Pertengahan Maret 2016 yang lalu saya ditugaskan oleh kantor
ke Korea (Selatan) untuk bertemu dengan rekan bisnis. Selama 3 hari di Seoul jadwal
saya rutin saja; meeting sampai sore, kembali ke hotel, dan malamnya ‘blusukan’ ke beberapa tempat. Saya
penasaran ingin mengenal lebih dekat kekristenan di Korea Selatan yang kabarnya
paling progressif di dunia. Benarkah iman Kristen memberi dampak positif bagi
kehidupan rakyat Korea yang jumlahnya sekitar 50 juta penduduk itu?
Di bulan Maret, Seoul sudah berada di penghujung musim
dingin. Walaupun musim dingin akan segera berganti, dimana-mana orang masih mengenakan
mantel dan jaket tebal. Ketika saya keluar dari Incheon international airport
hendak membeli tiket bus menuju ke hotel di daerah Myeongdong, saya disambut
oleh dinginnya udara 2 derajat Celcius menusuk kulit. Kulit saya yang tipis ini
serta-merta kaget karena hanya dibalut
dengan jaket seadanya saja. Sepanjang perjalanan, dari dalam bus saya melihat orang-orang
kantoran mengenakan setelan jas lengkap sedang berduyun-duyun menuju stasiun
MRT, berjalan di trotoar, atau naik sepeda onthel.
Naik sepeda onthel dengan berjas dan
berdasi merupakan pemandangan biasa di Seoul di bulan itu.
Saya dijemput oleh rekan Korea di hotel untuk kemudian
bersama-sama menuju kantornya di Seongnam, pinggiran kota Seoul. Kami berjalan
menuju halte bus. Udara dingin tidak mau tahu sama sekali jari-jari saya yang
seakan membeku. Saya menyesal tidak membawa sarung-tangan.
Berjalan di tengah kota yang dingin sebenarnya cukup
mengasyikkan, karena tak ada keringat yang bikin badan kita lengket. Kota Seoul
terlihat sibuk tapi tidak terburu-buru. Orang-orang berjalan dengan langkah
biasa saja. Di antara keriuhan kendaraan saya masih menangkap suara para
pejalan kaki mengobrol. Dimana-mana terlihat pohon-pohon yang tinggal ranting
tanpa daun di ujung musim dingin itu. Sebentar lagi daun-daunnya yang meranggas
itu akan mulai bersemi, berwarna-warni, berkilau ditimpa cahaya matahari yang
hangat.
Ranting-ranting pohon tak berdaun itu tampak mempercantik
kota. Lekukan rantingnya terselip di antara rumah-rumah dan kantor-kantor yang
berderet-deret, berjejer di tepi jalan dan berlomba tinggi dengan tiang-tiang
listrik yang tegak lurus ke atas. Keindahan ranting tak berdaun itu semakin
mempesona seperti lukisan dengan background
langit yang diarsir dengan arsiran tipis warna biru muda bercampur putih. Damai
di langit Seoul.
Suasana kantor di perusahaan rekan Korea tersebut tampak
sederhana. Berada di sebuah gedung bertingkat, kantor tersebut didisain dengan
rapi dan kreatif. Walaupun tidak bisa dikatakan mentereng dan ‘wah’ sebagai
perusahaan di bidang internet services
yang berfokus di layanan instant
messaging kelas dunia, suasana kantornya yang simple itu tetap terkesan
elegan. Kami meeting hingga sore hari kemudian pulang.
Walaupun Korea sudah maju pesat sekali, rakyat kebanyakan
masih tidak bisa berbahasa Inggris. Pada setiap meeting yang saya ikuti, mereka
selalu menyiapkan penerjemah. Di restoran juga sama. Ketika saya masuk restoran
dan bermaksud menanyakan apakah menu makanan mengandung babi (sebab beberapa
teman seperjalanan saya adalah Muslim), pemilik restoran itu tidak mengerti dan
hanya menjawab dengan bahasa isyarat.
Ketika sore datang dan senja pelahan merayap memasuki kota,
angin berhembus lebih kencang menerpa tubuh saya yang sedikit menggigil. Beberapa
ratus meter dari hotel tempat saya menginap di daerah Myeongdong, kerumunan
orang-orang kantoran keluar dari gedung-gedung sambil mengancingkan mantel
tebal dan merapatkan jaket ke tubuh. Mereka menjejali jalanan untuk sekadar
jajan makanan ringan, belanja barang-barang terutama kosmetik, maupun makan
malam. Tempat itu tak pernah sepi sekalipun waktu sudah mendekati jam 12 malam.
Melihat keramaian kota hingga larut malam seperti itu, terlebih melihat para
wanita muda yang bebas ‘keluyuran’ di malam hari, kita dapat menyimpulkan bahwa
kota itu memberikan rasa aman bagi warganya.
Saya mencoba untuk mencari petunjuk geliat kekristenan di antara
masyarakat. Tapi saya tidak menemukannya.
Bayangan saya sebelumnya bahwa kekristenan di Korea telah
menjadi penggerak transformasi sehingga diadopsi menjadi life style masyarakatnya rupanya tak tampak. Setiap kali makan di
restoran, saya berharap ‘paling tidak’ melihat mereka melipat tangan untuk
berdoa. Namun tak ada tanda-tanda. Rekan Korea saya seorang perokok yang
santai, yang menjalani hidupnya dengan bebas.
Dari data statistik, komposisi orang Kristen di Korea
‘hanya’ 18 persen dari total populasi penduduk, jadi sekitar 9 juta. Jumlah
pemeluk Katolik 11 persen atau 5,5 juta. Jika digabung, jumlah mereka yang
percaya Kristus sebesar 14,5 juta. Pemeluk Budha lebih sedikit daripada
gabungan Kristen dan Katolik yaitu 23 persen atau 11,5 juta, sedangkan
komposisi yang terbesar adalah mereka yang tidak beragama apapun, yaitu 46
persen atau 23 juta orang.
Apakah jumlah 14,5 juta orang yang percaya Kristus itu
memiliki pengaruh dalam denyut kehidupan Korea baik di masyarakat maupun
kebijakan Negara? Secara kasat mata mungkin tidak terlihat, tapi saya yakin
jumlah ini lebih dari cukup untuk menghindarkan Korsel dari malapetaka yang mengintai
mereka dari jarak yang sangat dekat.
Warga Seoul dan rakyat Korea mustahil tidak mengerti, bahwa
di bagian Utara mereka, 194 kilometer dari jantung kota Seoul, pemimpin Korea
Utara, Kim Jong-un selalu mengintip mereka dari celah kota Pyongyang. Rudal-rudal
balistik baik berjarak pendek, sedang dan jauh sudah diuji-coba dan telah terpasang
rapi, siap meluncur menuju sasaran setiap saat jika memang dikehendaki.
Ibaratnya, tinggal menunggu tombol dipencet dengan satu jari, maka lumatlah
Seoul dan Korea Selatan.
Uji coba rudal telah rutin dilakukan dan menjadi lebih
intensif pada beberapa bulan terakhir ini. Jika rudal Korut yang paling kecil
saja berjarak jelajah 1000 km, maka Jong-un cukup menggunakan rudal kecil saja,
dan Seoul akan luluh-lantak. Apalagi dengan rudal jarak jauh yang sudah diuji-coba
yang berjarak jelajah 8000 – 10000 km, maka pangkalan militer Amerika di Pasifik
akan lenyap.
Bukan hanya dengan serangan rudal, sejauh ini paling tidak
sudah ada 4 tunnel (terowongan) yang
digali oleh tentara Korut dengan jalur menuju jantung Korsel. Seandainya tidak
ketahuan, Korsel akan tergagap karena sergapan mendadak oleh tentara Korut dari
bawah tanah yang tak pernah diperhitungkan. Terowongan itu sanggup menampung
serbuan tentara Korut secara masif dengan jumlah aliran 2000 tentara per jam. Jika
jumlah tentara aktif Korut yang selalu siaga tempur saja sebanyak 700.000
ditambah 4,5 juta tentara cadangan, maka dengan sekali serbu riwayat Korsel
akan tamat dalam waktu maksimal 2 minggu (Catatan: Jumlah tentara Indonesia
‘hanya’ 400.000 personil padahal jumlah penduduknya 10 kali lipat dari Korut).
Korut benar-benar mengalokasikan budgetnya untuk senjata dan mesin perang
secara gila-gilaan.
Rekan Korea saya mengatakan bahwa ia tak terlalu khawatir
dengan ketegangan dan provokasi itu. Entahlah, apakah ia benar-benar yakin akan
kedaulatan Tuhan atas nasib bangsa Korea atau karena ia tahu bahwa ada jutaan
orang Kristen Korea yang selalu berdoa untuk keselamatan bangsanya. Logika
pragmatis ini masuk akal. Jangankan 14,5 juta, oleh 1 orang sajapun, sebuah
bangsa bisa diselamatkan. Kisah Ester dan Mordekhai di Perjanjian Lama telah
mengukir sejarah betapa oleh 1 orang pemrakarsa doa yang didukung doa masal
dari pengikut-pengikutnya maka sebuah bangsa bisa terluput dari pemusnahan.
Di hari ketiga saya di Seoul, sebenarnya saya bermaksud
untuk mampir ke Demilitarized Zone (DMZ), sebuah area garis batas yang
membentang sejauh 204 km yang memisahkan Korea Selatan dan Korea Utara sejak
berakhirnya perang Korea tahun 1953. Tapi niat saya urung karena tidak cukup
waktu untuk mengurus perjalanan kesana, sebab walaupun DMZ ini terbuka untuk
publik, tetapi hanya yang mengantongi ijin saja yang diperbolehkan. DMZ disebut
sebagai The world’s most dangerous border
karena dijaga super ketat oleh tentara dari dua belah pihak – dengan
senjata aktif yang siap menembak siapapun yang berani melintasi garis batas.
Tentara akan menembak tanpa tembakan peringatan terlebih dahulu.
Beberapa insiden pernah terjadi di DMZ, baik insiden
berdarah maupun psywar soal adu
tinggi tiang bendera. Insiden yang disebut ‘flagpole
war’ itu dimulai ketika tentara Korut memasang tiang bendera. Setelah itu tentara
Korsel juga memasang tiang bendera setinggi 100 meter, lebih tinggi daripada
tiang bendera Korut. Tidak terima tiang benderanya kalah tinggi, tentara Korut
kemudian memasang tiang bendera yang lebih tinggi lagi hingga 160 meter.
Untungnya, tentara Korsel tidak meladeninya lagi. Jangan dikira perang tidak
bakal meletus hanya gara-gara urusan tiang bendera.
Kim Jong-un, yang saat ini dipuja sebagai the supreme leader atau pemimpin agung
rakyat Korea Utara, lebih garang dari ayahnya, Kim Jong-il, bahkan lebih menakutkan
daripada kakeknya, Kim Il-sung. Ketika ayahnya memimpin selama 17 tahun, ia
‘hanya’ mengeksekusi 10 orang, sedangkan Jong-un yang baru memimpin 5 tahun
sudah mengeksekusi 70 orang penting dan petinggi Negara. Bahkan pamannya
sendiri, Jang Song Thaek, yang disebut sebagai mentornya sendiri dan menjadi
orang kedua paling berpengaruh setelah dirinya, dieksekusi tanpa ampun di tahun
2013.
Jika 70 orang penting, termasuk pamannya sendiri dengan
mudah dieksekusi mati, apakah sulit bagi Jong-un untuk memencet tombol peluncur
rudal karena satu alasan tertentu? Negara superpower seperti Amerika pun tidak
berani gegabah mengambil tindakan, sebab, sedikit saja kesalahan diplomatik yang
membuat Jong-un tersinggung, maka tombol itu bisa saja dipencet. Nasib Korsel benar-benar
hanya sejauh tombol. Untungnya, masih banyak orang Kristen di Korsel yang
berdoa. Bangsa Korsel benar-benar dijaga oleh anugerah Tuhan.
Ketika kembali ke Jakarta, di dalam pesawat Korean Air yang
saya tumpangi, saya sempat berpikir, bagaimana jika Jong-un sedang marah atau
sebel dengan istrinya, dan tombol itu berada di dekatnya?
***
Serpong, Mei 2016
Titus J.