Sunday, December 27, 2020

Yang Terlupakan

Kisah berikut bukan sebuah dongeng, walaupun plot yang tersusun mirip dengan sebuah dongeng. Dongeng yang umumnya dibacakan untuk anak-anak sebagai pengantar tidur, biasanya diawali dengan si dia yang terlunta dan menderita, tetapi diakhiri dengan si dia yang bahagia. Di akhir cerita, kalimat penutupnya harus “And they live happily ever after.”

Seorang gembala domba berteduh di bawah pohon yang rindang, di tepian sungai. Hatinya hanyut.

Sejauh mata memandang ia hanya melihat rumput, semak dan ilalang, dan domba-domba yang bergerombol merumput dan mengembik.

Ia tak pernah tahu hari dan tanggal, karena baginya tujuh hari dalam seminggu semuanya sama: Siang hari langit hanya menyuguhkan warna putih keabu-abuan, lalu seiring turunnya matahari, gelap menggantikannya bersama suara burung hantu. Terkadang beberapa titik bintang memang mengerjap sebentar di langit yang jauh, lalu surut, dan bulan cuma berkelebat lalu sembunyi lagi.

Sekali-sekali ia melihat di kejauhan untuk memeriksa apakah ada predator yang mengendap-endap untuk mencuri dombanya. Terkadang ia juga berkelahi melawan cakar dan taring singa atau beruang. Selebihnya, ia berteman kantuk dan sepi.

Betapa nestapa hidup seorang gembala domba. Hidupnya begitu monoton dan tidak menarik.

Jika ia boleh sedikit gembira, hiburannya adalah bunyi seruling dan kecapi, dan obrolan-obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman sesama gembala yang sama-sama tersuruk di padang yang luas itu.

Mereka tak pernah berani bermimpi, apalagi bicara soal harapan, karena langit akan menertawakan mimpi mereka, dan angin padang akan merobek harapan yang coba mereka rajut.

Ketika mereka terus bergeser dari padang yang satu ke padang lain untuk mencari rumput yang tebal dan hijau, mereka semakin jauh dari peradaban. Jika pun mereka suatu saat pulang, barangkali rumah mereka tak mengenalinya lagi.

Seandainya mereka tak pulang pun, tak ada siapapun yang merasa perlu mencari. Mereka adalah orang-orang yang terlupakan.

Tetapi pada suatu malam yang sunyi dan senyap, ketika para gembala itu telah selesai makan dan sedang mengumpulkan remah-remah roti di kantong kulit penyimpan bekal, tiba-tiba ada suatu terang mendatangi, lalu mewujud sebagai seorang malaikat dari Surga.

Para gembala yang tak berani bermimpi itu begitu kagetnya hingga ketakutan merajai mereka. Mungkin mereka malah berharap kejadian dahsyat itu hanyalah mimpi semata. Mereka saling pandang antara satu dengan lainnya untuk memastikan bahwa apa yang mereka alami benar-benar nyata, bukan sedang bermimpi atau berhalusinasi.

Untunglah malaikat itu segera meredakan ketakutan mereka dan berkata, “Jangan takut, aku membawa kabar kesukaan untuk segala bangsa…”

Malaikat itu mendatangi para gembala itu cuma ingin menyampaikan kabar, bahwa ada orang penting, seorang Juruselamat, telah lahir di sebuah kota di Betlehem.

Ketika belum hilang benar ketakutan mereka, tiba-tiba malaikat itu membuka mata mereka dan memperlihatkan sejumlah besar malaikat memuji Allah dalam sebuah konser akbar, sebuah orkestra yang dimainkan secara kolosal oleh bala tentara Sorga sendiri.

Maka langit yang sehari-hari hanya berwarna hitam di waktu malam, saat itu berubah terang-benderang. Mereka yang selama ini hanya mendengar bunyi seruling dan kecapi butut untuk mengusir kantuk dan sepi, malam itu mendengar berbagai instrumen musik orkestra yang begitu harmonis. Mereka yang selama ini tak pernah mendengar suara penyanyi di padang yang sepi, malam itu menyaksikan choir yang kemerduannya tak terkatakan.

Adakah kata yang lebih tepat daripada kata takjub? Kita tidak berhasil menemukan satu kata pun yang dapat melukiskan ketakjuban para gembala itu tatkala melihat pemandangan yang luar biasa di malam itu.

Bayangkanlah adegan ketika seorang yang ndeso tiba-tiba diajak oleh orang kaya menonton konser di sebuah ballroom hotel bintang lima dan duduk di barisan VVIP. Untuk apa? untuk menikmati orkestra karya Handel atau Bach. Tetapi konser malaikat di padang itu pastinya jauh lebih spektakuler, dan performance itu disuguhkan untuk orang-orang ndeso yang terlupakan, yang sehari-hari berteman bau domba di padang.

Saat itulah terjadi sebuah titik balik. Betapa yang terhina dan terlupa ternyata menjadi yang pertama.

Jika kita memiliki sebuah berita besar, berita mahapenting, siapakah orang pertama yang kepadanya kita menyampaikan kabar? Tentu orang terdekat, orang tercinta, orang yang paling berarti bagi hidup kita, bukan? Misalkan dalam keluarga kita ada kelahiran anak pertama yang sudah lama kita nantikan, maka berita sukacita ini tidak akan kita bawa ke perempatan jalan, kepada pemulung atau tukang sapu jalanan atau kepada anak-anak muda yang sedang bermain bola di lapangan. Kita akan menyampaikan kepada orang yang spesial, dan mereka akan ikut bersukacita bersama dengan kita dan merayakan kebahagiaan kita.

Jika malaikat itu jauh-jauh datang ke padang menemui para gembala sebagai yang pertama untuk sebuah berita besar, seberapa besar penghargaan Allah kepada para gembala itu? Dari sini kita mengerti, betapa tiada seorangpun –betapa pun papa dan hina hidupnya– yang luput dari perhatian Allah.

Allah tahu keadaan mereka. Dan hati Allah tergerak untuk memuliakan mereka.

Walaupun masyarakat menganggap para gembala itu bukan siapa-siapa, tetapi Allah menganggap mereka orang penting. Mereka menjadi orang pertama sebagai penerima kabar mahapenting.

“Mari kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi,” ajak salah satu gembala itu kepada teman-temannya dengan antusias. Mereka segera bangkit setelah dirigen orkestra surgawi itu menyampaikan salute tanda konser selesai.

Antusiasme. Inilah point terpentingnya. Allah sudah tahu sebelumnya. Itulah sebabnya mengapa Allah mengutus malaikat-Nya untuk memberitakan kabar itu kepada para gembala, bukan kepada raja yang sedang bertahta di Yerusalem. Herodes justru merespon dengan penuh selidik dan akhirnya berniat membunuh bayi itu. Kabar itu bukan pula disampaikan kepada kaum agama, sebab Allah tahu bahwa mereka tak akan percaya dan malah akan menganggap kabar itu sebagai hoax.

Setelah para gembala itu menemukan bayi itu –yang terbungkus lampin dan terbaring di palungan- mereka menceritakan segala sesuatu yang mereka alami beberapa waktu sebelumnya. Mata mereka berbinar-binar, bibir mereka tak bisa berhenti memuji Allah. Rasa haru menyusup ke dalam relung sanubari. Dan mereka yang mendengarkan cerita itu tercengang.

Mungkin orang-orang yang sedang bergerombol di dekat bayi Yesus itu juga memiliki pergumulan hidup masing-masing. Tetapi cerita para gembala yang mengalir dengan kejujuran telah mengubah hati mereka.

Bagaimana mungkin dari mulut orang-orang yang semula tidak memiliki harapan tiba-tiba menularkan harapan kepada orang-orang lain?

Itulah karya Allah. Dia bisa memakai siapapun, bahkan siapapun yang dianggap tak ada oleh dunia.

Lalu para gembala itu pulang, membawa bayi Yesus di dalam hati mereka. And they live happily ever after.

--

“Deposuit potentes de sede et exaltavit humiles” (Dia merendahkan yang berkuasa dan memuliakan yang terhina)

***

Serpong, 25 Des 2020

Titus J.

Thursday, December 24, 2020

Kain Lampin

#RenunganNatal


Apakah Natal tahun ini akan meninggalkan jejaknya begitu usai? Selepas Silent Night dikumandangkan, setelah nyala lilin dimatikan...

Apakah Natal tahun ini masih mengguratkan maknanya di hati kita, sedalam cinta yang dilahirkan oleh perawan Maria? Ataukah Natal hanya lewat sebentar di depan rumah kita, singgah tidak bahkan menyapapun tidak?

Apakah masih tersisa, kesyahduan Silent Night bekas tahun lalu, yang membuat hati kita rindu memeluk bayi itu, yang terbaring di palungan yang bau?

Masihkah bibir kita sanggup menyerukan 'Joy to the world' - kepada dunia yang sedang murung?

Natal sungguh akan berbeda tahun ini, ketika gemerlap lampu dan dekorasi pohon Natal berdiri dalam sepi, karena tak ada orang berfoto selfie.
Dan dimanakah Sinterklas yang selalu menyambut anak-anak dengan pelukannya?

"Sinterklas tak jadi datang!" kata anak-anak yang selalu menantikan kedatangannya, membawa sekarung mainan. "Ia tak mau pakai masker, karena ia tak rela jenggotnya yang seputih salju itu jadi tampak aneh," kata anak yang lain.
Tetapi anak-anak itu tetap menunggu Sinterklas, karena Sinterklas suka memeluk dan menggendong mereka, sedangkan di rumah mama dan papa hanya asyik main hp.

Natal sungguh akan berbeda di tahun ini..
Ketika lonceng gereja tak terdengar senyaring dulu, dan lagu-lagu Christmas Carol seolah menggema di ruang kosong.

Natal benar-benar berbeda..
Ketika album foto kita tak ada yang baru, dan kita hanya bisa mengais foto-foto lama - tawa kita di semua spot Natal yang kita kunjungi: di London, Paris, New York, saat tubuh menggigil di antara kereta salju yang ditarik seekor rusa di Moscow, lamunan di antara gending Malam Kudus yang ditabuh gamelan di Yogyakarta, dan wajah kita di antara asap barbecue di Nusa Dua...

Lalu halaman demi halaman lagi.. yang sekarang hanya berisi foto-foto kita ala kadarnya: di gerobak asinan Bogor, di pikulan kerak telor di Kota Tua, dan di taman asri sekitar kompleks rumah kita.

Natal kita sungguh akan berbeda tahun ini..
Oh, sebentar, Natal kita?
Apakah Natal ini milik kita?
Bukankah Natal adalah tentang bayi itu dan bukan tentang kita? Bukankah Natal adalah kisah-Nya dan bukan kisah kita?

"Jika bukan pada Natal yang semarak, Natal yang sibuk, Natal yang penuh acara dan rencana, dimanakah kutemukan makna Natal, Tuhan?" jerit hati kita.

"Pergilah ke tempat Aku dilahirkan," kata-Nya, "Nanti kau akan temukan makna Natal yang otentik, yang selama ini kau cari," lanjut-Nya sembari mengemasi palungan dan kain lampin yang bernoda kotoran ternak.

Tuhan meletakkan kain lampin itu di ujung kaki lemari baju kita, karena dalam lemari itu penuh sesak baju baru yang belum terpakai, tak ada ruang kosong.

Selamat Natal.

***

Serpong, 24 Des 2020
Titus J.

Saturday, December 19, 2020

Pembisik Herodes

Story#4 Days of Advent

Dalam kisah Natal yang manis dan indah itu, ada sebuah kengerian yang diakibatkan oleh sebuah praduga. Praduga sering terjadi dalam kehidupan, tetapi akan berbeda jika yang memiliki praduga itu adalah raja Herodes.

Herodes salah sangka dengan kata “raja” yang didengarnya dari orang-orang Majus ketika mereka tiba di Yerusalem dan bertanya-tanya, “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?” Statement orang-orang Majus itu sangat direct, bahwa yang baru dilahirkan itu adalah seorang raja, bukan seorang yang nantinya bakal menjadi raja. Jadi bayi itu memang seorang raja, dan baru dilahirkan ke dunia ini sebagai bayi.

Dalam kegelisahannya, Herodes mengumpulkan imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat untuk menyelidik. Dan para pemimpin agama itu ternyata juga salah tafsir. “Memang benar, Ia dilahirkan di Betlehem, Baginda,” kata mereka. Lalu mereka mengutip nubuat Nabi Mikha, “Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.” (Mikha 5:2)

Para pemimpin agama yang menguasai kitab-kitab itu hanya sebatas mengutip kalimat dan ternyata tidak mengerti substansi sama sekali. Tentu saja kutipan itu, terutama kata “pemimpin” menjadi kata yang sangat sensitif bagi Herodes, karena saat itu dialah pemimpin bangsa Yahudi (King of the Jews) di bawah kekaisaran Romawi.

Iman Kristen meyakini bahwa Yesus adalah raja tetapi bukanlah raja sebagaimana raja-raja dunia ini memerintah. Di kemudian hari, ketika Yesus diadili di depan Pilatus, dan ketika Pilatus bertanya, “Bangsa-Mu sendiri yang telah menyerahkan Engkau kepadaku. Apa yang telah Engkau perbuat?” Yesus menjawab, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” (Yohanes 18:35-36).

Jadi posisi Herodes sebagai raja kala itu sebenarnya tidak terancam sama sekali oleh kehadiran Yesus sebagai raja, karena Yesus tidak datang untuk mengambil tahta Herodes.

Seandainya para pemimpin agama itu mengerti substansi, ceritanya akan berbeda. Tetapi memang mereka adalah pemimpin yang cuma pintar dan hafal dengan ayat-ayat tanpa mengerti makna.

Setelah mendengar itu, air muka Herodes pun berubah, tetapi ia berusaha bersikap ramah kepada orang-orang Majus itu, “Pergilah sampai kalian menemukan bayi itu, setelah itu datanglah kembali kemari, nanti aku pun akan datang untuk menyembah Dia.”

Sejak saat itu Herodes terus gelisah. Ia menunggu kabar selama hampir dua tahun, tiap malam tak bisa tidur nyenyak, tetapi orang-orang Majus itu tidak kembali kepadanya. Maka Herodes meradang. “Bunuh setiap anak laki-laki di wilayahku yang umurnya di bawah dua tahun!” titahnya kepada para pengawalnya.

Itulah genosida pertama menjelang dimulainya abad Masehi. Genosida itu terjadi karena adanya salah nasihat, lalu menimbulkan praduga. Terlepas bahwa genosida itu juga telah dinubuatkan oleh Nabi Yeremia, tetapi dampaknya ngeri.Dengar, di Rama ada ratapan, tangisan yang pahit pedih: Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi” (Yeremia 31:15).

Nasihat yang diberikan oleh seorang penasihat yang tidak kredibel sangat berbahaya. Di jaman sekarang, penasihat semacam itu acap kali disebut sebagai “pembisik”. Ia bahkan menjadi penentu sebuah keputusan yang diambil oleh pemimpinnya.

Ia lebih pemimpin daripada pemimpin.

***

Serpong, 19 Des 2020

Titus J.

Saturday, December 12, 2020

The Magi Script

Story#3 Days of Advent

Entah bagaimana awalnya, orang-orang Majus (The Magi) yang berasal dari bangsa yang berbeda dan negeri yang berbeda -diperkirakan dari Persia, Arab, dan India- itu bertemu di suatu tempat yang sama di sekitar Yerusalem. Mereka bertanya-tanya, “Dimanakah Dia, Sang Raja yang baru dilahirkan itu?”

Jika orang-orang Majus itu hanya orang-orang biasa, pertanyaan yang dilontarkan kepada penduduk setempat itu tidak bakal menjadi buah bibir, yang lalu menyebar dengan cepat hingga ke istana Herodes. Istana gempar. Yerusalem gempar.

Orang-orang Majus itu bukan orang sembarangan. Penafsir menyebut mereka adalah raja di negeri mereka, sesuai nubuat Nabi Yesaya: “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu.” (Yesaya 60:3).

Sebagai raja, lawatan mereka ke negeri lain pasti membawa rombongan besar pengikut, paling tidak membawa para pengawal dan orang-orang kepercayaan. Jadi bisa dibayangkan pada saat itu terjadi kehebohan besar karena kedatangan mereka sangat menyolok.

“Kami datang untuk menyembah Dia,” kata mereka.

Menarik. Ini para raja yang senior datang bukan cuma akan melihat bayi atau sekadar memberi ucapan selamat, tapi untuk menyembah. Yang akan disembah adalah seorang Raja yang masih bayi. Orang-orang Majus itu mengerti benar bahwa bayi yang sedang mereka cari itu kedudukannya lebih tinggi dari mereka yang mungkin sudah berpuluh tahun bertahta sebagai raja di negeri mereka sendiri.

Sebuah nubuat yang disampaikan oleh seorang Nabi utusan Allah, adalah atas perintah Allah. Dan penggenapan nubuat itu pun, adalah oleh Allah sendiri. Allah merancang grand scenario, lalu membuat timeline, memilih casting, kemudian menyutradarainya.

Kedatangan orang-orang Majus itu -yang berasal dari bangsa-bangsa lain- untuk menyembah Yesus, membuktikan otoritas Allah atas siapapun untuk melaksanakan skenarionya.

Dan bukanlah tanpa maksud ketika orang-orang Majus itu membawa persembahan kepada bayi Yesus berupa emas, kemenyan dan mur. Ini pun sudah disampaikan ratusan tahun sebelumnya oleh Nabi Yesaya: “Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur Tuhan.” (Yesaya 60:6).

Emas melambangkan raja kemuliaan, bahwa bayi itu bukan sembarang bayi tetapi seorang raja besar. Dia layak dimahkotai dengan emas. Kemenyan melambangkan keilahian-Nya sebagai Anak Allah, yang dikonfirmasi oleh malaikat yang mengunjungi Maria: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi.” (Lukas 1:31-32). Mur menandai kematian-Nya, ketika minyak ini dibalurkan pada tubuh-Nya saat penguburan-Nya.

Dalam script yang ditulis oleh Allah tentang Natal, plot cerita itu ditulis dengan perlambang-perlambang. Dia menyutradarai adegan demi adegan dengan sangat cermat.

Jadi walaupun orang-orang Majus itu adalah raja yang kaya-raya, demi penggenapan nubuat, mereka tak bisa membawa sembarang persembahan. Emas, kemenyan dan mur itu sudah ditulis dalam script, tidak boleh diubah.

***

Serpong, 12 Des 2020

Titus J.

Saturday, December 5, 2020

Ia Bukan Bapak-Nya

Story#2 Days of Advent


Sudah tiga bulan sejak ia mengirimkan meja rias itu kepada Maria, Yusuf tak memperoleh kabar sama sekali dari tunangannya itu. Hari-hari itu ia sangat sibuk dengan pesanan perabotan kayu dari orang-orang di sekitar Nazaret, bahkan hingga dari desa-desa lain di Galilea. Ia tak sempat berkunjung ke rumah Maria.

Sore hari setelah Yusuf menutup bengkel kayunya, ia bergegas mandi dan bersiap, lalu menuju ke rumah Maria. Sepanjang jalan hatinya gundah dan penuh tanya. Tak sabar, maka ia mempercepat langkahnya.

"Maria, kau sakit? Wajahmu pucat!" tanya Yusuf kepada Maria yang menyambutnya di depan pintu. Maria mematung. Tangannya meraba perutnya. Matanya memandang Yusuf. Ketika kedua pasang mata itu bertemu, Yusuf menangkap sesuatu, sesuatu yang terpendam, sesuatu yang dalam.

Yusuf menoleh ke sekeliling, tak dilihatnya seorangpun. Dibimbingnya Maria duduk, lalu ia berkata setengah berbisik, "Maria, katakan, apa yang terjadi?"
Maria menggerakkan bibirnya tetapi tak satu pun kata terucap. Lagi-lagi ia memegang perutnya. Yusuf terdiam, matanya tajam mengusut.
"Ak... aku mengandung Yusuf," kata Maria lirih.
Yusuf mendekatkan telinganya. Ia yakin tak salah dengar, tetapi ia berharap telinganya yang keliru.
"Tiga bulan yang lalu...," meluncurlah kata demi kata dari bibir Maria menceritakan kunjungan malaikat itu. Tetapi sepanjang cerita itu tenggorokannya seperti tercekat, dan ia melihat mata Yusuf menerawang ke ruang kosong.

Yusuf terdiam. Apa yang baru ia dengar itu terasa memalu kepalanya, dan ia tak dapat mengerti. "Jadi aku bukan bapak bayi itu...," pikirnya. Ia ingin berteriak tetapi ketulusan hatinya mencegahnya untuk mencerca Maria.

Malam itu ia pulang dengan pikiran berkecamuk. Dalam pembaringannya ia terus berpikir dan menimbang. Matanya sulit terpejam. Malam semakin larut, hatinya semakin senyap. Dalam kegamangan ia menulis sepucuk surat, "Maria, aku tidak tahu apakah aku harus gembira atau berduka atas apa yang kau alami. Aku belum mampu memahami benar perkara bayi dalam kandunganmu itu, apakah itu aib atau suatu kemuliaan. Aku hanya seorang tukang kayu yang ingin hidup tenang bersamamu dalam kesederhanaan. Tapi tiba-tiba ceritamu mengubah segalanya. Kita harus rela untuk melupakan bahwa kita pernah saling mencintai. Lebih bijak, mungkin, jika aku tidak ikut campur atas apa yang sudah ditentukan oleh Allah. Selamat tinggal. Salam."

Setelah ia melipat surat itu, ia menghembuskan nafas sepanjang-panjangnya untuk melepaskan segala penat.

Tetapi...
Dalam tidurnya yang sebentar-sebentar terjaga, pada sebuah lelap seorang yang rupawan - yang wujudnya seperti yang diceritakan oleh Maria - mendatanginya, "Yusuf, jangan kau takut mengambil Maria menjadi istrimu, karena bayi dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus."

Lalu mimpinya putus, dan lelapnya usai. Yusuf duduk di tepi pembaringannya, lalu menyeka peluhnya. Dadanya naik-turun mengatur nafas. Ia mencari orang itu, tetapi hanya dilihatnya ruang kosong di kamarnya.

Dalam gelap ia meraba-raba mencari surat yang tadi ditulisnya, lalu merobeknya. Ia tak melanjutkan tidurnya, dan menunggu fajar menyingsing.

Pagi-pagi sekali ia pergi ke rumah Maria. Ia  mengajaknya kawin secara resmi, dalam waktu dekat. Ia ikhlas menjadi bapak, walaupun ia menyadari ia bukanlah bapak Anak itu.

***

Serpong, 5 Des 2020

Titus J.

Colin Powell Who Firmed About His Calling

General Colin Powell was not only a successful military soldier, but also politician, diplomat, and statesman. In the 1995s, he was a pres...