Di pintu
keluar stasiun Kayafas dihadang oleh deretan tukang ojek pangkalan tetapi ia
tidak mengacuhkannya dan langsung menuju pangkalan bajaj. Sopir bajaj warna
biru yang bajajnya berada di urutan terdepan membukakan pintu, lalu mempersilakan
Kayafas duduk. Tidak langsung duduk, Kayafas malahan meminta sopir bajaj itu
melap tempat duduk yang tidak tampak kotor itu. Sopir bajaj itu menuruti
permintaannya. Setelah selesai, Kayafas naik dan duduk.
Tidak seperti
biasanya dimana sopir bajaj akan langsung menghidupkan mesin lalu tancap gas
walaupun penumpangnya belum mengatakan tujuannya kemana, sopir itu memandang
sejenak, lalu, sebelum mulutnya mengucap tanya, Kayafas berkata: “Saya Kayafas.
Antar saya ke Monas!”
Sopir yang
tampak bengong itu belum menghidupkan mesin bajajnya. Mulutnya terngaga
kemudian berkata dengan gagap, “Bap..bapak.. Kayaf…ffass???” Ia memang takjub
dengan pria berjenggot dengan jubah panjang dan topi Yahudi yang tak
disangka-sangka bagai mimpi di siang bolong itu menaiki bajajnya.
“Benar. Apakah
kau kenal aku?” tanya Kayafas balik. Sopir bajaj itu terdiam seperti patung.
Mulutnya terbuka membentuk huruf ‘O’ gepeng.
“Kenapa
bengong? Butuh uang tidak kau ini?!!” suara Kayafas setengah menghardik.
Sopir itu
terkesiap. Perasaannya bercampur-aduk antara kagum dan jengkel. Ia kagum dengan
sosok populer di awal masehi yang tiba-tiba nongol di jaman internet itu,
tetapi jengkel pagi-pagi belum dapat uang sudah dibentak oleh penumpangnya.
Mentang-mentang orang kaya. Tapi ah sudahlah, pikir sopir bajaj itu. Hardikan
angkuh itu langsung mengingatkannya akan perangai Kayafas, dan itu membuatnya
maklum. Rupanya sopir bajaj itu seorang Kristen, yang sejak kecil sudah sering
mendengar guru sekolah minggunya bercerita tentang sosok Kayafas.
“Bukankah ia
adalah Imam Besar?” kata sopir bajaj itu dalam hatinya. “Sedangkan kepada
Pilatus saja ia memanggilnya ‘kau’, apalagi kepadaku,” pikirnya. Memang benar.
Kayafas pernah menghasut orang banyak untuk mengancam Pilatus dengan
mengatakan, “Jika kau membebaskan Dia (maksudnya Yesus), kau bukanlah sahabat
Kaisar, karena setiap orang yang menganggap dirinya Raja sama dengan melawan
Kaisar.”
Sopir bajaj
itu langsung men-start mesinnya lalu
memacu bajajnya dan berjibaku melewati celah-celah mobil yang membunyikan
klakson di sana-sini.
Jalan
Jatibaru penuh sesak dengan mobil pribadi dan angkot, dan di tepi jalan
berderet para pengojek Go-Jek, Grab dan Uber dengan jaket kebanggaan mereka. Para
pekerja kantoran memegang handphone
dan sibuk menelepon sambil matanya jelalatan mencari tukang ojek online-nya. Satpol PP yang bertebaran
disana-sini tampak seperti mengatur lalu-lintas tetapi lebih banyak yang
bergerombol seperti kebingungan. Mau mengatur bagaimana? Jalanan di dekat
stasiun Tanah Abang itu sangat ramai dan suasana penuh riang-gembira a.k.a.
semrawut. Satpol PP itu tampak bingung antara menertibkan atau membiarkan.
Karena bingung, mereka hanya meniup-niup peluit saja.
Sopir bajaj
itu melap keringatnya dengan handuk di lehernya. Wajahnya sudah tidak tegang
lagi dan suasana di dalam bajaj itu sudah cair karena ternyata Kayafas suka
mengobrol.
“Sekarang era keberpihakan ke rakyat
kecil ya?” tanya Kayafas.
“Benar, Pak. Sekarang apapun
diperbolehkan. Dulu jalanan bersih dari pedagang kaki lima (PKL), sekarang PKL
boleh menggelar dagangannya di jalan. Dulu sepeda motor tidak boleh lewat jalan
protokol, sekarang boleh. Dulu becak dilarang masuk ke Jakarta, sekarang malah
diundang datang, bahkan akan diberikan training khusus cara menggenjot becak
yang benar dan enak. Pokoknya beda deh Pak Kayafas,” kata sopir bajaj itu.
“Aku perhatikan sekarang suasana juga
adem-ayem saja antara pemerintah daerah dan DPRD. Sebelumnya kan suka berantem,”
kata Kayafas.
“Yaahh.. jelaslah adem-ayem, wong sekarang
ini era pemimpin santun dan agamis. Pemimpin sebelumnya dikatain kafir, dan marah-marah melulu,” kata sopir bajaj. “Ehh,
kok Bapak ngerti istilah adem-ayem, Bapak kursus bahasa Jawa dimana?” tanya
sopir bajaj itu sejenak kemudian.
“Ya ke orang Jawalah, di Pekalongan,
sekalian kursus membatik.”
“Wah, ngapain jauh-jauh Pak? Belajar bahasa
Jawa ke saya saja Pak. Tidak usah bayar. Tapi gantian saya belajar bahasa
Ibrani atau bahasa Aram ke Bapak ya?” sopir bajaj itu sudah tidak canggung dan
mulai nyerocos.
“Urusan begituan sih bisa diatur,”
jawab Kayafas sambil menunduk dan mengelus-elus jenggotnya.
Di
perempatan jalan Thamrin dan Kebon Sirih sopir bajaj itu mengerem bajajnya
karena lampu lalu-lintas menyala merah. Beberapa orang polisi berdiri di tengah
dan memberi isyarat kepada mobil-mobil dari arah Sarinah untuk mempercepat
lajunya. Tak berapa lama kemudian lewat beberapa mobil patroli pengawal diikuti
beberapa mobil pejabat melintas dengan cepat. Setelah rombongan pejabat itu
habis, sopir itu bersiap tancap gas lagi tapi ia menoleh sejenak ke arah
Kayafas.
“Kita belok kiri atau lurus?” tanya
sopir bajaj itu.
“Loh, bajaj kan tidak boleh lewat
Thamrin? Kau sudah berapa lama bawa bajaj?” tanya Kayafas jengkel.
Sopir itu
masih mau bertanya lagi tetapi suara klakson panjang bersahut-sahutan di belakang
bajaj membuat sopir itu langsung melepaskan koplingnya sehingga bajaj itu
melompat. Ia memperhatikan dari kaca spion mulut Kayafas komat-kamit entah
berdoa entah mengumpat. Di depan kantor DPRD Kayafas menoleh ke kiri sambil
menggumam: “Hmm.. adem-ayem…”
Sampai di ujung
jalan seberang Tugu Tani, sopir bajaj itu berbelok ke kiri masuk ke jalan
Ridwan Rais. Ia memperlambat bajajnya dan menepi di depan sebuah halte lalu
berhenti tanpa mematikan mesin.
“Pak Kayafas, mengapa Bapak membenci
Yesus?” tanya sopir bajaj itu tiba-tiba.
“Ohh. Hmm.. kebencian itu tentu bukan
tanpa alasan,” jawab Kayafas.
“Bukankah Dia adalah orang baik? Ia
menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati. Orang berbondong-bondong
mengikuti-Nya, bahkan rela tidak pulang berhari-hari demi mendengarkan-Nya
berkhotbah dan memperoleh kesembuhan.”
“Guru-guru Yahudi dan imam-imam
mengajar rakyat Yahudi kitab Taurat dan kitab-kitab para Nabi dengan sangat
teliti. Kami ajarkan aturan-aturan hidup beragama, tetapi Dia menjungkir-balikkan
aturan-aturan yang sudah beratus-ratus tahun berlaku di masyarakat kami.”
“Tapi di gereja saya diajarkan bahwa
Dia adalah Mesias.”
“Mesias? Apakah Mesias tidak mengerti
soal menguduskan hari Sabat? Ia berkali-kali menyembuhkan orang sakit di hari
Sabat, padahal di hari Sabat semua orang harus berhenti dari seluruh kegiatan.”
“Bagaimana jika ada domba yang
terperosok ke dalam jurang atau ada orang terkena musibah pada hari Sabat?”
“Musa mengajarkan kami untuk
menguduskan hari Sabat. Apa yang tertulis, tetap tertulis,” jawab Kayafas
dengan suara agak keras.
“Tetapi banyak orang memuji dan
menghormati-Nya, Pak.”
“Hanya orang-orang berdosa yang
menghormati-Nya. Tidak heran, Ia bercakap-cakap dengan pelacur, singgah di
rumah pemungut cukai, makan dan minum dengan orang-orang berdosa. Bahkan Ia
membiarkan kaki-Nya dijamah oleh seorang perempuan berdosa yang membalurkan
minyak wangi dan menyekanya dengan rambutnya. Jika Ia adalah Nabi, tentunya Ia
tahu siapakah perempuan itu.”
Sebuah mobil
patroli bak terbuka dari Dinas Perhubungan menghampiri dan mengusir bajaj itu
agar berjalan. Bajaj bergerak dan berbelok ke arah kiri masuk ke jalan Merdeka
Selatan.
“Mengapa Bapak menyalibkan Yesus?”
kata sopir bajaj itu.
“Bukan aku yang menyalibkan-Nya,”
jawab Kayafas.
“Tetapi saya baca di Alkitab, Bapak
mengadakan permufakatan jahat bersama imam-imam dan ahli-ahli Taurat untuk
membunuh-Nya.”
“Tidak mungkin! Hukum Taurat melarang
kami untuk membunuh.”
“Bapak memang tidak langsung membunuh,
tetapi menghasut rakyat untuk membunuh!” kata sopir bajaj itu dengan jengkel.
“Kau kurang teliti membaca. Aku hanya
mengorganisir demo besar-besaran, dan rakyat mendukung, heheh..” jawab Kayafas
sambil terkekeh.
“Tapi Bapak yang meneriakkan pertama kali
bahwa Ia menghujat Allah!” lanjut sopir bajaj itu.
“Aku harus menggunakan dalil-dalil agama
untuk menyeret-Nya ke Pilatus. Aku adalah Imam Besar!”
“Termasuk jualan surga?”
“Kenyataannya surga sangat membuai
orang-orang yang katanya beragama, bukan?”
Ketika bajaj
sudah sampai di depan Balai Kota, Kayafas meminta sopir bajaj itu untuk
berhenti. Kayafas membuka tasnya dan merogoh dompetnya. Jari-jemarinya
mencari-cari uang di dalam dompetnya.
“Pak Kayafas, ngomong-ngomong, kok
tiba-tiba Bapak datang ke Indonesia, ada proyek?” tanya sopir bajaj itu.
“Pilkada.”
“Oohh.. habis itu Bapak langsung pulang
ke Israel?”
“Tidak, aku akan memperpanjang visa lewat
Singapore hingga tahun 2019.”
“Wah, proyek apa lagi?”
“Pilpres!” jawab Kayafas sambil menyodorkan
satu lembar sepuluh ribuan ditambah dua lembar limaribuan ditambah satu lembar
duaribuan. “Yang duaribu ini tip karena kau sudah menemaniku mengobrol ya,”
kata Kayafas sambil keluar dari bajaj biru itu.
“Bapak tidak jadi turun di Monas?”
tanya sopir bajaj itu sambil memegangi lembaran uang itu dengan sedikit kecewa.
“Tidak, aku lanjutkan jalan kaki
saja,” jawab Kayafas sambil memandangi kantor Balai Kota.
Bajaj biru
itu melaju menuju ke stasiun Tanah Abang kembali. Ia berharap penumpang
berikutnya nanti adalah Yudas Iskariot. Siapa tahu ia akan mendapat tip lebih
banyak daripada yang diberikan oleh Kayafas barusan.
Religion is like a
knife: you can either use it to cut bread, or stick in someone's back.
--Desmond Tutu
***
Serpong,
Feb 2018
Titus J.