Saturday, June 27, 2020

Ketika Tagar #DiRumahAja Menyapa Tuhan


Rumah bercat serba putih itu tampak sepi ketika pada suatu pagi Tuhan datang mengetuk pintunya. Seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri pintu dan membukanya sejengkal, pas sekali dengan ukuran kepalanya hingga lehernya bisa terjulur keluar menyapa Tuhan.

“Bapak sudah berangkat sejam tadi,” kata pembantu itu datar.
“Kalau Ibu?” tanya Tuhan.
“Di kamar, sedang dandan.”
Ketika Tuhan hendak bertanya lagi, pembantu itu bicara lagi, “Tapi bentar lagi Ibu juga akan pergi, udah ditungguin taksi, tuh..,” katanya sambil menunjuk taksi berwarna biru yang berhenti di depan pagar rumah bercat serba putih itu.
Tuhan tersenyum, lalu mengangguk dan pamit.

Dan pintu rumah itu ditutup.

Setelah berjalan beberapa langkah, Tuhan berhenti di depan rumah bercat coklat muda. Ia mengetuk pintunya, tetapi hanya disambut suara anjing menyalak dari dalam rumah. Ada sekitar 3 – 4 anjing bersahutan seperti koor acapella.

Tuhan berjalan lagi. Kali ini Ia berhenti di rumah bercat hijau yang di halamannya ada pohon mangga. Ia mengamati sejenak buah-buah mangga yang tergantung dan mulai ranum. Setelah menelan ludah, Ia mengetuk pintu. Ditunggu-Nya pintu itu terbuka dengan harapan pemilik rumahnya membuka dan menyambut-Nya, tetapi tak ada jawaban apa-apa. Rumah itu tampaknya kosong. Ia menjauhi pintu rumah itu sambil melirik buah-buah mangga yang bergelantungan seakan menantang untuk dipetik. Tuhan berlalu sambil menelan ludah.

Tuhan berjalan di antara lalu-lalang orang-orang yang bergegas. Sandal kulit-Nya menyaruk debu dan kerikil. Matahari semakin naik tinggi, dan Tuhan terus melangkah dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, hingga tak terasa sorepun tiba. Tetapi hingga matahari turun ke Barat - dan tak kurang dari seratus rumah yang Ia kunjungi – tak dapat satu penghunipun Ia berhasil temui. Semua pergi. Rumah menjadi istana bagi pembantu dan tukang kebon.

“Ah, mungkin mereka semua sedang sibuk bekerja. Aku akan berkunjung di malam hari,” gumam Tuhan seorang diri. 

Ia berjalan menuju sebuah cafe di seberang jalan. Dihampirinya seorang satpam di pos security sedang memencet-mencet handphone-nya dengan jempolnya.

“Sudah jam 5 sore, Bapak belum pulang?” tanya Tuhan kepada satpam itu.
“Mana bisa pulang jam segini? Justru sebentar lagi café akan ramai. Kan bubaran kantor?” jawab satpam itu tanpa menoleh. Jempolnya terus menari di atas handphone-nya.
“Hmm.. ini café khusus orang kantoran?”
“Kagak khusus sih, tapi kebanyakan orang kantoran kemari abis pulang kerja. Nongkrong sampai café tutup.”
“Ada wi-fi nggak di dalam?” tanya Tuhan.
“Yaa..elaahhh, hari gini mana ada café tanpa wi-fi sih? Kayak dari planet lain aja kagak tau perkembangan jaman.”

Beberapa saat kemudian berdatanganlah orang-orang masuk ke café itu, ada yang berdua-dua, ada yang rombongan, dan ada juga yang datang seorang diri. Tuhan juga masuk ke café itu. Ia celingukan mencari tempat duduk tapi tak ada kursi yang kosong. Lalu Ia keluar. Di halaman dilihatnya satpam itu sibuk mengatur mobil-mobil untuk parkir.

Lampu-lampu kota sudah mulai menyala, jalanan makin terang-benderang mengalahkan hitamnya langit. Tuhan menyusuri trotoar. Di sebelah kiri berderet kantor-kantor yang lampunya masih menyala, menandakan banyak orang yang masih belum selesai dengan kesibukannya. Di ujung jalan Tuhan melihat kerumunan orang. Ia mendekat kesana, ternyata orang-orang sedang antri makan bubur Cirebon sambil bersenda-gurau.

Malam merambat. Sudah jam 9. Tuhan bergegas menuju ke arah Ia datang di pagi hari tadi. Pada rumah bercat serba putih Ia berhenti dan mengetuk pintu. Pintu dibuka sejengkal dan wajah pembantu yang tadi pagi terjulur ke luar.

“Ahh.. sampeyan lagi. Sampeyan yang tadi pagi datang kan?” tanya pembantu itu dengan muka masam.
“Iya. Bapak sudah pulang?” jawab Tuhan.
“Jam segini? Ini masih terlalu sore.”
“Kalau Ibu?”
“Ibu sudah datang sore tadi, tapi pergi lagi dijemput temannya.”
“Hmm, baiklah. Permisi…,” pamit Tuhan dengan sopan.

Pintu ditutup di belakang punggung Tuhan.

Dan Tuhan berjalan menuju rumah bercat coklat muda. Ketukan pintunya disambut oleh salak anjing yang nyaring tetapi kemudian berhenti ketika sebuah suara anak kecil di dalam rumah memerintahkan anjing-anjing itu diam. Pintu dibuka. Dua anak kecil – berumur 10 tahun dan 5 tahun – menyapa-Nya sambil menggendong boneka panda.

“Papa ada?” tanya Tuhan tersenyum sambil menyentuh hidung panda itu.
“Belum pulang,” jawab anak yang besar.
“Kalau mama?”
“Ehmmm… di kamar, lagi telepon sama papa. Mama nangis…” jawab anak yang kecil.
“Oh,” gumam Tuhan sambil menatap kedua anak itu. Dipegangnya rambut kedua anak itu. “Ya sudah. Ayok masuk sana, besok pagi sekolah kan?” kata Tuhan.

Lalu Tuhan melangkah keluar.

Pada rumah bercat hijau, Tuhan mampir. Ia melihat-lihat dengan kagum buah-buah mangga yang bergelantungan sambil menahan air liurnya.

“Kalau mau, petik saja satu. Tapi pilih yang sudah tua ya, jangan yang masih mentah,” kata sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Seorang laki-laki dengan pakaian rapi berdiri, tangannya menarik sebuah koper besar. Dalam keremangan halaman rumah itu, kalung salib emas yang melingkar di lehernya berpendar mengkilat tertimpa sinar lampu teras rumah.
“Terimakasih,” kata Tuhan. “Tetapi..hmm.. maksud saya…”
“Enggak apa-apa, petik saja. Kalau satu masih kurang, ambil lagi dua atau tiga, asal jangan yang masih mentah. Banyak orang kampung belakang suka kesini minta mangga kok,” kata laki-laki itu sambil melangkah terburu-buru.
“Tapi, Pak, Hmm.. saya hanya ingin mampir dan ngobr…”
“Ngobrol? maaf,” kata laki-laki itu menyela. “Saya buru-buru, takut ketinggalan pesawat,” katanya sambil ngeloyor.

Tuhan memandangi tubuh laki-laki itu lenyap di dalam mobil yang langsung menderu pergi.

“Suami saya super sibuk. Undangan untuk berkhotbah terus datang, dari luar kota, bahkan sampai luar negeri,” tiba-tiba sebuah suara perempuan menyapa Tuhan yang sedang terpaku di bawah pohon mangga itu.
“Oh, suami Ibu seorang pengkhotbah ya?” tanya Tuhan.
“Hm. Dia lebih suka disebut Hamba Tuhan. Misinya cuma satu. Bagaimana agar orang-orang yang belum mengenal Tuhan jadi kenal sama Tuhan. Makanya kemanapun ia jalani, asal banyak orang bisa mengenal Tuhan,” jawab perempuan itu.
“Ohh.. begitu,” kata Tuhan lirih, hampir tak kedengaran.
“Sudah malam. Jangan lupa petik mangganya yang sudah tua, jangan yang masih mentah. Selamat malam.” Perempuan itu menutup pintu, membiarkan Tuhan terpaku sendiri di kegelapan rimbun pohon mangga itu. Saat perempuan itu menutup pintu, sepintas Tuhan melihat gambar Tubuh-Nya yang terpaku di kayu salib terpajang di ruang tamu.

Lalu Tuhan melangkah pergi.

Sepanjang hari itu tak ada satu rumahpun yang mempersilakan-Nya untuk duduk dan mengobrol. Betapa mahalnya waktu. Betapa rakusnya kesibukan.

Tuhan menuju stasiun Gambir. Di ruang tunggu Ia duduk. Gerimis turun dan Ia melihat butiran air hujan menitik di kaca kereta api yang bersiap berangkat. Saat itulah Ia merasa begitu sentimentil. Ingatan-Nya melayang ke masa lampau, ketika Ia disambut dengan hangat oleh dua bersaudara Maria dan Marta di rumah mereka di Betania. Tak hanya itu. Ia dijamu dengan meriah oleh Zakheus di rumahnya yang mewah di Yerikho. Dan ketika Ia melintasi daerah Samaria dan bertemu dengan seorang perempuan di tepi perigi, Ia tidak hanya diminta untuk mampir sebentar, tetapi tinggal di kampung itu selama dua hari. Betapa indah masa-masa itu.

Dan peluit panjang dari petugas stasiun berbunyi nyaring, membuyarkan lamunan Tuhan. Tuhan meninggalkan kota itu, entah kemana.

Beberapa bulan kemudian..

Tiba-tiba dunia dikejutkan oleh sebuah virus yang dinamai corona. Banyak orang yang terpaksa tinggal di rumah karena virus itu begitu merajalela dari orang ke orang, dari kota ke kota, dari negara ke negara, membunuh siapapun tanpa ampun. Tagar #dirumahaja jadi trending topic di media sosial.

Negara demi negara mengunci pintu. Kota demi kota mengunci pintu. Rumah demi rumah mengunci pintu.

Di setiap rumah, orang-orang memanggil-manggil Tuhan, dan bertanya, “Dimanakah Engkau Tuhan? Engkau tidak peduli kalau kami binasa?”

Dari kamar-Nya yang lokasinya tak terlacak, demi membaca tagar #dirumahaja maka Tuhan pun bersiap. Ia menyambar celana jeans belel dan kaos oblong Giordano dari kapstok, lalu mengenakannya dan berjalan keluar rumah dengan bersandal kulit.

Pada sebuah rumah bercat serba putih, terdengar suara sepasang suami-istri bertengkar. Tuhan berhenti dan mengetuk pintu. Tetapi dari dalam rumah terdengar jawaban, “Inaaahh.. kalau orang nggak kenal jangan bukain pintu! Jangan-jangan bawa virus corona lagi!!!”

Tuhan berlalu dan mampir ke rumah bercat coklat muda. Ketika tangan-Nya mengetuk pintu, dua anak kecil – berumur 10 tahun dan 5 tahun – datang menyambut-Nya. Anak yang besar berkata, “Sekarang mama dan papa suka tinggal di rumah, dan enggak pernah berantem lagi.” Adiknya menimpali, “Aku ingin ada corona terus, biar mama dan papa betah di rumah.”
Tuhan tersenyum, membelai rambut anak-anak itu, lalu pergi.

Di rumah bercat hijau Tuhan berhenti. Mata-Nya melirik buah-buah mangga yang bergelantungan, makin ranum dan menggoda. Lalu Ia mengetuk pintu. Pintu dibuka. Di ruang tamu Tuhan melihat gambar Tubuh-Nya yang terpaku di kayu salib terpajang di dinding.

Seorang laki-laki berkalung salib emas menyapa-Nya, “Maaf. Anda siapa?”

God often visit us, but most of the time we are not at home.” -- Philibert Joseph Roux

***
Serpong, Jun 2020
Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...