Monday, March 26, 2018

Kayafas dan sopir bajaj biru

Kayafas turun dari KRL (Kereta Rel Listrik) di stasiun Tanah Abang pada suatu pagi di hari Senin, kemudian bergegas menuju pintu keluar di antara orang-orang yang terburu-buru berjalan ke arah yang sama.

Di pintu keluar stasiun Kayafas dihadang oleh deretan tukang ojek pangkalan tetapi ia tidak mengacuhkannya dan langsung menuju pangkalan bajaj. Sopir bajaj warna biru yang bajajnya berada di urutan terdepan membukakan pintu, lalu mempersilakan Kayafas duduk. Tidak langsung duduk, Kayafas malahan meminta sopir bajaj itu melap tempat duduk yang tidak tampak kotor itu. Sopir bajaj itu menuruti permintaannya. Setelah selesai, Kayafas naik dan duduk.

Tidak seperti biasanya dimana sopir bajaj akan langsung menghidupkan mesin lalu tancap gas walaupun penumpangnya belum mengatakan tujuannya kemana, sopir itu memandang sejenak, lalu, sebelum mulutnya mengucap tanya, Kayafas berkata: “Saya Kayafas. Antar saya ke Monas!”

Sopir yang tampak bengong itu belum menghidupkan mesin bajajnya. Mulutnya terngaga kemudian berkata dengan gagap, “Bap..bapak.. Kayaf…ffass???” Ia memang takjub dengan pria berjenggot dengan jubah panjang dan topi Yahudi yang tak disangka-sangka bagai mimpi di siang bolong itu menaiki bajajnya.

“Benar. Apakah kau kenal aku?” tanya Kayafas balik. Sopir bajaj itu terdiam seperti patung. Mulutnya terbuka membentuk huruf ‘O’ gepeng.

“Kenapa bengong? Butuh uang tidak kau ini?!!” suara Kayafas setengah menghardik.

Sopir itu terkesiap. Perasaannya bercampur-aduk antara kagum dan jengkel. Ia kagum dengan sosok populer di awal masehi yang tiba-tiba nongol di jaman internet itu, tetapi jengkel pagi-pagi belum dapat uang sudah dibentak oleh penumpangnya. Mentang-mentang orang kaya. Tapi ah sudahlah, pikir sopir bajaj itu. Hardikan angkuh itu langsung mengingatkannya akan perangai Kayafas, dan itu membuatnya maklum. Rupanya sopir bajaj itu seorang Kristen, yang sejak kecil sudah sering mendengar guru sekolah minggunya bercerita tentang sosok Kayafas.

“Bukankah ia adalah Imam Besar?” kata sopir bajaj itu dalam hatinya. “Sedangkan kepada Pilatus saja ia memanggilnya ‘kau’, apalagi kepadaku,” pikirnya. Memang benar. Kayafas pernah menghasut orang banyak untuk mengancam Pilatus dengan mengatakan, “Jika kau membebaskan Dia (maksudnya Yesus), kau bukanlah sahabat Kaisar, karena setiap orang yang menganggap dirinya Raja sama dengan melawan Kaisar.”

Sopir bajaj itu langsung men-start mesinnya lalu memacu bajajnya dan berjibaku melewati celah-celah mobil yang membunyikan klakson di sana-sini.

Jalan Jatibaru penuh sesak dengan mobil pribadi dan angkot, dan di tepi jalan berderet para pengojek Go-Jek, Grab dan Uber dengan jaket kebanggaan mereka. Para pekerja kantoran memegang handphone dan sibuk menelepon sambil matanya jelalatan mencari tukang ojek online-nya. Satpol PP yang bertebaran disana-sini tampak seperti mengatur lalu-lintas tetapi lebih banyak yang bergerombol seperti kebingungan. Mau mengatur bagaimana? Jalanan di dekat stasiun Tanah Abang itu sangat ramai dan suasana penuh riang-gembira a.k.a. semrawut. Satpol PP itu tampak bingung antara menertibkan atau membiarkan. Karena bingung, mereka hanya meniup-niup peluit saja.

Sopir bajaj itu melap keringatnya dengan handuk di lehernya. Wajahnya sudah tidak tegang lagi dan suasana di dalam bajaj itu sudah cair karena ternyata Kayafas suka mengobrol.

“Sekarang era keberpihakan ke rakyat kecil ya?” tanya Kayafas.
“Benar, Pak. Sekarang apapun diperbolehkan. Dulu jalanan bersih dari pedagang kaki lima (PKL), sekarang PKL boleh menggelar dagangannya di jalan. Dulu sepeda motor tidak boleh lewat jalan protokol, sekarang boleh. Dulu becak dilarang masuk ke Jakarta, sekarang malah diundang datang, bahkan akan diberikan training khusus cara menggenjot becak yang benar dan enak. Pokoknya beda deh Pak Kayafas,” kata sopir bajaj itu.
“Aku perhatikan sekarang suasana juga adem-ayem saja antara pemerintah daerah dan DPRD. Sebelumnya kan suka berantem,” kata Kayafas.
“Yaahh.. jelaslah adem-ayem, wong sekarang ini era pemimpin santun dan agamis. Pemimpin sebelumnya dikatain kafir, dan marah-marah melulu,” kata sopir bajaj. “Ehh, kok Bapak ngerti istilah adem-ayem, Bapak kursus bahasa Jawa dimana?” tanya sopir bajaj itu sejenak kemudian.
“Ya ke orang Jawalah, di Pekalongan, sekalian kursus membatik.”
“Wah, ngapain jauh-jauh Pak? Belajar bahasa Jawa ke saya saja Pak. Tidak usah bayar. Tapi gantian saya belajar bahasa Ibrani atau bahasa Aram ke Bapak ya?” sopir bajaj itu sudah tidak canggung dan mulai nyerocos.
“Urusan begituan sih bisa diatur,” jawab Kayafas sambil menunduk dan mengelus-elus jenggotnya.
Di perempatan jalan Thamrin dan Kebon Sirih sopir bajaj itu mengerem bajajnya karena lampu lalu-lintas menyala merah. Beberapa orang polisi berdiri di tengah dan memberi isyarat kepada mobil-mobil dari arah Sarinah untuk mempercepat lajunya. Tak berapa lama kemudian lewat beberapa mobil patroli pengawal diikuti beberapa mobil pejabat melintas dengan cepat. Setelah rombongan pejabat itu habis, sopir itu bersiap tancap gas lagi tapi ia menoleh sejenak ke arah Kayafas.
“Kita belok kiri atau lurus?” tanya sopir bajaj itu.
“Loh, bajaj kan tidak boleh lewat Thamrin? Kau sudah berapa lama bawa bajaj?” tanya Kayafas jengkel.
Sopir itu masih mau bertanya lagi tetapi suara klakson panjang bersahut-sahutan di belakang bajaj membuat sopir itu langsung melepaskan koplingnya sehingga bajaj itu melompat. Ia memperhatikan dari kaca spion mulut Kayafas komat-kamit entah berdoa entah mengumpat. Di depan kantor DPRD Kayafas menoleh ke kiri sambil menggumam: “Hmm.. adem-ayem…”

Sampai di ujung jalan seberang Tugu Tani, sopir bajaj itu berbelok ke kiri masuk ke jalan Ridwan Rais. Ia memperlambat bajajnya dan menepi di depan sebuah halte lalu berhenti tanpa mematikan mesin.

“Pak Kayafas, mengapa Bapak membenci Yesus?” tanya sopir bajaj itu tiba-tiba.
“Ohh. Hmm.. kebencian itu tentu bukan tanpa alasan,” jawab Kayafas.
“Bukankah Dia adalah orang baik? Ia menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati. Orang berbondong-bondong mengikuti-Nya, bahkan rela tidak pulang berhari-hari demi mendengarkan-Nya berkhotbah dan memperoleh kesembuhan.”
“Guru-guru Yahudi dan imam-imam mengajar rakyat Yahudi kitab Taurat dan kitab-kitab para Nabi dengan sangat teliti. Kami ajarkan aturan-aturan hidup beragama, tetapi Dia menjungkir-balikkan aturan-aturan yang sudah beratus-ratus tahun berlaku di masyarakat kami.”
“Tapi di gereja saya diajarkan bahwa Dia adalah Mesias.”
“Mesias? Apakah Mesias tidak mengerti soal menguduskan hari Sabat? Ia berkali-kali menyembuhkan orang sakit di hari Sabat, padahal di hari Sabat semua orang harus berhenti dari seluruh kegiatan.”
“Bagaimana jika ada domba yang terperosok ke dalam jurang atau ada orang terkena musibah pada hari Sabat?”
“Musa mengajarkan kami untuk menguduskan hari Sabat. Apa yang tertulis, tetap tertulis,” jawab Kayafas dengan suara agak keras.
“Tetapi banyak orang memuji dan menghormati-Nya, Pak.”
“Hanya orang-orang berdosa yang menghormati-Nya. Tidak heran, Ia bercakap-cakap dengan pelacur, singgah di rumah pemungut cukai, makan dan minum dengan orang-orang berdosa. Bahkan Ia membiarkan kaki-Nya dijamah oleh seorang perempuan berdosa yang membalurkan minyak wangi dan menyekanya dengan rambutnya. Jika Ia adalah Nabi, tentunya Ia tahu siapakah perempuan itu.”

Sebuah mobil patroli bak terbuka dari Dinas Perhubungan menghampiri dan mengusir bajaj itu agar berjalan. Bajaj bergerak dan berbelok ke arah kiri masuk ke jalan Merdeka Selatan.
“Mengapa Bapak menyalibkan Yesus?” kata sopir bajaj itu.
“Bukan aku yang menyalibkan-Nya,” jawab Kayafas.
“Tetapi saya baca di Alkitab, Bapak mengadakan permufakatan jahat bersama imam-imam dan ahli-ahli Taurat untuk membunuh-Nya.”
“Tidak mungkin! Hukum Taurat melarang kami untuk membunuh.”
“Bapak memang tidak langsung membunuh, tetapi menghasut rakyat untuk membunuh!” kata sopir bajaj itu dengan jengkel.
“Kau kurang teliti membaca. Aku hanya mengorganisir demo besar-besaran, dan rakyat mendukung, heheh..” jawab Kayafas sambil terkekeh.
“Tapi Bapak yang meneriakkan pertama kali bahwa Ia menghujat Allah!” lanjut sopir bajaj itu.
“Aku harus menggunakan dalil-dalil agama untuk menyeret-Nya ke Pilatus. Aku adalah Imam Besar!”
“Termasuk jualan surga?”
“Kenyataannya surga sangat membuai orang-orang yang katanya beragama, bukan?”

Ketika bajaj sudah sampai di depan Balai Kota, Kayafas meminta sopir bajaj itu untuk berhenti. Kayafas membuka tasnya dan merogoh dompetnya. Jari-jemarinya mencari-cari uang di dalam dompetnya.
“Pak Kayafas, ngomong-ngomong, kok tiba-tiba Bapak datang ke Indonesia, ada proyek?” tanya sopir bajaj itu.
“Pilkada.”
“Oohh.. habis itu Bapak langsung pulang ke Israel?”
“Tidak, aku akan memperpanjang visa lewat Singapore hingga tahun 2019.”
“Wah, proyek apa lagi?”
“Pilpres!” jawab Kayafas sambil menyodorkan satu lembar sepuluh ribuan ditambah dua lembar limaribuan ditambah satu lembar duaribuan. “Yang duaribu ini tip karena kau sudah menemaniku mengobrol ya,” kata Kayafas sambil keluar dari bajaj biru itu.
“Bapak tidak jadi turun di Monas?” tanya sopir bajaj itu sambil memegangi lembaran uang itu dengan sedikit kecewa.
“Tidak, aku lanjutkan jalan kaki saja,” jawab Kayafas sambil memandangi kantor Balai Kota.

Bajaj biru itu melaju menuju ke stasiun Tanah Abang kembali. Ia berharap penumpang berikutnya nanti adalah Yudas Iskariot. Siapa tahu ia akan mendapat tip lebih banyak daripada yang diberikan oleh Kayafas barusan.

Religion is like a knife: you can either use it to cut bread, or stick in someone's back.
--Desmond Tutu

***
Serpong, Feb 2018
Titus J.

Sunday, March 25, 2018

Dia sudah tersalib di Getsemani


--Renungan Jumat Agung--
Pergumulan terberat Yesus Kristus sebenarnya bukan di Golgota, tetapi di taman Getsemani. Di Getsemani itulah kita melihat potret seorang manusia sejati yang memiliki segala rasa seutuhnya sebagaimana kita, manusia dengan darah dan daging ini.
Di Getsemani itu jiwa yang tertekan di ambang kekejaman salib didemonstrasikan apa adanya, sejujurnya, dan sewajar-wajarnya.
Banyak dari kita yang sebenarnya tidak rela Yesus mempertontonkan adegan di Getsemani itu, karena hal itu menjadi sebuah titik balik dari kehebatan-Nya yang selama 3,5 tahun ditunjukkan-Nya. Ia memerintahkan badai dan angin ribut untuk diam dan tenang, dan angin ribut itu taat. Ia memerintahkan gerombolan setan yang bernama Legion itu keluar dari seorang yang kerasukan di Gadara, dan kawanan setan itu lari terbirit-birit masuk jurang bersama duaribuan kawanan babi. Ia memanggil Lazarus yang sudah empat hari terkubur dan Lazarus pun hidup dan keluar dari kuburan. Ia berulang kali mengatakan kepada murid-muridNya bahwa Ia datang ke dunia untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa-Nya. Dan untuk menyelesaikan tugas itu, hanya ada satu jalan, yaitu jalan salib.
Ia dengan segenap hati sadar akan panggilan dan tugas-Nya.
Tetapi di Getsemani itu Yesus seolah kehilangan keperkasaan-Nya dan berubah menjadi Seorang yang lemah tak berdaya dan penakut. Kita seperti tidak mau mendengar Ia mengucapkan sebuah keluhan, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Tak cuma itu, Ia kemudian harus mengucapkan sebuah doa yang sama sekali tidak menggambarkan Seorang yang pemberani menghadapi saat paling kritis dalam hidup. “Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku,” ucap-Nya.
Ia memohon, wholeheartedly begging, kepada Yang Maha Menentukan Segalanya: “Bapa, seandainya mungkin ada sebuah jalan yang lain.”
Bagaimana mungkin Yesus yang kita kagumi mencoba menghindari komitmen-Nya sendiri? Bagaimana mungkin Ia mengucapkan doa kepada Bapa-Nya dengan permohonan yang sudah Ia ketahui tak bakal dikabulkan? Cawan penderitaan yang berisi dosa seisi dunia itu sudah tersedia di hadapan-Nya, dan perintah Bapa cuma satu kata: “Minum!”
Apakah Ia hanya bersandiwara saja?
Tidak. Saat itu ia benar-benar tercekam oleh rasa gentar karena Ia tahu benar apa yang bakal terjadi atas diri-Nya. Kita tidak bisa mengingkari dimensi kemanusiaan-Nya yang melekat pada diri-Nya, walaupun kita percaya bahwa Ia datang dari Surga, bahwa Ia datang dari Bapa.
Ia datang dari Bapa, dan Bapa memanggil-Nya: “Anak-Ku yang Kukasihi”. Ia adalah Firman Allah – sebagaimana ditulis pada Injil Yohanes 1:1. Sebutan apa yang lebih tepat untuk menggambarkan diri-Nya selain sebagai Anak Allah karena Ia adalah Firman Allah yang berinkarnasi menjadi manusia? Ia, ketika wewujud manusia, adalah sungguh-sungguh manusia utuh yang memiliki perasaan sebagaimana manusia pada umumnya. Kala itu, Ia adalah manusia seperti kita, hanya bedanya, Ia tidak berbuat dosa dan tidak bisa berbuat dosa. Tidak mungkin Ia mengatakan kepada orang berdosa: “Dosamu sudah diampuni” jika Ia sendiri adalah seorang pendosa.
Maka di Getsemani itu Ia menghadapi pergumulan yang maha berat, karena Ia – Anak Allah yang berkuasa – harus menanggalkan kuasa-Nya dan menjadi seperti anak domba yang siap disembelih sebagai kurban. Ia sengaja merelakan untuk tidak menggunakan kuasa-Nya. Ketika Ia ditangkap oleh prajurit Romawi, murid yang sedang bersama-Nya tiba-tiba menghunus pedang, tetapi Ia berkata, “Masukkan pedangmu. Sangkamu Aku tak dapat meminta kepada Bapa-Ku untuk mengirimkan duabelas pasukan malaikat untuk membantu Aku?” Dengan kata lain Ia seolah ingin mengatakan, “Tahukah kau bahwa jalan untuk menyelesaikan tugas dari Bapa memang hanya ini? Bapa-Ku tak bersedia memberikan jalan alternatif.”
Getsemani adalah tempat pergumulan batin Yesus Kristus. Injil Lukas menulis di situlah Ia meneteskan peluh seperti titik-titik darah. Di situlah hati-Nya yang suci itu tercabik dan terpaku. Ia merasa begitu sendiiri. Ia merasa dibiarkan. Ia sudah berusaha meminta kepada ketiga murid-Nya untuk menemani-Nya di saat yang mencekam, tetapi kenyataannya mereka tertidur lelap. Sampai tiga kali Ia mengucapkan doa yang sama: “Father… if possible..” Tetapi Bapa-Nya membisu, tak menjawab sama sekali selain menunjukkan sebuah cawan sebagai jawaban tanpa kata-kata.
Adakah yang lebih menyiksa batin seseorang yang harusnya punya kuasa tetapi dalam suatu situasi justru tidak bisa menggunakan kuasa-Nya? Yesus memilih mengosongkan diri-Nya secara total padahal Ia memiliki segala kepenuhan Allah. Kesadaran inilah yang membuat-Nya melanjutkan doa-Nya, “Tetapi jangan kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu ya Bapa.”
Ia akhirnya memilih untuk taat, walaupun konsekuensinya Ia harus mati. Ia bisa saja memilih pulang ke Surga saat itu daripada melangkah ke Golgota, tetapi kasih-Nya kepada para pendosa lebih kuat menarik-Nya untuk menjalani via dolorosa. Max Lucado mengatakan, “He saw you in your own Gethsemane and He didn't want you to be alone. He would rather go to hell for you than to heaven without you.”
Pergumulan-Nya di Getsemani dan kegentaran yang ditunjukkan-Nya dengan jujur bukanlah ketakutan menghadapi cambukan tentara Romawi yang merobek daging-Nya, bukanlah ketakutan terhadap paku yang akan menembus tangan dan kaki-Nya, dan bukan pula ketakutan terhadap tombak yang bakal menancap di lambung-Nya. Ia sudah tahu semua itu jauh-jauh hari sebelum Ia dihadirkan ke dalam dunia. Tetapi kesedihan dan ketakutan-Nya disebabkan oleh keterpisahan diri-Nya dengan Bapa yang mengasihi-Nya. Dari sinilah kita mengerti situasi batin-Nya ketika Ia mengatakan: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.”
“Eloi… Eloi… Lama Sabakhtani..?” adalah seruan yang memilukan dari seorang Anak yang direnggut secara paksa dari pangkuan Bapa-Nya. Seruan itu berkumandang nyaring di langit kosong karena Bapa-Nya tak sanggup melihat dosa keji seluruh dunia ditimpakan kepada-Nya.
Keterpisahan-Nya dengan Bapa-Nya sudah terjadi di Getsemani, ketika doa-Nya kepada Bapa-Nya berlalu ditelan sepi.

Gethsemane is where He died; the cross is only the evidence --Leonard Ravenhill

***

Serpong, 25 Mar 2018
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...