Wednesday, May 4, 2022

Penjara Anugerah

Pada suatu hari, dari dalam penjara, Rasul Paulus mengorek isi hatinya hingga tumpah. ”Aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.”

Isi hatinya yang tertumpah itu dibiarkannya mengalir. Alirannya membentuk anak sungai yang berkelok-kelok melewati kota-kota di Asia Kecil.

Belum puas ia mengorek isi hatinya yang sudah tumpah itu, ia mengorek hatinya lebih dalam lagi. “Tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya. Aku adalah yang paling hina dari semua orang kudus...”

Dan isi hatinya yang dua kali tertumpah itu membanjiri kota-kota di seluruh dunia.

Itulah kebesaran sosok Rasul Paulus. Kebesaran dalam kerendahan-hatinya. Ia besar dalam kecilnya diri, value-nya tinggi dalam rendahnya hati.

Sebuah kerendahan-hati yang tulusnya tiada tara.

Itu adalah kerendahan-hati ilahi. Godly character.

Nilai-nilai luhur kerendahan-hati Paulus itu sengaja dilestarikan oleh Tuhan dengan cara membuatnya terus bergumul dalam penderitaan.

Mungkin benar yang dikatakan orang, “Nothing can make you more humble than pain.”

Jadi penderitaan itu memang sengaja ditaruh oleh Tuhan di atas tubuh Rasul Paulus. Bukan satu-dua hari atau satu-dua bulan, bukan pula satu-dua tahun, tetapi sepanjang hidup, sepanjang waktu ia melayani Tuhan hingga hari eksekusinya tiba.

Seandainya ia tidak rendah hati, mungkin Tuhan akan “sulit” memakainya untuk pekerjaan-Nya yang besar. Terpaksa Tuhan harus menawannya, lalu menaruh penderitaan itu untuk menunggangi punggungnya.

Mengapa?

Barangkali kita perlu menengok terlebih dahulu jatidiri sosok Paulus mulai dari masa mudanya.

Sebelum namanya menjadi Paulus, ia yang bernama Saulus dari Tarsus, adalah seorang pemuda yang paling cerdas sebangsanya khususnya dalam soal-soal agama. Ia sendiri mengatakan, “Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku.” (Gal 1:14)

Ia dididik oleh seorang guru kenamaan bernama Gamaliel, diajar dengan teliti soal Taurat, dan seperti diakuinya, ajaran itu ia amalkan dengan tidak bercela.

Dan tumbuhlah Saulus sebagai seorang muda yang terpandang, menjadi seorang cendekiawan muda dalam agama Yahudi. Tetapi sayang, doktrin agama yang diyakininya membentuknya menjadi seorang yang radikal, garis keras, ganas.

Di masa mudanya itu, bertepatan dengan mulai tumbuhnya kekristenan sebagai ajaran baru yang dibawa oleh Yesus Kristus, Saulus terang-terangan menentangnya. Ia tampil di depan dan menjadi pelopor. Mungkin kerjanya tiap hari adalah pidato di mimbar bebas. Isi pidatonya adalah agitasi untuk menebar kebencian. Maka jadilah ia sebagai penjagal orang-orang Kristen.

Ketika aniaya terhadap orang-orang Kristen pada waktu itu begitu merajalela, Stefanus - seorang murid Kristus yang tertangkap - dirajam dengan batu. Dan Saulus menjaga jubah para perajam itu di depan kakinya. Ia benar-benar penjagal berdarah dingin.

Setelah kematian Stefanus, Saulus lebih giat melakukan sweeping dari rumah ke rumah untuk membinasakan jemaat. Ia menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka ke penjara (Kis 8:3).

Tidak berhenti disini. Saulus menghadap Imam Besar dan meminta surat kuasa, agar dengan surat kuasa itu ia bebas menangkap, menganiaya, dan membunuh siapapun yang mengikuti Jalan Tuhan. Sudah pasti Imam Besar telah mengamati track record Saulus dan melihat betapa militannya pemuda ini. Dan Saulus berhasil memperoleh License to Kill itu dan membawanya untuk mengejar-ngejar orang-orang Kristen sampai ke kota-kota lain.

Peristiwa pengejaran orang-orang Kristen oleh Saulus hingga ke Damsyik itu akhirnya menjadi titik-balik hidupnya. Ia yang begitu bernafsu untuk menangkap orang-orang Kristen sebanyak jumlah yang ia inginkan, akhirnya ditangkap oleh Tuhan sendiri.

“Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?”

“Siapakah Engkau, Tuhan?”

“Akulah Yesus yang kau aniaya itu.”

Sapaan Tuhan Yesus yang begitu lembut itu merajam hati Saulus. Hati si Penjagal dari Tarsus itu ambyar, dan di situlah ia bertobat.

Ananias - seorang murid Kristen di Damsyik – yang disuruh Tuhan menumpangkan tangannya atas Saulus, mencoba mengingatkan Tuhan, “Tuhan, ia adalah orang ganas, dan ia datang kemari untuk mencari dan membunuh orang-orang Kristen. Apakah Engkau akan mengampuni orang seperti ini?” demikian kira-kira argumentasi Ananias.

"Pergilah,” jawab Tuhan. “Sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku.”

Penderitaan. Inilah reward yang Tuhan berikan kepada Saulus atas pertobatannya.

Maka dalam perjalanan pelayanannya setelah ia bertobat, ia yang kemudian dinamai Paulus itu adalah seorang Rasul Kristus yang paling banyak menderita. Dan penderitaan yang ia alami bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin. Bahkan barangkali penderitaan batinnya terasa lebih menyiksa daripada terhadap fisiknya, terutama ketika ia dicemooh dan diragukan kerasulannya. Sebagian orang mengatakan bahwa ia dicemooh karena bukan termasuk duabelas rasul pertama yang dipilih langsung oleh Yesus waktu Yesus memulai pekerjaan-Nya.

Paulus yang dulunya adalah orang yang kenamaan dan mendapat respect sekarang dihina dan tidak dihargai. Tampaknya hal ini juga adalah kesengajaan Tuhan untuk melucuti kebanggaannya.

Ia pernah mengungkapkan uneg-unegnya kepada jemaat Korintus: “Apakah mereka pelayan Kristus? - aku berkata seperti orang gila - aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat.” (2 Kor 11:23-28)

Penderitaan yang terus-menerus menungganginya ternyata memang sangat efektif untuk membentuknya menjadi pribadi yang rendah-hati.

Ia tak punya waktu untuk bermegah barang sejenakpun.

Ia menjadi orang yang “rumangsa”, orang yang tahu diri. Tuhan mengingatkannya untuk menyadari masa lalunya yang kelam.

Ketika ia berusaha meyakinkan jemaat untuk percaya sungguh-sungguh bahwa Yesus Kristus telah mati karena dosa-dosa manusia, dikuburkan, dibangkitkan, lalu menampakkan diri, ia menyebut nama Kefas/Petrus sebagai yang pertama melihat Tuhan menampakkan diri-Nya, lalu murid-murid yang lain, lalu semua rasul, dan namanya sendiri ia sebut di urutan terakhir.

Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” (1 Kor 15:9)

Lihatlah betapa humble-nya nada tulisannya.

“Aku yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul,” adalah kalimat yang ia tuliskan mungkin dengan mencucurkan air mata. Cucuran air mata itu bukan karena ia sakit hati dan kecewa karena menjadi orang terakhir yang Yesus sapa, tetapi karena sebagai orang yang dulunya ganas, hatinya pilu mengalami kasih dan anugerah Allah yang tiada tara.

Kerendahan hatinya diulanginya lagi ketika ia menulis suratnya kepada jemaat Efesus. Kali ini bukan saja ia sebutkan bahwa ia adalah yang paling hina dari antara para rasul, tetapi paling hina di antara segala orang kudus. Artinya, di antara semua pengikut Kristus yang sehina-hinanya sekalipun, ia lebih hina dari mereka. (Efesus 3:8).

Pada suatu hari dari dalam penjara, Rasul Paulus menerawang ke masa lalunya.

Tak ada barang sehari pun yang tidak ia gunakan untuk menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan tak ada barang sehari pun yang tidak ia gunakan untuk mensyukuri perbuatan Tuhan atas hidupnya.

Anugerah Tuhan memang memiliki banyak sudut.

Dan penjara penderitaan itu adalah salah satu sudutnya.

***

Serpong, Apr 2022

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...