Sunday, June 30, 2013

Dua Janda Yang Membikin Malu Kita

Ah, janda itu.

Ia telah membikin malu kita.

Ia berjalan pelahan sambil tertunduk, karena ia sadar dan rumangsa (tahu diri) bahwa orang-orang yang memberi persembahan sebelum dia adalah orang-orang berduit, yang waktu menuju peti persembahan berjalan dengan langkah tegap dan kepala mendongak. Janda itu berjalan gemetar karena ia tahu bukan hanya orang-orang kaya yang sedang berada di bait Allah itu, tetapi Seorang Pengajar top, yaitu Yesus, baru saja menyelesaikan khotbah-Nya.

Janda itu menggenggam rapat-rapat uang recehnya agar tak ada yang tahu berapa keping dalam genggamannya yang akan dimasukkan ke peti persembahan (Tak ada orang yang bangga karena memberi receh, bukan?). Ia begitu miskin.

Semiskin apakah ia? Hari itu ia cuma punya dua peser. Itu bukan uang sisa-sisa, tetapi memang ia hanya punya dua peser itu. Peser adalah mata uang terkecil Yahudi. Untuk membantu kita membayangkan berapa banyak yang janda itu punyai, baiklah kita konversi nilai peser itu ke Rupiah.

Dari perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Matius 20:1-16), upah seorang pekerja adalah satu dinar sehari. Di Indonesia, UMR (Upah Minimum Regional) atau sekarang UMP (Upah Minimum Propinsi) berbeda-beda tergantung daerahnya. UMP Jakarta adalah Rp. 2,2 juta per bulan. Di luar Jakarta, misalkan di NTT adalah Rp. 1 juta, di Sulawesi Selatan Rp. 1,4 juta dan di Jawa Timur Rp. 1,7 juta. Jadi ambil saja rata-rata UMP adalah Rp. 1,5 juta per bulan atau Rp. 62.500 per hari. Satu dinar sama dengan 128 peser sehingga 1 peser adalah Rp. 488, dibulatkan Rp. 500. Janda miskin itu pada hari itu hanya punya 2 peser atau sama dengan Rp. 1.000. Coba bayangkan dengan hanya 1.000 Rupiah di kantong kita, apa yang dapat kita beli? Di benak saya paling-paling cuma krupuk kampung yang warna putih kruwel-kruwel seperti bakmi yang rasanya gurih vetsin itu (Ya, kalau saya makan di warung saya selalu cari krupuk itu untuk menambah lauk)

Adakah di antara kita yang hidup hari ini dengan cuma 1000 Rupiah di kantongnya? Coba sebut siapakah orang yang paling miskin atau paling papa atau paling hina-dina yang bisa kita sebut. Pengemis? Pemulung? Gelandangan yang hidup di kolong jembatan? Mustahil jika uang di kantong mereka hanya 1.000 Rupiah! Mereka punya lebih dari itu.

Menurut World Bank, kategori orang miskin adalah jika pendapatannya di bawah USD 2 sehari atau Rp. 20.000 dengan kurs Rp. 10.000 per Dollar. Jika punya 20.000 Rupiah saja dianggap miskin, dan janda itu hanya punya 1.000 Rupiah pada hari itu, dapatkah kita mengerti betapa miskinnya janda itu? Ia benar-benar lebih miskin dari pengemis manapun, pemulung manapun, dan gelandangan manapun.

Sekali lagi, keyakinan saya bahwa dua peser yang ia masukkan ke dalam peti persembahan itu pasti bukan uang sisa-sisa atau uang kembalian setelah ia membeli sesuatu. Tidak. Ia memang hanya punya itu. Dua peser itu adalah seluruh nafkahnya. Hidupnya begitu akrab dengan yang namanya kekurangan. Bagaimana ia makan dengan dua peser atau 1000 Rupiah setiap harinya?

Mungkin janda itu sudah terbiasa melupakan perutnya. Mungkin iapun sudah terlalu biasa dengan yang namanya lapar. Ia bukan hanya hidup pas-pasan, tetapi sangat minim, sangat kurang, sangat papa. Dalam kondisi miskinnya yang tak terperi itu, toh ia masih memberi persembahan kepada Tuhan. Berapa? Seluruhnya, tanpa ia pernah berpikir perutnya yang kosong.

Walau hanya dua peser, pemberiannya mengundang kekaguman Yesus. Ia tidak mendengar komentar Yesus karena ia pasti langsung pergi karena ia tahu diri. Ia tak mau mendengar orang-orang kaya di situ berbisik-bisik melihat ia hanya memasukkan receh ke peti persembahan itu.

Dalam Markus 12:43-44 Yesus berkata kepada murid-muridNya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

Mendengar komentar Yesus, orang-orang kaya di bait suci itu pasti tersentak, tersinggung, dan marah. Bagaimana mungkin? Benar, Yesus sangat jeli dan logikanya tidak ngawur. Dua peser itu adalah semua yang ada padanya, seluruh nafkahnya, bukan uang sisa-sisa. Ia cuma punya itu. Apakah cuma perkara dua peser itu saja yang membuat Yesus memuji janda itu? Tentu saja tidak. Kekaguman Yesus kepada janda itu lebih karena kerelaan dan ketulusannya memberi sekalipun ia kekurangan. Bukan hanya itu, ia memberi semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya. Bukankah nafkah adalah soal hidup mati? Setiap orang bekerja dan berjuang mencari nafkah untuk menghidupi dirinya. Sedangkan orang-orang kaya itu hanya memberi sebagian kecil dari yang mereka miliki, bahkan mungkin sisa-sisa atau kembalian setelah mereka membelanjakan uangnya.

Ah, janda itu telah membikin malu kita.

Janda itu telah menampar rasa bangga kita ketika kita memberi persembahan kepada Tuhan dalam jumlah besar dan menyangka bahwa kita telah memberi yang terbaik.

Janda itu telah mengajari kita bahwa soal memberi tidak ada hubungannya dengan kondisi keuangan kita. Jika kita punya hati memberi, kita akan memberi, apa yang kita punya. Banyak orang menunggu sampai punya banyak uang dulu baru mau memberi, karena beralasan uangnya yang cuma pas-pasan itu bakal semakin berkurang setelah memberi. Saya melihat orang-orang yang berprinsip seperti ini tetap tidak pernah bisa memberi walau menunggu bertahun-tahun.

Ketika terjadi kelaparan di Israel, lagi-lagi seorang janda telah membikin malu kita. Ia memberi makan seorang Nabi yang top, yaitu Nabi Elia. Janda di Sarfat itu juga miskin, tak kalah miskin daripada janda yang memberi dua peser itu.

“Ambil bagiku sepotong roti,” kata Nabi Elia. “Aku hanya punya segenggam tepung dan sedikit minyak untuk membuat roti untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak punya apa-apa lagi dan setelah itu akan mati kelaparan,” jawab janda itu. Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan anakmu.”

Jika kita membaca cerita ini, tidakkah janda itu berpikir bahwa Nabi Elia sungguh tidak tahu diri? Nabi itu meminta makan padanya di saat paceklik dan ia hanya punya waktu sehari untuk menyambung hidupnya. Tetapi kembali kerelaan dan ketulusan mengalahkan keadaan sesulit apapun. Janda itu, walaupun mungkin dengan hati nelangsa karena begitu miskinnya, toh merelakan bagiannya untuk diambil untuk orang yang tidak ia kenal. Mungkin janda di Sarfat itu berpikir, “Ah, kepalang tanggung, jika kuberikan kepada Nabi ini aku mati sekarang, jika tak kuberi aku mati besok. Mati hari ini dan besok tak jauh beda, bukan? Tetapi jika aku mati lebih dahulu pada hari ini karena makananku kuberikan, aku telah melakukan sebuah kebaikan untuk orang.lain”. Mungkin janda itu juga berpikir bahwa ia bukan orang penting, tetapi Nabi Elia jelas sangat penting sehingga Nabi Elia tidak boleh mati kelaparan. Janda itu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Ia bahkan tak memikirkan nasibnya.

Dua orang janda telah membikin malu kita.

Apakah kita begitu bangga jika kita mampu memberi banyak? Bukankah memberi banyak di saat punya banyak adalah soal biasa? Sebaliknya, bukankah istimewa jika kita memberi di saat kekurangan bahkan ketika kita tidak punya apa-apa? Jika memberi banyak di saat punya banyak saja dianggap soal biasa, bagaimana jika kita punya banyak tetapi hanya memberi sedikit? “We are rich only through what we give, and poor only through what we refuse,” kata Ralph Waldo Emerson. Maka kaya atau miskin sesungguhnya bukan tergantung berapa banyak uang dan harta yang kita punya, karena dari ketulusan memberilah kita dinilai.

Dua orang janda itu bukan siapa-siapa. Namanyapun tidak dicatat oleh penulis Injil. Tetapi mereka telah menjadi icon pemberian persembahan yang tulus dan berharga - yang membuktikan bahwa merekalah sebenarnya orang-orang kaya yang berbahagia.

***
“…sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35b)

Serpong, Jun 2013
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...