Rumah bercat
serba putih itu tampak sepi ketika pada suatu pagi Tuhan datang mengetuk
pintunya. Seorang pembantu tergopoh-gopoh menghampiri pintu dan membukanya
sejengkal, pas sekali dengan ukuran kepalanya hingga lehernya bisa terjulur keluar
menyapa Tuhan.
“Bapak sudah
berangkat sejam tadi,” kata pembantu itu datar.
“Kalau Ibu?”
tanya Tuhan.
“Di kamar,
sedang dandan.”
Ketika Tuhan
hendak bertanya lagi, pembantu itu bicara lagi, “Tapi bentar lagi Ibu juga akan
pergi, udah ditungguin taksi, tuh..,” katanya sambil menunjuk taksi berwarna
biru yang berhenti di depan pagar rumah bercat serba putih itu.
Tuhan
tersenyum, lalu mengangguk dan pamit.
Dan pintu
rumah itu ditutup.
Setelah
berjalan beberapa langkah, Tuhan berhenti di depan rumah bercat coklat muda. Ia
mengetuk pintunya, tetapi hanya disambut suara anjing menyalak dari dalam
rumah. Ada sekitar 3 – 4 anjing bersahutan seperti koor acapella.
Tuhan
berjalan lagi. Kali ini Ia berhenti di rumah bercat hijau yang di halamannya
ada pohon mangga. Ia mengamati sejenak buah-buah mangga yang tergantung dan
mulai ranum. Setelah menelan ludah, Ia mengetuk pintu. Ditunggu-Nya pintu itu
terbuka dengan harapan pemilik rumahnya membuka dan menyambut-Nya, tetapi tak
ada jawaban apa-apa. Rumah itu tampaknya kosong. Ia menjauhi pintu rumah itu
sambil melirik buah-buah mangga yang bergelantungan seakan menantang untuk
dipetik. Tuhan berlalu sambil menelan ludah.
Tuhan berjalan
di antara lalu-lalang orang-orang yang bergegas. Sandal kulit-Nya menyaruk debu
dan kerikil. Matahari semakin naik tinggi, dan Tuhan terus melangkah dari rumah
ke rumah, dari pintu ke pintu, hingga tak terasa sorepun tiba. Tetapi hingga matahari
turun ke Barat - dan tak kurang dari seratus rumah yang Ia kunjungi – tak dapat
satu penghunipun Ia berhasil temui. Semua pergi. Rumah menjadi istana bagi
pembantu dan tukang kebon.
“Ah, mungkin
mereka semua sedang sibuk bekerja. Aku akan berkunjung di malam hari,” gumam
Tuhan seorang diri.
Ia berjalan menuju sebuah cafe di seberang jalan.
Dihampirinya seorang satpam di pos security sedang memencet-mencet
handphone-nya dengan jempolnya.
“Sudah jam 5
sore, Bapak belum pulang?” tanya Tuhan kepada satpam itu.
“Mana bisa
pulang jam segini? Justru sebentar lagi café akan ramai. Kan bubaran kantor?”
jawab satpam itu tanpa menoleh. Jempolnya terus menari di atas handphone-nya.
“Hmm.. ini
café khusus orang kantoran?”
“Kagak khusus
sih, tapi kebanyakan orang kantoran kemari abis pulang kerja. Nongkrong sampai
café tutup.”
“Ada wi-fi
nggak di dalam?” tanya Tuhan.
“Yaa..elaahhh,
hari gini mana ada café tanpa wi-fi sih? Kayak dari planet lain aja kagak tau
perkembangan jaman.”
Beberapa saat
kemudian berdatanganlah orang-orang masuk ke café itu, ada yang berdua-dua, ada
yang rombongan, dan ada juga yang datang seorang diri. Tuhan juga masuk ke café
itu. Ia celingukan mencari tempat duduk tapi tak ada kursi yang kosong. Lalu Ia
keluar. Di halaman dilihatnya satpam itu sibuk mengatur mobil-mobil untuk
parkir.
Lampu-lampu
kota sudah mulai menyala, jalanan makin terang-benderang mengalahkan hitamnya
langit. Tuhan menyusuri trotoar. Di sebelah kiri berderet kantor-kantor yang
lampunya masih menyala, menandakan banyak orang yang masih belum selesai dengan
kesibukannya. Di ujung jalan Tuhan melihat kerumunan orang. Ia mendekat kesana,
ternyata orang-orang sedang antri makan bubur Cirebon sambil bersenda-gurau.
Malam
merambat. Sudah jam 9. Tuhan bergegas menuju ke arah Ia datang di pagi hari
tadi. Pada rumah bercat serba putih Ia berhenti dan mengetuk pintu. Pintu
dibuka sejengkal dan wajah pembantu yang tadi pagi terjulur ke luar.
“Ahh..
sampeyan lagi. Sampeyan yang tadi pagi datang kan?” tanya pembantu itu dengan
muka masam.
“Iya. Bapak
sudah pulang?” jawab Tuhan.
“Jam segini?
Ini masih terlalu sore.”
“Kalau Ibu?”
“Ibu sudah
datang sore tadi, tapi pergi lagi dijemput temannya.”
“Hmm,
baiklah. Permisi…,” pamit Tuhan dengan sopan.
Pintu ditutup
di belakang punggung Tuhan.
Dan Tuhan
berjalan menuju rumah bercat coklat muda. Ketukan pintunya disambut oleh salak
anjing yang nyaring tetapi kemudian berhenti ketika sebuah suara anak kecil di
dalam rumah memerintahkan anjing-anjing itu diam. Pintu dibuka. Dua anak kecil
– berumur 10 tahun dan 5 tahun – menyapa-Nya sambil menggendong boneka panda.
“Papa ada?”
tanya Tuhan tersenyum sambil menyentuh hidung panda itu.
“Belum
pulang,” jawab anak yang besar.
“Kalau mama?”
“Ehmmm… di
kamar, lagi telepon sama papa. Mama nangis…” jawab anak yang kecil.
“Oh,” gumam
Tuhan sambil menatap kedua anak itu. Dipegangnya rambut kedua anak itu. “Ya
sudah. Ayok masuk sana, besok pagi sekolah kan?” kata Tuhan.
Lalu Tuhan
melangkah keluar.
Pada rumah
bercat hijau, Tuhan mampir. Ia melihat-lihat dengan kagum buah-buah mangga yang
bergelantungan sambil menahan air liurnya.
“Kalau mau,
petik saja satu. Tapi pilih yang sudah tua ya, jangan yang masih mentah,” kata
sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Seorang laki-laki dengan
pakaian rapi berdiri, tangannya menarik sebuah koper besar. Dalam keremangan
halaman rumah itu, kalung salib emas yang melingkar di lehernya berpendar
mengkilat tertimpa sinar lampu teras rumah.
“Terimakasih,”
kata Tuhan. “Tetapi..hmm.. maksud saya…”
“Enggak
apa-apa, petik saja. Kalau satu masih kurang, ambil lagi dua atau tiga, asal
jangan yang masih mentah. Banyak orang kampung belakang suka kesini minta
mangga kok,” kata laki-laki itu sambil melangkah terburu-buru.
“Tapi, Pak,
Hmm.. saya hanya ingin mampir dan ngobr…”
“Ngobrol? maaf,”
kata laki-laki itu menyela. “Saya buru-buru, takut ketinggalan pesawat,”
katanya sambil ngeloyor.
Tuhan
memandangi tubuh laki-laki itu lenyap di dalam mobil yang langsung menderu
pergi.
“Suami saya
super sibuk. Undangan untuk berkhotbah terus datang, dari luar kota, bahkan
sampai luar negeri,” tiba-tiba sebuah suara perempuan menyapa Tuhan yang sedang
terpaku di bawah pohon mangga itu.
“Oh, suami
Ibu seorang pengkhotbah ya?” tanya Tuhan.
“Hm. Dia
lebih suka disebut Hamba Tuhan. Misinya cuma satu. Bagaimana agar orang-orang
yang belum mengenal Tuhan jadi kenal sama Tuhan. Makanya kemanapun ia jalani,
asal banyak orang bisa mengenal Tuhan,” jawab perempuan itu.
“Ohh..
begitu,” kata Tuhan lirih, hampir tak kedengaran.
“Sudah malam.
Jangan lupa petik mangganya yang sudah tua, jangan yang masih mentah. Selamat
malam.” Perempuan itu menutup pintu, membiarkan Tuhan terpaku sendiri di
kegelapan rimbun pohon mangga itu. Saat perempuan itu menutup pintu, sepintas Tuhan
melihat gambar Tubuh-Nya yang terpaku di kayu salib terpajang di ruang tamu.
Lalu Tuhan
melangkah pergi.
Sepanjang
hari itu tak ada satu rumahpun yang mempersilakan-Nya untuk duduk dan
mengobrol. Betapa mahalnya waktu. Betapa rakusnya kesibukan.
Tuhan menuju
stasiun Gambir. Di ruang tunggu Ia duduk. Gerimis turun dan Ia melihat butiran
air hujan menitik di kaca kereta api yang bersiap berangkat. Saat itulah Ia merasa
begitu sentimentil. Ingatan-Nya melayang ke masa lampau, ketika Ia disambut
dengan hangat oleh dua bersaudara Maria dan Marta di rumah mereka di Betania.
Tak hanya itu. Ia dijamu dengan meriah oleh Zakheus di rumahnya yang mewah di
Yerikho. Dan ketika Ia melintasi daerah Samaria dan bertemu dengan seorang
perempuan di tepi perigi, Ia tidak hanya diminta untuk mampir sebentar, tetapi
tinggal di kampung itu selama dua hari. Betapa indah masa-masa itu.
Dan peluit
panjang dari petugas stasiun berbunyi nyaring, membuyarkan lamunan Tuhan. Tuhan
meninggalkan kota itu, entah kemana.
Beberapa
bulan kemudian..
Tiba-tiba
dunia dikejutkan oleh sebuah virus yang dinamai corona. Banyak orang yang
terpaksa tinggal di rumah karena virus itu begitu merajalela dari orang ke
orang, dari kota ke kota, dari negara ke negara, membunuh siapapun tanpa ampun.
Tagar #dirumahaja jadi trending topic di media sosial.
Negara
demi negara mengunci pintu. Kota demi kota mengunci pintu. Rumah demi rumah
mengunci pintu.
Di
setiap rumah, orang-orang memanggil-manggil Tuhan, dan bertanya, “Dimanakah Engkau
Tuhan? Engkau tidak peduli kalau kami binasa?”
Dari
kamar-Nya yang lokasinya tak terlacak, demi membaca tagar #dirumahaja maka
Tuhan pun bersiap. Ia menyambar celana jeans belel dan kaos oblong Giordano
dari kapstok, lalu mengenakannya dan berjalan keluar rumah dengan bersandal
kulit.
Pada
sebuah rumah bercat serba putih, terdengar suara sepasang suami-istri
bertengkar. Tuhan berhenti dan mengetuk pintu. Tetapi dari dalam rumah
terdengar jawaban, “Inaaahh.. kalau orang nggak kenal jangan bukain pintu!
Jangan-jangan bawa virus corona lagi!!!”
Tuhan
berlalu dan mampir ke rumah bercat coklat muda. Ketika tangan-Nya mengetuk
pintu, dua anak kecil – berumur 10 tahun dan 5 tahun – datang menyambut-Nya.
Anak yang besar berkata, “Sekarang mama dan papa suka tinggal di rumah, dan
enggak pernah berantem lagi.” Adiknya menimpali, “Aku ingin ada corona terus,
biar mama dan papa betah di rumah.”
Tuhan
tersenyum, membelai rambut anak-anak itu, lalu pergi.
Di
rumah bercat hijau Tuhan berhenti. Mata-Nya melirik buah-buah mangga yang
bergelantungan, makin ranum dan menggoda. Lalu Ia mengetuk pintu. Pintu dibuka.
Di ruang tamu Tuhan melihat gambar Tubuh-Nya yang terpaku di kayu salib
terpajang di dinding.
Seorang
laki-laki berkalung salib emas menyapa-Nya, “Maaf. Anda siapa?”
“God often visit us, but most of the time we
are not at home.” -- Philibert
Joseph Roux
***
Serpong, Jun 2020
Titus J.