Entah apa yang ada di benak Hartley. Ia tidak berpikir untuk
menyelamatkan diri. Mungkin hatinya pilu menyaksikan orang-orang, terutama
wanita dan anak-anak, juga orang-orang tua, tak bisa berbuat apa-apa selain
menangis. Sebagai musisi, Hartley tak mengerti tata-cara dan aturan keselamatan
di laut. Ia bukan Pendeta yang bisa berkhotbah, dan dalam situasi seperti itu,
barangkali khotbah juga tak mampu menundukkan kepanikan. Hartley hanya bisa
bermain musik dan ia ingin berbuat sesuatu untuk menenangkan mereka. Maka
ketika sudah banyak lagu ia mainkan, ia lalu menggesek biolanya dan memainkan “Nearer, my God, to Thee”.
Nearer, my God to Thee, nearer to Thee.
E'en though it be a cross, that raise me,
Still all my song shall be.
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
Kita tak pernah tahu mengapa ia memilih lagu itu. Udara Atlantik
begitu dingin menusuk di tengah malam itu ketika ia melihat masih begitu banyak
penumpang belum terangkut sekoci sementara air semakin meninggi dan Titanic semakin miring.
Hartley benar-benar tak memikirkan dirinya. Yang dipikirkannya
adalah bagaimana membuat orang-orang itu tenang. Betapa saya kagum kepada
Hartley, kagum atas ketiadaan selfishness
pada dirinya. Ia hanya seorang pemain biola, tetapi egonya ia tanggalkan untuk
sebuah pengorbanan. Dalam keadaan paling sulit, bukankah biasanya yang akan
nampak terlebih dahulu dari seseorang adalah selfishness? Selfishness memang
tidak menjahati orang dengan menyerang atau membunuh, tetapi selfishness sama jahatnya dengan
kejahatan lain karena di dalamnya terkandung perasaan mau menang sendiri, tidak
peduli nasib orang lain bahkan tega melihat orang lain celaka asal dirinya
tidak.
Tanpa sadar, sikap selfishness
ini yang sering mewarnai pola hidup kita sehari-hari, bukan? Ketika kita di
jalanan waktu berkendara, ketika kita di kantor, di rumah, bahkan di gereja,
kita sering lupa ada orang lain yang layak untuk kita dahulukan. Apakah kita
tidak mau tahu barangkali kepentingan orang lain lebih urgent daripada kepentingan kita? Kita selalu merasa kepentingan
kita yang lebih urgent sehingga ingin
dilayani lebih dulu dan ingin menjadi yang pertama tanpa mau mengalah. Tidakkah
kita mau mengerem keinginan kita sedikit saja dan mempersilakan orang lain untuk
mengambil bagian kita karena mungkin ia lebih membutuhkan daripada kita saat
ini?
Andaikan hidup ini kita jalani dengan sikap saling mendahulukan
orang lain, mungkin dunia akan berputar sedikit melambat dan bergerak sedikit
lebih relaks. Dunia kita saat ini begitu terburu-buru karena kita terus
menginjak pedal gas akibat segala sesuatu kita anggap urgent dan kritis.
Sekitar jam 2 tengah malam, ketika air laut semakin bergelora
menguasai semua ruangan, dan ketika sudah tak memungkinkan lagi memainkan
musik, Hartley menghentikan lagunya. Itulah lagu terakhir di samudera Atlantik
malam itu, yang menjadi saksi tentang seorang anak manusia yang rela
mengorbankan dirinya untuk orang lain. Sesudah Hartley mengemasi biolanya dan
memasukkannya ke dalam leather case, ia
dan anggota band-nya membubarkan diri. Sayup-sayup terdengar Hartley berucap
pelahan: “Gentlemen…I bid you farewell..”
Lalu ia dan teman-temannya menghilang di kerumunan.
Dan Titanic yang naas
itu terbelah menjadi 2 bagian, kemudian pelahan tenggelam ke kedalaman samudera
Atlantik membawa lebih dari 1500 penumpang yang tak kebagian sekoci. Waktu itu
jam 2.20 tengah malam.
Tubuh Hartley ditemukan oleh tim pencari tanggal 4 Mei 1912, masih
berpakaian seragam band-nya, lengkap
dengan sepatu hitam dan kaos kaki hijau. Sekitar 30.000 pelayat memadati Chapel
tempat jenasahnya dibaringkan hingga ke pemakaman. Di situlah paduan suara
kembali menyanyikan “Nearer, my God, to
Thee” dalam kesyahduan untuk mengenangnya.
There in my Father's home, safe and at rest,
There in my Saviour's love, perfectly blest,
Age after age to be,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer, my God, to Thee,
Nearer to Thee
Dan 100 tahun berlalu begitu cepat…
Pada tanggal 19 Oktober 2013, dalam sebuah lelang di
Inggris, biola milik Hartley yang ditemukan berdekatan dengan mayatnya yang
terapung di samudera Atlantik, laku seharga 1.46 juta Dollar atau lebih dari 16
milyar Rupiah.
Nilai fantastis itu tentu bukan hanya karena biola kuno itu sudah
berumur lebih dari 100 tahun, tetapi karena biola itu menyimpan kisah luar
biasa yang ditorehkan oleh pemiliknya: W.H.H (Wallace Henry Hartley) – A man with no selfishness.
*) Lagu “Nearer, my God, to
Thee” diciptakan oleh Sarah Flower Adams (1805 – 1848). Lagu ini ada di buku
KPPK no. 405.
***
Serpong, Nov 2013
Titus J.