Pada suatu hari, dari dalam penjara, Rasul Paulus mengorek isi hatinya hingga tumpah. ”Aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.”
Isi hatinya
yang tertumpah itu dibiarkannya mengalir. Alirannya membentuk anak sungai yang
berkelok-kelok melewati kota-kota di Asia Kecil.
Belum puas ia
mengorek isi hatinya yang sudah tumpah itu, ia mengorek hatinya lebih dalam
lagi. “Tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya.
Aku adalah yang paling hina dari semua orang kudus...”
Dan isi hatinya
yang dua kali tertumpah itu membanjiri kota-kota di seluruh dunia.
Itulah kebesaran
sosok Rasul Paulus. Kebesaran dalam kerendahan-hatinya. Ia besar dalam kecilnya
diri, value-nya tinggi dalam rendahnya hati.
Sebuah kerendahan-hati
yang tulusnya tiada tara.
Itu adalah kerendahan-hati
ilahi. Godly character.
Nilai-nilai
luhur kerendahan-hati Paulus itu sengaja dilestarikan oleh Tuhan dengan cara membuatnya
terus bergumul dalam penderitaan.
Mungkin benar
yang dikatakan orang, “Nothing can make you more humble than pain.”
Jadi
penderitaan itu memang sengaja ditaruh oleh Tuhan di atas tubuh Rasul Paulus. Bukan
satu-dua hari atau satu-dua bulan, bukan pula satu-dua tahun, tetapi sepanjang
hidup, sepanjang waktu ia melayani Tuhan hingga hari eksekusinya tiba.
Seandainya ia
tidak rendah hati, mungkin Tuhan akan “sulit” memakainya untuk pekerjaan-Nya
yang besar. Terpaksa Tuhan harus menawannya, lalu menaruh penderitaan itu untuk
menunggangi punggungnya.
Mengapa?
Barangkali kita
perlu menengok terlebih dahulu jatidiri sosok Paulus mulai dari masa mudanya.
Sebelum namanya
menjadi Paulus, ia yang bernama Saulus dari Tarsus, adalah seorang pemuda yang
paling cerdas sebangsanya khususnya dalam soal-soal agama. Ia sendiri
mengatakan, “Di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang
sebaya dengan aku di antara bangsaku.” (Gal 1:14)
Ia dididik oleh
seorang guru kenamaan bernama Gamaliel, diajar dengan teliti soal Taurat, dan
seperti diakuinya, ajaran itu ia amalkan dengan tidak bercela.
Dan tumbuhlah
Saulus sebagai seorang muda yang terpandang, menjadi seorang cendekiawan muda
dalam agama Yahudi. Tetapi sayang, doktrin agama yang diyakininya membentuknya
menjadi seorang yang radikal, garis keras, ganas.
Di masa mudanya
itu, bertepatan dengan mulai tumbuhnya kekristenan sebagai ajaran baru yang
dibawa oleh Yesus Kristus, Saulus terang-terangan menentangnya. Ia tampil di
depan dan menjadi pelopor. Mungkin kerjanya tiap hari adalah pidato di mimbar
bebas. Isi pidatonya adalah agitasi untuk menebar kebencian. Maka jadilah ia
sebagai penjagal orang-orang Kristen.
Ketika aniaya
terhadap orang-orang Kristen pada waktu itu begitu merajalela, Stefanus -
seorang murid Kristus yang tertangkap - dirajam dengan batu. Dan Saulus menjaga
jubah para perajam itu di depan kakinya. Ia benar-benar penjagal berdarah
dingin.
Setelah
kematian Stefanus, Saulus lebih giat melakukan sweeping dari rumah ke
rumah untuk membinasakan jemaat. Ia menyeret laki-laki dan perempuan ke luar
dan menyerahkan mereka ke penjara (Kis 8:3).
Tidak berhenti
disini. Saulus menghadap Imam Besar dan meminta surat kuasa, agar dengan surat
kuasa itu ia bebas menangkap, menganiaya, dan membunuh siapapun yang mengikuti
Jalan Tuhan. Sudah pasti Imam Besar telah mengamati track record Saulus
dan melihat betapa militannya pemuda ini. Dan Saulus berhasil memperoleh License
to Kill itu dan membawanya untuk mengejar-ngejar orang-orang Kristen sampai
ke kota-kota lain.
Peristiwa
pengejaran orang-orang Kristen oleh Saulus hingga ke Damsyik itu akhirnya
menjadi titik-balik hidupnya. Ia yang begitu bernafsu untuk menangkap
orang-orang Kristen sebanyak jumlah yang ia inginkan, akhirnya ditangkap oleh
Tuhan sendiri.
“Saulus,
Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?”
“Siapakah
Engkau, Tuhan?”
“Akulah Yesus
yang kau aniaya itu.”
Sapaan Tuhan
Yesus yang begitu lembut itu merajam hati Saulus. Hati si Penjagal dari Tarsus
itu ambyar, dan di situlah ia bertobat.
Ananias -
seorang murid Kristen di Damsyik – yang disuruh Tuhan menumpangkan tangannya
atas Saulus, mencoba mengingatkan Tuhan, “Tuhan, ia adalah orang ganas, dan ia
datang kemari untuk mencari dan membunuh orang-orang Kristen. Apakah Engkau
akan mengampuni orang seperti ini?” demikian kira-kira argumentasi Ananias.
"Pergilah,”
jawab Tuhan. “Sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan
nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku
sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia
tanggung oleh karena nama-Ku.”
Penderitaan.
Inilah reward yang Tuhan berikan kepada Saulus atas pertobatannya.
Maka dalam
perjalanan pelayanannya setelah ia bertobat, ia yang kemudian dinamai Paulus
itu adalah seorang Rasul Kristus yang paling banyak menderita. Dan penderitaan
yang ia alami bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin. Bahkan barangkali penderitaan
batinnya terasa lebih menyiksa daripada terhadap fisiknya, terutama ketika ia dicemooh
dan diragukan kerasulannya. Sebagian orang mengatakan bahwa ia dicemooh karena
bukan termasuk duabelas rasul pertama yang dipilih langsung oleh Yesus waktu
Yesus memulai pekerjaan-Nya.
Paulus yang
dulunya adalah orang yang kenamaan dan mendapat respect sekarang dihina
dan tidak dihargai. Tampaknya hal ini juga adalah kesengajaan Tuhan untuk
melucuti kebanggaannya.
Ia pernah
mengungkapkan uneg-unegnya kepada jemaat Korintus: “Apakah mereka pelayan
Kristus? - aku berkata seperti orang gila - aku lebih lagi! Aku lebih banyak
berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali
dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh
kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu,
tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah
laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun,
bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi;
bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari
pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap
kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan
dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari,
yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat.” (2 Kor 11:23-28)
Penderitaan
yang terus-menerus menungganginya ternyata memang sangat efektif untuk
membentuknya menjadi pribadi yang rendah-hati.
Ia tak punya
waktu untuk bermegah barang sejenakpun.
Ia menjadi
orang yang “rumangsa”, orang yang tahu diri. Tuhan mengingatkannya untuk
menyadari masa lalunya yang kelam.
Ketika ia
berusaha meyakinkan jemaat untuk percaya sungguh-sungguh bahwa Yesus Kristus
telah mati karena dosa-dosa manusia, dikuburkan, dibangkitkan, lalu menampakkan
diri, ia menyebut nama Kefas/Petrus sebagai yang pertama melihat Tuhan
menampakkan diri-Nya, lalu murid-murid yang lain, lalu semua rasul, dan namanya
sendiri ia sebut di urutan terakhir.
“Dan yang
paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti
kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina
dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya
Jemaat Allah.” (1 Kor 15:9)
Lihatlah betapa
humble-nya nada tulisannya.
“Aku yang
paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul,” adalah kalimat
yang ia tuliskan mungkin dengan mencucurkan air mata. Cucuran air mata itu
bukan karena ia sakit hati dan kecewa karena menjadi orang terakhir yang Yesus
sapa, tetapi karena sebagai orang yang dulunya ganas, hatinya pilu mengalami
kasih dan anugerah Allah yang tiada tara.
Kerendahan
hatinya diulanginya lagi ketika ia menulis suratnya kepada jemaat Efesus. Kali
ini bukan saja ia sebutkan bahwa ia adalah yang paling hina dari antara para
rasul, tetapi paling hina di antara segala orang kudus. Artinya, di antara
semua pengikut Kristus yang sehina-hinanya sekalipun, ia lebih hina dari
mereka. (Efesus 3:8).
Pada suatu hari
dari dalam penjara, Rasul Paulus menerawang ke masa lalunya.
Tak ada barang
sehari pun yang tidak ia gunakan untuk menyesali perbuatannya di masa lalu. Dan
tak ada barang sehari pun yang tidak ia gunakan untuk mensyukuri perbuatan
Tuhan atas hidupnya.
Anugerah Tuhan
memang memiliki banyak sudut.
Dan penjara
penderitaan itu adalah salah satu sudutnya.
***
Serpong, Apr
2022
Titus J.