--To err is human; to forgive, divine–
Alexander Pope
Setiap malam
gadis remaja itu menghabiskan waktu bersama ibunya sebelum keduanya beranjak
tidur. Ibunya akan selalu memberikan nasihat-nasihat sesuai dengan jadwal
membaca Alkitab pada hari itu. Paling tidak selama satu jam anak dan ibu itu
akan mengobrol sampai kantuk datang. Nasihat-nasihat ibunya selalu baru
sehingga anak itu merasa sayang jika melewatkan satu atau beberapa bagian di
dalamnya.
“Jadi siapakah
yang lebih berbahagia di antara keduanya, yang diampuni atau yang mengampuni,
Mama?” tanya gadis remaja itu. Malam itu mereka sampai pada kisah pengampunan
sesuai bacaan pada Matius 18.
“Yang
mengampuni, Sayang,” jawab ibunya sambil meletakkan Alkitabnya di pangkuannya.
“Mengapa?”
tanya gadis remaja itu. Di sekolah SMP-nya, ia pernah menanyakan hal yang sama
kepada guru agamanya, dan gurunya menjawab ‘sama saja’ – sebuah jawaban yang
tidak memuaskan hatinya.
“Karena orang
yang mengampuni adalah orang yang telah bebas, seperti seorang hukuman yang
baru menghirup udara segar setelah sekian lama mendekam di penjara, sedangkan
mereka yang tidak mengampuni hidup terbelenggu oleh sakit hati.”
“Adakah
orang-orang seperti itu, yang terbelenggu hingga akhir hidupnya?”
Lalu mulailah ibunya bercerita:
Ada orang
yang membawa kemarahannya hingga mati.
Ia merasa
berhak marah kepada seseorang karena telah disakiti dan dikecewakan. Ia menyimpan
kemarahannya bertahun-tahun hingga tak terasa waktunya telah tiba. Ketika nafasnya
sudah di ambang ajal, dan walaupun teman-temannya memintanya untuk melepaskan
pengampunan, ia tak juga bersedia. Ia tidak rela meletakkan kemarahannya itu di
luar liang lahat. Jadi ia membawanya turun agar terkubur beserta semua rasa
benci dan sakit hatinya. Ia lebih memilih neraka daripada memberikan
pengampunan kepada seseorang yang sangat dibencinya.
“Neraka??”
tanya gadis remaja itu tersentak.
“Ya. Ia tentu
mengerti konsekuensi atas keputusannya karena ia adalah orang yang rajin
beribadah di gereja, dan cerita soal pengampunan itu sudah dihafalnya karena
sering dikhotbahkan. Kata Yesus, ‘Tetapi
jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu.’ Bukankah setiap orang Kristen mengerti akan hal ini? Jadi
jika orang itu mati dalam keadaan belum diampuni oleh Bapa karena ia tak mau
mengampuni sesamanya, kemanakah ia akan pergi, Sayang?”
Gadis remaja itu terdiam, lalu menghela nafas panjang. Ibunya memegang rambutnya lalu
melanjutkan ceritanya.
Tetapi ia
tetap memilih neraka, karena mungkin baginya panasnya neraka tidak sepanas
hatinya, terlebih jika yang menyakiti hatinya adalah orang yang dekat
dengannya. Ada yang bilang, mengampuni musuh lebih mudah daripada mengampuni
teman. Mengampuni orang yang jauh lebih mudah daripada mengampuni orang yang
dekat.
“Apa
maksudnya orang-orang yang dekat itu?” tanya anaknya.
“Hmm..,”
kening ibunya berkerut tanda sedang berpikir, lalu sambil menelan ludah ia
menjawab, ”Istri terhadap suaminya, suami terhadap istrinya, anak terhadap
mama-papanya, mama-papa terhadap anaknya. Mereka adalah orang-orang yang dekat
satu sama lain, apalagi suami dan istri, tidak ada relasi yang lebih dekat
daripada mereka.”
Lalu ibunya melanjutkan
ceritanya.
Ada seorang
anak laki-laki kesayangan ibunya. Ia merupakan kebanggaan ibunya. Setiap
bertemu dengan teman-temannya dan sanak familinya, tak ada hal lain yang
diceritakannya selain tentang anak laki-lakinya. Jika ia sudah bercerita tentang
anaknya itu, jangan pernah memberikan kritik tentang anaknya, sebab jika sampai
ada yang berbuat demikian, nada suaranya akan berubah sengit, lalu di kemudian
hari ibu itu tak bakal mau bertemu lagi dengan kritikus itu.
Sejak kecil
ibunya membawa anaknya itu ke sekolah minggu. Ia sendiri mengikuti kebaktian di
gereja dengan rajin. Sudah begitu banyak Firman Tuhan yang singgah di
telinganya, karena ia selalu menyimak segala sesuatu yang disampaikan oleh
Bapak Pendeta.
“Apakah anak
itu nakal, Mama?” tanya gadis remaja itu.
“Ha. Kau
pasti menyangka anak yang dimanja itu tumbuh menjadi anak yang nakal, bukan?”
Gadis remaja
itu mengangguk.
“Untungnya
tidak. Anak laki-laki itu adalah anak yang baik, sama sekali tidak nakal,”
jawab ibunya.
Pertumbuhan
yang baik itu mungkin karena didikan dari guru-guru sekolah minggunya, dan
tentu saja, doa yang selalu diucapkan oleh ibunya.
Beberapa
tahun kemudian, ketika anak laki-laki itu beranjak dewasa, ia menemukan
kekasih, lalu membawanya kepada ibunya untuk memohon restu.
“Pasti ibunya
dengan sukacita merestui!” sahut gadis remaja itu dengan antusias. Ia
membayangkan teman sekolahnya yang sering memperhatikannya dengan diam-diam. Ia
pun tersenyum ketika mengingat bahwa terkadang ia juga suka mencuri pandang ke
arah temannya itu dengan diam-diam.
Sambil
menghela nafas panjang, Ibunya menjawab lirih, “Hhh.. ternyata tidak.”
Tidak terlalu
jelas alasan penolakan ibunya itu, tetapi sesudahnya hubungan mesra antara anak
laki-laki itu dengan ibunya menjadi buruk, dan makin hari makin buruk. Anaknya
merasa bahwa kekasihnya itu adalah pilihannya karena lahir dari perasaan cinta.
Tahukah kamu bahwa cinta bersemi dan bertumbuh semakin subur justru di tengah
tekanan dan penderitaan?
Sudah
berulang-kali anaknya berusaha melunakkan hati ibunya, tetapi semakin
dicobanya, bukan hati ibunya makin melunak tetapi malah makin mengeras. Cukup
lama ibu dan anak itu saling mendiamkan, tak berusaha untuk membereskan, sebab
setiap kali mereka berbicara mengenai perkara itu, hanya pertengkaran yang
terjadi.
“Apakah
anaknya jadi menikahi kekasihnya, Mama?” tanya gadis remaja itu menyela.
“Apa boleh
buat. Anak laki-laki itu harus mengambil sikap dan keputusan yang sulit. Mereka
akhirnya menikah.”
“Tanpa restu
dari ibunya?”
“Bahkan
ibunya tidak menghadiri pernikahan mereka.”
Satu tahun
kemudian, anak laki-laki itu menjadi seorang papa setelah istrinya melahirkan
seorang bayi yang lucu dan menggemaskan. Ibunya tak mau menengok cucunya, dan
anak laki-laki itu tak berani membawa bayinya kepada Ibunya karena ia takut Ibunya
akan menolaknya.
“Mengapa
tidak ada yang memberikan nasihat kepada mereka?” tanya gadis remaja itu.
“Sudah, baik
kepada ibunya maupun kepada anaknya. Tetapi betapa kerasnya hati manusia. Jika
batu karang lambat laun akan terkikis oleh gelombang yang menerpanya, hati
manusia justru makin mengeras karena benci dan sakit hati.”
“Aduhhh.. runyam
sekali. Jika keadaannya seperti itu, siapa yang harus mengambil inisiatif terlebih
dahulu agar mereka bisa berdamai?”
“Ingatkah kau
cerita tentang domba yang hilang?” Ibunya balik bertanya.
“Ya. Gembala
itu yang pergi mencari domba yang hilang itu.”
“Tepat
sekali, Sayang, sebab manusia berdosa berada dalam kegelapan. Mereka tidak bisa
menemukan jalan pulang, jadi harus ada yang mencarinya, lalu membawanya
pulang,” jawab Ibunya.
“Jadi
maksudnya, ibunya yang harus berisiatif menyapa anaknya, sepahit apapun hatinya?”
“Ada orang
bijak bilang, bahwa anak itu tempat segala salah, ibu dan bapa tempat segala
cinta. Hanya cinta yang mampu mengampuni, betapapun salah seseorang kepadanya.
Itulah sebabnya mengapa Yesus harus turun ke dunia, tidak lain adalah untuk
mencari kita orang berdosa, bukan?”
Sambil
menutup Alkitabnya, sekaligus menutup nasihatnya, Ibu itu melanjutkan, “Berbuat
salah adalah manusiawi, tetapi mengampuni adalah ilahi. Jika kita mampu
mengampuni, kita berada di atas segala kebaikan yang bisa disebut. Mereka yang
mendapat banyak pengampunan yang mampu mengampuni, tetapi sayangnya banyak
orang merasa tidak butuh pengampunan sehingga ia tak mampu mengampuni.”
“Dan itu
berarti ia masih berada dalam penjara,” sahut anaknya.
“Benar,
penjara,” jawab ibunya.
Setelah
menutup nasihatnya, ibu itu menguap sekali dua kali, lalu menuju kamarnya.
Gadis remaja
itu termenung. Ia teringat ayahnya yang sudah lama pergi. Ia ingin sekali
menanyakan hal itu kepada ibunya, tetapi ibunya selalu menghindar. Ia ingat di
malam saat kepergian ayahnya itu ia mendengar tangis ibunya menembus dinding kamarnya.
--To forgive is to
set a prisoner free, and discover that the prisoner was you-- Lewis B. Smedes
***
Serpong, Sep
2018
Titus J.