Kisah berikut bukan sebuah dongeng, walaupun plot yang tersusun mirip dengan sebuah dongeng. Dongeng yang umumnya dibacakan untuk anak-anak sebagai pengantar tidur, biasanya diawali dengan si dia yang terlunta dan menderita, tetapi diakhiri dengan si dia yang bahagia. Di akhir cerita, kalimat penutupnya harus “And they live happily ever after.”
Seorang gembala
domba berteduh di bawah pohon yang rindang, di tepian sungai. Hatinya hanyut.
Sejauh mata
memandang ia hanya melihat rumput, semak dan ilalang, dan domba-domba yang
bergerombol merumput dan mengembik.
Ia tak pernah
tahu hari dan tanggal, karena baginya tujuh hari dalam seminggu semuanya sama:
Siang hari langit hanya menyuguhkan warna putih keabu-abuan, lalu seiring
turunnya matahari, gelap menggantikannya bersama suara burung hantu. Terkadang
beberapa titik bintang memang mengerjap sebentar di langit yang jauh, lalu
surut, dan bulan cuma berkelebat lalu sembunyi lagi.
Sekali-sekali
ia melihat di kejauhan untuk memeriksa apakah ada predator yang mengendap-endap
untuk mencuri dombanya. Terkadang ia juga berkelahi melawan cakar dan taring
singa atau beruang. Selebihnya, ia berteman kantuk dan sepi.
Betapa nestapa
hidup seorang gembala domba. Hidupnya begitu monoton dan tidak menarik.
Jika ia boleh
sedikit gembira, hiburannya adalah bunyi seruling dan kecapi, dan
obrolan-obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman sesama gembala yang
sama-sama tersuruk di padang yang luas itu.
Mereka tak
pernah berani bermimpi, apalagi bicara soal harapan, karena langit akan
menertawakan mimpi mereka, dan angin padang akan merobek harapan yang coba
mereka rajut.
Ketika mereka
terus bergeser dari padang yang satu ke padang lain untuk mencari rumput yang
tebal dan hijau, mereka semakin jauh dari peradaban. Jika pun mereka suatu saat
pulang, barangkali rumah mereka tak mengenalinya lagi.
Seandainya
mereka tak pulang pun, tak ada siapapun yang merasa perlu mencari. Mereka
adalah orang-orang yang terlupakan.
Tetapi pada
suatu malam yang sunyi dan senyap, ketika para gembala itu telah selesai makan
dan sedang mengumpulkan remah-remah roti di kantong kulit penyimpan bekal, tiba-tiba
ada suatu terang mendatangi, lalu mewujud sebagai seorang malaikat dari Surga.
Para gembala
yang tak berani bermimpi itu begitu kagetnya hingga ketakutan merajai mereka. Mungkin
mereka malah berharap kejadian dahsyat itu hanyalah mimpi semata. Mereka saling
pandang antara satu dengan lainnya untuk memastikan bahwa apa yang mereka alami
benar-benar nyata, bukan sedang bermimpi atau berhalusinasi.
Untunglah
malaikat itu segera meredakan ketakutan mereka dan berkata, “Jangan takut, aku
membawa kabar kesukaan untuk segala bangsa…”
Malaikat itu
mendatangi para gembala itu cuma ingin menyampaikan kabar, bahwa ada orang
penting, seorang Juruselamat, telah lahir di sebuah kota di Betlehem.
Ketika belum
hilang benar ketakutan mereka, tiba-tiba malaikat itu membuka mata mereka dan
memperlihatkan sejumlah besar malaikat memuji Allah dalam sebuah konser akbar,
sebuah orkestra yang dimainkan secara kolosal oleh bala tentara Sorga sendiri.
Maka langit
yang sehari-hari hanya berwarna hitam di waktu malam, saat itu berubah
terang-benderang. Mereka yang selama ini hanya mendengar bunyi seruling dan
kecapi butut untuk mengusir kantuk dan sepi, malam itu mendengar berbagai
instrumen musik orkestra yang begitu harmonis. Mereka yang selama ini tak
pernah mendengar suara penyanyi di padang yang sepi, malam itu menyaksikan choir
yang kemerduannya tak terkatakan.
Adakah kata
yang lebih tepat daripada kata takjub? Kita tidak berhasil menemukan satu kata
pun yang dapat melukiskan ketakjuban para gembala itu tatkala melihat
pemandangan yang luar biasa di malam itu.
Bayangkanlah
adegan ketika seorang yang ndeso tiba-tiba diajak oleh orang kaya
menonton konser di sebuah ballroom hotel bintang lima dan duduk di barisan VVIP.
Untuk apa? untuk menikmati orkestra karya Handel atau Bach. Tetapi konser
malaikat di padang itu pastinya jauh lebih spektakuler, dan performance
itu disuguhkan untuk orang-orang ndeso yang terlupakan, yang sehari-hari
berteman bau domba di padang.
Saat itulah
terjadi sebuah titik balik. Betapa yang terhina dan terlupa ternyata menjadi
yang pertama.
Jika kita
memiliki sebuah berita besar, berita mahapenting, siapakah orang pertama yang
kepadanya kita menyampaikan kabar? Tentu orang terdekat, orang tercinta, orang
yang paling berarti bagi hidup kita, bukan? Misalkan dalam keluarga kita ada
kelahiran anak pertama yang sudah lama kita nantikan, maka berita sukacita ini
tidak akan kita bawa ke perempatan jalan, kepada pemulung atau tukang sapu
jalanan atau kepada anak-anak muda yang sedang bermain bola di lapangan. Kita akan
menyampaikan kepada orang yang spesial, dan mereka akan ikut bersukacita
bersama dengan kita dan merayakan kebahagiaan kita.
Jika malaikat
itu jauh-jauh datang ke padang menemui para gembala sebagai yang pertama untuk
sebuah berita besar, seberapa besar penghargaan Allah kepada para gembala itu?
Dari sini kita mengerti, betapa tiada seorangpun –betapa pun papa dan hina
hidupnya– yang luput dari perhatian Allah.
Allah tahu
keadaan mereka. Dan hati Allah tergerak untuk memuliakan mereka.
Walaupun
masyarakat menganggap para gembala itu bukan siapa-siapa, tetapi Allah
menganggap mereka orang penting. Mereka menjadi orang pertama sebagai penerima
kabar mahapenting.
“Mari kita
pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi,” ajak salah satu gembala itu
kepada teman-temannya dengan antusias. Mereka segera bangkit setelah dirigen
orkestra surgawi itu menyampaikan salute tanda konser selesai.
Antusiasme.
Inilah point terpentingnya. Allah sudah tahu sebelumnya. Itulah sebabnya
mengapa Allah mengutus malaikat-Nya untuk memberitakan kabar itu kepada para
gembala, bukan kepada raja yang sedang bertahta di Yerusalem. Herodes justru
merespon dengan penuh selidik dan akhirnya berniat membunuh bayi itu. Kabar itu
bukan pula disampaikan kepada kaum agama, sebab Allah tahu bahwa mereka tak
akan percaya dan malah akan menganggap kabar itu sebagai hoax.
Setelah para
gembala itu menemukan bayi itu –yang terbungkus lampin dan terbaring di
palungan- mereka menceritakan segala sesuatu yang mereka alami beberapa waktu
sebelumnya. Mata mereka berbinar-binar, bibir mereka tak bisa berhenti memuji
Allah. Rasa haru menyusup ke dalam relung sanubari. Dan mereka yang
mendengarkan cerita itu tercengang.
Mungkin
orang-orang yang sedang bergerombol di dekat bayi Yesus itu juga memiliki
pergumulan hidup masing-masing. Tetapi cerita para gembala yang mengalir dengan
kejujuran telah mengubah hati mereka.
Bagaimana
mungkin dari mulut orang-orang yang semula tidak memiliki harapan tiba-tiba menularkan
harapan kepada orang-orang lain?
Itulah karya
Allah. Dia bisa memakai siapapun, bahkan siapapun yang dianggap tak ada oleh
dunia.
Lalu para
gembala itu pulang, membawa bayi Yesus di dalam hati mereka. And they live
happily ever after.
--
“Deposuit potentes de sede et exaltavit humiles”
(Dia merendahkan yang berkuasa dan
memuliakan yang terhina)
***
Serpong, 25 Des 2020
Titus J.