Tidak banyak
orang yang berani melawan kejahatan. Kebanyakan dari kita mendiamkan saja
sambil menunggu ada orang lain yang melakukan perlawanan.
Jika kita
menganggap korupsi adalah kejahatan dan setiap kejahatan dilakukan oleh iblis,
maka koruptor sebenarnya identik dengan iblis. Ada koruptor kecil-kecilan, ada
pula koruptor besar-besaran. Sama seperti iblis, ada iblis krucuk, ada pula iblis selevel jenderal.
Di Negara
kita ada lembaga anti rasuah bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka
mengejar koruptor, menangkap, dan menjebloskannya ke penjara. Banyak pejabat
dan pengusaha pelaku korupsi telah dikirim ke penjara, tetapi koruptor tidak
pernah habis. Sini ditangkap, sana berbuat. Yang sana dikejar, yang sini
berpesta. Begitulah terus kejadiannya. Lalu ada orang sinting mencemooh, “Lihat,
apa yang dilakukan oleh KPK? Koruptor terus ditangkapi artinya kan korupsi
jalan terus? Artinya kan KPK gagal memberantas korupsi???” Daripada membuang
energi menjawab dan menjelaskan, logika semacam ini kita masukkan tong sampah
saja.
Harus ada
yang melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati. Harus ada yang melawan
kejahatan, walaupun kejahatan tidak pernah habis. Yang dibutuhkan adalah
orang-orang istimewa yang bukan sekedar melek hukum, tetapi juga berani, yang
urat takutnya sudah putus.
Ada
orang-orang istimewa yang memang ditentukan oleh jamannya menjadi pahlawan untuk
memburu kejahatan. Dulu ada, kini pun ada.
Mengingat
kembali situasi di Chicago di tahun 1920 – 1940an, kita tak mungkin melupakan
Alphonse Gabriel Capone – lebih dikenal dengan Al Capone – seorang keturunan
Italia kelahiran Brooklyn, Amerika yang menjadi bos gangster di Chicago di era
tersebut.
Capone
menyandang nama ‘Gabriel’ - mungkin orangtuanya mengharapkan kelak ia bisa
menjadi pembawa berita keselamatan seperti malaikat Gabriel yang mengunjungi
Maria. Tetapi apa daya, Gabriel yang bermukim
di Chicago itu memilih menjadi mobster.
Capone
menjalankan bisnis ilegal sejak usia duapuluh tahun. Bakat premannya sudah
tampak di usia sebelia itu sehingga ia dipercaya menjalankan bisnis illegal, di
antaranya rumah judi, minuman keras, dan bisnis seputar tempat hiburan dan
dunia malam. Persaingan dengan gang lainnya selalu diwarnai aksi saling bunuh
antar anggota gang, tetapi Capone selalu lolos dari jerat hukum.
Capone
bukannya tidak pernah ditangkap polisi kemudian diseret ke meja hijau. Ia
sering berhadapan dengan hakim dan sederet juri di pengadilan, tetapi ia selalu
bebas. Bahkan dalam kasus kematian seorang asisten Jaksa wilayah, Bill
McSwiggin di tahun 1925 yang melibatkan gangnya, pengadilan membebaskan Capone
dari segala tuntutan.
Kelicinan
Capone menghindari jerat hukum adalah karena kecerdikannya merangkul pejabat
pemerintah dan penegak hukum. Backing
dari mereka membuat Capone lebih leluasa menjalankan bisnisnya: illegal bootlegging, racketeering, and
gambling, dan menumpuk Dollar dengan sangat mudah. Sebagai gambaran,
estimasi uang yang dikeruk dari bisnisnya sebesar 100 juta Dollar per tahun
(sekitar 1,4 Trilyun Rupiah uang sekarang).
Ia berlaku
bukan sebagai seorang bos gangster,
tetapi sebagai businessman yang
kemana-mana mengobral senyum. “I am not a
criminal, but a public benefactor,” katanya. “I give people light pleasure, show them good time.”
Kekejaman
Capone tersembunyi di balik senyumnya. Orang melihatnya ramah tetapi hatinya begitu
dingin. Di tahun 1929 pada hari Valentine, Capone dan gangnya bentrok dengan kelompok
gang lain pimpinan George Moran di sebuah gudang minuman keras. Dalam baku
tembak itu tujuh anggota gang Moran tewas dengan tubuh berserakan dan darah
berceceran hingga menempel di tembok gudang. Peristiwa itu dikenal sebagai
“Valentine Day’s Massacre” karena kesadisan luar biasa yang bikin shock masyarakat. Dan Capone lagi-lagi
tidak tersentuh hukum.
Reputasi
Capone rupanya telah mengusik Presiden Amerika Serikat pada waktu itu, Herbert
Hoover. Ia meminta agar Capone dihentikan, diadili dan dihukum penjara. Tetapi
bagaimana polisi bisa melakukannya? Capone telah “membeli” mereka semua.
Lalu muncullah
pahlawan itu, Eliot Ness, yang masih muda, yang baru lulus dari Universitas of
Chicago di tahun 1925.
Jaksa Wilayah
George E.Q. Johnson yang mendapat tugas dari Presiden Hoover memanggil Eliot
Ness. Tidak ada cara lain yang lebih tepat selain menggunakan orang baru di
lingkungan lama yang sudah rusak, karena polisi sudah kena sogok semua. Jaksa
Johnson meminta Ness untuk memimpin operasi dengan satu tugas: Mengirim Al
Capone ke penjara. Tak berlama-lama, Ness membentuk tim dengan sembilan
anggota.
Ness yang masih
muda itu bukan saja pemberani, tetapi juga cerdik. Ness mengetahui bahwa Capone
menyuap polisi, pejabat pemerintah bahkan politisi untuk melindungi bisnisnya.
Ness berpikir jika ia menangkap Capone atas tuduhan pembunuhan, Capone pasti
lepas seperti yang sudah-sudah. Ia harus memakai cara lain.
Pertama kali
yang dilakukan oleh Ness adalah menyasar “dompet” Capone. Argumentasinya, jika
keuangan Capone jebol, ia tak lagi mampu membayar para polisi, pejabat dan
politisi busuk itu. Maka dengan menggunakan undang-undang federal, Ness menutup
tempat-tempat pembuatan minuman keras milik Capone. Dalam waktu kurang dari
enam bulan operasi dilancarkan, pendapatan Capone merosot tajam.
Tetapi Capone
bukan anak kemarin sore. Ia sadar jika dibiarkan, Ness akan membawa
kebangkrutan bagi bisnisnya. Ia mengirim salah satu anak buahnya menemui Ness
dan menawarkan uang. Sudah biasa, bos gangster tidak akan segan-segan menyuap
karena uang panas akan mudah pergi, mudah pula datang. Tetapi Ness menolak
mentah-mentah. Ia mengusir orang itu keluar kantornya dan kemudian mengundang
wartawan. Dalam konperensi pers itu Ness menegaskan bahwa ia dan timnya tidak
bisa dibeli.
Setelah
peristiwa itu, Ness malahan membiasakan mengadakan konperensi pers setiap kali
selesai melakukan penyergapan dan penutupan tempat-tempat produksi minuman
keras milik Capone. Itu adalah strategi. Publik yang sudah muak dengan
premanisme para gangster akan mendukungnya, dan, Capone terpojok sebagai public enemy. Harian Chicago Tribune menjuluki Ness dan
timnya sebagai “The Untouchable”.
Karena tidak
berhasil menyuap Ness, artinya cara halus tidak mempan sehingga Capone melawan
dengan kekerasan. Ia menugaskan anggota gangnya membuntuti Ness dan sembilan
orang timnya, yang mengakibatkan salah satunya terbunuh. Kedua belah pihak
sudah kepalang basah, mereka sama-sama tidak bersedia mundur dan kompromi. Pada
puncak ketegangan itu, suatu hari Ness menelelepon Capone dan memintanya untuk
menengok ke jendela. Dari jendela itu Capone melihat deretan mobil dan armada
miliknya sedang diderek sebagai hasil sitaan menuju tempat lelang. Amarah
Capone meledak karena penghinaan itu. Sesudah peristiwa itu, Ness mengalami
tiga kali usaha pembunuhan, tetapi ia selamat.
Petualangan
Capone terhenti setelah Ness berhasil menyeretnya ke meja hijau, tetapi bukan
atas dakwaan menjalankan bisnis ilegal ataupun pembunuhan, melainkan karena
jeratan undang-undang pajak. Presiden Hoover menegaskan bahwa bisnis apapun tak
peduli itu merupakan bisnis kotor, tetap harus membayar pajak. Ness bekerja
sama dengan agen dari Departemen Keuangan menelisik keuangan Capone dan tidak
mendapati sebarispun laporan bahwa ia pernah membayar pajak.
Selama dua
minggu Capone diadili, dan selama dua minggu itu pula Ness selalu hadir di
persidangan. Pada bulan Oktober 1931, Capone dijatuhi hukuman penjara selama
sebelas tahun. Ia mendekam di penjara federal Atlanta lalu dipindahkan ke
Alcatraz, tetapi sebelum genap hukumannya selesai, pada bulan November 1939 ia
dikeluarkan dari penjara karena menderita sipilis. Tujuh tahun sesudahnya, pada
tanggal 25 Januari 1947, Alphonse Gabriel Capone mati karena serangan stroke.
Kisah Al
Capone versus Eliot Ness di atas mengingatkan kita, bahwa harus ada yang
melawan iblis, walaupun iblis tidak pernah mati. Harus ada yang melawan
kejahatan, walaupun kejahatan akan terus ada.
Setiap jaman
mempunyai pahlawannya sendiri. Sebobrok apapun system dan seburuk apapun
perilaku penguasa, tetap masih tersisa orang-orang baik yang berani melawan
kejahatan. Hal ini harus membesarkan hati kita.
Andaikan kita
memiliki Eliot Ness di Negara kita sekarang, barangkali iblis-iblis itu akan
mati berkali-kali.
Fiat justitia ruat
caelum (Let justice be done though
the heavens fall)
***
Serpong,
Nov 2017
Titus J.