang pengampunan tanpa batas. Suatu hari Petrus bertanya, "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" (Matius 18:20-21).

Petrus mungkin merasa ‘pede’ bahwa dengan menyebut angka tujuh maka yang ia amalkan sudah sempurna. Kita mungkin seperti Petrus yang yakin bahwa tujuh kali mengampuni adalah sikap yang luhur, karena biasanya setelah tiga kali, kita berkata: Enough is enough.

Namun bagi Yesus tujuh kali yang dirasa sudah sempurna oleh Petrus itu masih terlalu sedikit, terlalu kurang, terlalu pelit. Yesus minta, yang tujuh kali dari Petrus itu harus dikalikan tujuh puluh. Tampaknya Yesus ‘agak sebel’ dengan Petrus dan berpikir, “Ahhh…pelit amat sih? Mengampuni saja bikin itung-itungan sampai tujuh kali...Emang berapa kali sudah Bapa mengampuni kamu? Dalam sehari saja kamu sudah berdosa lebih dari tujuh kali,” mungkin demikian yang ada di hati-Nya.

Yesus tentu saja tidak sedang mengajar matematika kepada murid-muridNya sehingga mereka lantas harus berpikir untuk menghitung 70x7=490. Untuk apa angka-angka ini? Bagi-Nya kalkulasi dalam soal anugerah tidak penting, karena anugerah diberikan tanpa syarat-syarat yang bikin pusing: harus ini, harus itu, mesti begini dan mesti begitu. Dengan mencoret angka sempurna (tujuh) yang diajukan oleh Petrus dengan rasa bangga, dan memintanya untuk mengalikan tujuh puluh kali lipat, Ia ingin mengajar sekaligus menularkan karakter Bapa yang penuh belas kasihan dalam memberi pengampunan yang limpah. Itulah Divine character, sebuah karakter yang limitless dalam memberikan anugerah.

Tampaknya Petrus dan murid-muridNya yang lain masih bengong karena belum ‘ngeh’ dengan 70x7 itu. Lalu Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang hamba yang berhutang kepada Raja sebesar sepuluh ribu talenta tetapi tak mampu membayarnya. “Jual dia beserta anak dan istrinya untuk membayar hutang,” titah Raja itu kepada pengawalnya. Bisakah kita membayangkan nasib hamba ini dan keluarganya setelah vonis itu dijatuhkan oleh Raja? Hamba itu sujud gemetar dan memohon belas kasihan, “Sabarlah ya Tuan, aku akan melunasinya nanti...” Maka Raja yang murah hati itu langsung jatuh iba dan membebaskan seluruh hutangnya. Raja itu bukan hanya iba tetapi tahu bahwa hamba itu tak bakal bisa membayarnya sekalipun ia dan semua yang dimilikinya – termasuk anak dan istrinya – dijual. Mengapa? Karena sepuluh ribu talenta itu terlalu besar.

Berapakah 10.000 talenta itu? Mari kita konversi ke Rupiah agar mudah bagi kita membayangkan nilainya. 1 talenta adalah 6.000 dinar, sedangkan 1 dinar adalah upah seorang pekerja dalam sehari (dari perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur di kitab Matius 20:1-16). Jika di Indonesia rata-rata UMP (Upah Minimum Propinsi) adalah 1,5 juta Rupiah, maka sehari adalah Rp. 62.500,- dengan asumsi 24 hari kerja. Jadi 10.000 talenta adalah 60.000.000 (enam puluh juta) dinar atau sama dengan 3,75 trilyun Rupiah.

Hamba itu berhutang 3,75 trilyun Rupiah dan dalam sekejab mata ia dibebaskan dan hutangnya dihapuskan. Raja itu langsung merobek surat hutangnya di depan mata hambanya sebagai tanda hutangnya di’write-off’. Harusnya hamba itu jatuh tersungkur di kaki Raja itu, menangis sejadi-jadinya, mencium kaki Raja dan kalau perlu memberikan kepalanya sebagai wujud terimakasih.
Memang tidak diceritakan oleh Matius bagaimana reaksi hamba itu, tetapi saya membayangkan ia langsung ngeloyor pergi. Ya, ia ngeloyor begitu saja tanpa perasaan apa-apa. Buktinya, setelah ia keluar dari istana Raja, ia bertemu dengan kawannya yang hanya berhutang 100 dinar kepadanya. 100 dinar sama dengan 6,25 juta Rupiah (saja!). Dibandingkan dengan hutangnya kepada Raja, hutang kawannya kepadanya ‘just a peanut’.

Dengan pongah ia mencekik leher kawannya dan berkata, “Bayar hutangmu!” Dan sama dengan dia beberapa menit sebelumnya di hadapan Raja, kawannya itu memohon belas kasihan kepadanya, “Sabarlah kawan, aku akan melunasinya nanti…” Tetapi tangis kawannya yang menghiba itu ternyata tak meluluhkan hatinya. Ia menjebloskan kawannya ke penjara tanpa ampun.

Kedengaran oleh Raja itu, marahlah Raja itu dan berkata: “Hai hamba yang jahat (Raja itu menyebutnya jahat), seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?

Melihat kenyataan ini, saya bertanya pada diri sendiri, bukankah Tuhan (yang digambarkan oleh Raja itu) pasti tahu bahwa hamba yang jahat itu akan bertindak kejam kepada kawannya? Tetapi mengapa ia tetap mendapat ampunan? Pengampunan yang diperolehnya bahkan besar sekali. Setelah merenung, saya semakin yakin bahwa itulah Divine character, karakter Ilahi yang tidak membedakan dalam memberikan anugerah kepada setiap orang, entah dia baik atau jahat. Si jahat diberi anugerah, tetapi ternyata ia tak layak untuk menerimanya. Karakternya memang dan tetap jahat.

Yesus tidak sedang bermain angka-angka, tetapi Ia ingin menyampaikan pesan bahwa angka 3,75 trilyun Rupiah (10.000 talenta) versus 6,25 juta Rupiah (100 dinar) adalah gambaran perbandingan bumi dan langit: bahwa dosa kita kepada Tuhan jauh lebih besar dibandingkan dosa kawan kita kepada kita. Apakah kita suka mengingat sebesar apa dosa kawan kita kepada kita? Dosa kita kepada Tuhan jauh lebih besar. Apakah kawan kita telah menipu, mencuri, mengkhianati, memfitnah, menyakiti hati, menghina, menista, menyeleweng, dan dosa-dosa lain yang bisa disebut, dosa di antara kita yang sama-sama pendosa ini hanya merupakan hutang 100 dinar, sedangkan dosa kita kepada Tuhan jauh lebih besar (60 juta dinar).

Pelajaran ini mengingatkan kita untuk berhati lapang kepada siapapun yang pernah menyakiti kita. Ada banyak orang yang memilih memendam sakit hati dan membawanya sampai mati. Ada banyak orang tidak bisa tidur karena sakit hati dan semalam-malaman berpikir keras untuk membalas. Mengapa tidak berusaha memiliki Divine character seperti Kim Dae-jung? Dunia telah menghargainya dengan hadiah Nobel Perdamaian di tahun 2000, tetapi bagi Kim Dae-jung, mengampuni Chun Doo-hwan dan mengasihi Kim Jong-il jauh lebih mempunyai arti daripada medali Nobel.

***
“Only the truly magnanimous and strong are capable of forgiving and loving. Let us persevere, then, praying always that God will help us to have the strength to love and forgive our enemies. Let us together, in this way, become the loving victors” (Kim Dae-jung)

Serpong, 4 Aug 2013
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...