Saturday, April 22, 2017

Perhentian Ahok di KM 19.4

Ketika angka quick count hasil perolehan suara Pilkada Jakarta 19 April yang lalu menunjukkan 42 persen untuk Ahok-Djarot dan 58 persen untuk Anies-Sandi, banyak yang terkesima, sedih, dan tak sedikit yang menangis. Herannya, yang menangis bukan hanya orang Jakarta, tetapi juga mereka yang tinggal di luar Jakarta, bahkan luar negeri. Media sosial riuh-rendah dengan komentar, seolah tak percaya dengan angka yang terpampang di televisi dan berseliweran melalui WhatsApp group. Di saat itulah tiba-tiba kita merasakan ada sesuatu yang hilang - sesuatu yang pernah kita miliki, yang pernah mewarnai denyut kehidupan kita walau hanya lewat surat kabar dan media sosial, dan sesuatu yang selalu kita rasakan kehadirannya walaupun jarak memisahkan.

Kita – bukan cuma orang Jakarta tetapi siapapun yang selama empat tahunan ini menyemai harapan dan optimisme, tiba-tiba secara bersamaan membisikkan tanya, “Bagaimana rupa Jakarta nanti tanpa Ahok?”

Tanggal 19 April itu seperti satu titik di tengah perjalanan bagi Ahok. Ia sebetulnya ingin melanjutkan perjalanan ke kilometer-kilometer berikutnya, tetapi di KM 19.4 itu terpaksa ia harus berhenti.

Di KM 19.4 itulah Ahok merenung. Ia bukan menghitung apa yang telah ia kerjakan, tetapi tentang banyak hal yang belum sempat ia kerjakan, yang ia anggap sebagai hutang pelayanan yang harus dilunasi. Ia masih ingin melayani warga Jakarta, masih ingin berbuat lebih banyak lagi, tetapi ternyata mereka menolaknya. Tapi sudahlah, inilah proses itu, proses yang berbulan-bulan ini begitu melelahkan dan menguras energi dan emosi seluruh anak bangsa. Tak pernah dalam sejarah pemilihan Gubernur di Indonesia sedemikian gila seperti ini, dan kita tahu semua mengapa sejarah ini harus berjalan seperti itu.

Ketika Ahok menyampaikan pidato, tak sedikitpun terlihat kekecewaan di wajahnya, karena ia teringat sebuah ungkapan yang dikatakan oleh Gurunya, “Seorang nabi tidak dihargai di rumahnya sendiri.”

Sekitar 2000 tahun yang lalu, Gurunya pernah mengalami penolakan yang sama. Walaupun orang-orang itu telah banyak ditolong-Nya: yang buta melihat, yang tuli mendengar, yang bisu berbicara, yang lapar dikenyangkan, bahkan yang mati dibangkitkan, tetapi mereka tak henti mempertanyakan: “Siapakah Orang ini? Dengan kuasa apakah Ia melakukan semuanya? Darimanakah Dia berasal?” Mereka tidak pernah melihat dan tidak peduli apa yang telah dikerjakan-Nya, karena bagi mereka yang lebih penting adalah soal silsilah, asal-usul dan simbol-simbol agama. 

Ahok selalu teringat akan sejuta kisah tentang Gurunya, kisah dan teladan yang membuatnya tak akan pernah kecewa dengan mereka yang menolaknya. Gurunya pernah dielu-elukan dengan lambaian daun-daun palem, bahkan mereka menghamparkan pakaian mereka di jalanan yang dilewati-Nya sebagai bentuk penghormatan yang ultimate. Namun tak berapa lama kemudian teriakan "Salibkan Dia!" menggema memenuhi kota.

Ahok menyadari betapa tak sebandingnya ia dengan Gurunya. Jika ia begitu banyak kekurangan, Gurunya adalah seorang yang sempurna baik dalam tindakan dan perkataan. Toh perkataan Gurunya dipakai orang untuk mendakwa-Nya. Oleh karena itulah ia lebih ikhlas ketika ia menjadi tong sampah tempat orang membuang ludah dan caci maki. Ia berusaha untuk tegar dan tidak mengeluh sebab Gurunya pun tak pernah mengeluh. Ia berusaha mengampuni sebab Gurunya pun mengampuni dan mengajarkan untuk mengasihi musuhnya dan berdoa bagi mereka yang membencinya. Ia tidak stress karena kalah voting sebab ia meyakini bahwa jabatan itu Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil.

Maka jangan pernah berharap melihat Ahok menangis karena kehilangan kursi Gubernur. Kalau pun ia harus menangis, itu adalah tangisan karena ia belum bisa memberi lebih banyak untuk melayani warga. Ia mungkin saja menangisi mereka yang terpaksa harus ikut membencinya, karena tidak tahu apa yang mereka perbuat. Dan ia mungkin terlebih menangisi anugerah-Nya yang harus pergi karena mereka menolak anugerah itu.

Di KM 19.4 itu Ahok membayangkan wajah Veronica Tan dan ketiga anak mereka. Selama ini banyak rencana dan janji yang terpaksa harus tertunda. Mungkin inilah saatnya Tuhan mengabulkan kerinduan mereka yang tak pernah diucapkan – untuk menikmati kebersamaan dan kehidupan yang normal walaupun hanya sebentar. Jika kita tanya Ahok, ia pasti menjawab tidak perlu break karena seketika terbayang wajah-wajah warganya yang mengantri di Balai Kota setiap pagi. Warga itu mengantri bukan untuk kongkow-kongkow minum kopi dan makan camilan, tetapi membawa tumpukan masalah.

Selepas itu ia langsung tenggelam di kantornya, bekerja dan rapat hingga malam hari. Ia mempelajari masalah Jakarta, mendengar dan melihat langsung lalu menyelesaikannya. Saking berjibunnya masalah Jakarta, sejujurnya belum semuanya selesai dengan tuntas. Namun kita telah melihat banyak perubahan terjadi. Banyak orang bisa berbagi cerita. Percayalah, akan banyak buku yang akan ditulis tentangnya, karena media dalam negeri dan internasional tak pernah kehabisan topik untuk menuliskan sosok dan kiprahnya.

Jika weekend tiba, Ahok masih harus berkeliling memenuhi undangan warga yang kawin. Dalam sehari ia bisa menghadiri beberapa undangan kawin. Angpao-nya keluar dari dompetnya sendiri.

KM 19.4 membuktikan betapa tidak mudah menjadi pemimpin yang berbeda. Tetapi sejarah akan mencatat, bahwa pada suatu masa Jakarta pernah dipimpin oleh seseorang yang menjadi simbol perubahan dan kemajuan, tetapi ditolak oleh lebih dari separo rakyatnya sendiri karena ia tak bisa mengubah tanda-tanda lahiriahnya dan prinsip kebenaran yang diperjuangkannya.

Kita kehilangan seorang yang extra-ordinary, seorang yang fenomenal, seorang yang membuat kita bangga karena ia adalah pemimpin yang tahu apa yang dikerjakannya dengan integritas, dan melaksanakan tugas dengan sepenuh jiwa-raganya. Bill Clinton pernah mengungkapkan perasaan yang sama tentang Nelson Mandela, “Every time he walks into a room we all feel a little bigger, we all want to stand up, we all want to cheer, because we’d like to be him on our best day.” Ungkapan Clinton ini seolah mewakili perasaan kita yang sedih dan bangga.

Dia telah membuat mereka yang kehilangan kepercayaan dirinya kembali memperolehnya. Dia telah membuat negeri yang pernah berada dalam lembah kekelaman menemukan cahaya. Dia telah mengembalikan mimpi yang lama terkubur, bahwa di negeri ini masih ada orang yang padanya kita bisa menaruh harap.

Banyak orang bertanya, “Kemana Ahok setelah ini?” Sayangnya, tak seorangpun bisa memaksa untuk segera memperoleh jawabannya sekarang, sebab bagi Tuhan, tidak semua rencana-Nya harus diberitahukan kepada manusia yang melempar tanya.

Selamat jalan dari Balai Kota Jakarta, Ahok. Kutunggu engkau pada perhentian berikutnya.

***
Serpong, 22 April 2017
Titus J.

Sunday, April 9, 2017

Wajah Barabas di Cermin Kita

**Renungan Jumat Agung**

Mungkin sudah lama kita tak memutar film “The Passion of The Christ”. Walaupun sudah lebih dari 12 tahun sejak film itu diluncurkan pada 2004, apa yang digambarkan di film itu tetap relevan, dan kita perlu mengenangnya kembali menjelang Jumat Agung beberapa hari lagi.

Film yang disutradarai oleh Mel Gibson itu adalah film yang jujur seperti sebuah cermin. Layaknya cermin, ia merefleksikan wajah kita dengan sebenar-benarnya. Sebuah cermin memberitahu kita apa adanya, jadi jika kita melihat wajah kita buruk, tak perlu cerminnya dibelah. Setelah menonton film itu, perasaan kita campur-aduk. Sebagian adegan membuat kita marah, dan bagian lainnya meremas-remas hati kita dan membuat kita meneteskan air mata. Film itu mengajak kita untuk merenung tentang penderitaan Yesus Kristus dan siapakah diri kita sebenarnya.

Adakah tokoh dalam film itu yang menggambarkan diri kita? Siapakah tokoh yang kita perankan dalam kehidupan nyata sekarang? Petruskah? Yudas? Maria? Maria Magdalena? Pilatus? Prajurit Romawi? Barabas? Ahli Taurat atau imam (ulama)?

Mungkin kita mengejek Petrus yang sebelumnya begitu patriotik namun pada satu episode hidupnya ia bersikap pengecut. Nyalinya mendadak ciut setelah Yesus ditangkap dan dibawa ke hadapan imam besar. Ia mengatakan “Aku tidak kenal Dia” ketika seorang mengenalinya sebagai salah satu murid Yesus. Belum apa-apa Petrus sudah gemetar. Ia menyangkal sampai tiga kali dan baru sadar setelah ayam berkokok. Padahal sebelumnya ia berkata dengan sok jago, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku tak akan menyangkal-Mu.”

“Seandainya aku Petrus, aku tak akan menyangkal guruku sendiri,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Mungkin kita ingin meludahi muka Yudas Iskariot yang mata duitan itu, karena hanya demi tigapuluh syikal perak ia menjual Yesus. Harga tigapuluh syikal perak itu sendiri merupakan harga seorang budak (seperti yang ditulis dalam kitab Keluaran 21:32). Jadi betapa hinanya Yudas memperlakukan gurunya. Mungkin kita “agak memaafkan” Yudas seandainya ia menjual Yesus dengan harga mahal, karena bisa jadi ia tergoda uang suap yang jumlahnya milyaran (uang sekarang). Tetapi uang receh sejumlah itupun nyatanya telah membutakan matanya. Ya ampun… betapa greedy-nya Yudas itu, sampai recehan pun diembat.

“Seandainya aku Yudas, aku tak akan menjual guruku sendiri. Aku takkan korupsi, berapapun harga yang ditawarkan oleh imam-imam anggota mahkamah agama itu,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Mungkin kita ingin menampar Pilatus, karena sebagai seorang Gubernur yang memiliki kuasa untuk membebaskan atau menghukum orang, ia mencla-mencle. Pilatus mengerti benar bahwa para ulama Yahudi itu menyerahkan Yesus karena dengki. Ia mondar-mandir di atas balkon, masuk ke dalam menanyai Yesus, lalu keluar menjawab para ulama, bahkan sampai beberapa kali bolak-balik keluar-masuk dalam keraguan. Di ujung persimpangan jalan, setelah ia menyelidik Yesus dengan seksama, ia sudah punya keyakinan, kemudian berseru kepada orang banyak, “Aku tidak menemukan kesalahan apapun pada diri-Nya.” 

Tetapi apa daya, massa meresponnya dengan prinsip “Pokoknya”. Pokoknya Yesus harus mati, tak perlu tanya alasannya. Dia adalah penghujat, penista, dan menurut hukum Taurat, Dia harus dihukum mati. Pilatus yang harusnya tahu bahwa soal hujat-menghujat tidak bisa diadili olehnya, akhirnya tunduk kepada teriakan massa yang makin keras menuntut Yesus dihukum mati. Lalu Pilatus mengambil baskom berisi air, dan sambil mencuci tangan ia berkata kepada orang banyak, “Aku tidak bersalah atas darah Orang ini, itu urusanmu sendiri.”

“Seandainya aku Pilatus, aku tak akan cuci tangan, apapun risiko politiknya atas kedudukanku atau jabatanku, aku siap mempertanggung-jawabkan. Gila! Siapa mereka? Aku tak mungkin tunduk kepada tekanan massa,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Mungkin kita ingin menonjok mulut para ahli Taurat dan imam-imam kepala, yang dengan kebencian dan amarah membara menghasut rakyat untuk berdemonstrasi di hadapan Pilatus menuntut agar Yesus dihukum mati. Para ahli agama itu hafal ayat-ayat dan mengerti luar kepala isi hukum Taurat, tetapi pengetahuannya justru membawa mereka kepada kemunafikan. Sudah tiga setengah tahun terakhir ini mereka menahan geram karena kalah pamor. Banyak orang rela antri dan berdesak-desakan untuk melihat Yesus dan mendengar-Nya berkhotbah (kalau jaman dulu sudah ada smartphone, mungkin rakyat Yahudi itu rebutan selfie dengan Yesus) - sedangkan rakyat yang mau mendengarkan para ulama itu makin lama makin habis karena (mungkin) khotbah mereka yang tidak menarik, dan oleh sebab rakyat tahu bahwa para pemimpin agama mereka itu mengelabuhi mereka dengan jubah putih dan doa yang panjang-panjang.

Selain itu, gara-gara Yesus penghasilan para ulama itu menurun drastis, salah satunya yang paling ngedrop adalah bisnis sertifikasi halal untuk hewan kurban yang mereka lakukan di bait Allah, yang beberapa hari sebelumnya diobrak-abrik oleh Yesus sambil mengatakan, “Rumah-Ku adalah rumah doa bagi segala bangsa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Sudah terlalu sering para ulama itu mencari-cari kesalahan Yesus, tetapi tak setitik pun bisa didapatkan. Dalam soal tanya-jawab pun, para ulama itu seringkali menanggung malu di hadapan rakyat, karena jawaban cerdas Yesus yang membuat mereka tak berkutik. Ilmu apalagi yang harus mereka keluarkan selain menuduh Dia sebagai Si Penghujat?

“Seandainya aku ahli Taurat atau imam, aku akan bersikap rendah hati, bahkan dengan ilmu agamaku mungkin aku akan mengajak rakyat untuk belajar lebih banyak lagi dari-Nya – tentang kasih, tentang kerendah-hatian, tentang pengorbanan,” demikian mungkin kita berkata dalam hati kita.

Apakah kita akan memilih peran yang lainnya karena tak satu peran pun kita inginkan sebab semuanya berkarater buruk?

Jujurkah hati kita seandainya kita berada di saat itu, dan kita tidak akan bersikap pengecut seperti Petrus? Benarkah kita bukan pengkhianat seperti Yudas Iskariot yang menyerahkan gurunya dengan ciuman? Yakinkah kita bahwa kita bukan seorang pemimpin mencla-mencle seperti Pilatus yang membunuh kebenaran demi kekuasaan? Apakah kita juga bukan penghasut munafik seperti ahli-ahli Taurat dan imam-imam yang menjual agama demi keuntungan pribadi?

Lalu aku melihat Barabas, seorang penjahat dan pemberontak, yang oleh Pilatus dilakukan subsitusi demi menghukum mati Yesus. Substitusi itu telah menggoreskan sejarah Jumat Agung dimana Barabas si pendosa itu dibebaskan, dan Yesus yang suci itu disalibkan.

Aku mengutuki Barabas, oleh karena si bedebah itulah Yesusku disalibkan.

Dalam kemarahan dan murka menyala aku mengambil cermin, memegangnya tepat di depan wajahku. Saat itulah aku melihat wajah Barabas di cermin itu.

“But he was pierced for our transgressions, he was crushed for our iniquities;
the punishment that brought us peace was on him, and by his wounds we are healed.
We all, like sheep, have gone astray, each of us has turned to our own way;
and the Lord has laid on him the iniquity of us all.” (Isaiah 53:5-6)

***
Serpong, 9 Apr 2017
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...