Friday, September 21, 2018

Nasihat Dari Balik Penjara


--To err is human; to forgive, divine– Alexander Pope

Setiap malam gadis remaja itu menghabiskan waktu bersama ibunya sebelum keduanya beranjak tidur. Ibunya akan selalu memberikan nasihat-nasihat sesuai dengan jadwal membaca Alkitab pada hari itu. Paling tidak selama satu jam anak dan ibu itu akan mengobrol sampai kantuk datang. Nasihat-nasihat ibunya selalu baru sehingga anak itu merasa sayang jika melewatkan satu atau beberapa bagian di dalamnya.

“Jadi siapakah yang lebih berbahagia di antara keduanya, yang diampuni atau yang mengampuni, Mama?” tanya gadis remaja itu. Malam itu mereka sampai pada kisah pengampunan sesuai bacaan pada Matius 18.

“Yang mengampuni, Sayang,” jawab ibunya sambil meletakkan Alkitabnya di pangkuannya.
“Mengapa?” tanya gadis remaja itu. Di sekolah SMP-nya, ia pernah menanyakan hal yang sama kepada guru agamanya, dan gurunya menjawab ‘sama saja’ – sebuah jawaban yang tidak memuaskan hatinya.

“Karena orang yang mengampuni adalah orang yang telah bebas, seperti seorang hukuman yang baru menghirup udara segar setelah sekian lama mendekam di penjara, sedangkan mereka yang tidak mengampuni hidup terbelenggu oleh sakit hati.”

“Adakah orang-orang seperti itu, yang terbelenggu hingga akhir hidupnya?”

Lalu mulailah ibunya bercerita:

Ada orang yang membawa kemarahannya hingga mati.

Ia merasa berhak marah kepada seseorang karena telah disakiti dan dikecewakan. Ia menyimpan kemarahannya bertahun-tahun hingga tak terasa waktunya telah tiba. Ketika nafasnya sudah di ambang ajal, dan walaupun teman-temannya memintanya untuk melepaskan pengampunan, ia tak juga bersedia. Ia tidak rela meletakkan kemarahannya itu di luar liang lahat. Jadi ia membawanya turun agar terkubur beserta semua rasa benci dan sakit hatinya. Ia lebih memilih neraka daripada memberikan pengampunan kepada seseorang yang sangat dibencinya.

“Neraka??” tanya gadis remaja itu tersentak.
“Ya. Ia tentu mengerti konsekuensi atas keputusannya karena ia adalah orang yang rajin beribadah di gereja, dan cerita soal pengampunan itu sudah dihafalnya karena sering dikhotbahkan. Kata Yesus, ‘Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.’ Bukankah setiap orang Kristen mengerti akan hal ini? Jadi jika orang itu mati dalam keadaan belum diampuni oleh Bapa karena ia tak mau mengampuni sesamanya, kemanakah ia akan pergi, Sayang?”

Gadis remaja itu terdiam, lalu menghela nafas panjang. Ibunya memegang rambutnya lalu melanjutkan ceritanya.

Tetapi ia tetap memilih neraka, karena mungkin baginya panasnya neraka tidak sepanas hatinya, terlebih jika yang menyakiti hatinya adalah orang yang dekat dengannya. Ada yang bilang, mengampuni musuh lebih mudah daripada mengampuni teman. Mengampuni orang yang jauh lebih mudah daripada mengampuni orang yang dekat.

“Apa maksudnya orang-orang yang dekat itu?” tanya anaknya.
“Hmm..,” kening ibunya berkerut tanda sedang berpikir, lalu sambil menelan ludah ia menjawab, ”Istri terhadap suaminya, suami terhadap istrinya, anak terhadap mama-papanya, mama-papa terhadap anaknya. Mereka adalah orang-orang yang dekat satu sama lain, apalagi suami dan istri, tidak ada relasi yang lebih dekat daripada mereka.”

Lalu ibunya melanjutkan ceritanya.

Ada seorang anak laki-laki kesayangan ibunya. Ia merupakan kebanggaan ibunya. Setiap bertemu dengan teman-temannya dan sanak familinya, tak ada hal lain yang diceritakannya selain tentang anak laki-lakinya. Jika ia sudah bercerita tentang anaknya itu, jangan pernah memberikan kritik tentang anaknya, sebab jika sampai ada yang berbuat demikian, nada suaranya akan berubah sengit, lalu di kemudian hari ibu itu tak bakal mau bertemu lagi dengan kritikus itu.

Sejak kecil ibunya membawa anaknya itu ke sekolah minggu. Ia sendiri mengikuti kebaktian di gereja dengan rajin. Sudah begitu banyak Firman Tuhan yang singgah di telinganya, karena ia selalu menyimak segala sesuatu yang disampaikan oleh Bapak Pendeta.

“Apakah anak itu nakal, Mama?” tanya gadis remaja itu.
“Ha. Kau pasti menyangka anak yang dimanja itu tumbuh menjadi anak yang nakal, bukan?”
Gadis remaja itu mengangguk.
“Untungnya tidak. Anak laki-laki itu adalah anak yang baik, sama sekali tidak nakal,” jawab ibunya.
Pertumbuhan yang baik itu mungkin karena didikan dari guru-guru sekolah minggunya, dan tentu saja, doa yang selalu diucapkan oleh ibunya.

Beberapa tahun kemudian, ketika anak laki-laki itu beranjak dewasa, ia menemukan kekasih, lalu membawanya kepada ibunya untuk memohon restu.

“Pasti ibunya dengan sukacita merestui!” sahut gadis remaja itu dengan antusias. Ia membayangkan teman sekolahnya yang sering memperhatikannya dengan diam-diam. Ia pun tersenyum ketika mengingat bahwa terkadang ia juga suka mencuri pandang ke arah temannya itu dengan diam-diam.

Sambil menghela nafas panjang, Ibunya menjawab lirih, “Hhh.. ternyata tidak.”

Tidak terlalu jelas alasan penolakan ibunya itu, tetapi sesudahnya hubungan mesra antara anak laki-laki itu dengan ibunya menjadi buruk, dan makin hari makin buruk. Anaknya merasa bahwa kekasihnya itu adalah pilihannya karena lahir dari perasaan cinta. Tahukah kamu bahwa cinta bersemi dan bertumbuh semakin subur justru di tengah tekanan dan penderitaan?

Sudah berulang-kali anaknya berusaha melunakkan hati ibunya, tetapi semakin dicobanya, bukan hati ibunya makin melunak tetapi malah makin mengeras. Cukup lama ibu dan anak itu saling mendiamkan, tak berusaha untuk membereskan, sebab setiap kali mereka berbicara mengenai perkara itu, hanya pertengkaran yang terjadi.

“Apakah anaknya jadi menikahi kekasihnya, Mama?” tanya gadis remaja itu menyela.
“Apa boleh buat. Anak laki-laki itu harus mengambil sikap dan keputusan yang sulit. Mereka akhirnya menikah.”
“Tanpa restu dari ibunya?”
“Bahkan ibunya tidak menghadiri pernikahan mereka.”

Satu tahun kemudian, anak laki-laki itu menjadi seorang papa setelah istrinya melahirkan seorang bayi yang lucu dan menggemaskan. Ibunya tak mau menengok cucunya, dan anak laki-laki itu tak berani membawa bayinya kepada Ibunya karena ia takut Ibunya akan menolaknya.

“Mengapa tidak ada yang memberikan nasihat kepada mereka?” tanya gadis remaja itu.
“Sudah, baik kepada ibunya maupun kepada anaknya. Tetapi betapa kerasnya hati manusia. Jika batu karang lambat laun akan terkikis oleh gelombang yang menerpanya, hati manusia justru makin mengeras karena benci dan sakit hati.”
“Aduhhh.. runyam sekali. Jika keadaannya seperti itu, siapa yang harus mengambil inisiatif terlebih dahulu agar mereka bisa berdamai?”
“Ingatkah kau cerita tentang domba yang hilang?” Ibunya balik bertanya.
“Ya. Gembala itu yang pergi mencari domba yang hilang itu.”
“Tepat sekali, Sayang, sebab manusia berdosa berada dalam kegelapan. Mereka tidak bisa menemukan jalan pulang, jadi harus ada yang mencarinya, lalu membawanya pulang,” jawab Ibunya.
“Jadi maksudnya, ibunya yang harus berisiatif menyapa anaknya, sepahit apapun hatinya?”
“Ada orang bijak bilang, bahwa anak itu tempat segala salah, ibu dan bapa tempat segala cinta. Hanya cinta yang mampu mengampuni, betapapun salah seseorang kepadanya. Itulah sebabnya mengapa Yesus harus turun ke dunia, tidak lain adalah untuk mencari kita orang berdosa, bukan?”

Sambil menutup Alkitabnya, sekaligus menutup nasihatnya, Ibu itu melanjutkan, “Berbuat salah adalah manusiawi, tetapi mengampuni adalah ilahi. Jika kita mampu mengampuni, kita berada di atas segala kebaikan yang bisa disebut. Mereka yang mendapat banyak pengampunan yang mampu mengampuni, tetapi sayangnya banyak orang merasa tidak butuh pengampunan sehingga ia tak mampu mengampuni.”

“Dan itu berarti ia masih berada dalam penjara,” sahut anaknya.
“Benar, penjara,” jawab ibunya.

Setelah menutup nasihatnya, ibu itu menguap sekali dua kali, lalu menuju kamarnya.

Gadis remaja itu termenung. Ia teringat ayahnya yang sudah lama pergi. Ia ingin sekali menanyakan hal itu kepada ibunya, tetapi ibunya selalu menghindar. Ia ingat di malam saat kepergian ayahnya itu ia mendengar tangis ibunya menembus dinding kamarnya.

--To forgive is to set a prisoner free, and discover that the prisoner was you-- Lewis B. Smedes

***
Serpong, Sep 2018
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...