Wednesday, May 18, 2016

Jika Kim Jong-un Sebel Dengan Istrinya

Pertengahan Maret 2016 yang lalu saya ditugaskan oleh kantor ke Korea (Selatan) untuk bertemu dengan rekan bisnis. Selama 3 hari di Seoul jadwal saya rutin saja; meeting sampai sore, kembali ke hotel, dan malamnya ‘blusukan’ ke beberapa tempat. Saya penasaran ingin mengenal lebih dekat kekristenan di Korea Selatan yang kabarnya paling progressif di dunia. Benarkah iman Kristen memberi dampak positif bagi kehidupan rakyat Korea yang jumlahnya sekitar 50 juta penduduk itu?

Di bulan Maret, Seoul sudah berada di penghujung musim dingin. Walaupun musim dingin akan segera berganti, dimana-mana orang masih mengenakan mantel dan jaket tebal. Ketika saya keluar dari Incheon international airport hendak membeli tiket bus menuju ke hotel di daerah Myeongdong, saya disambut oleh dinginnya udara 2 derajat Celcius menusuk kulit. Kulit saya yang tipis ini serta-merta kaget karena  hanya dibalut dengan jaket seadanya saja. Sepanjang perjalanan, dari dalam bus saya melihat orang-orang kantoran mengenakan setelan jas lengkap sedang berduyun-duyun menuju stasiun MRT, berjalan di trotoar, atau naik sepeda onthel. Naik sepeda onthel dengan berjas dan berdasi merupakan pemandangan biasa di Seoul di bulan itu.

Saya dijemput oleh rekan Korea di hotel untuk kemudian bersama-sama menuju kantornya di Seongnam, pinggiran kota Seoul. Kami berjalan menuju halte bus. Udara dingin tidak mau tahu sama sekali jari-jari saya yang seakan membeku. Saya menyesal tidak membawa sarung-tangan.

Berjalan di tengah kota yang dingin sebenarnya cukup mengasyikkan, karena tak ada keringat yang bikin badan kita lengket. Kota Seoul terlihat sibuk tapi tidak terburu-buru. Orang-orang berjalan dengan langkah biasa saja. Di antara keriuhan kendaraan saya masih menangkap suara para pejalan kaki mengobrol. Dimana-mana terlihat pohon-pohon yang tinggal ranting tanpa daun di ujung musim dingin itu. Sebentar lagi daun-daunnya yang meranggas itu akan mulai bersemi, berwarna-warni, berkilau ditimpa cahaya matahari yang hangat.

Ranting-ranting pohon tak berdaun itu tampak mempercantik kota. Lekukan rantingnya terselip di antara rumah-rumah dan kantor-kantor yang berderet-deret, berjejer di tepi jalan dan berlomba tinggi dengan tiang-tiang listrik yang tegak lurus ke atas. Keindahan ranting tak berdaun itu semakin mempesona seperti lukisan dengan background langit yang diarsir dengan arsiran tipis warna biru muda bercampur putih. Damai di langit Seoul.

Suasana kantor di perusahaan rekan Korea tersebut tampak sederhana. Berada di sebuah gedung bertingkat, kantor tersebut didisain dengan rapi dan kreatif. Walaupun tidak bisa dikatakan mentereng dan ‘wah’ sebagai perusahaan di bidang internet services yang berfokus di layanan instant messaging kelas dunia, suasana kantornya yang simple itu tetap terkesan elegan. Kami meeting hingga sore hari kemudian pulang.

Walaupun Korea sudah maju pesat sekali, rakyat kebanyakan masih tidak bisa berbahasa Inggris. Pada setiap meeting yang saya ikuti, mereka selalu menyiapkan penerjemah. Di restoran juga sama. Ketika saya masuk restoran dan bermaksud menanyakan apakah menu makanan mengandung babi (sebab beberapa teman seperjalanan saya adalah Muslim), pemilik restoran itu tidak mengerti dan hanya menjawab dengan bahasa isyarat.

Ketika sore datang dan senja pelahan merayap memasuki kota, angin berhembus lebih kencang menerpa tubuh saya yang sedikit menggigil. Beberapa ratus meter dari hotel tempat saya menginap di daerah Myeongdong, kerumunan orang-orang kantoran keluar dari gedung-gedung sambil mengancingkan mantel tebal dan merapatkan jaket ke tubuh. Mereka menjejali jalanan untuk sekadar jajan makanan ringan, belanja barang-barang terutama kosmetik, maupun makan malam. Tempat itu tak pernah sepi sekalipun waktu sudah mendekati jam 12 malam. Melihat keramaian kota hingga larut malam seperti itu, terlebih melihat para wanita muda yang bebas ‘keluyuran’ di malam hari, kita dapat menyimpulkan bahwa kota itu memberikan rasa aman bagi warganya.

Saya mencoba untuk mencari petunjuk geliat kekristenan di antara masyarakat. Tapi saya tidak menemukannya.

Bayangan saya sebelumnya bahwa kekristenan di Korea telah menjadi penggerak transformasi sehingga diadopsi menjadi life style masyarakatnya rupanya tak tampak. Setiap kali makan di restoran, saya berharap ‘paling tidak’ melihat mereka melipat tangan untuk berdoa. Namun tak ada tanda-tanda. Rekan Korea saya seorang perokok yang santai, yang menjalani hidupnya dengan bebas.

Dari data statistik, komposisi orang Kristen di Korea ‘hanya’ 18 persen dari total populasi penduduk, jadi sekitar 9 juta. Jumlah pemeluk Katolik 11 persen atau 5,5 juta. Jika digabung, jumlah mereka yang percaya Kristus sebesar 14,5 juta. Pemeluk Budha lebih sedikit daripada gabungan Kristen dan Katolik yaitu 23 persen atau 11,5 juta, sedangkan komposisi yang terbesar adalah mereka yang tidak beragama apapun, yaitu 46 persen atau 23 juta orang.

Apakah jumlah 14,5 juta orang yang percaya Kristus itu memiliki pengaruh dalam denyut kehidupan Korea baik di masyarakat maupun kebijakan Negara? Secara kasat mata mungkin tidak terlihat, tapi saya yakin jumlah ini lebih dari cukup untuk menghindarkan Korsel dari malapetaka yang mengintai mereka dari jarak yang sangat dekat.

Warga Seoul dan rakyat Korea mustahil tidak mengerti, bahwa di bagian Utara mereka, 194 kilometer dari jantung kota Seoul, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un selalu mengintip mereka dari celah kota Pyongyang. Rudal-rudal balistik baik berjarak pendek, sedang dan jauh sudah diuji-coba dan telah terpasang rapi, siap meluncur menuju sasaran setiap saat jika memang dikehendaki. Ibaratnya, tinggal menunggu tombol dipencet dengan satu jari, maka lumatlah Seoul dan Korea Selatan.

Uji coba rudal telah rutin dilakukan dan menjadi lebih intensif pada beberapa bulan terakhir ini. Jika rudal Korut yang paling kecil saja berjarak jelajah 1000 km, maka Jong-un cukup menggunakan rudal kecil saja, dan Seoul akan luluh-lantak. Apalagi dengan rudal jarak jauh yang sudah diuji-coba yang berjarak jelajah 8000 – 10000 km, maka pangkalan militer Amerika di Pasifik akan lenyap.

Bukan hanya dengan serangan rudal, sejauh ini paling tidak sudah ada 4 tunnel (terowongan) yang digali oleh tentara Korut dengan jalur menuju jantung Korsel. Seandainya tidak ketahuan, Korsel akan tergagap karena sergapan mendadak oleh tentara Korut dari bawah tanah yang tak pernah diperhitungkan. Terowongan itu sanggup menampung serbuan tentara Korut secara masif dengan jumlah aliran 2000 tentara per jam. Jika jumlah tentara aktif Korut yang selalu siaga tempur saja sebanyak 700.000 ditambah 4,5 juta tentara cadangan, maka dengan sekali serbu riwayat Korsel akan tamat dalam waktu maksimal 2 minggu (Catatan: Jumlah tentara Indonesia ‘hanya’ 400.000 personil padahal jumlah penduduknya 10 kali lipat dari Korut). Korut benar-benar mengalokasikan budgetnya untuk senjata dan mesin perang secara gila-gilaan.

Rekan Korea saya mengatakan bahwa ia tak terlalu khawatir dengan ketegangan dan provokasi itu. Entahlah, apakah ia benar-benar yakin akan kedaulatan Tuhan atas nasib bangsa Korea atau karena ia tahu bahwa ada jutaan orang Kristen Korea yang selalu berdoa untuk keselamatan bangsanya. Logika pragmatis ini masuk akal. Jangankan 14,5 juta, oleh 1 orang sajapun, sebuah bangsa bisa diselamatkan. Kisah Ester dan Mordekhai di Perjanjian Lama telah mengukir sejarah betapa oleh 1 orang pemrakarsa doa yang didukung doa masal dari pengikut-pengikutnya maka sebuah bangsa bisa terluput dari pemusnahan.

Di hari ketiga saya di Seoul, sebenarnya saya bermaksud untuk mampir ke Demilitarized Zone (DMZ), sebuah area garis batas yang membentang sejauh 204 km yang memisahkan Korea Selatan dan Korea Utara sejak berakhirnya perang Korea tahun 1953. Tapi niat saya urung karena tidak cukup waktu untuk mengurus perjalanan kesana, sebab walaupun DMZ ini terbuka untuk publik, tetapi hanya yang mengantongi ijin saja yang diperbolehkan. DMZ disebut sebagai The world’s most dangerous border karena dijaga super ketat oleh tentara dari dua belah pihak – dengan senjata aktif yang siap menembak siapapun yang berani melintasi garis batas. Tentara akan menembak tanpa tembakan peringatan terlebih dahulu.


Beberapa insiden pernah terjadi di DMZ, baik insiden berdarah maupun psywar soal adu tinggi tiang bendera. Insiden yang disebut ‘flagpole war’ itu dimulai ketika tentara Korut memasang tiang bendera. Setelah itu tentara Korsel juga memasang tiang bendera setinggi 100 meter, lebih tinggi daripada tiang bendera Korut. Tidak terima tiang benderanya kalah tinggi, tentara Korut kemudian memasang tiang bendera yang lebih tinggi lagi hingga 160 meter. Untungnya, tentara Korsel tidak meladeninya lagi. Jangan dikira perang tidak bakal meletus hanya gara-gara urusan tiang bendera.

Kim Jong-un, yang saat ini dipuja sebagai the supreme leader atau pemimpin agung rakyat Korea Utara, lebih garang dari ayahnya, Kim Jong-il, bahkan lebih menakutkan daripada kakeknya, Kim Il-sung. Ketika ayahnya memimpin selama 17 tahun, ia ‘hanya’ mengeksekusi 10 orang, sedangkan Jong-un yang baru memimpin 5 tahun sudah mengeksekusi 70 orang penting dan petinggi Negara. Bahkan pamannya sendiri, Jang Song Thaek, yang disebut sebagai mentornya sendiri dan menjadi orang kedua paling berpengaruh setelah dirinya, dieksekusi tanpa ampun di tahun 2013.

Jika 70 orang penting, termasuk pamannya sendiri dengan mudah dieksekusi mati, apakah sulit bagi Jong-un untuk memencet tombol peluncur rudal karena satu alasan tertentu? Negara superpower seperti Amerika pun tidak berani gegabah mengambil tindakan, sebab, sedikit saja kesalahan diplomatik yang membuat Jong-un tersinggung, maka tombol itu bisa saja dipencet. Nasib Korsel benar-benar hanya sejauh tombol. Untungnya, masih banyak orang Kristen di Korsel yang berdoa. Bangsa Korsel benar-benar dijaga oleh anugerah Tuhan.

Ketika kembali ke Jakarta, di dalam pesawat Korean Air yang saya tumpangi, saya sempat berpikir, bagaimana jika Jong-un sedang marah atau sebel dengan istrinya, dan tombol itu berada di dekatnya?

***

Older men declare war. But it is youth that must fight and die.
― Herbert Hoover

Serpong, Mei 2016
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...