Saturday, August 31, 2019

Kafir Yang Menemukan Surga


Dulu ada cerita tentang mereka, orang-orang yang dihinakan, bahkan diludahi. Tetapi di akhir cerita, mereka justru dimuliakan, oleh seorang Guru yang perkataan-Nya bisa meneduhkan angin ribut, dan membangkitkan orang mati.

Orang Samaria, begitulah mereka disebut. Para ahli kitab suci menandai mereka dengan label "kafir", karena mereka tidak berdoa seperti para imam berdoa, dan tidak menjalankan agama seperti para ahli kitab suci menjalankan agama dengan sangat cermat.

Lalu para imam itu mengajar rakyat, "Jangan bergaul dengan mereka. Najis!" Maka tak seorangpun sudi memandang mereka sebagai orang.

Suatu hari Sang Guru datang. Ia mampir dan bergaul dengan mereka. Para imam dan ahli kitab suci protes, "Mengapa Engkau dan murid-muridMu suka duduk makan dengan mereka, para kafir dan pendosa itu?"
Sang Guru menjawab, "Kamu mengkafirkan mereka karena merasa memegang kunci Surga, tapi kamu tak berkuasa membuka pintunya."
"Kami telah melakukan hukum agama dengan seksama," kata mereka.
"Tetapi bukan hukum yang terutama dan yang pertama," jawab-Nya.

Lalu Sang Guru mengisahkan tentang seorang yang dirampok dan dianiaya hingga sekarat, lalu ditinggalkan di pinggir jalan yang sepi. Lalu lewatlah di jalan itu seorang imam, tetapi bergegas pergi tanpa empati. Setelah itu lewat juga seorang penatua bait suci, tetapi hanya menengok sebentar lalu malah menyeberang jalan.

Suara erang kesakitan itu masih disana, berjam-jam, hingga seorang Samaria lewat. Hatinya tergerak oleh belas kasihan, lalu menghampiri tubuh penuh luka itu. Orang Samaria itu tahu bahwa yang sedang sekarat itu adalah orang dari golongan yang selama ini mengkafirkannya. Tetapi ia tak peduli. Tubuh itu dinaikkannya ke atas keledainya, dan dibawanya ke tempat perawatan. "Rawatlah ia sampai sembuh. Ini uang sebagai DP. Aku akan kembali lagi kesini untuk melunasi kekurangan biayanya," katanya kepada pemilik rumah perawatan itu.

Sang Guru menghentikan cerita-Nya. Para imam dan ahli kitab suci ngeloyor pergi, entah kemana.

Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!” —Galatia 5:14

***
Serpong, 31 Ags 2019
Titus J.

Sunday, August 18, 2019

Salib-Mu Dan Salibku

Ada orang menghina salib. 
Ada orang meludahi Dia yang memikul salib.

Dia sudah dibenci oleh orang-orang sezamannya dulu. "Untuk apa kalian dengarkan Dia, yang tak jelas asal-usulnya?" kata mereka kepada para pendengar-Nya. Tetapi Dia terus mengatakan banyak hal, dan orang-orang yang berkerumun disana merasa bahwa Dia ini berbeda, tidak seperti para ulama yang selama ini mengajar mereka.

"Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga," kata-Nya di atas bukit. Ia mengingatkan pengikut-Nya akan aniaya yang bakal terus ada, aniaya yang terus dinafaskan selama kaki menjejak bumi.

"Kasihilah musuhmu, dan berdoalah bagi mereka yang membencimu," ingat-Nya lagi.

"Ajaran apa ini?" tanyaku tak mengerti. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi! Itu baru adil, Guru!" protesku sambil mengasah pedang. "Sarungkan pedangmu. Mata ganti mata akan membuat seluruh dunia buta," kata-Nya. Lalu Ia menunjukkan betapa jahat mataku, betapa gelap, betapa najis, betapa tak seorangpun benar di hadapan-Nya.

Lalu Ia naik ke kayu salib, hingga nyawa-Nya tumpas.

Tentara Romawi tertawa-tawa. Para ulama meludah ke tanah. "Matilah kau penista!" geram mereka puas. Banyak dari mereka yang ikut makan roti dan ikan dengan lima ribuan orang bersama-Nya menggelengkan kepala. "Orang lain Ia selamatkan, tapi Ia sendiri mati mengenaskan," ejek mereka.

Lalu kerumunan di Golgota itu bubar. Pengikut-pengikutNya membawa salib masing-masing ke rumahnya.

Duaribuan tahun setelahnya, hari ini aku bertanya kepada-Nya, "Guru, ada orang menghina salib-Mu. Aku tidak terima."
"Lalu?" tanya-Nya balik kepadaku.
"Aku marah dan ingin membalas orang itu," jawabku.
"Kau boleh marah dan membalas hanya jika kau sudah pikul salibmu," kata-Nya.

Aku mengambil salibku yang berdebu di dalam gudang, lalu menaruhnya di atas pundakku. Sambil menyeret langkah, aku mencari marahku di setiap celah rumahku, tetapi tak kutemukan.

Lalu aku melihat tubuh-Nya, mengucur darah, menggenang darah, dalam hatiku yang sudah berlumut.

"Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah"
(Isa, oleh Chairil Anwar, 1943)

***
Serpong, 18 Ags 2019

Titus J.

Monday, August 12, 2019

Annelies


(Catatan Film Bumi Manusia - part4/terakhir)

Tiba-tiba pemuda pribumi itu menciumnya. Lancang benar.

Annelies, gadis yang baru merekah itu, tergeragap dengan wajah memerah. Harusnya ia ingin menampar pemuda kurang ajar itu, atau setidaknya berteriak agar pegawai-pegawainya yang sedang bekerja di hamparan ladang disana berlompatan keluar. Tapi entah apa yang menahannya untuk marah saat itu.

Ia cuma menatap sekilas kepada Minke, pemuda yang menjadi tamunya hari itu. "Kauuu..?" tegurnya dengan bibir gemetar. Lalu ia menunduk dan bergegas berjalan menuju arah pulang. Sepanjang jalan ia tak bicara. "Kau marah, Ann?" tanya Minke gugup. Annelies menjawab dengan mempercepat langkah dan mempererat katup bibirnya.

Tetapi, jejak ciuman itu terus membuntutinya.

Apakah kecerdasan Minke sebagai seorang siswa HBS, apakah ketampanannya yang natural, apakah ciuman lancang itu, entahlah, Annelies merasakan keanehan rasa yang tiba-tiba. Ada sesuatu menyelinap ke dalam ruang kosong di hatinya yang selama ini tertutup rapat, yang masuk lewat celah tipis yang hanya bisa dilewati angin yang berhembus lebih lembut daripada sutera. Hatinya menggigil ketika memasuki rumahnya yang lengang, Buitenzorg Wonokromo itu.

Sudah beberapa tahun ia tak punya teman, pun tak ada seorang tamu pun yang menyambangi rumahnya.

Tahun demi tahun yang lewat tidak memberinya kenangan apapun. Jangankan sebuah kenangan, segores tinta untuk satu cerita pun ia tak punya, kecuali peristiwa di satu hari ketika mamanya menjemputnya ke sekolah sebelum bel berdentang. Wajah mamanya merah padam, langkah kakinya panjang-panjang, dan dengan tangannya yang bergetar mamanya menariknya berjalan keluar dari kelas hingga kaki-kaki kecilnya setengah berlari menyaruk kerikil halaman sekolah.

Di depan sekolah Darsam sudah menunggu dengan bendinya. Mamanya menaikkannya ke atas bendi, kemudian dengan sekali keprak Darsam membuat kudanya berlari.

Bertahun Annelies tak punya cerita, hingga kehadiran Minke memberinya cerita tersendiri, yang mengubah sejarah hidupnya.

Tunggu 15 Agustus 2019 di bioskop.

***
Serpong, 12 Ags 2019
Titus J.

Thursday, August 8, 2019

Minke


(Catatan Film Bumi Manusia – part3)

Dia adalah seorang priyayi, seorang Raden Mas yang tahu betul soal feodalisme yang merajai tanah Jawa kala itu. Bukan hanya tahu, tapi mengalaminya. Dan ia ingin menjungkalkan adat yang dipegang teguh oleh ayahnya sendiri dengan rasa bangga.


Ia menyanjung adat Eropa bahkan tergila-gila dengan egalitarianisme dan humanisme yang ia pelajari di sekolah Belanda, tapi ia meludahi perilaku Belanda yang mengingkari adab dan didikan yang mereka ajarkan sendiri atas nama ego kolonialisme dan warna kulit. Gurunya sendiri, seorang Belanda totok, memanggilnya 'monkey' karena ia pribumi, dan setelahnya ia pun punya nama baru: 'Minke'. Sejak itulah ia membawa nama itu kemanapun. Tak masalah. Otaknya tidak berkurang se-ons pun dengan ejekan itu.

Yang paling dibencinya adalah penindasan atas nama apapun kepada manusia.
"Beginikah aku harus berlaku? Merangkak-rangkak dengan lutut seperti keong padahal Tuhan memberi manusia kaki untuk berjalan? Dan itupun harus pula dengan memberi sembah setiap beberapa ingsut lututku menggeser lantai? Keparat!" makinya dalam hati di hadapan Bupati yang memanggilnya menghadap.

Sementara priyayi lain sekolah di HBS agar kelak bisa menjadi pejabat semisal Bupati, ia tidak. Ia sekolah untuk mengenal manusia. Dari pengetahuannya tentang manusia ia menulis tentang manusia di koran. Ia membaca tentang manusia di koran. Itulah sebabnya ia tak tertarik berita-berita soal mutasi pejabat, promosi pangkat, dan ukuran derajat. "Duniaku adalah bumi manusia dan persoalannya, bukan atribut manusianya," katanya.

Ketika ia secara tak direncanakan bertamu ke Buitenzorg Wonokromo itu dan bertemu dengan Nyai Ontosoroh dan anak gadisnya, iapun menghirup nafas kehidupan mereka. Sejak itu ia tak bisa keluar, karena di situlah ia menemukan bumi manusia dan segala persoalannya.

Setiap menyobek kalendar harian di rumah itu, selalu ada yang terkuak yang belum ia ketahui, lantas lembar demi lembar ia kunyah pelan-pelan hingga tak disadarinya ia masuk ke dalam labirin.

Dapatkah ia keluar dari sana? Tunggu 15 Agustus 2019 di bioskop.

***
Serpong, 8 Ags 2019
Titus J.

Saturday, August 3, 2019

Nyai Ontosoroh

(Catatan Film Bumi Manusia - part2)

Ayahnya memberi nama Sanikem.

Karena tergoda nafsu ingin naik pangkat, ayahnya, seorang jurutulis, menjualnya kepada Herman Mellema, seorang Tuan Belanda ketika ia menginjak usia remaja, masa ketika ia masih suka main lompat tali, dakon, bekel dan kejar-kejaran dengan teman-temannya di sawah.

"Nduk, mulai hari ini kowe ndak tinggal di rumah ini lagi. Kowe ikut Tuan Besar Kuasa ke rumahnya," kata ayahnya. Sanikem hanya tertunduk. Mulutnya terkunci rapat tapi hatinya berteriak keras. Percuma. Tak ada yang mendengar, tak juga ibunya yang cuma bisa menangis tapi tak membelanya. Ia sebenarnya berharap ibunya mengaum seperti induk beruang yang kalap saat ada makhluk asing yang coba-coba mendekati anaknya apalagi mau merampasnya.

Tapi itu tak terjadi. Ia hanya merasakan kakinya gemetar di hadapan raksasa berkulit putih dan berhidung mbangir yang kemudian membawanya.

"Rawat Nyaiku ini baik-baik," perintah Tuan Mellema kepada pembantunya sesampainya di rumah.

Boerderij Buitenzorg, di Wonokromo, Surabaya itu menyulap Sanikem yang ijo royo-royo itu menjadi Nyai Ontosoroh yang merah delima. Tuan Mellema memperlakukannya dengan baik bak boneka kesayangan. Tak hanya itu, semua ilmu yang ia miliki diturunkannya. Otak Nyainya ternyata cerdas. Ia melahap teori ekonomi yang umumnya menjadi makanan para sinyo dan noni Belanda di bangku sekolah. Tak lama ia menguasai manajemen perusahaan hingga perusahaan mereka jadi makin besar dalam genggamannya.

Di waktu malam, Sang Nyai menenggelamkan dirinya di kamar bersama buku-buku berbahasa Belanda. Pengetahuannya yang luas membuatnya tegak. Ia berbicara dengan orang-orang Belanda tanpa menunduk. Bahasa Belandanya fasih.

Dari benih Tuannya itu, ia melahirkan dua anak. Tapi.. ah, statusnya hanyalah seorang Nyai. Ia sadar bahwa ia hanyalah "apa" dan bukan "siapa".

Lalu angin puting beliung itu menerjang, merontokkan pilar-pilar hatinya, merajam kemanusiaannya.

Tetapi ia masih punya harga diri dan bara api. Dengan bara itu ia akan melawan, sehormat-hormatnya.

Tunggu 15 Agustus 2019 di bioskop.

***
Serpong, 1 Ags 2019

Titus J.

Darsam


(Catatan Film Bumi Manusia - part1)

Dengan logat Madura kental:
"Majikanku Nyai dan Noni. Orang yang mereka sukai aku sukai. Kalau Sinyo Robert menghendaki terbunuhnya Tuan Muda Minke, sebaiknya Sinyo sendiri yang kutebang. Kau bukan majikanku. Awas!" Lalu Darsam mencabut parang dan Robert Mellema lari.

Tak bisa dibayangkan jika Pakde Jokowi benar-benar memerankan tokoh Darsam pada film Bumi Manusia garapan sutradara Hanung Bramantyo.


Darsam memang satu sosok penting dalam cerita itu. Ia seorang jawara Madura yang menjadi bodyguard Nyai Ontosoroh. Untuk sosok inilah Hanung berangan-angan seandainya Darsam diperankan oleh Jokowi yang dinilainya tepat. "Cari pemeran Minke dan Nyai Ontosoroh tidak sesulit mencari pemeran Darsam, hingga saya lihat Pak Jokowi yang kebetulan juga mengagumi Pram," kata Hanung.

Hmm. Ide Hanung sebenarnya boleh juga. Karakter Jokowi yang gigih, "keras kepala" soal menjaga prinsip, dan tak takut apapun boleh jadi cocok dengan karakter Darsam.

Karakter Darsam yang unik akan menghidupkan cerita. Sebagai pengawal setia Nyai Ontosoroh, seluruh jiwa-raganya untuk nyonyanya. Kawan nyonyanya adalah kawannya, lawan nyonyanya adalah lawannya. Mengusik nyonyanya berarti menantangnya. Dengan parang terselit di pinggangnya, ia seolah memberi pesan kepada siapapun bahwa sewaktu-waktu parang itu akan tercabut dan tak akan kembali ke tempatnya tanpa mencium darah. Tugasnya hanya satu: menjaga keselamatan nyonyanya. Tak ada yang dipatuhi seperti ia mematuhi Nyai. Kendaraannya: dokar.

"Mengapa mondar-mandir begitu?" tanya Nyai Ontosoroh dalam Madura kepada Darsam. "Kaki ini gatal saja mau bergerak sendiri, Nyai," jawabnya. "Tapi tampangmu kelihatan begitu suram. Bengis. Matamu membelalak haus darah."

Boerderij Buitenzorg Wonokromo - Surabaya itu menyimpan tumpukan cerita tentang anak manusia, dimana cinta, airmata, dendam, penghinaan, penindasan, tersuruk di setiap sudut ruangan.

Tetapi ada yang tak mau tunduk, ada yang tak rela takluk.

Tunggu tanggal mainnya di 15 Agustus 2019 di bioskop.

***
Serpong, 27 Jul 2019
Titus J.

Di KRL Serpong - Tanah Abang

Ada yang duduk sambil melamun. 
Ada yang berdiri sambil tertidur. 
Ada yang pura-pura tidur agar tidak harus memberikan tempat duduknya kepada mereka yang lebih membutuhkan. 
Ada yang benar-benar pulas dengan mulut ternganga seolah ingin menelan bumi dan bulan.

Ada yang terus tertunduk dan terus men-scrolling layar hp-nya. 
Ada yang terus membaca buku entah novel entah buku ekonomi entah buku agama. 
Ada yang terus menelepon dengan suara keras seperti sengaja agar orang-orang di gerbong kereta mendengar bahwa ia sedang mengatur proyek besar dan mengesankan sebagai businessman yang sukses. 
Ada yang matanya menerawang lewat jendela kereta entah apa yang dipikirkannya.

Ada yang terus mengobrol dengan pacarnya dan tertawa-tawa serenyah-renyahnya. 
Ada yang bersama pacarnya tapi tidak tertawa tidak pula bicara dan hanya berpelukan seerat-eratnya. 
Ada bapak tua yang bajunya lusuh seperti tak pernah digilas setrika. 
Ada ibu tua yang memegang bungkusan dengan kantong kresek entah apa isinya.

Ada perempuan muda yang manis sedang memandangku dan akupun memandangnya lalu setelahnya dia dan aku bersamaan membuang muka lalu pura-pura memandang jendela. 
Ada petugas kebersihan berseragam rapi menyapu dan mengepel lantai kereta dengan penuh semangat dan ceria. 
Ada bayi menangis keras-keras dan ibunya berusaha menenangkannya sebisa-bisanya. 
Ada aroma keringat merajalela mengalahkan Cartier, Dior, Bvlgari bahkan parfum oplosan di pinggir jalan.

Demikianlah aku setiap hari selalu menyaksikan adegan demi adegan yang sama. 
Dan hidup terus bergulir dan berputar seperti roda kereta, terus mengajakku bergerak, seiring waktu yang terus berdetak.
Lalu tiba-tiba perjalanan ini sudah sampai di stasiun tujuan. 
Lalu kereta berhenti. 
Aku melihat perempuan muda yang manis itu berjalan ke arah kanan, dan aku ke kiri. 

Hidup berjalan seperti biasa lagi.

“Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapapun tentang kenyataan --Pramoedya Ananta Toer--

***
Serpong, 24 Jul 2019

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...