Ia telah
membikin malu kita.
Ia berjalan
pelahan sambil tertunduk, karena ia sadar dan rumangsa (tahu diri) bahwa orang-orang yang memberi persembahan
sebelum dia adalah orang-orang berduit, yang waktu menuju peti persembahan
berjalan dengan langkah tegap dan kepala mendongak. Janda itu berjalan gemetar
karena ia tahu bukan hanya orang-orang kaya yang sedang berada di bait Allah
itu, tetapi Seorang Pengajar top, yaitu Yesus, baru saja menyelesaikan
khotbah-Nya.
Janda itu
menggenggam rapat-rapat uang recehnya agar tak ada yang tahu berapa keping dalam
genggamannya yang akan dimasukkan ke peti persembahan (Tak ada orang yang
bangga karena memberi receh, bukan?). Ia begitu miskin.
Semiskin
apakah ia? Hari itu ia cuma punya dua peser. Itu bukan uang sisa-sisa, tetapi
memang ia hanya punya dua peser itu. Peser adalah mata uang terkecil Yahudi.
Untuk membantu kita membayangkan berapa banyak yang janda itu punyai, baiklah
kita konversi nilai peser itu ke Rupiah.
Dari
perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Matius 20:1-16), upah
seorang pekerja adalah satu dinar sehari. Di Indonesia, UMR (Upah Minimum
Regional) atau sekarang UMP (Upah Minimum Propinsi) berbeda-beda tergantung
daerahnya. UMP Jakarta adalah Rp. 2,2 juta per bulan. Di luar Jakarta, misalkan
di NTT adalah Rp. 1 juta, di Sulawesi Selatan Rp. 1,4 juta dan di Jawa Timur
Rp. 1,7 juta. Jadi ambil saja rata-rata UMP adalah Rp. 1,5 juta per bulan atau
Rp. 62.500 per hari. Satu dinar sama dengan 128 peser sehingga 1 peser adalah
Rp. 488, dibulatkan Rp. 500. Janda miskin itu pada hari itu hanya punya 2 peser
atau sama dengan Rp. 1.000. Coba bayangkan dengan hanya 1.000 Rupiah di kantong
kita, apa yang dapat kita beli? Di benak saya paling-paling cuma krupuk kampung
yang warna putih kruwel-kruwel
seperti bakmi yang rasanya gurih vetsin itu (Ya, kalau saya makan di warung
saya selalu cari krupuk itu untuk menambah lauk)
Adakah di
antara kita yang hidup hari ini dengan cuma 1000 Rupiah di kantongnya? Coba
sebut siapakah orang yang paling miskin atau paling papa atau paling hina-dina
yang bisa kita sebut. Pengemis? Pemulung? Gelandangan yang hidup di kolong
jembatan? Mustahil jika uang di kantong mereka hanya 1.000 Rupiah! Mereka punya
lebih dari itu.
Menurut World
Bank, kategori orang miskin adalah jika pendapatannya di bawah USD 2 sehari
atau Rp. 20.000 dengan kurs Rp. 10.000 per Dollar. Jika punya 20.000 Rupiah
saja dianggap miskin, dan janda itu hanya punya 1.000 Rupiah pada hari itu,
dapatkah kita mengerti betapa miskinnya janda itu? Ia benar-benar lebih miskin
dari pengemis manapun, pemulung manapun, dan gelandangan manapun.
Sekali lagi,
keyakinan saya bahwa dua peser yang ia masukkan ke dalam peti persembahan itu
pasti bukan uang sisa-sisa atau uang kembalian setelah ia membeli sesuatu.
Tidak. Ia memang hanya punya itu. Dua peser itu adalah seluruh nafkahnya. Hidupnya
begitu akrab dengan yang namanya kekurangan. Bagaimana ia makan dengan dua peser
atau 1000 Rupiah setiap harinya?
Mungkin janda
itu sudah terbiasa melupakan perutnya. Mungkin iapun sudah terlalu biasa dengan
yang namanya lapar. Ia bukan hanya hidup pas-pasan, tetapi sangat minim, sangat
kurang, sangat papa. Dalam kondisi miskinnya yang tak terperi itu, toh ia masih
memberi persembahan kepada Tuhan. Berapa? Seluruhnya, tanpa ia pernah berpikir
perutnya yang kosong.
Walau hanya
dua peser, pemberiannya mengundang kekaguman Yesus. Ia tidak mendengar komentar
Yesus karena ia pasti langsung pergi karena ia tahu diri. Ia tak mau mendengar
orang-orang kaya di situ berbisik-bisik melihat ia hanya memasukkan receh ke
peti persembahan itu.
Dalam Markus
12:43-44 Yesus berkata kepada murid-muridNya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih
banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.
Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari
kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."
Mendengar
komentar Yesus, orang-orang kaya di bait suci itu pasti tersentak, tersinggung,
dan marah. Bagaimana mungkin? Benar, Yesus sangat jeli dan logikanya tidak
ngawur. Dua peser itu adalah semua yang ada padanya, seluruh nafkahnya, bukan
uang sisa-sisa. Ia cuma punya itu. Apakah cuma perkara dua peser itu saja yang
membuat Yesus memuji janda itu? Tentu saja tidak. Kekaguman Yesus kepada janda
itu lebih karena kerelaan dan ketulusannya memberi sekalipun ia kekurangan.
Bukan hanya itu, ia memberi semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya. Bukankah
nafkah adalah soal hidup mati? Setiap orang bekerja dan berjuang mencari nafkah
untuk menghidupi dirinya. Sedangkan orang-orang kaya itu hanya memberi sebagian
kecil dari yang mereka miliki, bahkan mungkin sisa-sisa atau kembalian setelah
mereka membelanjakan uangnya.
Ah, janda itu
telah membikin malu kita.
Janda itu
telah menampar rasa bangga kita ketika kita memberi persembahan kepada Tuhan
dalam jumlah besar dan menyangka bahwa kita telah memberi yang terbaik.
Janda itu
telah mengajari kita bahwa soal memberi tidak ada hubungannya dengan kondisi
keuangan kita. Jika kita punya hati memberi, kita akan memberi, apa yang kita
punya. Banyak orang menunggu sampai punya banyak uang dulu baru mau memberi,
karena beralasan uangnya yang cuma pas-pasan itu bakal semakin berkurang setelah
memberi. Saya melihat orang-orang yang berprinsip seperti ini tetap tidak
pernah bisa memberi walau menunggu bertahun-tahun.
Ketika
terjadi kelaparan di Israel, lagi-lagi seorang janda telah membikin malu kita. Ia
memberi makan seorang Nabi yang top, yaitu Nabi Elia. Janda di Sarfat itu juga
miskin, tak kalah miskin daripada janda yang memberi dua peser itu.
“Ambil bagiku
sepotong roti,” kata Nabi Elia. “Aku hanya punya segenggam tepung dan sedikit
minyak untuk membuat roti untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak
punya apa-apa lagi dan setelah itu akan mati kelaparan,” jawab janda itu.
Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan
anakmu.”
Jika kita
membaca cerita ini, tidakkah janda itu berpikir bahwa Nabi Elia sungguh tidak
tahu diri? Nabi itu meminta makan padanya di saat paceklik dan ia hanya punya
waktu sehari untuk menyambung hidupnya. Tetapi kembali kerelaan dan ketulusan
mengalahkan keadaan sesulit apapun. Janda itu, walaupun mungkin dengan hati
nelangsa karena begitu miskinnya, toh merelakan bagiannya untuk diambil untuk
orang yang tidak ia kenal. Mungkin janda di Sarfat itu berpikir, “Ah, kepalang
tanggung, jika kuberikan kepada Nabi ini aku mati sekarang, jika tak kuberi aku
mati besok. Mati hari ini dan besok tak jauh beda, bukan? Tetapi jika aku mati
lebih dahulu pada hari ini karena makananku kuberikan, aku telah melakukan
sebuah kebaikan untuk orang.lain”. Mungkin janda itu juga berpikir bahwa ia
bukan orang penting, tetapi Nabi Elia jelas sangat penting sehingga Nabi Elia
tidak boleh mati kelaparan. Janda itu mengutamakan orang lain daripada dirinya
sendiri. Ia bahkan tak memikirkan nasibnya.
Dua orang
janda telah membikin malu kita.
Apakah
kita begitu bangga jika kita mampu memberi banyak? Bukankah memberi banyak di
saat punya banyak adalah soal biasa? Sebaliknya, bukankah istimewa jika kita
memberi di saat kekurangan bahkan ketika kita tidak punya apa-apa? Jika memberi
banyak di saat punya banyak saja dianggap soal biasa, bagaimana jika kita punya
banyak tetapi hanya memberi sedikit? “We are rich only through what we give, and poor only
through what we refuse,” kata Ralph
Waldo Emerson. Maka kaya atau miskin sesungguhnya bukan tergantung berapa
banyak uang dan harta yang kita punya, karena dari ketulusan memberilah kita
dinilai.
Dua
orang janda itu bukan siapa-siapa. Namanyapun tidak dicatat oleh penulis Injil.
Tetapi mereka telah menjadi icon pemberian
persembahan yang tulus dan berharga - yang membuktikan bahwa merekalah
sebenarnya orang-orang kaya yang berbahagia.
***
“…sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah
lebih berbahagia memberi dari
pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35b)
Serpong, Jun 2013
Titus J.