Tidak tahu mengapa sore itu aku harus mampir di warung makan di sudut
jalan itu. Sebelumnya aku sama sekali tak pernah kesana, walaupun setiap hari
paling sedikit dua kali aku lewat di depan warung itu; di pagi hari saat aku
berangkat ke kantor, dan di sore hari ketika aku memacu mobilku pulang ke rumah
dengan terburu-buru karena lapar.
Hari itu aku tidak sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, sebab
hari itu tanggal merah. Semua kantor sudah pasti tutup, kecuali kantor-kantor
pelayanan umum yang memang harus tetap memberi pelayanan publik, dengan
mengatur karyawannya bergiliran piket.
Warung kepunyaan orang Wonogiri itu ramai dengan pengunjung. Tampaknya
hari libur tak berpengaruh bagi pelanggannya. Setelah memarkir mobil, aku duduk
di dekat jendela yang terbuka menghadap jalan. Jendela warung yang cukup lebar
itu memang selalu terbuka, membuat angin semilir masuk dengan leluasa. Aku
merasakan desirnya mengelus kulit tanganku dan leherku.
Aku memesan segelas teh manis hangat. Penjual warung menawari aku makan,
tapi kutolak karena tak ada nafsu makan. Entahlah, aku tak tahu mengapa nafsu
makanku tiba-tiba hilang. Untuk apa aku datang ke warung ini tanpa membawa
nafsu makan dan perut lapar? Aku sendiri gagap.
Dalam keriuhan suara para pengunjung yang makan sambil mengobrol
diiringi denting sendok-garpu beradu dengan piring, sayup-sayup aku menangkap
suara nyanyian yang entah darimana datangnya, dan tiba-tiba menyeruak melewati
jendela warung kemudian singgah di telingaku.
Suara nyanyian yang kudengar sayup-sayup itu timbul-tenggelam seiring
dengan hembusan angin. Walaupun lamat-lamat, tapi kurasa nyanyian itu tidaklah
asing bagi telingaku. Aku pernah mendengarnya. Dan ketika kupertajam telingaku,
baru aku yakini benar bahwa nyanyian itu bukan saja pernah kudengar, tetapi
bahkan pernah kunyanyikan. Aku memejamkan mataku untuk mengingat
kalimat-kalimat dalam nyanyian itu, sambil berharap agar nyanyian itu tidak
lekas usai. Deg! Aku seperti
mendengar sebuah palu menghantam jantungku. Itu adalah lagu Malam Kudus, yang
selalu dinyanyikan di gereja-gereja ketika Natal tiba. Kulirik kalender yang
tergantung di dinding warung bersebelahan dengan poster seorang bintang film
India. Deg! untuk kedua kalinya
jantungku terhentak oleh pukulan palu. Hari ini memang dua puluh lima Desember.
Betapa! Betapa aku sudah lama melupakan tanggal dua puluh lima Desember.
Aku bahkan sengaja membuang kalender di bagian bulan Desember agar tak perlu
kuingat lagi setiap peristiwa yang jatuh di bulan Desember. Tak ada apapun yang
perlu kutunggu di bulan Desember, kecuali hujan.
Ketika kuperhatikan, asal nyanyian itu sudah pasti dari sebuah gereja
kecil yang letaknya dua-tiga rumah dari warung ini. Tiba-tiba timbul rasa
sesalku mengapa aku harus mampir di warung ini. Aku ingin segera beranjak,
tetapi penjual warung itu baru saja menghidangkan teh manis hangat yang tadi
kupesan.
Lalu nyanyian yang kudengar itu tiba-tiba membawaku ke masa yang jauh,
masa ketika aku selalu menantikan Natal, mencari pohon cemara hidup (bukan
plastik) untuk pohon terang, mendekorasi gereja, membikin pertunjukan panggung,
bahkan pernah aku memerankan Yusuf, suami Maria di sebuah drama Natal. Lalu
pikiranku melompat lagi ke masa yang lain ketika aku juga pernah memerankan
malaikat yang membawa kabar kelahiran-Nya kepada para gembala di padang. Lalu
wajah-wajah yang saling berebut bermunculan di depan mataku: Maria, Herodes,
orang-orang Majus…
Dan teringatlah aku tentang Betlehem, penginapan yang penuh, kandang
hewan yang berbau, palungan yang kotor..
Tiba-tiba aku merasakan seperti ada yang meremas hatiku hingga mataku
terasa panas. Aku menarik nafas dalam-dalam. Ada sebuah kerinduan entah
darimana datangnya serasa ingin meledak jauh dari kedalaman hatiku.
Hembusan angin yang menerobos lewat jendela warung sudah tidak membawa
lagi nyanyian itu ke telingaku, tetapi alunan Malam Kudus itu tak mau pergi
dari kepalaku. Kembali aku sesali mengapa aku harus duduk di warung ini dan
malah memesan teh manis hangat yang tak mungkin kutinggalkan sebelum kuminum
tandas. Aku pantang membuang makanan atau minuman. Teh manis baru kuseruput
sedikit saja, ketika tiba-tiba aku teringat nasihat ibuku, “Jika kau dengar
lagu Malam Kudus dan hatimu tidak merasa damai dan tenteram, mungkin ada yang
salah dengan hidupmu.”
Kalimat yang sudah bertahun-tahun tenggelam itu tiba-tiba muncul di
permukaan kalbuku. Kemudian aku merenung, mengapa nyanyian yang sangat syahdu
dan gemulai itu berubah menjadi pedang yang menghujam dahsyat ke ulu hatiku?
Nyanyian itu telah menggelisahkanku, bahkan menerorku. “Mungkin ada yang salah
dengan hidupmu,” kalimat itu terus berulang, menggema di ruang hatiku.
Aku melihat keluar lewat jendela warung, melihat orang-orang
berlalu-lalang, sebagian mengobrol dan tertawa lepas, sedangkan aku dikepung
oleh rasa gelisah.
“Mengapa tak kau langkahkan kakimu ke gereja itu?” seakan bicara suara
hatiku. “Apakah sudah tak ada sedikitpun rasa inginmu untuk menengok
palungan-Nya?” Aku diam. “Cuma perlu kau langkahkan kakimu beberapa langkah ke
sebelah, cuma dua-tiga rumah,” suara itu mendesak.
“Mengapa aku harus kesana? Aku akan menyelesaikan teh manis ini lalu
pergi,” kataku pada diri sendiri. Aku beralasan sebaiknya aku tak
mengganggu-Nya saat banyak orang sedang merayakan hari lahir-Nya.
“Kau dulu tak pernah absen untuk merayakan-Nya,” kembali suara hatiku
menggema. Lalu teringatlah aku ketika ibuku selalu membikinkan baju baru untuk
kukenakan saat Natal, dan tak lupa membawaku ke tukang cukur pinggir jalan
untuk menggunting rambutku. Maka di hari Natal aku akan bergaya dengan baju
baru dan potongan rambut baru, lalu ikut membawa lilin dan menyanyi bersama
teman-teman:
Malam
kudus sunyi senyap, bintang pun gemerlap
Juruselamat
manusia, telah datang ke dunia..
Walaupun sekian tahun berjalan dan aku belum mengerti benar apa makna
setiap syair yang dituliskan, tetapi nyanyian itu selalu kunantikan, karena
setiap kali nyanyian itu kunyanyikan, terasa damai menyiram hatiku, betapapun
penatnya jiwa akibat banyak urusan. Sekian tahun masa-masa itu datang dan pergi
dengan indahnya, dan ketika aku berangkat dewasa aku jadi mengerti peristiwa
kelahiran-Nya yang dicatat dalam sejarah dan kitab suci.
Teh manis yang sudah dingin itu telah kuminum hingga licin tandas, dan
setelah aku membayar aku bersiap untuk pergi. Ketika aku melangkah menuju mobil
lagi-lagi suara hatiku menggema, “Hanya dua-tiga rumah saja kau perlukan
langkah kakimu…”
Bergegas aku melangkah sambil meraba-raba kantong celanaku mencari kunci
mobil. Tekadku setelah menyalakan mesin mobil aku ingin segera tancap gas,
kabur. Tetapi..
“Mumpung kebaktian belum usai…Barangkali kau masih bisa mendapatkan
jejak Malam Kudus disana…,“ sontak gema suara hatiku menghentikanku dan
membuatku bimbang.
Aku batalkan niatku untuk masuk ke dalam mobil. Aku hanya
bersandar di pintu mobil.
Dengan kesal aku langkahkan kakiku menuju gereja yang hanya berjarak
dua-tiga rumah dari warung. Sesampainya di depan pagar gereja, aku berhenti.
Aku tak percaya apa yang kulakukan. Sudah bertahun-tahun aku tak pernah
injakkan kakiku di gereja. Kakiku lebih banyak pergi ke tempat-tempat lain
dimana Natal tidak dikenal. “Aku tak mungkin masuk ke dalam,” gumamku lirih.
Banyak orang sedang khusuk di dalam mendengarkan khotbah dan aku tak ingin
mengganggu. Aku bersiap untuk pergi.
“Mungkin jejak Malam Kudus masih ada di dalam,” kata suara hatiku.
“Masuklah,” desaknya. Aku mematung di depan pagar, mendengarkan debar jantungku
yang bertalu-talu. Lalu aku berjingkat pelan-pelan menuju satu-satunya kursi
yang kosong di pojokan. Hanya satu menit berselang Pendeta itu mengakhiri
khotbahnya, lalu mengajak jemaat menyanyikan kembali Malam Kudus sebagai
penutup khotbah.
Lidahku kelu, tapi dengan bibir gemetar kuikuti Malam Kudus hingga
selesai, pertama kali setelah sekian lama kulupakan. “Jika kau dengar lagu
Malam Kudus dan hatimu tidak merasa damai dan tenteram, mungkin ada yang salah
dengan hidupmu,” suara ibuku merajam hatiku.
Aku melihat palungan-Nya. Mataku merah dan basah.
***
Serpong, Des 2018Titus J.