Monday, December 25, 2017

Menunggu Eliot Ness

 “Harus ada yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati.” (Seno Gumira Ajidarma)

Tidak banyak orang yang berani melawan kejahatan. Kebanyakan dari kita mendiamkan saja sambil menunggu ada orang lain yang melakukan perlawanan.

Jika kita menganggap korupsi adalah kejahatan dan setiap kejahatan dilakukan oleh iblis, maka koruptor sebenarnya identik dengan iblis. Ada koruptor kecil-kecilan, ada pula koruptor besar-besaran. Sama seperti iblis, ada iblis krucuk, ada pula iblis selevel jenderal.

Di Negara kita ada lembaga anti rasuah bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka mengejar koruptor, menangkap, dan menjebloskannya ke penjara. Banyak pejabat dan pengusaha pelaku korupsi telah dikirim ke penjara, tetapi koruptor tidak pernah habis. Sini ditangkap, sana berbuat. Yang sana dikejar, yang sini berpesta. Begitulah terus kejadiannya. Lalu ada orang sinting mencemooh, “Lihat, apa yang dilakukan oleh KPK? Koruptor terus ditangkapi artinya kan korupsi jalan terus? Artinya kan KPK gagal memberantas korupsi???” Daripada membuang energi menjawab dan menjelaskan, logika semacam ini kita masukkan tong sampah saja.

Harus ada yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati. Harus ada yang melawan kejahatan, walaupun kejahatan tidak pernah habis. Yang dibutuhkan adalah orang-orang istimewa yang bukan sekedar melek hukum, tetapi juga berani, yang urat takutnya sudah putus.

Ada orang-orang istimewa yang memang ditentukan oleh jamannya menjadi pahlawan untuk memburu kejahatan. Dulu ada, kini pun ada.

Mengingat kembali situasi di Chicago di tahun 1920 – 1940an, kita tak mungkin melupakan Alphonse Gabriel Capone – lebih dikenal dengan Al Capone – seorang keturunan Italia kelahiran Brooklyn, Amerika yang menjadi bos gangster di Chicago di era tersebut.

Capone menyandang nama ‘Gabriel’ - mungkin orangtuanya mengharapkan kelak ia bisa menjadi pembawa berita keselamatan seperti malaikat Gabriel yang mengunjungi Maria. Tetapi apa daya, Gabriel yang  bermukim di Chicago itu memilih menjadi mobster.

Capone menjalankan bisnis ilegal sejak usia duapuluh tahun. Bakat premannya sudah tampak di usia sebelia itu sehingga ia dipercaya menjalankan bisnis illegal, di antaranya rumah judi, minuman keras, dan bisnis seputar tempat hiburan dan dunia malam. Persaingan dengan gang lainnya selalu diwarnai aksi saling bunuh antar anggota gang, tetapi Capone selalu lolos dari jerat hukum.

Capone bukannya tidak pernah ditangkap polisi kemudian diseret ke meja hijau. Ia sering berhadapan dengan hakim dan sederet juri di pengadilan, tetapi ia selalu bebas. Bahkan dalam kasus kematian seorang asisten Jaksa wilayah, Bill McSwiggin di tahun 1925 yang melibatkan gangnya, pengadilan membebaskan Capone dari segala tuntutan.

Kelicinan Capone menghindari jerat hukum adalah karena kecerdikannya merangkul pejabat pemerintah dan penegak hukum. Backing dari mereka membuat Capone lebih leluasa menjalankan bisnisnya: illegal bootlegging, racketeering, and gambling, dan menumpuk Dollar dengan sangat mudah. Sebagai gambaran, estimasi uang yang dikeruk dari bisnisnya sebesar 100 juta Dollar per tahun (sekitar 1,4 Trilyun Rupiah uang sekarang).
Ia berlaku bukan sebagai seorang bos gangster, tetapi sebagai businessman yang kemana-mana mengobral senyum. “I am not a criminal, but a public benefactor,” katanya. “I give people light pleasure, show them good time.”

Kekejaman Capone tersembunyi di balik senyumnya. Orang melihatnya ramah tetapi hatinya begitu dingin. Di tahun 1929 pada hari Valentine, Capone dan gangnya bentrok dengan kelompok gang lain pimpinan George Moran di sebuah gudang minuman keras. Dalam baku tembak itu tujuh anggota gang Moran tewas dengan tubuh berserakan dan darah berceceran hingga menempel di tembok gudang. Peristiwa itu dikenal sebagai “Valentine Day’s Massacre” karena kesadisan luar biasa yang bikin shock masyarakat. Dan Capone lagi-lagi tidak tersentuh hukum.

Reputasi Capone rupanya telah mengusik Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Herbert Hoover. Ia meminta agar Capone dihentikan, diadili dan dihukum penjara. Tetapi bagaimana polisi bisa melakukannya? Capone telah “membeli” mereka semua.

Lalu muncullah pahlawan itu, Eliot Ness, yang masih muda, yang baru lulus dari Universitas of Chicago di tahun 1925.

Jaksa Wilayah George E.Q. Johnson yang mendapat tugas dari Presiden Hoover memanggil Eliot Ness. Tidak ada cara lain yang lebih tepat selain menggunakan orang baru di lingkungan lama yang sudah rusak, karena polisi sudah kena sogok semua. Jaksa Johnson meminta Ness untuk memimpin operasi dengan satu tugas: Mengirim Al Capone ke penjara. Tak berlama-lama, Ness membentuk tim dengan sembilan anggota.

Ness yang masih muda itu bukan saja pemberani, tetapi juga cerdik. Ness mengetahui bahwa Capone menyuap polisi, pejabat pemerintah bahkan politisi untuk melindungi bisnisnya. Ness berpikir jika ia menangkap Capone atas tuduhan pembunuhan, Capone pasti lepas seperti yang sudah-sudah. Ia harus memakai cara lain.

Pertama kali yang dilakukan oleh Ness adalah menyasar “dompet” Capone. Argumentasinya, jika keuangan Capone jebol, ia tak lagi mampu membayar para polisi, pejabat dan politisi busuk itu. Maka dengan menggunakan undang-undang federal, Ness menutup tempat-tempat pembuatan minuman keras milik Capone. Dalam waktu kurang dari enam bulan operasi dilancarkan, pendapatan Capone merosot tajam.

Tetapi Capone bukan anak kemarin sore. Ia sadar jika dibiarkan, Ness akan membawa kebangkrutan bagi bisnisnya. Ia mengirim salah satu anak buahnya menemui Ness dan menawarkan uang. Sudah biasa, bos gangster tidak akan segan-segan menyuap karena uang panas akan mudah pergi, mudah pula datang. Tetapi Ness menolak mentah-mentah. Ia mengusir orang itu keluar kantornya dan kemudian mengundang wartawan. Dalam konperensi pers itu Ness menegaskan bahwa ia dan timnya tidak bisa dibeli.

Setelah peristiwa itu, Ness malahan membiasakan mengadakan konperensi pers setiap kali selesai melakukan penyergapan dan penutupan tempat-tempat produksi minuman keras milik Capone. Itu adalah strategi. Publik yang sudah muak dengan premanisme para gangster akan mendukungnya, dan, Capone terpojok sebagai public enemy. Harian Chicago Tribune menjuluki Ness dan timnya sebagai “The Untouchable”.

Karena tidak berhasil menyuap Ness, artinya cara halus tidak mempan sehingga Capone melawan dengan kekerasan. Ia menugaskan anggota gangnya membuntuti Ness dan sembilan orang timnya, yang mengakibatkan salah satunya terbunuh. Kedua belah pihak sudah kepalang basah, mereka sama-sama tidak bersedia mundur dan kompromi. Pada puncak ketegangan itu, suatu hari Ness menelelepon Capone dan memintanya untuk menengok ke jendela. Dari jendela itu Capone melihat deretan mobil dan armada miliknya sedang diderek sebagai hasil sitaan menuju tempat lelang. Amarah Capone meledak karena penghinaan itu. Sesudah peristiwa itu, Ness mengalami tiga kali usaha pembunuhan, tetapi ia selamat.

Petualangan Capone terhenti setelah Ness berhasil menyeretnya ke meja hijau, tetapi bukan atas dakwaan menjalankan bisnis ilegal ataupun pembunuhan, melainkan karena jeratan undang-undang pajak. Presiden Hoover menegaskan bahwa bisnis apapun tak peduli itu merupakan bisnis kotor, tetap harus membayar pajak. Ness bekerja sama dengan agen dari Departemen Keuangan menelisik keuangan Capone dan tidak mendapati sebarispun laporan bahwa ia pernah membayar pajak.

Selama dua minggu Capone diadili, dan selama dua minggu itu pula Ness selalu hadir di persidangan. Pada bulan Oktober 1931, Capone dijatuhi hukuman penjara selama sebelas tahun. Ia mendekam di penjara federal Atlanta lalu dipindahkan ke Alcatraz, tetapi sebelum genap hukumannya selesai, pada bulan November 1939 ia dikeluarkan dari penjara karena menderita sipilis. Tujuh tahun sesudahnya, pada tanggal 25 Januari 1947, Alphonse Gabriel Capone mati karena serangan stroke.

Kisah Al Capone versus Eliot Ness di atas mengingatkan kita, bahwa harus ada yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati. Harus ada yang melawan kejahatan, walaupun kejahatan akan terus ada.

Setiap jaman mempunyai pahlawannya sendiri. Sebobrok apapun system dan seburuk apapun perilaku penguasa, tetap masih tersisa orang-orang baik yang berani melawan kejahatan. Hal ini harus membesarkan hati kita.

Andaikan kita memiliki Eliot Ness di Negara kita sekarang, barangkali iblis-iblis itu akan mati berkali-kali.

Fiat justitia ruat caelum (Let justice be done though the heavens fall)

***
Serpong, Nov 2017
Titus J.

Monday, December 18, 2017

Malam Kudus di Mako Brimob

--Renungan Natal—

Ahok,

Di bulan Desember ini tiba-tiba aku teringat engkau, ketika aku dan keluargaku bersama-sama memasang Pohon Natal di rumah. Dari tahun ke tahun pohon yang sama yang terbuat dari plastik itulah yang selalu kupasang selama bulan Desember, dan setelah berganti tahun, pohon plastik itu aku bongkar dan aku masukkan kembali ke dalam kardus. Di dalam kardus itulah pohon Natalku tinggal dan menunggu satu tahun berikutnya, jika masih ada Natal.

Bagaimana kabarmu?

Natal tahun ini mungkin adalah Natal yang pertama kali kau rayakan tanpa keluargamu. Apakah engkau kesepian? Mungkin keluargamu pun juga merasa berbeda merayakan Natal tanpamu. Serasa ada yang hilang, ada yang kurang lengkap, tidak seperti kala engkau dan keluargamu masih bersama-sama datang ke gereja untuk merayakan Natal dan menyanyikan lagu Malam Kudus.

Benar, merayakan Natal bersama dengan orang-orang tercinta sungguh merupakan moment yang sangat indah. Sabarlah, mungkin Tuhan sedang memintamu untuk merenungkan makna Natal dari sudut perasaan manusia yang papa, yang terpisah dari orang-orang terdekatnya, yang diabaikan dan dilupakan orang.

Ahok,

Aku tidak tahu pasti bagaimana suasana Natal di Mako Brimob. Apakah disana Pohon Natal juga dipasang, entah dari pohon cemara sungguhan ataukah pohon plastik? Apakah disana teman-teman kita umat Kristiani juga antusias menyambut Natal, membentuk panitia kecil, mempersiapkan acara, berlatih drama, musik dan paduan suara?

Mungkin di Natal tahun ini tidak akan banyak orang yang akan memberikan ucapan selamat Natal untukmu, Hok. Mungkin banyak di antara mereka yang dulu selalu menyalamimu di hari Natal - walaupun tidak ikut merayakan Natal - sekarang tidak mau lagi mengucapkan selamat Natal, bahkan atas nama toleransi dan hubungan antar manusia sebagai sesama insan Tuhan.

Tetapi, Hok, jangan pernah kecewa atas sikap mereka yang menolakmu. Akupun tidak kecewa jika ucapan selamat Natal kepadaku pun lebih sepi daripada tahun-tahun sebelumnya. Mengapa? Sebab jauh sebelumnya, Yesus Kristus yang kelahiran-Nya kita rayakan di hari Natal ini pun sudah ditolak oleh dunia bahkan sejak hari kelahiran-Nya. Ia harus dilahirkan di sebuah kandang hewan yang hina-dina karena tak ada tempat yang layak yang bersedia menerima-Nya. Namun demikian, kemuliaan Yesus Kristus sama sekali tidak berkurang sedikitpun oleh kehinaan tempat lahir-Nya. Ia bisa dilahirkan dimana saja, dan Ia tetaplah Sang Mesias yang dijanjikan itu, terlepas apakah Ia dilahirkan di istana raja atau di kandang hewan.

Jika engkau merasa banyak orang membencimu, Hok, ingatlah bahwa Yesus Kristus juga sudah menjadi sasaran kebencian sejak lahir. Raja Herodes mencari-Nya dan berusaha untuk membunuh-Nya walaupun Ia cuma seorang anak kecil yang belum genap berumur dua tahun waktu itu. Tetapi Herodes gagal membunuh-Nya karena kegelapan tak kan pernah sanggup menguasai terang. Mereka yang hatinya penuh kebencian sesungguhnya adalah penjelmaan Herodes yang tak pernah melihat terang.

Ahok,

Hari-hari ini Jakarta diguyur hujan hampir setiap hari. Angin yang dingin berhembus di antara gedung-gedung pencakar langit. Pohon-pohon yang terbiasa berdiri kaku mulai mau menggoyangkan tubuhnya dan menggugurkan daun-daunnya. Udara Jakarta dan kota-kota sekitarnya termasuk rumahku terasa lebih sejuk daripada biasanya. Itulah sebabnya aku mensyukuri Natal yang jatuh di bulan Desember, karena aku suka dengan hujan dan angin yang berhembus pelahan. Menyanyikan lagu Malam Kudus bersama dengan pijaran lilin-lilin kecil diiringi suara organ atau piano serasa lebih menyentuh di tengah suasana yang dingin, apalagi diselingi oleh hujan rintik-rintik.

Oleh sebab itu aku merasa lebih damai untuk merayakan Natal di gerejaku dengan sederhana, bukan di lapangan Monas dengan ribuan manusia yang hingar-bingar, yang mengusik Natal yang syahdu dan tenang. Natal tetap dapat kita rayakan seorang diri di ruang sempit dengan sebatang lilin kecil, jauh dari tempat yang pernah dijadikan mimbar politisasi agama yang menyakitkan.

Aku membayangkan betapa sederhananya nanti acara Natalmu di Mako Brimob. Natal yang kau rayakan bersama dengan saudara kita dalam iman yang sedang terbelenggu secara fisik. Tidak mengapa, baik engkau, teman-temanmu di Mako Brimob, maupun diriku sendiri adalah sama-sama orang berdosa. Tetapi justru karena kitalah Natal ini ada, dan karena itulah aku bangga, sebab Yesus Kristus lahir dan datang bukan untuk mencari orang-orang suci dan sok suci, melainkan orang-orang berdosa seperti kita.

Dingin udara Jakarta hari-hari ini, Hok, tetapi Natal menghangatkan hatiku dengan sentuhan kasih-Nya. Aku ingin mengucapkan selamat Natal untukmu dan mereka yang sedang bersamamu di Mako Brimob, dengan sepotong doa agar kasih Tuhan menyentuh hati setiap orang yang menerima Natal, tak peduli sebesar apapun dosa dan kejahatan yang telah mereka perbuat.

Aku tak pernah berhenti mengagumi kasih Tuhan yang tak terbatas, yang selalu memberikan pengampunan kepadaku walaupun aku sering ingkar dan gagal menepati janjiku untuk menjadi orang baik. Betapa keagungan kasih-Nya tak bisa dibatasi oleh dosa dan kejahatan manusia. Itulah sebabnya orang pertama yang diajak-Nya masuk ke Firdaus menjelang kematian-Nya di kayu salib adalah seorang penjahat, bukan imam-imam dan ahli-ahli Taurat yang menjadi pemuka agama.

Penjahat itu menerima Natal di detik-detik terakhir hidupnya, sedangkan mereka yang merasa memegang kunci surga itu terlalu sibuk menghakimi dan mengkafir-kafirkan orang lain sehingga tidak melihat Natal.

Selamat Natal, Ahok. Semoga Malam Kudus di Mako Brimob memberikan damai di hatimu.

“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:10-11)

***
Serpong, 18 Des 2017
Titus J.

Friday, December 15, 2017

Nelson Mandela: Real leaders must be ready to sacrifice for their people

Pemikiran Nelson Mandela:
Tentang perjuangan melawan Apartheid, pendidikan, gereja dan iman Kristen, dan pengampunan.

Nelson Rolihlahla Mandela adalah sosok karismatik Afrika Selatan yang kenyang dengan penjara. Selama 27 tahun ia mendekam di penjara di Robben Island, dipindahkan ke penjara Pollsmoor dan dipindahkan lagi ke penjara Victor Verster sebelum akhirnya dibebaskan di tahun 1990 ketika usianya sudah beranjak senja, 72 tahun.

Dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1918 di Mvezo, Umtata di propinsi Cape, Afrika Selatan, ia diberi nama Eropa ‘Nelson’ oleh gurunya di sekolah dasar seperti kebiasaan disana untuk anak-anak yang sekolah. Nama aslinya sendiri adalah Madiba, sedangkan Mandela adalah nama keluarga yang diwarisinya dari kakeknya.

Nama Mandela sangat melekat dengan nilai-nilai persamaan hak dan penghapusan diskriminasi berdasarkan warna kulit dan ras di Afrika Selatan, yang gerakannya terkenal dengan gerakan Anti Apartheid. Ia membayar keberaniannya untuk menentang diskriminasi tersebut dengan penjara. Tetapi setelah ia bebas dan menjadi ketua partai ANC (African National Congress) kemudian maju dalam pemilu presiden hingga akhirnya terpilih, justru ialah yang mempelopori rekonsiliasi bangsa dan menyerukan pendukungnya untuk mengampuni lawan-lawan politiknya. Ia sendiri, sebagai presiden terpilih, memilih F.W. de Klerk sebagai wakil presidennya. F.W de Klerk adalah presiden yang digantikannya, presiden berkulit putih di era terakhir politik Apartheid Afrika Selatan.

Untuk menggali pemikiran figur pejuang politik, pelopor anti diskriminasi dan segregasi ras ini, saya melakukan wawancara secara imajiner dengan Nelson Mandela, seorang tokoh politik Kristen Methodist yang menginspirasi dunia karena perjuangannya, dan jiwanya yang lapang sehingga penuh dengan pengampunan. Berikut ini petikannya:

Titus Jonathan (TJ): Apa yang melatar-belakangi perjuangan Anda menentang politik Apartheid?
Nelson Mandela (NM): Saya merindukan Negara saya memiliki jiwa demokrasi dan masyarakat yang merdeka dimana semua warganya bisa hidup dengan harmonis dan memiliki persamaan hak maupun kesempatan yang sama untuk menjadi apapun.

TJ: Apapun termasuk menjadi pejabat publik?
NM: Ya, apapun juga. Semua warga negara mempunyai hak yang sama.

TJ: Bukankah hal itu sangat berisiko di tengah kekuatan penguasa kulit putih?
NM: Tidak apa-apa. Saya membenci diskriminasi ras dan segala manifestasinya. Saya sudah berjuang selama saya hidup untuk sesuatu yang ideal. Jika untuk mencapainya – oleh kehendak Tuhan - saya harus mati, saya siap mati.

TJ: Tetapi Anda menggerakkan bangsa Anda untuk melawan bangsa kulit putih yang sudah menancapkan kukunya begitu lama…
NM: Kami tidak anti kulit putih. Kami melawan supremasi dan penjajahan oleh kulit putih. Kami menentang rasialisme yang dilakukan oleh siapapun, bahkan seandainya itu dilakukan oleh kulit hitam pun akan kami lawan.

TJ: Anda berani sekali dan tidak tampak takut?
NM: Keberanian itu bukan absennya rasa takut, tetapi bagaimana mengalahkan rasa takut itu sendiri. Seorang pemberani bukanlah orang yang tidak memiliki rasa takut, tetapi orang yang berhasil mengalahkan rasa takut itu.

TJ: Apa definisi kebebasan menurut Anda?
NM: Kebebasan bukan hanya lepas dari belenggu penjajahan, tetapi bagaimana kita menghidupi semangat menghormati kebebasan orang lain juga. Jangan pernah mendominasi kebebasan untuk dijadikan milik sendiri. Dan jangan pernah membiarkan negeri yang indah ini mengalami penindasan serupa ini lagi.

TJ: Anda malah merangkul F.W de Klerk untuk membuka sumbat yang tertutup dalam komunikasi bahkan Anda menjadikannya sebagai wakil presiden Anda?
NM: Jika Anda ingin berdamai dengan musuh Anda, tidak ada jalan lain yang lebih efektif selain bekerja sama dengan musuh Anda dan menjadikannya partner.

TJ: Apakah cara Anda itu bisa diterima oleh de Klerk bahkan oleh penguasa kulit putih yang Anda tentang?
NM: Prinsipnya sederhana, berbicaralah dengan ‘bahasa hati’ dengan lawan Anda. Jika kita berbicara dengan seseorang dengan bahasa literal saja asal bisa dimengerti, perkataan kita hanya akan mampir di kepalanya. Tetapi jika kita berbicara dengan ‘bahasa hati’, perkataan kita akan merasuk ke dalam hatinya.

TJ: Jadi tidak perlu berbicara dengan logika?
NM: No. A good head and a good heart are always a formidable combination.

TJ: Tetapi Anda harus membayar mahal dengan penjara. Anda harus terpisah dengan keluarga Anda, orang-orang yang Anda cintai dan mencintai Anda, dan masa depan Anda…
NM: Perjuangan tidak ada yang gratis. Jika Anda mau menjadi pemimpin, jadilah pemimpin yang sejati. Real leaders must be ready to sacrifice all for the freedom of their people.

TJ: Selama Anda berjuang, berkali-kali Anda ditahan, diancam, disakiti, disiksa, dan mengalami kegagalan. Dalam kurun waktu yang panjang dan sejumlah kegagalan itu, mengapa Anda tidak berpikir untuk menyerah?
NM: Kemengan terbesar dalam hidup sesungguhnya bukan dilihat dari tidak pernah gagal, tetapi bagaimana kita selalu bangkit kembali setiap kali kita jatuh.

TJ: Dan sekarang, apakah Anda puas karena telah sukses mencapai kemenangan atas perjuangan Anda?
NM: Jangan melihat hanya saat ini saja ketika kesuksesan itu saya raih, tetapi lihat berapa kali saya telah jatuh dan bangkit kembali. A winner is a dreamer who never gives up.

TJ: Seandainya Anda tidak dipenjara?
NM: Hmm.. In my country we go to prison first and then become President.

Nelson Mandela menerima Nobel Perdamaian pada tahun 1993 atas perjuangannya untuk Afrika Selatan dalam melenyapkan Apartheid. Setahun kemudian, ia terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan dan menjabat selama lima tahun hingga tahun 1999. Ia menolak untuk dicalonkan kembali sebagai Presiden walaupun mempunyai dukungan besar dari rakyatnya. Atas sikapnya ini, dunia memujinya sebagai orang yang sama sekali unselfish, tidak tamak akan jabatan, dan lebih mengedepankan regenerasi pemimpin bagi Negaranya.

Sekretaris Jenderal PBB pada waktu itu, Kofi Annan, memberikan kesan mendalam ketika dalam sidang umum PBB September 1998 Mandela yang mendapatkan giliran berpidato mengatakan, “This is probably the last time, that I will have the honour to stand at this podium to address the general assembly.. I have reached that part of the long walk when the opportunity is granted, to all men and women.. I will continue to entertain the hope that there has emerged a cadre of leaders in my own country, which will not allow that any should be denied their freedom as we were; that any should be stripped of their human dignity as we were…”

Kofi Annan mengungkapkan bagaimana senyapnya ruang sidang ketika Mandela berpidato hingga seandainya ada jarum terjatuh di lantai akan kedengaran dentingnya saat itu. Namun beberapa detik kemudian setelah audiens terpukau, mendadak sontak gemuruh tepuk tangan membahanana. Annan mengatakan bahwa di panggung internasional belum ada figur yang perjuangannya dalam menyelesaikan konflik, hak asasi manusia, ketidak-adilan, kelaparan dan penyakit setotal Nelson Mandela, termasuk bagaimana sikapnya yang sangat ‘generous’ dalam memberi pengampunan kepada musuh-musuhnya.
Sikapnya untuk selalu mengutamakan rekonsiliasi bangsa dan memberi pengampunan tentu tidak bisa dilepaskan dari imannya sebagai seorang Kristen Methodist yang taat, 

Ketika ia berada di penjara pun, Mandela aktif mengikuti kebaktian hari Minggu dan membaca Alkitab. Mandela mengapresiasi upaya gereja di Afrika Selatan dalam partisipasi mereka mengakhiri Apartheid. Ia juga memuji para misionaris dalam menerapkan standard yang tinggi di dunia pendidikan di Afrika Selatan.

TJ: Bagaimana Anda memandang pendidikan di sekolah?
NM: Pendidikan adalah ‘the most powerful weapon’ yang dapat kita pergunakan untuk mengubah dunia

TJ: Bagaimana dengan anak-anak?
NM: Anak-anak adalah harta karun yang tak ternilai. Jika kita tidak memberikan pendidikan dengan standard yang tinggi, maka kita akan menghancurkan anak-anak kita dan dengan sendirinya akan menghancurkan masa depan kita, menghancurkan masyarakat, dan menghancurkan bangsa. Hanya melalui pendidikanlah anak seorang buruh kasar bisa menjadi dokter, dan anak seorang penggali tambang bisa menjadi direktur pertambangan.

TJ: Bagaimana Anda memandang keadaan bangsa Afrika Selatan sebelum Apartheid berakhir, dalam kaitannya dengan rasa saling curiga dan mewabahnya kebencian antar warga Negara karena perbedaan ras dan warna kulit?
NM: Sekali lagi pentingnya pendidikan mulai dari anak-anak yang paling kecil. Tak ada manusia dilahirkan dengan membawa kebencian kepada orang lain karena perbedaan ras, warna kulit, latar belakang dan agama. Kebencian itu diajarkan. Indoktrinasi kebencian yang paling efektif dimulai dari anak-anak di sekolah. Jika setiap hari anak-anak kita diajarkan untuk membenci yang berbeda, mereka akan membenci tanpa sadar, dan menafaskannya setiap saat.
Sama halnya dengan mengasihi. Jika anak-anak bisa diajarkan untuk membenci, mereka pun juga bisa diajarkan untuk mengasihi. Pendidikan harus mengajarkan cinta kasih.

TJ: Itulah sebabnya Anda menyerukan rekonsiliasi bangsa segera setelah Anda terpilih menjadi Presiden?
NM: Itu adalah cita-cita saya bahkan pada waktu saya masih berada di dalam penjara, bahwa suatu saat nanti ketika saya keluar dari penjara, misi saya adalah untuk membebaskan bukan hanya mereka yang tertindas oleh kebencian tetapi juga mereka yang menindas dengan kebencian.
Saya Presiden bukan hanya untuk kelompok saya atau partai politik saya, tetapi saya adalah Presiden untuk semuanya.

TJ: Dan mengampuni musuh-musuh Anda?
NM: Mengampuni namun tidak melupakan, agar kita selalu diingatkan masa lalu yang gelap dan daripadanyalah kita dapat belajar agar tidak terjadi lagi. When a deep injury is done to us, we never heal until we forgive.
TJ: Siapakah yang menginspirasi Anda dalam perjuangan melawan diskriminasi ras ini?
NM: Mahatma Gandhi untuk gerakan anti kekerasan (non-violence movement) melawan penjajah, dan Sang Mesias untuk keadilan dan persamaan hak umat manusia di muka bumi. Dia tidak pernah memilih satu ras tertentu, negara tertentu, bahasa tertentu, suku bangsa tertentu, tetapi Dia memilih seluruh umat manusia.

TJ: Dan ketekunan Anda dalam penderitaan selama puluhan tahun?
NM: Sang Mesias. Dia dilahirkan dalam derita, ditolak oleh masyarakatnya, dan dieksekusi seperti seorang kriminal di kayu salib. Siapa lagi yang darinya kita bisa belajar soal ketekunan?
Setiap kali saya merayakan Paskah, saya merayakan kelahiran kembali iman saya.

TJ: Sikap Anda mencerminkan seorang yang saleh…
NM: I am not a saint, unless you think of a saint as a sinner who keeps on trying..

TJ: Anda menolak dicalonkan kembali sebagai Presiden. Mengapa?
NM: Belajarlah akan kata ‘cukup’. Greed and power has turned brother against brother.

TJ: Apa kesan Anda terhadap award Nobel Perdamaian bagi Anda?
NM: Saya tidak pernah berpikir dan peduli soal award. Seseorang tidak menjadi pejuang demokrasi dan kebebasan dengan harapan memenangkan award.

TJ: Apakah penjara merupakan masa-masa terberat bagi Anda saat perjuangan?
NM: Bukan. Tetapi pada waktu anak pertama saya, Thembi, meninggal dalam kecelakaan motor di usianya yang ke-24, ketika saya sedang di dalam penjara, istri saya Winnie juga dipenjara, dan permohonan saya untuk menguburkan anak saya ditolak oleh penguasa waktu itu.

Nelson Mandela yang kenyang dengan penjara memilih menjadi bapak bangsa Afrika Selatan setelah lengser dari jabatannya sebagai presiden di tahun 1999. Ia masih hidup 14 tahun lagi dan mencapai umur 95 tahun sebelum ajal menjemputnya pada 5 Desember 2013. Ia tidak saja kenyang dengan kehidupan, kenyang dengan penderitaan dan siksaan, kenyang dengan perjuangan tanpa kenal lelah, tetapi juga kenyang dengan pujian dan kehormatan yang diberikan oleh para pemimpin dunia dan rakyat jelata.

Mandela adalah simbol perlawanan terhadap diskriminasi ras dan warna kulit, simbol perubahan menuju masyarakat yang bebas dari rasa takut, penindasan, kelaparan, kemiskinan dan kebodohan. Perjuangannya dikerjakannya dengan serius, totalitas, tetapi secara personal Mandela adalah seorang yang humoris, hangat, informal dan bermartabat.

Anglican Archbishop di Cape Town Afrika Selatan, Rev. Desmond Tutu mengungkapkan, “Afrika Selatan memiliki tiga hal yang dunia kagumi – transisi damai tahun 1994 dari pemerintah kulit putih kepada kulit hitam, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC – Truth and Reconciliation Commission), dan Nelson Mandela. Nelson is by far the most admired and revered statesperson in the world and one of the greatest human being to walk this earth.

Pada saat-saat terakhir di ranjang sakitnya, teman karib Mandela, Pendeta Malusi Mpumlwana menceritakan betapa wajah Mandela selalu berbinar ketika ia membacakan ayat-ayat Alkitab:
"May the Lord bless you and keep you.
May the Lord make His face to shine upon you and be gracious to you.
May the Lord look upon you with kindness, and give you peace."
Dan setelah ayat-ayat itu dibacakan, Mandela menghembuskan nafas terakhirnya.
Ayat-ayat yang mengantarkannya bertemu dengan Penciptanya itu akan selalu mengingatkan orang bahwa Mandela adalah orang Kristen yang saleh. Ia pernah mengatakan, “Without the church, without religious institutions, I would never have been here today … Religion was one of the motivating factors in everything we did.”

Namun demikian, walaupun Mandela adalah pemimpin yang taat beragama, untuk menjaga keutuhan bangsa dan menghindari perpecahan, ia  tidak pernah menunjukkannya di hadapan publik, apalagi memanfaatkannya sebagai alat politik seperti yang dilakukan oleh rejim Apartheid dulu, dan mungkin… oleh sebagian pemimpin politik di Indonesia, sekarang.

***
Semua kalimat Mandela yang tertulis dalam wawancara imajiner di atas dikompilasi dari beberapa sumber: Biografi Mandela ‘Long Walk to Freedom’, Mandela - The Authorised Portrait, www.forbes.com, www.nelsonmandela.org, www.sowetanlive.co.za, www.christianitytoday.com

Serpong, Mei 2017
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...