Tuesday, May 18, 2010

Orang Tua Renta Kita

Pada peringatan Parents Day di gereja saya hari Minggu 16 Mei 2010, ada 2 orang tua (kakek/nenek) sedang membacakan ungkapan “kerinduan” hati mereka terhadap anak-anak mereka. Sederet narasi yang dibacakan dengan pelahan oleh mereka diiringi dengan klip video yang menayangkan cuplikan-cuplikan masa lalu yang menggambarkan moment-moment indah waktu mereka mengasuh dan merawat anak-anak mereka dari kecil hingga dewasa memang mengharukan. Saya sendiri merasa tenggorokan saya tercekat dan mata berkaca-kaca tanpa sadar.

Barangkali adegan yang sederhana itu hanya akan lewat begitu saja di depan mata saya tanpa rasa apa-apa jika itu ditayangkan beberapa tahun yang lalu, tetapi hari ini ceritanya menjadi lain. Mengapa? karena saya sekarang sudah mempunyai anak, dan saya sudah menjadi seorang ayah. Saya memang sudah menjadi seorang ayah, tetapi saya sekaligus adalah seorang anak dari seorang ayah dan seorang ibu.

Apakah ayah dan ibu saya dulu juga merawat dan mengasuh saya seperti itu? Memandikan saya, memakaikan baju, mengantar ke sekolah, membantu saya membikin PR, mengajari saya pelajaran sekolah, memeluk saya waktu saya menangis, mendekap saya waktu saya ketakutan, membawa saya ke dokter dan merawat saya waktu sakit, dan ketika saya beranjak besar mereka mengajak saya mengobrol seperti seorang teman atau sahabat?

Mungkin di antara kita ada yang ayah/ibunya tidak seperti itu. Tetapi tidak mengapa, itu adalah ekspresi, karena ada orang tua yang tidak mengerti bagaimana cara mengungkapkan kasihnya kepada anak-anaknya. Ada orang tua yang terlalu sederhana, terlalu polos, bahkan mungkin terlalu “bodoh” untuk mengekspresikan kasih sayangnya, tetapi percayalah, jika hati mereka tidak terbuat dari batu, sesungguhnya mereka tetap menyayangi kita dengan cara mereka sendiri yang sangat sederhana, yang kadang-kadang sulit untuk kita mengerti.

Terhadap ungkapan kerinduan kedua kakek/nenek pada waktu membacakan narasi itu saya sangat memahami, dan apa yang dinyatakan pada waktu itu adalah realita dalam kehidupan kita. Berapa banyak orang tua di masa tuanya akhirnya menjadi bahan cemooh, bahan olok-olok, bahan tertawaan, dianggap sebagai pengganggu, merepotkan, ngabis-abisin uang dan sebagainya?

Orang tua yang sudah tua dan renta itu sering kita marahi, mungkin karena lupa menaruh barang, lupa mematikan kompor, lupa menyiram toilet sehabis kencing, lupa mematikan TV, lupa mematikan AC, dan lupa-lupa yang lain. Kita merasa tidak senang jika mereka suka bertanya sesuatu kepada kita, dan kitapun membentak jika apa yang sudah mereka tanyakan lalu mereka tanyakan lagi. Kita kesal kepada mereka jika mereka sering sakit-sakitan, dan kita harus mengeluarkan uang untuk membelikan mereka obat, membawa ke dokter, dan pada saat mereka dirawat di rumah sakit, kita lebih suka menyerahkan kepada pembantu atau suster untuk menunggui mereka karena kita sibuk dengan urusan kita yang “lebih penting”.

Pada waktu di rumah, kita tidak pernah mengajak mereka mengobrol, bercakap-cakap tentang hal-hal sederhana yang mudah mereka pahami, tetapi kita diamkan mereka sendiri karena mereka kita anggap tidak penting atau bukan lawan bicara yang menarik, sedang kita terus menyibukkan diri kita di kamar, atau menonton televisi, atau pergi ke rumah tetangga, atau sibuk urusan gereja dan pelayanan.

Betapa sepinya dunia orang tua kita yang sudah renta itu.

Tidakkah kita ingat pada waktu kita masih kecil, seberapa seringkah kita mengulang-ulang pertanyaan kepada orang tua kita namun mereka selalu menjawab seberapa-kalipun kita mengulang pertanyaan? Pernahkah kita ingat hal-hal kecil, waktu kita jatuh dari sepeda, waktu kepala kita terbentur meja atau tembok, waktu kaki kita tersandung dan terluka, dan orang tua kita selalu siap mengobati luka kita tanpa marah?

Pernahkah kita ingat pada waktu kita dalam ketakutan ketika hujan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar, ketika lampu rumah mati dan kegelapan meliputi kita, ketika kita terbangun di tengah malam karena mimpi buruk? Adakah orang tua cuek dan terlalu sibuk sehingga kita tidak digubris? Dan pernahkah kita sadari bahwa dalam situasi sesulit apapun kita selalu dikirimkan ke sekolah, sampai kita tamat sekolah dan menjadi seperti sekarang? Apakah pernah kita dengar mereka mengeluh: “Nak, papa/mama tidak punya uang untuk menyekolahkan kamu, jadi mulai sekarang tidak usah sekolah lagi.”

Bagi kita yang sudah menjadi ayah atau ibu, coba lihat sejenak wajah anak-anak kita ketika mereka tidur lelap, bukankah yang kita dapati adalah wajah-wajah innocent? Apa yang kita rasakan setelah melihat wajahnya? Demikianlah sama persis apa yang orang tua kita dulu rasakan ketika mereka melihat wajah kita di waktu kecil. Jika kelak kita sudah menjadi renta, dan anak-anak kita sudah dewasa dan membangun keluarga mereka masing-masing, pernahkah kita bayangkan tentang kesepian itu?

***
Ayah saya telah meninggal dunia pada tahun 2004 yang lalu di usianya yang ke-81. Beliau tua dan suntuk umur. Tetapi saya kira sampai hari meninggalnya ayah saya tak pernah merasa kesepian, karena selalu dikelilingi dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Harus saya akui bahwa saya memang yang paling jarang bertemu ayah saya dalam 8 tahun terakhir sebelum beliau meninggal, karena sejak saya pindah ke Jakarta di tahun 1996 saya tidak bisa terlalu sering pulang ke kampung. Tetapi saya selalu ingat, di saat-saat saya sempat pulang ke kampung dan bertemu dengan beliau, saya banyak mengobrol santai, tentang cerita-cerita masa lalu, tentang tayangan di televisi, tentang penyanyi keroncong dan berita TVRI waktu itu, dan banyak lelucon-lelucon yang sampai membuat saya terpingkal-pingkal, karena ayah saya termasuk seorang yang suka guyon (bercanda).

Ibu saya di bulan Juni tahun ini akan berumur 77 tahun. Sayapun begitu jarang bertemu dengan beliau karena jarak yang jauh. Tetapi pada waktu-waktu tertentu saya meneleponnya, ngobrol-ngobrol lewat telepon, mendengarkan apapun yang beliau ceritakan bahkan hal-hal yang remeh-temeh sekalipun. Saya tidak bisa lupa perjuangan ibu saya pada waktu saya masih kecil, yaitu untuk menyekolahkan saya (dan ke-6 saudara-saudara saya) di sekolah yang terbaik di kota kami waktu itu, sekalipun uang sekolahnya tidak murah.

Moment-moment peringatan Parents Day seperti ini selalu membuat saya kembali merenung, bahwa saya harus bersyukur masih punya orang tua walaupun tinggal 1 yaitu ibu saya, yang tahun ini akan berusia 77 tahun, dimana saya tidak pernah tahu sampai berapa lama lagi saya bisa mendengar suaranya walau hanya lewat telepon.

Saya teringat ibu saya, yang pendengarannya makin lama makin buruk, sehingga kadang-kadang jika bicara dengan beliau saya harus sering mengulang-ulang. Namun, tak pernah sekalipun saya ingat bahwa saya pernah berkata kasar kepada beliau, karena inilah ibu yang untuk menyekolahkan saya harus mengorbankan gendang telinganya akibat efek radiasi dari panasnya alat pemanggang roti yang dipakai oleh ibu saya berjualan roti waktu saya masih kecil. Maka saya tidak habis pikir, jika melihat ada anak yang berani mencemooh orang tuanya, apalagi berkata-kata dengan nada yang tinggi bahkan membentak, bagaimanapun dan apapun hal yang mungkin menjengkelkan yang dibuat oleh orang tuanya.

Salah satu teman saya hari-hari ini merawat ayahnya yang gagal ginjal. Ibunya sudah meninggal kira-kira 4 tahun yang lalu. Dan selama 4 tahun terakhir ini teman saya pontang-panting harus mengurus ayahnya yang tubuhnya makin mengurus akibat gagal ginjal. Seminggu dua kali ayahnya harus menjalani cuci darah, dan teman saya inilah yang harus mengantar dan menjemput ayahnya dari rumah ke rumah sakit, padahal ia juga harus masuk kantor untuk bekerja. Merepotkan?

Suatu hari teman saya menyampaikan uneg-unegnya kepada saya. Ia merasa sangat lelah, bukan hanya karena harus mengurus ayahnya sehari-hari, tetapi karena ayahnya (menurutnya) adalah seorang yang sangat keras kepala dan tidak pernah mau mendengar anak-anaknya, mau menang sendiri dan menganggap anak-anaknya tidak tahu apa-apa.

Saya mendengarkan teman saya ini terus bicara melampiaskan kekesalannya. Ia seperti frustrasi, otaknya seperti mandeg, tidak bisa berpikir karena jenuh akibat situasi yang ia hadapi. Ia seperti tidak mau lagi mengurus ayahnya. Setelah ia selesai membuang “sampahnya” ke saya, lalu saya hanya bilang: “Kau mau buang ayahmu? Silakan saja. Tuhan akan mengirim orang lain untuk mengurusnya. Tetapi ingat, kau buang ayahmu yang sakit yang kau anggap “tidak berguna” itu berarti kau buang emas, karena inilah kesempatan emas buat kamu untuk berbuat sesuatu baginya, sekalipun hal itu tidak enak. Tak banyak orang yang punya kesempatan seperti ini, karena banyak orang baru menyadari arti kehadiran orang tuanya pada waktu orang tuanya sudah tidak ada.”

***
Serpong, 18 Mei 2010
Titus J.

Sunday, May 16, 2010

A Laugh at Our Lawmakers

(published by The Jakarta Post on 19 May 2010. Click here)


The appointment of Indonesian Finance Minister Sri Mulyani Indrawati as one of the managing directors of the World Bank (WB), a prestigious position only one level below World Bank president Robert Zoellick, is interesting enough to be commented on. With all the speculation and analysis of the background to the appointment, finally people were directed to one enigma, i.e. whether she was asked by Zoellick to join the WB in light of his organization’s necessity, or she was offered by President Susilo Bambang Yudhoyono to Zoellick to calm the tension of the political battle that has made the President feels uncomfortable over the past few months.

Whatever her reason for quitting, it’s hard to deny that the departure of our best finance minister has something to do with Bank Century bailout case.
The Bank Century case, indeed, has become a pebble in the shoe for Mulyani as well as for SBY himself. Though only a pebble, one should not belittle a pebble. If SBY fails to handle the matter carefully, it’s not impossible for him to slip up.

This is the point that makes many people laugh about the Bank Century saga, because so much effort, energy and state money have been poured into it for several months, and the settlement was, eventually, very simple.

We will get to know, over the coming period, what will happen to the case, since the political motive was so obvious from the beginning. Let’s just see if the loud voices of our lawmakers in the House of Representatives fade away, then let’s laugh loudly at our lawmakers.

It is truly ironic, when she has been reviled and ridiculed by the elites of this country, Zoellick in the WB press release dated May 4, 2010 gave her such high praise: “I am delighted to announce the appointment of Sri Mulyani Indrawati. She has been an outstanding finance minister with in-depth knowledge of both development issues and the role of the World Bank Group. She has received global recognition for her success in combating corruption and strengthening good governance.

Zoellick was absolutely correct in his decision to pick Mulyani as one of his confidants. I personally admire her since she publicly appeared on TV talk show in the middle of monetary crisis that hit Indonesia in 1997-1998.

In the talk show aired by SCTV on February 1998, she revealed her view about the Currency Board System (CBS), an idea brought in by Steve Hanke. Speaking among Emil Salim, late Frans Seda, Peter Gontha and the late Ekky Syahruddin, she was not seen as nervous, but delivered her own intelligent opinion.

The global economy downturn in 2008 has put her in the midst of the wake of political interests. When the shares of prominent companies – one of them Bumi Resources owned by Aburizal Bakrie – plunged to their lowest level, the owners of those companies attempted to seek salvation by asking the government to bail them out.
However, Sri Mulyani, as the guardian of state finance said: “I am the finance minister. My job is to protect the state fund. Companies have a job to protect their own financial affairs. If they fail, it is their fault and they deserve to go bust.”

Now, President SBY has to select the next finance minister to replace Sri Mulyani, although it will be a tough job to select a person of her caliber. For the next minister, it is simply not enough to be smart, reform-minded and corruption-free, but also to have a heart as brave as Mulyani has.

***
Serpong, 16 May 2010
Titus J.

related story: The Peeble of Bank Century

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...